Share

Ratu Indigo VS Bad Boy
Ratu Indigo VS Bad Boy
Penulis: Dewiluna

Bab 1. Si Murid Baru

“Nama gue, Raga Kendrick Wijaya. Panggil aja Raga!"

Kelas XI-A kedatangan murid baru. Namanya Raga. Dia pindahan dari Bellva School. 

Suasana di dalam kelas mendadak ricuh. Sepertinya, Raga berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni kelas, terkecuali seorang siswi yang duduk di samping jendela baris pertama, tepat di depan meja guru. 

Siswi itu bernama Amira Putri. Dia adalah murid beasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas. 

“OMG! Dia ganteng banget!”

"Mukanya cute kayak oppa-oppa Korea!

"Astaga! Bibirnya tebal dan sangat seksi!”

"Dia tinggi. Raga pantes jadi kapten basket sekolah!"

Amira mendengar celoteh kekaguman dari beberapa siswi. Mungkin saja, Raga akan menjadi siswa terganteng di sekolahnya, Laveire.

Sebenarnya, Amira pun mengakui. Semua orang bersemangat menyambut Raga, kecuali dia sendiri. 

“Raga, kamu duduk di samping Amira, ya!"

Sayangnya, takdir suka bercanda. Amira tidak tertarik pada Raga, tapi cowok itu justru duduk di sampingnya. 

“Ibu harap, kamu bisa bantu Raga ya, Amira!"

Wajah Amira berubah berhiaskan senyum. Dia mengangguk patuh. “Iya, Bu.”

Saat bel berbunyi nyaring, Sonya segera mengakhiri pelajaran. “Kalian bisa terus kenalan dengan Raga. Kita lanjutkan pelajaran di minggu depan." Dia merapikan buku-buku di atas meja. 

Amira beranjak saat melihat Sonya kesusahan membawa buku tugas para murid. 

“Biar saya bantu, Bu!” Amira mengajukan diri. Dia dengan cepat mengangkat semua buku lalu mengikuti Sonya ke ruang guru.

“Makasih, Amira.” Sonya duduk di kursinya. "Kamu selalu bisa diandalkan.”

Amira mengangguk puas. “Sama-sama, Bu.” 

“Sebentar!” Sonya meminta Amira mendekat. “Ibu titip ini untuk Raga.”

Amira mengangguk. Ia berjalan keluar. “Kasih sekarang? Apa nanti aja?”

Amira tersenyum simpul. “Kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang?” 

Lagipula, Raga bukan termasuk orang yang menjadi prioritas utama Amira. Jadi, dia tidak begitu peduli. 

Amira tersenyum lebar. “Lebih baik aku makan," katanya, penuh semangat.

Amira memilih membelokkan kaki ke kantin. Ia menghabiskan waktu selama setengah jam untuk mengisi perutnya di sana.

Saat kembali ke kelas, Amira terkejut dengan tempat duduknya yang ramai luar biasa. 

“Ada apa?” Amira mendekat. “Apa yang terjadi?” 

Sebagai ketua kelas, Amira sudah memikirkan tentang tanggung jawab. Dia tidak boleh lalai. 

“Kenapa?” Amira mendapati Rachel tersungkur dari kursinya. “Siapa yang ngelakuin ini?” 

Suasana kelas menjadi hening. Tidak ada seorangpun yang menjawab Amira. 

Karena tidak ada yang mau membuka mulut, Amira memilih langsung bertanya pada Rachel. 

Rachel menatap Amira. “Aku nggak apa-apa. Cuma jatuh aja, kok.” Gadis itu kabur setelah menyeka air matanya.

Amira masih menatap tidak percaya saat Rachel pergi begitu saja. “Kok bisa jatuh?” 

Tangan Amira memeriksa kursi yang sebelumnya diduduki Rachel, kursi miliknya. 

“Enggak ada yang rusak, tuh.” 

