Raga menyambut hari baru dengan alis tertaut. Di meja makan, orang tuanya, Gavin dan Andini, serta kakeknya, Heri, duduk berkumpul. Biasanya, mereka sibuk dengan urusan masing-masing, tak pernah ada yang sempat untuk sarapan bersama. Langkah Raga seketika ragu. Dia merasa ada sesuatu yang akan terjadi pada sarapan kali ini. “Duduk, Raga.” Teguran Heri membuat Raga tak jadi melangkah mundur. Dia terpaksa mengangguk, lalu mendaratkan bokongnya di atas kursi, duduk di antara keluarganya. “Selamat pagi, Kakek.” Raga menyapa Heri yang tampil rapi seperti biasa. Dengan setelan jas berwarna abu-abu gelap, Heri terlihat berwibawa. Sosok pemimpin melekat sempurna dalam dirinya. “Selamat pagi, Ayah.” Raga kemudian beralih pada Gavin, ayahnya. Hari ini Gavin memilih setelan jas navy dengan model yang lebih modern. Gavin pandai menyesuaikan pakaian dengan umurnya yang belum terlalu tua. “Selamat pagi, Ibu.” Andini menjadi orang terakhir yang Raga sapa. Ibunya tampak elegan dengan b
Raga berjalan keluar dari ruang makan di kediaman keluarga Wijaya dengan perasaan mendongkol. Setiap langkah yang dia ambil terasa berat, seperti ada beban yang mengganjal di dadanya. Sarapan yang harusnya mengenyangkan perut, malah menyisakan pahit yang tak bisa hilang. Kedua kaki Raga membawanya ke tempat parkir. Supir sudah menunggu di sana, dengan mobil yang akan mengantarnya. Raga membiarkan supir itu membukakan pintu untuknya. “Selamat pagi, Tuan Muda!” Sapaan yang hanya dibalas sekilas oleh Raga. Dia memasang wajah cemberut dengan dahi menekuk. Jari Raga menunjuk, memberikan perintah. “Jalan cepat!” Ujar Raga penuh emosi. Mobil pun melaju di jalan yang lengang. Lalu lintas tampak tidak mau mencari masalah dengan Raga. Tanpa kemacetan atau hambatan apapun, Raga tiba di sekolah. Kedua kaki Raga melangkah gontai, masuk ke dalam gedung Laveire, sekolah baru Raga, yang entah kenapa tidak ingin dia tinggalkan begitu saja. Mungkin karena suasananya, mungkin karena lingkunga
Raga menoleh. Tatapannya menyapu seisi kelas. Pandangan teman-temannya serasa menusuk, seakan-akan dia baru saja melakukan kesalahan besar. Harga diri Raga tercoreng. Amira sungguh keterlaluan! Raga Kendrick Wijaya, seorang pewaris dalam keluarga Wijaya. Sejak lahir, Raga sudah mendapatkan semua yang dia inginkan, barang mewah, uang yang tak terbatas. Segala fasilitas tersedia untuknya, termasuk deodoran! Bisa-bisanya, seorang Raga yang seperti itu disebut bau ketiak oleh Amira! “Heh!” Raga berteriak keras. Wajahnya merah menahan amarah. “Ini kedua kalinya elo ngomong sembarangan tentang gue!” Pertama adalah saat Amira menyebut Raga sebagai cowok genit, dan yang kedua adalah saat ini. Amira berjengit. Tatapan tajam juga suara dingin Raga mampu membuatnya menciut sesaat. Tapi Amira menutupinya dengan sangat baik. “Salah lo!” Amira menunjuk lehernya kesal. Ada bekas merah di sana. “Gue hampir mati tadi!” Raga mengernyit. Dia melihat jejak tangan besarnya di sana. Tanpa Raga sad
