Home / Fiksi Remaja / Ratu Indigo VS Bad Boy / Bab 2. Penglihatan Amira

Share

Bab 2. Penglihatan Amira

"Gue enggak punya musuh.” Raga berucap sinis. “Tapi lo bisa jadi salah satunya kalau mau.”

Amira menggeleng. “Enggak, makasih.” Dia memilih untuk kembali pada tugas matematikanya. Amira berusaha berkonsentrasi di kursinya sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama.

“Gue enggak mungkin salah,” gumam Amira pelan. “Gue enggak pernah salah.”

Selama dua tahun, apa yang Amira lihat hanya kenyataan. Tidak pernah ada pengecualian.

Amira memang bisa melihat masa depan. Entah itu adalah anugerah atau kutukan. Semua berawal saat Amira kehilangan sang nenek, Ida, di usianya yang ke-16. 

“Nenek ….” Amira menangis pilu. “Kenapa nenek meninggalkan Amira juga? Ayah dan ibu sudah tidak ada. Nenek juga pergi. Amira sama siapa sekarang?”

Sebuah kecelakaan membuat Amira menjadi yatim piatu. Amira pun tinggal bersama dengan sang nenek. Tapi sekarang Ida meninggalkannya juga. 

“Kenapa kalian pergi? Bawa aku juga …. Aku mau ikut bersama kalian ….” 

Ya, Amira pernah merasa ingin mati saja. Dia tidak peduli dengan dirinya. Amira menghabiskan malam di makam sang nenek dan keesokan harinya ia mendapat kemampuan itu. 

“Lima belas menit.” Amira berbisik dengan suara setipis kertas. “Semuanya nyata setelah lima belas menit.”

Amira menatap jam dinding yang terpasang di dinding kelasnya. Lima menit sudah berlalu sejak ia melihat bayangan itu. Tersisa sepuluh menit lagi. 

Bel yang berbunyi nyaring membuat Amira tersentak kaget. Bisa-bisanya dia lupa dengan jadwal pulang sekolah. 

“Minggir!” Raga memukul meja, membuat Amira mengeluh. 

“Mau kemana? Pulang?” Amira ikut merapikan bukunya cepat. Dia memasukkan semuanya asal ke dalam tas. 

“Berenang.” Raga berdiri tidak sabaran. Dia mendorong Amira agar bisa lewat. 

“Yang bener?” Amira menatap Raga heran. Raga dalam bayangannya bukan sedang berada di kolam renang. Cowok itu ada di sisi jalan sebelum diangkut paksa ke dalam sebuah mobil. 

“Mau ngapain nanya? Bukan urusan lo gue mau kemana.” Raga melenggang pergi. Tapi Amira mengejarnya. 

Amira berdiri tepat di depan Raga, menghalangi jalan. “Mending lo langsung pulang ke rumah. Lo dijemput? Naik apa?”

Raga melengos. “Kalau lo kira gue suka sama cewek yang perhatian, lo salah. Gue lebih milih cewek yang enggak suka ikut campur!”

Amira berdecak saat Raga berjalan melewatinya. Ia kesal, tapi sedetik kemudian dia sadar. “Emangnya dia siapa? Kenapa gue harus peduli?”

“Mending gue balik.” Amira memutuskan untuk tidak peduli. “Mau dia jungkir balik, kayang, sikap lilin, bukan urusan gue!”

Tapi apa yang Amira ucapkan jauh dengan kenyataan. Kedua kakinya ini malah dengan begitu kurang ajar karena terus mengikuti Raga. 

Amira was-was saat langkah Raga tiba-tiba berhenti. Dia tidak memiliki waktu untuk bersembunyi saat Raga berbalik. 

“Ngapain?” Raga menatap Amira sinis. “Lo ngikutin gue? Mau jadi penguntit lo?”

“Dih, najis.” Amira membuang muka. Dia memberikan alasan. “Gue emang lewat sini. Enggak usah kepedean gitu.”

“Oh ya?” Raga melipat kedua tangan. Dia berjalan mendekat pada Amira dengan tatapan mengejek. “Coba jelasin kenapa elo lewat sini. Mau ngapain? Di sini bukan tempat parkir Laveire. Mobil lo enggak ada di sini.”

Amira menoleh ke sekeliling. Mereka sudah ada di sisi jalan sekarang. Sialnya Amira menyadari kalau mereka berada di tempat yang sama seperti dalam bayangannya. 

Tangan Amira terangkat. Ia mengecek jam yang ada di pergelangan. Sudah lima belas menit, tempatnya sama, orangnya sama, apa yang ia lihat akan terjadi!

“Pergi!” Amira tidak berpikir panjang. Dia menarik tangan Raga. “Jangan di sini! Sebentar lagi ada yang bakal nyulik lo!”

“Apaan, sih?” Raga menepis tangan Amira. Tapi gadis itu bertahan. “Lo mau modus apa lagi ke gue? Mau ngerjain gue sekarang?”

Sindiran Raga terabaikan. Pandangan Amira terkunci pada sebuah mobil hitam yang muncul di kejauhan. 

Mobil yang sama dengan yang ada dalam bayangannya. Dugaan Amira benar. Penglihatannya akan masa depan tidak pernah salah. 

“Lari!” Amira menyambar tangan Raga untuk kedua kalinya. Sekarang dia sama sekali tidak berniat untuk melepaskan.

Raga ingin membantah. Tapi mulutnya terkunci saat melihat wajah Amira yang memerah. Sudut mata gadis itu bahkan sudah berair. 

“Lari, Raga!” Amira berteriak frustasi. “Gue enggak mau liat orang mati lagi!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status