Raga memekik kesal. Bel istirahat sudah berbunyi tapi dia masih betah duduk di kursinya tanpa beranjak. “Bisa-bisanya! Kertas dia bahkan lebih kosong dari gue tadi!”Seberapa keras pun Raga berpikir, dia tetap terjebak dalam kebingungan. Kertas kosong Amira berubah menjadi penuh dalam waktu sekejap. Seperti sulap saja. “Memangnya itu masuk akal?”Raga menatap kursi Amira yang kosong. Amira sudah pergi sejak bel istirahat berbunyi, seperti biasa. Amira memang seringkali menjadi yang pertama keluar kelas jika jam istirahat tiba. “Mumpung Amira lagi enggak ada.”Tanpa izin, Raga memeriksa tempat Amira. Dia memeriksa meja Amira, tapi tak ada petunjuk apapun di sana.“Di laci?”Raga pun melongok isi laci Amira. Dia meneliti benda yang ada di dalamnya. Raga mendengus frustasi. Dia tidak menemukan apapun yang bisa memberikannya jawaban.“Enggak ada apa-apa!”Semua yang Raga periksa bersih. Tidak ada apapun. Hanya tersisa tas Amira yang belum dia geledah. “Tapi tadi Amira enggak megang ta
Amira tidak tahan melihat senyum Raga yang terus melebar. Dia tidak bisa menebak apa yang akan Raga lakukan. Amira merasakan ketegangan meningkat saat kelas XI-A semakin ramai. Bel masuk sudah berbunyi, dan guru sebentar lagi datang. Amira berharap Raga tidak mempunyai rencana jahat.“Jangan minta yang macem-macem, apalagi yang aneh-aneh!” Seru Amira, memperingatkan.Raga tertawa. Dia tampak senang karena bisa menggoda Amira sekarang. “Lo pikir gue tertarik sama lo?” Kejujuran yang cukup menyakitkan dari Raga. Tapi Amira juga tidak berharap. Dia pun malas kalau harus berurusan dengan Raga. Sekarang juga, dia terpaksa meladeni cowok itu. “Terus mau lo apaan?” Amira menatap sinis. “Jangan bilang lo mau beberin rahasia gue?”Raga terdiam sesaat. Dia memandang wajah gelisah Amira yang tengah meredam marah. Amira mungkin akan menguliti Raga jika mereka tidak sedang di dalam kelas. “Gue enggak mau apa-apa.”Jawaban Raga sukses membuat Amira tercengang. Dia menggeleng bingung, tak habis
Raga sedang dalam perjalanan pulang, dan dia hampir sampai. Setelah mobil berhenti, Raga membiarkan supir membuka pintu mobil untuknya. Dia melangkah turun dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sore itu, rumah Raga sepi. Hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang menyambut. Ayah dan Ibu Raga pasti masih sibuk di kantor, begitu juga kakeknya. “Raga,” panggilan dari sebuah suara yang berat membuat Raga menoleh. Raga mendapati Heri, sang kakek, berdiri di depannya menyambut. “Kakek? Tumben sudah pulang? Raga kira Kakek masih di kantor.”Heri menggeleng. Dia berjalan mendekat, menepuk lengan Raga lembut. “Mana bisa Kakek duduk tenang di kantor saat cucu kesayangan Kakek dalam bahaya?”Heri sudah mendapatkan kabar dari Gavin. Putranya itu telat memberikan berita tentang penyerangan Raga. “Ayahmu harusnya mengatakan pada Kakek sejak awal. Dia mencoba mengurusnya sendiri, membuat Kakek merasa kesal.”Raga hanya tersenyum tipis, lalu mengajak Heri duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Ra