Heri menatap dinding di depannya sambil melamun. Jam pulang kantor sudah dimulai sejak tadi, tapi Heri masih betah duduk di ruangannya tanpa melakukan apa-apa.“Hubunganku dengan Raga memburuk,” gumam Heri pelan, bicara pada dirinya sendiri.Tangan Heri perlahan terulur, meraih bingkai foto yang ada di atas meja. Dalam foto itu, ada dirinya, Gavin, Andini, serta Raga kecil yang tampak begitu polos.Heri tersenyum, tapi senyum itu perlahan pudar, digantikan oleh tatapan penuh penyesalan. “Padahal dia cucu kesayanganku,” bisik Heri, dengan tatapan yang mulai berkaca-kaca.Tak pernah terpikirkan oleh Heri tentang waktu dimana Raga akan menentangnya. “Aku rasa, dia benar-benar tidak menyukai ideku.”Suara Heri terhenti, seakan-akan kata itu terlalu sulit untuk untuk dia ucapkan. Helaan napas Heri terdengar berat. Heri tak pernah merasa sekecewa ini. Ketegangan yang terjadi antara dirinya dengan Raga semakin pelik. “Mungkin, ada waktunya aku tidak boleh terlalu memaksa.”Heri sadar jik
Hari ini Raga bangun terlambat. Dia yang biasanya bersemangat untuk berangkat ke sekolah, mulai kehilangan motivasi. Raga teringat pada Amira yang bertengkar hebat dengannya kemarin. Apa hari ini mereka akan perang dingin lagi? “Ck! Terserah saja!” Raga menyimpan bukunya asal ke dalam tas. Dia meraih tas itu, lalu berjalan keluar kamar. “Selamat pagi, Tuan Raga. Saya yang akan mengantar Tuan hari ini. Apa Tuan sudah siap?” Raga melirik ke arah Alex yang menunggu di depan pintu. Lelaki itu tampak gagah seperti kemarin dengan setelan jasnya yang rapi. “Dari kapan di sini?” Alex menunduk sopan sebelum menjawab. “Belum lama, Tuan. Tuan Raga tidak perlu khawatir.” Raga berdecak kesal. “Apaan sih! Gue bukannya khawatir.” Raga melangkah melewati Alex. Dia berjalan menuju ke arah tangga, hendak turun ke lantai bawah. “Gue cuma mau tau. Apa lo disuruh Kakek? Trus Kakek dimana sekarang?” Karena kalau Heri sedang ada di ruang makan, Raga malas ke sana. Dia lebih memilih untuk mel
Kemarin, Raga menunggu sampai jam sekolah berakhir. Tapi hingga bel berbunyi, batang hidung Amira tidak terlihat sama sekali. Raga menyempatkan diri bertanya pada teman sekelasnya. Tapi karena Amira tidak dekat dengan siapapun, jadi tidak ada yang tahu. Semalaman, Raga galau berat. Dia menatap kontak Amira di handphonenya terus-menerus. Bimbang apakah harus menghubungi Amira atau tidak. Kebetulan, egonya yang menang. Raga memilih tidur dan tidak peduli. Besok juga Amira ada di sekolah lagi. “Tuan Raga sudah siap?” Meski Raga semalam bertekad untuk tidak peduli, nyatanya hari ini dia bangun lebih pagi. Alex menyambutnya seperti biasa saat Raga membuka pintu kamarnya. “Udah. Ayo berangkat.” Raga beranjak menuju tangga. Dia berhenti saat tiba di anak tangga terakhir. “Gue tunggu di mobil. Lo minta sandwich buat gue sarapan dari dapur, ya.” Entah kenapa Raga sedang tak ingin membuang waktu hari ini. Selain bangun lebih awal, dia juga bersiap dengan sangat cepat. Bahkan Raga
Raga menatap guru di depannya tidak sabar. Lambat sekali guru itu menjelaskan. “Lama,” gerutu Raga sambil memandang jam di dinding kelas. Raga pun mengangkat tangan untuk minta perhatian. “Pak!” Serunya keras. Guru yang sedang menulis di papan tulis pun menoleh. Dia berbalik menatap Raga. “Ada apa?” Tanyanya heran. Jarang sekali ada yang bertanya di saat dia bahkan belum mulai menjelaskan. “Itu, Pak.” Tangan Raga menunjuk ke arah jam yang baru saja dia lihat di dinding kelas. “Sebentar lagi pulang.” Dedi, guru yang terkenal killer itu menatap Raga tajam. Dahinya berkerut heran. Dia melihat angka di jam dinding yang sebelumnya ditunjuk Raga. “Apa maksudmu? Waktu pulang sekolah masih lima belas menit lagi!” Dedi menunjuk Raga kesal. Dia bahkan berjalan menghampiri meja Raga, penasaran dengan siswa yang berani menyela. “Kamu tidak menulis? Bukumu kosong!” Dedi mengangkat buku catatan Raga yang masih sangat suci. Sudah sejam dia menjelaskan, tapi tak ada satupun tulisan d
