Amira merasa gerah meski pendingin ruangan sudah menyala. Kelas XI-A terasa seperti sauna, udara pun berat, dengan setiap siswa yang menahan nafas dalam ketegangan. Semua karena kuis dadakan ini!“Waktunya tinggal lima belas menit lagi, ya,” ucap Sonya mengingatkan.Peringatan dari Sonya membuat Amira semakin panik. Amira memandang kertas soalnya kesal. Padahal hanya ada lima soal, tapi rasanya seperti seratus. Tidak mau kebingungan sendiri, Amira melirik ke arah Raga. Dia melihat Raga duduk tenang, tidak seperti dirinya. Bahkan Raga tampak asyik dengan pena, menuliskan jawaban dalam kalimat yang panjang. “Mau ngapain?” Tegur Raga.Raga menangkap basah Amira yang sedang menatap lembar jawabannya. “Jangan ngintip! Tar gue laporin ke guru!”Raga mengancam sambil menunjuk. Tangannya bergerak menutupi jawaban sampai Amira tidak bisa melihatnya lagi.“Ngintip apanya? Pede banget lo!”Amira langsung membuang muka. Dia menggerutu tanpa suara. Sementara Raga menahan tawa puas. Mencemooh Am
Raga memekik kesal. Bel istirahat sudah berbunyi tapi dia masih betah duduk di kursinya tanpa beranjak. “Bisa-bisanya! Kertas dia bahkan lebih kosong dari gue tadi!”Seberapa keras pun Raga berpikir, dia tetap terjebak dalam kebingungan. Kertas kosong Amira berubah menjadi penuh dalam waktu sekejap. Seperti sulap saja. “Memangnya itu masuk akal?”Raga menatap kursi Amira yang kosong. Amira sudah pergi sejak bel istirahat berbunyi, seperti biasa. Amira memang seringkali menjadi yang pertama keluar kelas jika jam istirahat tiba. “Mumpung Amira lagi enggak ada.”Tanpa izin, Raga memeriksa tempat Amira. Dia memeriksa meja Amira, tapi tak ada petunjuk apapun di sana.“Di laci?”Raga pun melongok isi laci Amira. Dia meneliti benda yang ada di dalamnya. Raga mendengus frustasi. Dia tidak menemukan apapun yang bisa memberikannya jawaban.“Enggak ada apa-apa!”Semua yang Raga periksa bersih. Tidak ada apapun. Hanya tersisa tas Amira yang belum dia geledah. “Tapi tadi Amira enggak megang ta
Amira tidak tahan melihat senyum Raga yang terus melebar. Dia tidak bisa menebak apa yang akan Raga lakukan. Amira merasakan ketegangan meningkat saat kelas XI-A semakin ramai. Bel masuk sudah berbunyi, dan guru sebentar lagi datang. Amira berharap Raga tidak mempunyai rencana jahat.“Jangan minta yang macem-macem, apalagi yang aneh-aneh!” Seru Amira, memperingatkan.Raga tertawa. Dia tampak senang karena bisa menggoda Amira sekarang. “Lo pikir gue tertarik sama lo?” Kejujuran yang cukup menyakitkan dari Raga. Tapi Amira juga tidak berharap. Dia pun malas kalau harus berurusan dengan Raga. Sekarang juga, dia terpaksa meladeni cowok itu. “Terus mau lo apaan?” Amira menatap sinis. “Jangan bilang lo mau beberin rahasia gue?”Raga terdiam sesaat. Dia memandang wajah gelisah Amira yang tengah meredam marah. Amira mungkin akan menguliti Raga jika mereka tidak sedang di dalam kelas. “Gue enggak mau apa-apa.”Jawaban Raga sukses membuat Amira tercengang. Dia menggeleng bingung, tak habis