Amira masih mencoba mencari akar masalah, tapi kursinya baik-baik saja. Kondisinya masih sama seperti saat ia pergi tadi. Namun yang berbeda, hanya kaki Raga yang memanjang sampai ke kaki kursi Amira. 

“Lo dorong Rachel?” tanya Amira, curiga.

Raga bersandar di kursi. Dia menjawab dengan malas, “Enggak. Dia jatuh sendiri.” 

Amira menatap Raga lekat. “Masa, sih?” 

Tanpa disadari, Amira dan Raga mulai beradu argumen. Amira mencurigai Raga. Sedangkan Raga merasa tertuduh dan dia tidak terima.

Raga emosi. “Lo nuduh gue?!"

Amira mengelak. "Nggak, gue cumaー"

Amira belum selesai bicara, tetapi Raga menyelanya. Suasana di dalam kelas memanas.

"Lo tau, nggak? Nuduh tanpa bukti termasuk tindakan kriminal. Gue bisa nuntut lo, kasus pencemaran nama baik.”

Amira berjengit. Raga tiba-tiba saja mengancam padahal ia belum sampai menuduh. Jadi, daripada masuk ke dalam masalah, lebih baik Amira mengalah. 

“Ini badge lo,” ucap Amira, mengalihkan topik. “Titipan Bu Sonya.”

Raga mengambil badge dengan wajah datar. Amira yang gemas meledeknya dengan sebuah ucapan nyaring, “Sama-sama!” 

Bukannya sadar dan mengucap terima kasih, Raga sibuk memainkan handphone. Amira tidak ingin ambil pusing. Dia berbalik dan berjalan menuju papan tulis. 

Amira memilih untuk menulis tugas yang sebelum ini dititipkan guru padanya. Papan tulis mulai penuh dengan tulisan Amira. Dia meminta teman-temannya untuk mengerjakan tugas matematika. 

Selesai menuliskan soal di papan, Amira kembali ke kursinya sendiri. Ia pun mulai mengerjakan soal seperti teman-temannya yang lain. Tapi soal matematika yang sangat sulit membuat Amira frustasi. Penghapus yang sebelumnya ia pegang ikut melarikan diri ke sisi Raga, jauh di sudut. 

Raga memang duduk di pojok, bersebelahan langsung dengan tembok. Sementara Amira sendiri memilih duduk di pinggir, tentu saja agar ia bisa lebih mudah keluar. 

“Duh!” Amira mengeluh keras. Ia malas beranjak. “Tolong ambilin, dong!”

Raga berdecak, tapi tetap mengambilkan penghapusnya. Tangan Raga yang terulur, tak sengaja bersentuhan dengan tangan Amira.

“Hah?!” Amira melototi Raga. 

Amira tersentak sesaat. Ia tertegun selama beberapa detik. Sikapnya itu membuat Raga menepis tangan Amira dengan kesal.

“Nggak usah modus!” Raga mengibaskan tangannya, memalingkan wajah. 

Amira masih menatap Raga dengan seluruh perhatian yang ia punya. “Lo punya musuh?”

Raga yang sebelumnya cuek pun menoleh. “Bukan urusan lo.” 

Amira mengangguk membenarkan. Intuisinya selama ini tidak pernah salah. Dia bertanya lagi, “Lo punya musuh yang jahat banget, nggak? Yang ngincer nyawa lo?”

Raga mendengus. “Gue cuma dorong kursi doang. Kenapa lo bawa-bawa nyawa gue?”

Amira sudah menduga jika dugaannya benar. Raga yang membuat Rachel terjatuh. Sayangnya, bukan hal itu yang membuat Amira penasaran. 

“Ada orang yang ngincer lo. Coba inget-inget, dosa apa yang udah lo lakuin?!"

Amira yakin, Raga telah melakukan sebuah kesalahan besar. Kalau tidak, mana mungkin Amira melihat bayangan Raga yang bersimbah darah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status