Raga berpikir keras. Dia memutar otaknya sambil menatap lorong sekolah yang hampir sepi sempurna. Tampaknya sudah tidak ada siapa-siapa lagi selain mereka. “Tidak apa, Bu! Saya bisa menjenguk Amira sendiri!” Raga terus memaksa, membuat Sonya menatapnya curiga. “Kenapa?” Sonya bertanya penasaran. “Besok juga bisa. Kita pergi bersama yang lain.” Bagi Sonya, niat Raga itu baik. Tapi terasa ada yang aneh dengan permintaan Raga, kenapa siswanya ini begitu terburu-buru? “Besok saja, Raga.” Tegas Sonya sekali lagi. Raga kehabisan akal. Kalau begini terus, dia bisa gagal mendapatkan alamat rumah Amira. Amira tidak membalas pesannya sedari tadi. Panggilan Raga juga tak satupun terjawab. Saat ini, Raga tidak mempunyai petunjuk lain kecuali Sonya. Raga tidak tahu dimana rumah Amira. Dia juga tidak bisa bertanya pada teman sekelasnya yang lain, karena ternyata Amira tak pernah menceritakan tentang kehidupan pribadinya. Raga baru menyadari, jika Amira begitu misterius. “Harus sekaran
Setelah acara makan mereka selesai, Amira membereskan sisa makanan. Michelle dan Febby pun ikut membantu. Belum juga meja di depan mereka bersih, Raga sudah menarik tangan Amira. “Ikut gue,” ujar Raga, dengan nada memerintah. Evan berdiri, hendak menyela. Namun, Amira mencegahnya. Raga berdiri tepat di depan Evan. “Jangan ganggu.” Dia memberikan peringatan. “Gue pingin pacaran.”Amira bisa mendengar decak kesal dari Evan. Meski begitu, Evan tidak mengejar sama sekali. “Kita cari tempat yang lebih tenang,” sambung Raga. “Biar bisa ngomong, tanpa gangguan.”Amira mengangguk pelan, meskipun matanya tampak ragu. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah yang sepi, langkah kaki keduanya bergema di sepanjang jalan. Beberapa siswa lain sudah kembali ke kelas, membuat lorong menjadi lebih lengang.Raga berhenti di sebuah lorong yang jarang dilalui, jauh dari ruang kelas dan sudut sekolah yang biasanya ramai. “Di sini aja.” Raga memilih sudut lorong. “Gak bakal ada yang lewat.”Amir
“Kak Dina enggak begitu!” Dika akhirnya membuka suara. Dia tidak bisa terus melihat kakaknya disudutkan. Dika melihat sendiri bagaimana Dina berusaha. Dina secara teratur membersihkan makam keluarga Amira. Dia tidak pernah absen. Bahkan, untuk bisa sekolah di Laveire, Dina sampai membantah kedua orang tua mereka. Dina bersikeras ingin pergi meski ayah dan ibu mereka tak mengizinkan. Bahkan, Dina sampai nekat untuk masuk ke Laveire meski hanya berbekal beasiswa. “Kalian enggak tau apa yang Kak Dina lakukan biar bisa ketemu sama Kak Amira!”Evan mendelik. Dia melipat kedua tangannya sambil memicing tak percaya. “Coba bilang, apa aja yang udah dia lakuin.”Evan, Michelle, dan Febby sudah siap menyimak. Mereka mengharapkan jawaban yang memuaskan. Namun, belum juga Dika menjawab, Dina sudah menghentikannya. “Aku akan buktikan.” Dina tak ingin kedatangannya sia-sia. Dia sudah sejauh ini. “Coba aja,” jawab Evan, menantang. “Buktiin kalau lo bisa lebih baik dari kita sebagai teman Amira!