Raga sedang dalam perjalanan pulang, dan dia hampir sampai. Setelah mobil berhenti, Raga membiarkan supir membuka pintu mobil untuknya. Dia melangkah turun dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sore itu, rumah Raga sepi. Hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang menyambut. Ayah dan Ibu Raga pasti masih sibuk di kantor, begitu juga kakeknya. “Raga,” panggilan dari sebuah suara yang berat membuat Raga menoleh. Raga mendapati Heri, sang kakek, berdiri di depannya menyambut. “Kakek? Tumben sudah pulang? Raga kira Kakek masih di kantor.”Heri menggeleng. Dia berjalan mendekat, menepuk lengan Raga lembut. “Mana bisa Kakek duduk tenang di kantor saat cucu kesayangan Kakek dalam bahaya?”Heri sudah mendapatkan kabar dari Gavin. Putranya itu telat memberikan berita tentang penyerangan Raga. “Ayahmu harusnya mengatakan pada Kakek sejak awal. Dia mencoba mengurusnya sendiri, membuat Kakek merasa kesal.”Raga hanya tersenyum tipis, lalu mengajak Heri duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Ra
Sofa di ruang tamu tidak terasa empuk lagi untuk Raga. Tekanan dari Heri membuat Raga tidak nyaman. Pembicaraan tentang perusahaan, juga dirinya yang ditunjuk menjadi penerus, selalu berhasil membuat Raga pusing. “Apa Kakek tidak berniat memilih penerus lain saja? Ayah? Atau Paman?” Siapa saja asal bukan Raga. “Tidak ada yang secemerlang kamu, Cucuku.” Jika ditanya tentang pilihan, tentu saja Heri punya. Tapi jika Raga mampu, kenapa harus memilih yang lain? “Tapi Raga belum memiliki pengalaman apapun, Kek.” Raga tak mau masuk ke dalam wilayah yang dia tidak pahami. Tidak tanpa pengetahuan atau persiapan. “Karena itu Kakek memintamu untuk masuk sebagai pegawai. Kamu bisa langsung belajar dalam perusahaan, Raga!” Raga membawa kata pengalaman agar Heri berpindah haluan. Dia mau Heri memilih calon pewaris lain yang lebih kompeten. Tapi Heri sudah menetapkan pilihannya pada Raga. Tak bisa ditawar lagi. “Untuk sekarang, Raga belum bisa.” Susah payah Raga memberi penolakan. “
Di dalam sebuah kontrakan sempit, Amira berteriak kesal. Amira membanting handphone yang ada di tangannya ke atas kasur lipat kusam yang sedang dia duduki. “Dasar Tuan Muda enggak ada kerjaan!” Gerutu Amira tanpa henti. “Gue ini sibuk! Gue enggak bisa santai kayak sultan macam elo!” Dengan bibir yang terus mengomel, Amira membuka buku catatan keuangannya. Dia meneliti sisa uang yang dia miliki sekarang. “Duitnya enggak cukup,” ucap Amira lelah. Amira sudah menghitung berkali-kali, tapi jumlah isi rekeningnya itu minus. “Padahal gue udah berhemat setengah mati, tapi duitnya tetep aja kurang!” Jari Amira menunjuk deretan angka yang ada dalam tabel yang sudah dia buat. Angka tersebut diberi garis tebal-tebal. “Gue masih harus sekolah lebih dari setahun! Ini gimana jadinya kalau duit makan aja nggak ada!” Amira tidak mempunyai harta lain. Sebelum pindah ke kota, Amira sudah menjual semua barang, termasuk rumah peninggalan orang tua dan neneknya. Sengaja, Amira tidak membiar
Raga menyambut hari baru dengan alis tertaut. Di meja makan, orang tuanya, Gavin dan Andini, serta kakeknya, Heri, duduk berkumpul. Biasanya, mereka sibuk dengan urusan masing-masing, tak pernah ada yang sempat untuk sarapan bersama. Langkah Raga seketika ragu. Dia merasa ada sesuatu yang akan terjadi pada sarapan kali ini. “Duduk, Raga.” Teguran Heri membuat Raga tak jadi melangkah mundur. Dia terpaksa mengangguk, lalu mendaratkan bokongnya di atas kursi, duduk di antara keluarganya. “Selamat pagi, Kakek.” Raga menyapa Heri yang tampil rapi seperti biasa. Dengan setelan jas berwarna abu-abu gelap, Heri terlihat berwibawa. Sosok pemimpin melekat sempurna dalam dirinya. “Selamat pagi, Ayah.” Raga kemudian beralih pada Gavin, ayahnya. Hari ini Gavin memilih setelan jas navy dengan model yang lebih modern. Gavin pandai menyesuaikan pakaian dengan umurnya yang belum terlalu tua. “Selamat pagi, Ibu.” Andini menjadi orang terakhir yang Raga sapa. Ibunya tampak elegan dengan b