Sofa di ruang tamu tidak terasa empuk lagi untuk Raga. Tekanan dari Heri membuat Raga tidak nyaman. Pembicaraan tentang perusahaan, juga dirinya yang ditunjuk menjadi penerus, selalu berhasil membuat Raga pusing. “Apa Kakek tidak berniat memilih penerus lain saja? Ayah? Atau Paman?” Siapa saja asal bukan Raga. “Tidak ada yang secemerlang kamu, Cucuku.” Jika ditanya tentang pilihan, tentu saja Heri punya. Tapi jika Raga mampu, kenapa harus memilih yang lain? “Tapi Raga belum memiliki pengalaman apapun, Kek.” Raga tak mau masuk ke dalam wilayah yang dia tidak pahami. Tidak tanpa pengetahuan atau persiapan. “Karena itu Kakek memintamu untuk masuk sebagai pegawai. Kamu bisa langsung belajar dalam perusahaan, Raga!” Raga membawa kata pengalaman agar Heri berpindah haluan. Dia mau Heri memilih calon pewaris lain yang lebih kompeten. Tapi Heri sudah menetapkan pilihannya pada Raga. Tak bisa ditawar lagi. “Untuk sekarang, Raga belum bisa.” Susah payah Raga memberi penolakan. “
Di dalam sebuah kontrakan sempit, Amira berteriak kesal. Amira membanting handphone yang ada di tangannya ke atas kasur lipat kusam yang sedang dia duduki. “Dasar Tuan Muda enggak ada kerjaan!” Gerutu Amira tanpa henti. “Gue ini sibuk! Gue enggak bisa santai kayak sultan macam elo!” Dengan bibir yang terus mengomel, Amira membuka buku catatan keuangannya. Dia meneliti sisa uang yang dia miliki sekarang. “Duitnya enggak cukup,” ucap Amira lelah. Amira sudah menghitung berkali-kali, tapi jumlah isi rekeningnya itu minus. “Padahal gue udah berhemat setengah mati, tapi duitnya tetep aja kurang!” Jari Amira menunjuk deretan angka yang ada dalam tabel yang sudah dia buat. Angka tersebut diberi garis tebal-tebal. “Gue masih harus sekolah lebih dari setahun! Ini gimana jadinya kalau duit makan aja nggak ada!” Amira tidak mempunyai harta lain. Sebelum pindah ke kota, Amira sudah menjual semua barang, termasuk rumah peninggalan orang tua dan neneknya. Sengaja, Amira tidak membiar
Raga menyambut hari baru dengan alis tertaut. Di meja makan, orang tuanya, Gavin dan Andini, serta kakeknya, Heri, duduk berkumpul. Biasanya, mereka sibuk dengan urusan masing-masing, tak pernah ada yang sempat untuk sarapan bersama. Langkah Raga seketika ragu. Dia merasa ada sesuatu yang akan terjadi pada sarapan kali ini. “Duduk, Raga.” Teguran Heri membuat Raga tak jadi melangkah mundur. Dia terpaksa mengangguk, lalu mendaratkan bokongnya di atas kursi, duduk di antara keluarganya. “Selamat pagi, Kakek.” Raga menyapa Heri yang tampil rapi seperti biasa. Dengan setelan jas berwarna abu-abu gelap, Heri terlihat berwibawa. Sosok pemimpin melekat sempurna dalam dirinya. “Selamat pagi, Ayah.” Raga kemudian beralih pada Gavin, ayahnya. Hari ini Gavin memilih setelan jas navy dengan model yang lebih modern. Gavin pandai menyesuaikan pakaian dengan umurnya yang belum terlalu tua. “Selamat pagi, Ibu.” Andini menjadi orang terakhir yang Raga sapa. Ibunya tampak elegan dengan b
Raga berjalan keluar dari ruang makan di kediaman keluarga Wijaya dengan perasaan mendongkol. Setiap langkah yang dia ambil terasa berat, seperti ada beban yang mengganjal di dadanya. Sarapan yang harusnya mengenyangkan perut, malah menyisakan pahit yang tak bisa hilang. Kedua kaki Raga membawanya ke tempat parkir. Supir sudah menunggu di sana, dengan mobil yang akan mengantarnya. Raga membiarkan supir itu membukakan pintu untuknya. “Selamat pagi, Tuan Muda!” Sapaan yang hanya dibalas sekilas