“Lo … mau apa?” Hidup Amira sudah nyaman di sini. Dia tidak peduli lagi dengan masa lalu. Apa pun yang terjadi pada kampung halaman atau orang-orang di sana, Amira tak ingin tahu. “Apa tujuan lo? Kenapa ganggu gue?”Dina hanya tersenyum mendengar pertanyaan Amira. Perangainya tenang, bibirnya terbuka pelan, memberikan alasan. “Karena aku menyesal,” jawab Dina. “Aku menyesal karena belum sempat meminta maaf ke kamu.”Amira menatap tak percaya. Dia menilik wajah Dina, mencoba mencari setitik saja kebohongan yang nyatanya tidak bisa dia temukan. “Aku minta maaf buat semua tuduhan yang dulu tertuju ke kamu.” Dina menjelaskan apa yang terjadi setelah Amira pergi. Pencuri uang sudah ditemukan. Begitu juga dengan Anto, pria yang dahulu menuduh Amira sebagai perayu. Sudah terbukti, Anto sendiri yang adalah seorang hidung belang. “Aku harusnya percaya sama kamu. Kamu selama ini enggak pernah sekali pun bohong sama kita.” Dina memandang Amira penuh penyesalan. “Aku tidak sempat minta ma
“Pelan-pelan,” keluh Michelle saat Amira menarik tangannya kencang. “Emang udah laper banget?” Amira baru melepaskan Michelle saat mereka sampai di kantin. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Ayo cari tempat duduk,” ujar Amira, dengan senyum terpaksa di wajah. Mereka berkeliling kantin sebelum akhirnya menemukan tempat yang cocok. Ada satu meja besar–yang cukup untuk mereka semua, tepat di sudut kantin Laveire. “Kak Amira, seneng bisa ketemu Kakak lagi!” Dika tak mau membuang kesempatan untuk berbincang dengan Amira. Dia langsung menyapa di detik pertama mereka duduk. Terlihat jelas jika Raga memberikan tatapan sinis pada sapaan Dika. Dia merasa terancam. Tangan Raga bergerak meraih tangan Amira mendekat, menunjukkan kepemilikannya. “Iya,” sahut Amira. “Gue juga enggak nyangka kalian pindah ke sekolah ini.”Lebih tepatnya, Amira tidak mengerti. Apa tujuan Dika dan Dina pindah ke Laveire? “Iya, Kak Dina yang ajak!” Seru Dika jujur. Dia berucap riang d
“Hai,” ucap Amira dengan senyum di wajah. Amira berusaha untuk menepikan sementara rasa tidak suka yang dia miliki. Untuk sementara saja, karena Sonya dan Reynald menatapnya sekarang. “Silakan lanjutkan pelajarannya,” ucap Reynald seraya berpamitan. Sonya mengangguk sopan. Dia mengantar Reynald sampai ke pintu kelas sebelum kembali pada murid-muridnya. “Sampai di mana tadi?” Sonya mencoba mengingat materi yang tengah dia berikan. “Ah ya, soal.”Tangan Sonya meraih kembali spidol di tangan. Kali ini, dia benar-benar menuliskan soal. Saat Sonya sudah sibuk, Raga menyenggol lengan Amira pelan. Tangan Raga menyodorkan buku tulisnya sendiri. Buku yang sudah dia tulis dengan sebuah kalimat untuk Amira. [Lagi kesel?]Amira hanya melengos. Dia tidak membalas, hanya mendorong kembali buku Raga kepada sang pemilik. Raga tidak menyerah. Dia menulis kalimat lain di atas bukunya, lalu mendorong buku itu kembali pada Amira. [Kesel sama cewek itu? Dia siapa? Beneran temen?]Raga ingin menuli
“Anak-anak, duduk di tempat kalian!” Sapaan dari Sonya, membuat siswa kelas XI duduk.Amira menoleh sekilas ke belakang. Dia memastikan teman-teman sekelasnya sudah duduk, sebelum memimpin salam. “Terima kasih, Amira,” ucap Sonya kemudian. “Ibu sebelumnya bingung memilih ketua kelas untuk kelas gabungan baru ini,” aku Sonya, jujur. “Tapi sekarang Ibu bisa lega. Sepertinya Amira yang akan menjadi ketua kelas.”Tatapan Sonya tertuju ke seluruh siswa yang duduk di depannya, memastikan. “Apa ada yang keberatan jika Amira yang menjadi ketua kelas?”Terdengar hening. Tidak ada suara sama sekali. Sepuluh orang yang ada di dalam kelas tidak mengeluarkan suara. Sonya mengangguk kemudian. Dia juga sama tidak keberatannya seperti siswa yang ada di dalam kelas. Sonya sangat setuju. Amira bertanggung jawab dan mampu memimpin kelas dengan baik seperti yang sudah-sudah. “Baiklah. Ibu anggap kalian setuju. Untuk selanjutnya, Amira yang akan menjadi ketua kelas. Lalu ….” Sonya mengangkat daftar ab
