“Nama gue, Raga Kendrick Wijaya. Panggil aja Raga!"
Kelas XI-A kedatangan murid baru. Namanya Raga. Dia pindahan dari Bellva School.
Suasana di dalam kelas mendadak ricuh. Sepertinya, Raga berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni kelas, terkecuali seorang siswi yang duduk di samping jendela baris pertama, tepat di depan meja guru.
Siswi itu bernama Amira Putri. Dia adalah murid beasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas.
“OMG! Dia ganteng banget!”
"Mukanya cute kayak oppa-oppa Korea!
"Astaga! Bibirnya tebal dan sangat seksi!”
"Dia tinggi. Raga pantes jadi kapten basket sekolah!"
Amira mendengar celoteh kekaguman dari beberapa siswi. Mungkin saja, Raga akan menjadi siswa terganteng di sekolahnya, Laveire.
Sebenarnya, Amira pun mengakui. Semua orang bersemangat menyambut Raga, kecuali dia sendiri.
“Raga, kamu duduk di samping Amira, ya!"
Sayangnya, takdir suka bercanda. Amira tidak tertarik pada Raga, tapi cowok itu justru duduk di sampingnya.
“Ibu harap, kamu bisa bantu Raga ya, Amira!"
Wajah Amira berubah berhiaskan senyum. Dia mengangguk patuh. “Iya, Bu.”
Saat bel berbunyi nyaring, Sonya segera mengakhiri pelajaran. “Kalian bisa terus kenalan dengan Raga. Kita lanjutkan pelajaran di minggu depan." Dia merapikan buku-buku di atas meja.
Amira beranjak saat melihat Sonya kesusahan membawa buku tugas para murid.
“Biar saya bantu, Bu!” Amira mengajukan diri. Dia dengan cepat mengangkat semua buku lalu mengikuti Sonya ke ruang guru.
“Makasih, Amira.” Sonya duduk di kursinya. "Kamu selalu bisa diandalkan.”
Amira mengangguk puas. “Sama-sama, Bu.”
“Sebentar!” Sonya meminta Amira mendekat. “Ibu titip ini untuk Raga.”
Amira mengangguk. Ia berjalan keluar. “Kasih sekarang? Apa nanti aja?”
Amira tersenyum simpul. “Kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang?”
Lagipula, Raga bukan termasuk orang yang menjadi prioritas utama Amira. Jadi, dia tidak begitu peduli.
Amira tersenyum lebar. “Lebih baik aku makan," katanya, penuh semangat.
Amira memilih membelokkan kaki ke kantin. Ia menghabiskan waktu selama setengah jam untuk mengisi perutnya di sana.
Saat kembali ke kelas, Amira terkejut dengan tempat duduknya yang ramai luar biasa.
“Ada apa?” Amira mendekat. “Apa yang terjadi?”
Sebagai ketua kelas, Amira sudah memikirkan tentang tanggung jawab. Dia tidak boleh lalai.
“Kenapa?” Amira mendapati Rachel tersungkur dari kursinya. “Siapa yang ngelakuin ini?”
Suasana kelas menjadi hening. Tidak ada seorangpun yang menjawab Amira.
Karena tidak ada yang mau membuka mulut, Amira memilih langsung bertanya pada Rachel.
Rachel menatap Amira. “Aku nggak apa-apa. Cuma jatuh aja, kok.” Gadis itu kabur setelah menyeka air matanya.
Amira masih menatap tidak percaya saat Rachel pergi begitu saja. “Kok bisa jatuh?”
Tangan Amira memeriksa kursi yang sebelumnya diduduki Rachel, kursi miliknya.
“Enggak ada yang rusak, tuh.”
Amira masih mencoba mencari akar masalah, tapi kursinya baik-baik saja. Kondisinya masih sama seperti saat ia pergi tadi. Namun yang berbeda, hanya kaki Raga yang memanjang sampai ke kaki kursi Amira.
“Lo dorong Rachel?” tanya Amira, curiga.
Raga bersandar di kursi. Dia menjawab dengan malas, “Enggak. Dia jatuh sendiri.”
Amira menatap Raga lekat. “Masa, sih?”
Tanpa disadari, Amira dan Raga mulai beradu argumen. Amira mencurigai Raga. Sedangkan Raga merasa tertuduh dan dia tidak terima.
Raga emosi. “Lo nuduh gue?!"
Amira mengelak. "Nggak, gue cumaー"
Amira belum selesai bicara, tetapi Raga menyelanya. Suasana di dalam kelas memanas.
"Lo tau, nggak? Nuduh tanpa bukti termasuk tindakan kriminal. Gue bisa nuntut lo, kasus pencemaran nama baik.”
Amira berjengit. Raga tiba-tiba saja mengancam padahal ia belum sampai menuduh. Jadi, daripada masuk ke dalam masalah, lebih baik Amira mengalah.
“Ini badge lo,” ucap Amira, mengalihkan topik. “Titipan Bu Sonya.”