oleh Raga. Dia memasang wajah cemberut dengan dahi menekuk. Jari Raga menunjuk, memberikan perintah. “Jalan cepat!” Ujar Raga penuh emosi. Mobil pun melaju di jalan yang lengang. Lalu lintas tampak tidak mau mencari masalah dengan Raga. Tanpa kemacetan atau hambatan apapun, Raga tiba di sekolah. Kedua kaki Raga melangkah gontai, masuk ke dalam gedung Laveire, sekolah baru Raga, yang entah kenapa tidak ingin dia tinggalkan begitu saja. Mungkin karena suasananya, mungkin karena lingkunga
Raga menoleh. Tatapannya menyapu seisi kelas. Pandangan teman-temannya serasa menusuk, seakan-akan dia baru saja melakukan kesalahan besar. Harga diri Raga tercoreng. Amira sungguh keterlaluan! Raga Kendrick Wijaya, seorang pewaris dalam keluarga Wijaya. Sejak lahir, Raga sudah mendapatkan semua yang dia inginkan, barang mewah, uang yang tak terbatas. Segala fasilitas tersedia untuknya, termasuk deodoran! Bisa-bisanya, seorang Raga yang seperti itu disebut bau ketiak oleh Amira! “Heh!” Raga berteriak keras. Wajahnya merah menahan amarah. “Ini kedua kalinya elo ngomong sembarangan tentang gue!” Pertama adalah saat Amira menyebut Raga sebagai cowok genit, dan yang kedua adalah saat ini. Amira berjengit. Tatapan tajam juga suara dingin Raga mampu membuatnya menciut sesaat. Tapi Amira menutupinya dengan sangat baik. “Salah lo!” Amira menunjuk lehernya kesal. Ada bekas merah di sana. “Gue hampir mati tadi!” Raga mengernyit. Dia melihat jejak tangan besarnya di sana. Tanpa Raga sad
“Enggak,” jawab Raga. Tentu saja Amira bisa menebak jika itu adalah jawaban yang akan Raga berikan. “Kalau begitu … kasih tau gue batasnya.” Raga mencoba mengalah. Di saat kesabaran Amira hampir habis, akhirnya cowok itu sadar dan peka. Amira menjawab dengan sebuah tatapan lekat. “Sewajarnya, Raga. Mungkin kayak dulu ke mantan-mantan lo sebelumnya?”Pastinya Raga lebih tahu, karena cowok itu pernah punya pacar. Tidak seperti Amira. “Jangan terlalu deket pokoknya. Gue risih!” Tukas Amira. Amira memilih untuk menyudahi pembicaraan dan mulai menyiapkan makanan dari Raga. “Ayo makan dulu.” Dia mengucapkan terima kasih, lalu mulai melahap. Keduanya tidak bicara lagi setelahnya.Raga hanya menunggu Amira bersiap. Mereka kemudian berjalan ke kelas bersama-sama, sementara Alex menunggu di luar gedung utama.Peraturan Laveire tetap sama. Supir dan pengantar menunggu di tempat yang dite
“Bantu apa?” Tanya Dina penasaran. Dika pun ikut menyimak. “Isi acara. Gue yakin kalian pasti bisa ngelakuin itu.”Amira duduk mendekat. Dia membisikkan permintaannya pada kakak beradik itu. “Mulai besok bisa, kan?” Tanya Amira dengan kedua mata penuh pengharapan. Dika dan Dina saling pandang. Mereka tampak ragu. “Memangnya enggak apa-apa? Orang-orang kan enggak suka sama kita.” Dina tidak mau mempermalukan Amira, juga dirinya sendiri.“Ngomong apa sih? Gue minta karena gue suka,” sahut Amira. “Lagian juga beda bukan berarti benci, kan?”Amira mencoba meyakinkan keduanya, sampai mereka mengucapkan kata iya. Dika yang mengangguk pertama. “Kalau Kak Amira yang nyuruh, aku mau.”Amira tersenyum senang. “Bagus! Besok kalian ikut sama gue.”Ketiganya berbincang tentang kegiatan esok sampai akhirnya Amira berpamitan. Camilan mereka sudah habis, dan hari sudah malam.