Raga berjalan keluar dari ruang makan di kediaman keluarga Wijaya dengan perasaan mendongkol. Setiap langkah yang dia ambil terasa berat, seperti ada beban yang mengganjal di dadanya. Sarapan yang harusnya mengenyangkan perut, malah menyisakan pahit yang tak bisa hilang. Kedua kaki Raga membawanya ke tempat parkir. Supir sudah menunggu di sana, dengan mobil yang akan mengantarnya. Raga membiarkan supir itu membukakan pintu untuknya. “Selamat pagi, Tuan Muda!” Sapaan yang hanya dibalas sekilas oleh Raga. Dia memasang wajah cemberut dengan dahi menekuk. Jari Raga menunjuk, memberikan perintah. “Jalan cepat!” Ujar Raga penuh emosi. Mobil pun melaju di jalan yang lengang. Lalu lintas tampak tidak mau mencari masalah dengan Raga. Tanpa kemacetan atau hambatan apapun, Raga tiba di sekolah. Kedua kaki Raga melangkah gontai, masuk ke dalam gedung Laveire, sekolah baru Raga, yang entah kenapa tidak ingin dia tinggalkan begitu saja. Mungkin karena suasananya, mungkin karena lingkunga
“Hari ini lo lembur,” ucap Raga pada Amira. Bel pulang baru saja berbunyi, dan Raga sudah menentukan apa yang harus Amira lakukan. Amira tidak akan bisa lolos darinya sama sekali. “Enggak usah sampai begitu,” sahut Amira tenang. “Gue juga emang enggak berniat buat Nerima ajakan Evan, kok.” Sayang sekali, Amira melakukan hal yang salah. Harusnya Amira tidak membantah Raga. Setelah jam istirahat tadi, Raga sudah mati-matian menahan emosinya sendiri. Amira tidak tahu saja, jika Raga sudah ingin memutar balikkan meja di detik Evan mengutarakan ajakannya untuk nonton bersama Amira. “Emang seharusnya gitu,” sindir Raga kesal. “Lo pasti bakalan nyesel kalau terima ajakan dia.” Raga menarik tangan Amira kemudian. Dia tidak berniat menunggu lebih lama. “Udah beres, kan? Kita pergi sekarang!” Raga memimpin jalan menuju ke tempat parkir. Amira menghela kesal karena diseret begini. Namun, dia memilih untuk tidak mengajukan protes lagi. Lewat tangan mereka yang tertaut, Amira bisa
Setelah insiden pengering rambut, Raga mencoba bersikap biasa saja. Dia tidak mau sampai Amira tahu tentang otaknya yang tidak bersih. Cukup dirinya dan Tuhan yang tahu. Beruntungnya, setelah semua kerusuhan itu, mereka tidak terlambat. Raga dan Amira sampai di Laveire, tepat sebelum bel masuk berbunyi. Mereka pun belajar dengan tenang di kelas, sampai sekarang. “Untuk persamaan yang ini–”Penjelasan guru yang ada di depan kelas disela oleh bunyi bel istirahat. Semua siswa di kelas XI-A berseru senang.Guru yang ada di depan kelas pun memilih untuk sadar diri. Beliau mengakhiri pembelajaran dan menutup kelas, seperti yang murid-muridnya inginkan. “Elo makan sama temen lo lagi?” Tanya Raga setelah guru mereka berjalan ke luar. Amira mengangguk. “Iya.” Tangannya menunjuk ke depan pintu. “Itu udah ditungguin.”Raga menghela saat melihat Michelle yang sudah menunggu di depan kelas XI-A seperti biasa. Helaan itu semakin keras saat Evan muncul di belakang Michelle. “Lo mau ikut ke kant