Raga mengambil badge dengan wajah datar. Amira yang gemas meledeknya dengan sebuah ucapan nyaring, “Sama-sama!”
Bukannya sadar dan mengucap terima kasih, Raga sibuk memainkan handphone. Amira tidak ingin ambil pusing. Dia berbalik dan berjalan menuju papan tulis.
Amira memilih untuk menulis tugas yang sebelum ini dititipkan guru padanya. Papan tulis mulai penuh dengan tulisan Amira. Dia meminta teman-temannya untuk mengerjakan tugas matematika.
Selesai menuliskan soal di papan, Amira kembali ke kursinya sendiri. Ia pun mulai mengerjakan soal seperti teman-temannya yang lain. Tapi soal matematika yang sangat sulit membuat Amira frustasi. Penghapus yang sebelumnya ia pegang ikut melarikan diri ke sisi Raga, jauh di sudut.
Raga memang duduk di pojok, bersebelahan langsung dengan tembok. Sementara Amira sendiri memilih duduk di pinggir, tentu saja agar ia bisa lebih mudah keluar.
“Duh!” Amira mengeluh keras. Ia malas beranjak. “Tolong ambilin, dong!”
Raga berdecak, tapi tetap mengambilkan penghapusnya. Tangan Raga yang terulur, tak sengaja bersentuhan dengan tangan Amira.
“Hah?!” Amira melototi Raga.
Amira tersentak sesaat. Ia tertegun selama beberapa detik. Sikapnya itu membuat Raga menepis tangan Amira dengan kesal.
“Nggak usah modus!” Raga mengibaskan tangannya, memalingkan wajah.
Amira masih menatap Raga dengan seluruh perhatian yang ia punya. “Lo punya musuh?”
Raga yang sebelumnya cuek pun menoleh. “Bukan urusan lo.”
Amira mengangguk membenarkan. Intuisinya selama ini tidak pernah salah. Dia bertanya lagi, “Lo punya musuh yang jahat banget, nggak? Yang ngincer nyawa lo?”
Raga mendengus. “Gue cuma dorong kursi doang. Kenapa lo bawa-bawa nyawa gue?”
Amira sudah menduga jika dugaannya benar. Raga yang membuat Rachel terjatuh. Sayangnya, bukan hal itu yang membuat Amira penasaran.
“Ada orang yang ngincer lo. Coba inget-inget, dosa apa yang udah lo lakuin?!"
Amira yakin, Raga telah melakukan sebuah kesalahan besar. Kalau tidak, mana mungkin Amira melihat bayangan Raga yang bersimbah darah?
"Gue enggak punya musuh.” Raga berucap sinis. “Tapi lo bisa jadi salah satunya kalau mau.”Amira menggeleng. “Enggak, makasih.” Dia memilih untuk kembali pada tugas matematikanya. Amira berusaha berkonsentrasi di kursinya sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama.“Gue enggak mungkin salah,” gumam Amira pelan. “Gue enggak pernah salah.”Selama dua tahun, apa yang Amira lihat hanya kenyataan. Tidak pernah ada pengecualian.Amira memang bisa melihat masa depan. Entah itu adalah anugerah atau kutukan. Semua berawal saat Amira kehilangan sang nenek, Ida, di usianya yang ke-16. “Nenek ….” Amira menangis pilu. “Kenapa nenek meninggalkan Amira juga? Ayah dan ibu sudah tidak ada. Nenek juga pergi. Amira sama siapa sekarang?”Sebuah kecelakaan membuat Amira menjadi yatim piatu. Amira pun tinggal bersama dengan sang nenek. Tapi sekarang Ida meninggalkannya juga. “Kenapa kalian pergi? Bawa aku juga …. Aku mau ikut bersama kalian ….” Ya, Amira pernah merasa ingin mati saja. Dia tidak peduli dengan
Raga membiarkan Amira menariknya. Mereka berlari tanpa arah sebelum akhirnya Amira melihat sebuah jalan kecil.“Lewat sini!” Amira berteriak sambil menunjuk ke sisi kiri. Dia menyempatkan diri menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati jika mobil hitam yang mengejar mereka semakin dekat. Mobil itu telah berhenti sempurna di jalan. Lima orang berpakaian hitam lengkap turun dari mobil dan mulai mengejar.“Cepat!” pekik Amira. Dia membuat kedua kakinya melaju lebih kencang. Raga menoleh ke belakang. Kali ini ia melihat dengan kedua matanya sendiri jika nemang ada gerombolan yang mengejar mereka. “Sembunyi!” Raga tidak ragu lagi setelah melihat bukti. Kali ini dia yang menarik Amira.Amira tidak protes saat Raga memimpin dan menariknya melewati jalan kecil berkelok. Dia tahu jika Raga sedang mencoba untuk membuat mereka terbebas dari pengejaran. “Naik!” Perintah Raga membuat Amira melotot. Amira menatap pagar di depannya. Tidak tinggi tapi cukup untuk membuatnya meloncat. Masalahnya