“Mau apa?” Amira bertanya bingung. Dilihatnya Raga mengambil handphone dan malah sibuk sendiri. Tak lama, Amira merasakan getaran dari ponselnya. Dia mengeluarkan handphone dari saku dan melihat kontak yang menghubungi. “Ngapain lo nelpon gue?!” Amira menunjukkan layar handphone miliknya yang menyala. Tertulis kontak Raga di sana.Amira tak mengerti. Untuk apa Raga menghubungi dia? Mereka kan saling berhadapan begini. “Jangan tutup telepon dari gue,” ancam Raga saat cowok itu berpamitan. “Pokoknya jangan matiin sampai lo tidur.”“Hah?” Amira mengernyit bingung. Dia tidak mengerti. “Hari pertama lo di tempat baru. Gue enggak mau sampai terjadi apa-apa sama pacar gue.”Amira menilik wajah Raga. Dia menarik tangan cowok itu penasaran. Seketika, sekelebat bayangan masa depan terlihat dalam benaknya. “Lo cemburu?” Amira menghela. “Mau tau gue ngapain aja?” Raga cuma menunjukkan satu jari. “Ha
“Siapa?” Raga ikut melongok keluar, dan dia mendapati Dika dan Dina di pintu masuk. Seketika, tatapan Raga berubah tajam. Dia mendelik tidak suka. “Kalian ngapain di sini?” Tanya Raga, sinis. Dika dan Dina saling pandang. Mereka malah menunjuk kamar Amira. “Murid yang mau tinggal di sini itu kamu?” Tanya Dina tak percaya. Dina melihat kamar yang terbuka, dan dia langsung tahu jika dugaannya benar. “Wah, keren! Kak Amira tinggal sama kita!” Seru Dika, sangat bersemangat. Sebaliknya, Raga langsung menarik Amira. Dengan sengaja, Raga menyembunyikan Amira di balik badannya. “Enggak,” ucap Raga sambil menggeleng. “Kita mau pergi.”Namun, Amira tidak menurut. Dia dengan sengaja melepaskan tangannya dari Raga. “Gue tinggal di sini, kok.” Amira berdiri di samping Raga, membiarkan dirinya terlihat oleh Dika dan Dina. Raga tidak bisa membantah lagi. Dia membiarkan Amira bicara.
“Mau nyaingin lo,” jawab Amira. Raga memasang wajah bingung. Dia tidak mengerti. Menyaingi apa? Kenapa mereka harus bersaing?Amira tidak sabar melihat ekspresi Raga yang bingung. Dia mengulurkan tangan, mengambil garpu yang ada di atas mangkuk mi. Raga menggeleng saat Amira menunggu mulutnya terbuka untuk menyuapkan makanan. “Enggak,” tolak Raga. “Jawab dulu.”Amira bergeming. “Makan atau gue colok ke hidung lo.”Ancaman itu membuat Raga berdecak. Mau tak mau dia membuka mulutnya. Amira mengangguk puas saat Raga mulai mengunyah. “Gue enggak mau kalah sama lo.”“Masa pacar gue pewaris, gue cuma meringis? Enggak lucu, kan?” Amira meminta Raga untuk memahami keadaannya. “Gue enggak mau jadi orang enggak pantes berdiri di samping lo.”Mungkin Raga tidak merasa ada masalah, tapi Amira tak bisa begitu. Dia tidak mau malu dan memalukan. “Tapi gue–” Amira kembali menyuapkan ma
“Lo gila?!” Raga terkejut saat Amira menampar pipinya. Tangan Amira membuat bekas merah berdenyut. “Astaga!” Raga mengaduh sambil mengusap pipi yang terasa perih. “Sakit tau!”Amira tidak merasa bersalah. Dia malah balas melotot. “Habisnya lo ngajak gue check in!”Seruan Amira membuat Raga tersadar kemudian. Dia tertawa keras. “Apaan? Kenapa malah ketawa?” Amira memicing sinis. Bukannya minta maaf, Raga malah menertawakan dirinya. Apa yang lucu, coba? “Lo mikir apaan?” Raga menyindir Amira dengan tatapan. “Mikir jorok, ya?”Seketika wajah Amira memerah. Dia langsung sadar jika dirinya pasti sudah salah paham. “Terus ngapain lo ngajak gue ke hotel? Mau ngapain di sana?”Raga terkekeh sesaat. “Sekarang gue sama keluarga sementara tinggal di sana.”“Jadi gue pikir lo mau mampir. Hotel tempat gue tinggal juga deket sama mal,” sambung Raga. Amira berdecak kesal. Harusnya Rag