Di sudut kamar kontrakan Amira, Alex mengulum senyum. Tuan mudanya tampak sangat senang saat ini. “Pelit banget, sih!” Raga mengomel saat Amira menyumpalkan semua isi piring ke dalam mulutnya. Gadis itu dengan sengaja tidak menyisakan sama sekali.“Terus buat apa lo nawarin kalau enggak mau ngasih, heh?”Amira tak menjawab. Dia hanya mendengus. Sungguh, Raga adalah orang yang tak mengerti basa-basi.“Udah kering belum rambut gue? Udah telat, nih.”Sengaja, Amira mengalihkan pembicaraan. Berdebat dengan Raga, jelas tak akan ada habisnya. “Belum, lah!” Raga baru pertama kali mengeringkan rambut seorang perempuan. Ternyata memakan waktu yang lama, apalagi rambut Amira panjang dan tebal. Lutut Raga juga sudah terasa sakit. Raga terpaksa harus menggunakan lutut sebagai tumpuan di lantai, agar tingginya bisa sesuai dengan Amira yang duduk di depannya.“Maju dikit, coba!” Ketus Amira. Kabel pengering rambut yang Amira miliki memang tidak panjang. Jadi mereka tak bisa bergeser sama seka
Di saat Amira merasa canggung dengan suasana pembicaraan mereka. Terdengar suara dari pintu yang diketuk. Ruang VIP di restoran yang mereka tempati, sepertinya memiliki tamu.Raga mengalah dengan ketukan tersebut. Dia berseru memberikan izin. “Masuk aja.” Pintu terbuka, dan sebuah kereta dorong makanan terlihat. Para pelayan datang, membawa makanan yang mereka pesan. “Permisi, Tuan, Nona,” ucap salah satu pelayan. “Kami akan menyiapkan makanannya.”Raga tak repot merespon lebih banyak. Dia memilih untuk membiarkan para pelayan itu melakukan tugasnya. “Selamat menikmati, Tuan, Nona.”Para pelayan berpamitan pergi. Mereka sudah selesai mengisi meja sampai penuh dengan makanan. Seketika, perhatian Raga dan Amira beralih pada semua makanan itu. Tampilannya yang menggiurkan, juga harum yang menggelitik hidung, membuat mulut mereka berliur. “Makan, yuk.” Ajak Raga pada Amira. Tangannya dengan sigap mengambil sendok dan garpu. “Semuanya?” Amira menatap tak percaya. “Ini pesenan elo? Ba
Amira gelagapan. Dia mendorong kursinya mundur. Kedua mata Amira langsung tertuju ke arah pintu keluar. Dia ingin segera pergi dari ruang VIP restoran mewah ini. Secepatnya!“Jangan!” Ujar Raga saat Amira hendak beranjak. Tangan Raga terulur, mencegah Amira pergi. “Gue cuma bercanda,” ucapnya kemudian.Tangan Amira menepis Raga kasar. “Bercandaan elo enggak lucu!”Amira menatap Raga dengan wajah memerah. Sungguh, Amira benar-benar panik. Memori buruknya tentang lelaki, seketika menyeruak keluar bagai air bah. Terus membanjir membuatnya hilang arah.“Sorry ….” Raga mengucapkan maaf. Sudut mata Amira yang berair, membuat Raga semakin serba salah. Raga bergerak mendekat. Tangannya terulur pada Amira. “Gue enggak tau kalau lo bakalan takut begini.”Amira menunduk. Dia tidak mengucapkan satu kata pun. Tangannya sibuk meremas ujung roknya sendiri, begitu kencang sampai kusut tak berbentuk. Raga tidak bisa terus diam. Dia beranjak dari kursi, berlutut di samping Amira. “Maafin gue ….”Tak
Amira melihat ke segala arah. Di restoran mewah bernuansa merah ini, petunjuk yang Amira dapatkan hanyalah jenis makanannya. Pasti makanan oriental, karena ada tulisan Mandarin yang terukir pada dinding di hadapan mereka. “Raga, kenapa kita ke sini?” Tanya Amira cemas. Raga menoleh, menatap Amira. Namun, dia tidak menjawab. Hanya tangannya saja yang bergerak, mengangkat tangan Amira yang sedang tertaut dengannya. Benar, Amira sudah mengeceknya tadi. Mereka akan makan di tempat ini. “Gue pesen ruang VIP, biar aman.” Jari Raga menunjuk ke kening Amira. “Otak lo aja yang kotor.” “Enak aja!” Bantah Amira sambil menepis tangan Raga. “Gue juga enggak mikir apa-apa!” Amira menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. Sayang sekali, di sisi lain malah ada Alex. Raga tidak melihat, tapi jadi Alex yang melihatnya. Sungguh memalukan! “Silakan, Tuan, Nona.” Untungnya sambutan para pelayan mengalihkan perhatian Raga dan Alex. Para pelayan itu membukakan pintu kayu di hadapan mereka.