“Akhirnya!” Michelle berseru senang. Tangannya menyenggol Amira, sambil menunjuk ke arah panggung yang ada di depan mereka. “Kita masuk sekolah lagi!” Seru Michelle senang. Entah sudah berapa kali gadis itu mengatakannya. Amira bahkan sudah tidak menghitung. Sejak pertama Amira masuk ke wilayah Laveire, dia sudah melihat Michelle, menunggunya di lorong.Michelle langsung mengambil alih Amira yang memang datang ke sekolah bersama Raga. Dia memonopoli Amira sampai mereka duduk di aula. “Ini emang lama begini?” Raga yang sedari tadi sudah menahan diri, akhirnya mengomel juga. “Mau kasih pengumuman apa sih?” Tanya Raga, tidak sabar. Mereka diminta berkumpul di aula sejak tadi, tapi tidak ada yang terjadi. “Enggak tau,” jawab Michelle sambil mengangkat bahu. “Tadi Evan bilang dia juga lagi sibuk siapin pengumuman.”Akhirnya, Raga hanya bisa mengeluh. Apa yang dia lakukan, tak jauh berbeda dengan murid lain yang duduk di aula. Memang tidak ada banyak murid yang kembali masuk ke Lavei
“Kita belum pernah foto bareng!” Amira tertawa. Dia mengikuti langkah Raga, masuk ke dalam kotak photobox bersama. “Padahal kita ketemu hampir setiap hari. Kenapa ya?” Tanya Amira sambil berkedip tak percaya. Raga menyambut dengan senyum lebar. Dia menghampiri mesin photobox dan mulai menekan beberapa tombol. Amira, yang memang tidak pernah menggunakan mesin seperti itu, membiarkan Raga yang mengambil alih. “Di sini,” ucap Raga setelah dia selesai dengan mesinnya. Raga meminta Amira mendekat padanya. Jarinya menunjuk ke arah layar besar di depan mereka. “Liat ke kamera.”Tampilan wajah Amira dan Raga terlihat jelas di depan keduanya. Sekarang, Amira jadi malu sendiri melihat wajah mereka. “Senyum, dong.” Raga menoleh ke arah Amira yang tegang. Raga menggerakkan tangannya, mencubit pipi Amira gemas. “Lo lebih cantik kalau senyum.”Amira sedikit terkejut saat tangan Raga merangkulnya. Dia sampai menoleh, menatap dengan tatapan protes. Timer di mesin menyala. Hitungan mundur dimu
“Kok enggak bangunin gue?” Gerutu Raga, kesal.Dia baru membuka mata saat lampu menyala. Tempat duduk di dalam studio bioskop bahkan hampir kosong. Tersisa tak lebih dari tujuh orang, selain Amira, Raga dan Alex. “Lo pasti capek.” Amira berdiri duluan. Dia mengulurkan tangan, mengajak Raga ikut berdiri. “Lagian filmnya juga enggak seru-seru amat,” kilah Amira. Amira tidak salah. Di matanya, film itu tidak seru, karena dia lebih fokus memandangi Raga. Namun, bagi Raga tidak begitu. Dia berdecak keras, wajahnya menunjukkan kecewa. “Balikin waktu dua jam gue! Ulang!”Amira tertawa. Dia menarik Raga mendekat. “Jangan marah-marah. Masih banyak waktu.”Raga tidak menolak saat Amira mengajaknya masuk ke arcade di dalam mall. Di sana, Raga bisa melihat ada deretan mesin permainan, photobox, bahkan roller coaster kecil yang melintas di atas kepala mereka. “Mau naik itu, enggak?” Ajak Amira sambil menunjuk. Mungkin mereka memang tidak bisa pergi ke taman bermain yang sebenarnya. Amira memp