Saat ini, Raga dan Amira sedang duduk di kursi belakang. Keduanya ada di dalam mobil Raga yang tengah melaju di jalan. Suasana hening beberapa detik sebelum akhirnya Amira membuka mulut. “Enggak punya musuh kepala lo!” Cemooh Amira. “Tadi semuanya ngejar kita!”Raga menanggapi Amira santai. Dia bersandar di kursi mobil nyaman, memandang Amira dengan tatapan datar. “Ya mana gue tau. Gue nggak kenal mereka siapa,” jawab Raga jujur. Raga meraih handphone dari saku. Tangannya mengangkat benda itu tinggi, menunjukkan layar yang menyala di depan Amira. “Ini gue baru mau bilang ke bokap gue. Biar dia yang urus. Tapi ….”Ucapan Raga terhenti sesaat. Wajahnya kini menoleh ke Amira, menatap penuh curiga. “Lo sendiri gimana bisa tau kalau ada yang ngejar gue?”Amira mengalihkan pandang, menghindar dari tatapan menyudutkan Raga. Tapi tetap saja, Amira tidak bisa lepas dari cowok itu. “Kok lo bisa tau? Gue penasaran.”Raga terus membuat Amira terdesak. Amira jadi menyesal. Berada di dalam sa
Amira terkejut. Dia tidak suka keputusan Raga untuk mengantar. Amira bergerak gelisah di kursinya, di dalam mobil Raga yang masih melaju cepat di jalan.“Enggak!” Amira menggeleng kuat. “Turunin aja gue di sini. Gue bisa pulang sendiri!”Penolakan yang Amira katakan terdengar aneh di telinga Raga. Kenapa cewek itu mati-matian menolaknya? Padahal ada banyak perempuan yang rela mengantri untuk diantar pulang oleh Raga. Amira tegas menggeleng. Berulang kali dia mengucapkan tidak. Kedua tangannya memegang handle pintu mobil Raga kuat-kuat. “Berhenti! Berhenti di sini!”Raga menyerah dengan teriakan Amira. Dia menuruti Amira dengan meminta supirnya untuk menepi.“Buka pintunya, Raga!” Mohon Amira.Tapi kali ini Raga mengatakan tidak. Dia membuat Amira menoleh, menatapnya.“Kalo lo enggak mau gue anterin, kasih nomor lo.” Raga menyodorkan handphone miliknya. “Gue mau pastiin lo aman sampe di rumah.”Amira menatap lama sebelum dia menerima handphone milik Raga. Jarinya mengetikkan nomor di
Keesokan harinya sebelum bel berbunyi, kelas XI-A di Laveire masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang mengobrol atau sekedar bermain handphone di kursi mereka masing-masing. Diantara beberapa siswa itu, ada Raga. Raga sengaja datang lebih awal hari ini. Dia menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Amira. “Hai!” Raga menyapa Amira di kursinya.Amira terkejut mendapat sapaan pagi dari Raga. Dia sempat memicing sesaat untuk kemudian menoleh ke belakang. Siapa tahu sapaan itu bukan untuk Amira, tapi untuk orang lain. “Gue ngomong sama elo. Emang siapa lagi?” Raga jadi kesal sendiri. Belum-belum Raga sudah naik darah. Dia sudah cukup diabaikan oleh Amira. Semua panggilan juga pesan singkat yang dikirim Raga sejak kemarin tidak berbalas sama sekali. Sampai seperti itu Amira menghindar darinya. “Itu kuping masih ada, kan?” Sindir Raga. Padahal Raga sudah menurunkan sedikit kadar egonya untuk menyapa Amira duluan. Tapi cewek itu malah tidak menggubrisnya sama sekali. “Ada,”
Saat kembali ke kelas XI-A, Amira melirik ke sudut ruangan. Di tempat duduknya, Raga tampak kesal dengan bibir berkerut sempurna. Amira melangkah masuk. Dia berjalan ke tempat duduknya santai. Amira pura-pura tidak melihat wajah Raga yang cemberut. Dia cuek saja mendengar Raga yang menggerutu di sampingnya. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Amira memang sengaja datang bersamaan dengan guru yang masuk ke kelas. “Buka buku kalian!” Guru di depan kelas memberi perintah. Perintah yang menjadi bencana untuk Amira.“Liat, dong! Gue kan belum punya buku!” Nah, ini bencananya. Raga.Raga si murid baru yang belum punya buku. Raga ingin Amira berbagi. Dia dengan sengaja mendekat, membuat kursinya dengan kursi Amira tidak berjarak. Raga memepet Amira, membuat Amira jadi keki sendiri. Andai tidak ada guru di depan sana, dia ingin menempeleng Raga. Puas sekali Raga saat mendengar Amira berdecak kesal. Dia berbohong dengan mengatakan kalau dirinya tidak punya buku. Dia cuma ingin Amira tidak men