“Lo nanti bakal capek banget kalau harus tampil lima kali. Latihannya juga pasti lama.”Ternyata Raga memikirkan posisi Amira yang nantinya akan menjadi vokalis. Amira jadi tidak bisa kesal lagi pada Raga. Cowoknya itu hanya membelanya. “Ya tapi ngomongnya biasa aja ke Evan, enggak usah ngegas,” tuduh Amira. Seketika, Raga berpaling–menunjukkan jika apa yang Amira tuduhkan benar. Rupanya kedua cowok itu memang bertengkar karena Raga yang mulai duluan. “Kita omongin lagi baik-baik pas mereka balik,” sambung Amira. Seolah tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja Evan dan Michelle kembali masuk ke ruang OSIS. “Nah, pas banget,” ucap Amira. Amira mengamati Evan yang masih merengut di kursinya. Meski cemberut, cowok itu tidak pergi dan tetap mendengarkan. “Gue udah ngomong sama Raga.” Amira memulai pembicaraan. Dia langsung mendapatkan perhatian dari Evan dan Michelle. “Gue setuju sama dia.”Evan menghel
Reynald mengangguk, seolah sudah menduganya. “Duduk dulu, Amira.” Sepertinya mereka perlu berbicara lebih banyak kali ini. “Saya senang memberikan beasiswa untuk siswa seperti kamu.”Amira memang sudah mendapatkan beasiswa sejak pertama masuk ke Laveire. Tapi semenjak kepengurusan berpindah tangan, dia harus memastikan beberapa hal. “Beasiswa kamu akan tetap sama seperti yang sebelumnya kamu dapatkan. Saya berjanji akan membebaskan kamu dari biaya apa pun selama kamu bersekolah di Laveire.”Amira mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. “Saya juga sudah menawarkan pekerjaan yang mungkin untuk kamu kerjakan.”Memang, Amira jujur semalam jika dia mungkin membutuhkan uang tambahan. Dia tak malu-malu pada Reynald. Terlebih, dia memang butuh izin dari pihak sekolah jika ingin melakukan pekerjaan sambilan. “Apa masih kurang? Kenapa kamu ingin tinggal di asrama? Kamu kan sudah punya tempat tinggal.”Reynald ingin tahu alasan Amira. Apa benar semua ini dilakukan hanya demi bisa lanjut b
“Berapa nomor rekening lo?”Raga tertegun. Dia sangat bingung dengan pertanyaan Amira. Amira baru saja bangun tidur di kamarnya sendiri. Namun, tak ada angin tak ada hujan, Amira langsung menanyakan nomor rekening. Padahal mereka tidak membicarakan tentang uang tadi. “Buat apa? Mau ngapain?” Terdengar jelas kebingungan Raga, tapi Amira mengabaikannya. Raga terus bertanya sampai akhirnya Amira lelah, lalu membuka mulutnya sendiri. “Gue mau ngembaliin uang yang dikasih Kakek.” Amira pun jujur. Dia terus-menerus merasa tidak enak sejak Heri menyebut-nyebut masalah bayaran sebelum ini. “Gue enggak mau jadi pegawai yang makan gaji buta.” Amira menggeleng kemudian. “Salah. Gue enggak mau jadi pegawai. Gue kan pacar lo. Gue enggak mau terima bayaran buat ngelindungin orang yang gue sayang.”Raga menoleh sebentar. Dia harus mengalihkan pandangan dari Amira sampai wajahnya tidak terasa panas.Setiap kali Amira mengucapkan kata sayang, Raga selalu salah tingkah. Dia masih belum terbiasa