Situasi saat ini sungguh berbahaya. Di atas kursi mobil yang sempit ini, Amira menindih Raga. Amira tidak peduli dengan kakinya yang sudah naik ke atas kursi dengan begitu kurang ajarnya. Wajah Amira menatap Raga, tapi tatapannya kosong entah kemana.Raga tahu apa yang terjadi. Amira sedang melihat masa depan, dengan pose yang menantang begini.“Gue bukan orang yang bisa tahan godaan,” ucap Raga pelan. Tangan Raga menarik Amira yang masih melamun. Dia meraih pinggang Amira, menjauhkan tubuh gadis itu. Raga mendudukkan Amira kembali ke tempatnya semula.“Kalau lo begitu lagi, gue enggak bisa jamin kelanjutannya bakal sama kayak sekarang ….”Amira tersentak. Dia yang baru sadar dari lamunan, hanya mendengar sebagian kalimat Raga. “Udahan liat masa depannya?” Tanya Raga pelan.Meski jantungnya serasa akan meledak, Raga memilih untuk bersikap biasa saja. Dia duduk bersandar di kursi, mencoba menenangkan kegilaannya sendiri. “Lo … cuma mau ngajak gue makan?” Tanya Amira heran. Raga ber
Amira terdiam. Dia tidak mampu menjawab. Melihat respon Amira, Raga tak bisa menahan kecewa. Tangannya terulur, menggeser Amira ke sisi. Kali ini, Amira tidak menahan Raga pergi. Lorong yang dijalani Raga seketika terasa penuh duri. Dia tak bisa terus melangkah, tapi juga tak mau kembali. “Bukan gitu,” lirih Amira pelan. Bagi Amira, Raga memang teman, tapi bukan juga sekedar teman. Amira berbalik. Dia melihat Raga yang masih berjalan di lorong Laveire sendirian. Cowok itu terus melangkah, tapi semakin lama semakin pelan. Sampai akhirnya berhenti. Raga berbalik begitu saja. Tatapan mereka pun bertemu tanpa menunggu. “Lo … enggak mau kejar gue?” Tidak keras, tapi Amira bisa mendengar suara Raga. Begitu jelasnya, membuat Amira langsung berlari menghampiri. “Lo mau nunggu gue jalan sampai sejauh apa?” Amira terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Dia tak bisa menjawab, tak ingin salah berucap. Amira tak mau membuat Raga semakin kecewa padanya. Diamnya Amira membuat Raga menghela le
Michelle dan Febby menghampiri kerumunan di lorong. Kerumunan itu membuat Michelle cemas, karena tempatnya dekat dengan kelas Amira. “Itu Amira!” Seru Febby sambil menunjuk di kejauhan. Mereka pun bergegas mendekat. Dilihatnya Amira dan Raga sedang berhadapan dengan Evan, untuk kedua kalinya. “Cowok itu nyari masalah apalagi coba?” Febby bergumam kesal. Kemarin, Febby memang mengalah karena Amira menghalanginya. Harusnya Febby tidak begitu. Biar saja Amira kesal padanya, asalkan cowok buaya macam Evan ini jauh-jauh dari temannya. Febby sudah mendengar kabar tentang Evan. Cowok itu memang terkenal super kaya. Kelebihan Evan adalah ketampanan, tapi kekurangannya adalah dia seorang playboy. Lebih dari separuh siswi Laveire pernah menjadi pacarnya, dengan cara yang licik. “Hahaha ….” Evan tertawa keras. Dia bahkan bertepuk tangan. “Lo bener-bener keren, Amira!” Tangan Evan terangkat, berniat memberikan sebuah tepukan bangga di lengan Amira. Sayang, tujuannya meleset karena Ra