Amira terkejut. Dia tidak suka keputusan Raga untuk mengantar. Amira bergerak gelisah di kursinya, di dalam mobil Raga yang masih melaju cepat di jalan.
“Enggak!” Amira menggeleng kuat. “Turunin aja gue di sini. Gue bisa pulang sendiri!”
Penolakan yang Amira katakan terdengar aneh di telinga Raga. Kenapa cewek itu mati-matian menolaknya? Padahal ada banyak perempuan yang rela mengantri untuk diantar pulang oleh Raga.
Amira tegas menggeleng. Berulang kali dia mengucapkan tidak. Kedua tangannya memegang handle pintu mobil Raga kuat-kuat.
“Berhenti! Berhenti di sini!”
Raga menyerah dengan teriakan Amira. Dia menuruti Amira dengan meminta supirnya untuk menepi.
“Buka pintunya, Raga!” Mohon Amira.
Tapi kali ini Raga mengatakan tidak. Dia membuat Amira menoleh, menatapnya.
“Kalo lo enggak mau gue anterin, kasih nomor lo.” Raga menyodorkan handphone miliknya. “Gue mau pastiin lo aman sampe di rumah.”
Amira menatap lama sebelum dia menerima handphone milik Raga. Jarinya mengetikkan nomor di layar yang menyala itu.
Raga menerima kembali ponselnya dari Amira. Dia langsung menekan tombol panggil dan menyuruh Amira menjawab panggilan darinya.
Amira mendengus. Tangannya meraih ponsel dari dalam tas. Dia pun menjawab panggilan Raga.
“Jangan tutup teleponnya sampe lo masuk rumah.”
Amira menurut dengan perintah Raga, membuat Raga mengangguk puas. Raga pun meminta supirnya untuk membuka kunci.
Cklik.
Suara kecil yang mampu membuat Amira lega luar biasa. Dia bergegas meraih handle pintu mobil dan membukanya. Amira meloncat turun tanpa ragu.
“Jangan tutup sampe lo nyampe!”
Amira tak menjawab teriakan Raga. Dia cuma mendengus kasar. Saat Raga lengah, Amira mengambil langkah seribu.
“Heh!”
Raga berteriak marah saat dia melihat Amira memutuskan panggilan sepihak. Amira berlari kabur, membiarkan Raga memaki dirinya sampai puas.
Biar saja Raga marah. Amira tak berniat untuk membiarkan Raga tahu lebih banyak tentang dirinya. Dia tak mau lagi terlibat dalam urusan apapun dengan Raga!
***
Di dalam mobil, Raga berdecak kesal. Dia membuat supirnya mendengar kata mutiara indah untuk Amira.
“Baru pertama kali gue ketemu cewek yang bener-bener nyebelin kayak dia!”
Raga menekan tombol panggil berulang kali sampai kesabarannya habis.
“Enggak diangkat!”
Gerutuan Raga terhenti oleh suara mesin yang mati. Sepertinya dia sudah sampai di rumah.
Pintu mobil terbuka. Supir Raga keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya.
“Sudah sampai, Tuan.”
Raga mengangguk. Dia pun melangkah turun dari mobil. Kakinya berjalan masuk ke dalam rumah.
Di depan Raga, ada sebuah rumah mewah dengan tembok bercat putih. Di depan pintunya, ada Gavin, sang ayah, yang sedang berdiri menunggu Raga.
“Ayah sangat kaget mendapat kabar darimu!”
Gavin berlari mendekat. Dia tak bisa sabar menunggu Raga berjalan masuk. Langsung saja Gavin mengecek keadaan putranya.
“Apa kamu terluka? Siapa orang-orang yang mengejarmu?”
Runtutan pertanyaan Gavin hanya dijawab oleh sebuah angkatan bahu dari Raga.
“Enggak tau,” sahut Raga singkat.
Gavin menghela. Dia menyesal karena bertanya. Tentu saja Raga tidak tahu apa-apa.
“Ayah akan mencari tentang orang-orang itu. Yang terpenting sekarang kamu selamat dan baik-baik saja.”
Raga mengangguk santai. Jarinya kemudian menunjuk ke arah tangga yang menuju ke lantai dua, tempat kamarnya berada.
“Boleh istirahat dulu, Yah? Raga capek.”
Berlarian pastinya menguras tenaga. Selain itu Raga juga sedang malas menjawab pertanyaan Gavin yang tentunya akan sangat banyak.
“Tentu. Kamu pasti lelah. Hari ini ayah akan mengurus orang-orang itu. Ayah pastikan besok kamu bisa berangkat ke sekolah dengan tenang.”
Gavin terdiam sebentar. Tiba-tiba saja dia mendapatkan sebuah ide bagus yang melintas.
“Atau kamu mau pindah ke sekolah lain? Sepertinya sekolah barumu tidak memiliki sistem keamanan yang cukup.”
Benak Gavin mulai memilah nama-nama sekolah yang mungkin akan mereka pilih. Masih ada lusinan yang pasti lebih baik dari Laveire.
“Enggak!” Seru Raga. Dia menggeleng keras. “Enggak perlu pindah.”
Gavin sedikit terkejut dengan penolakan Raga. Putranya itu terlihat sangat tidak menyukai ide yang dia berikan.
“Kejadiannya juga di luar sekolah! Itu juga bukan salah sistem keamanan,” tukas Raga. “Lagipula, sekolahnya menyenangkan ….”
Gavin memandang Raga heran. Putranya itu sedang mengulas senyum yang sangat lebar sekarang, entah untuk apa.
Keesokan harinya sebelum bel berbunyi, kelas XI-A di Laveire masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang mengobrol atau sekedar bermain handphone di kursi mereka masing-masing. Diantara beberapa siswa itu, ada Raga. Raga sengaja datang lebih awal hari ini. Dia menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Amira. “Hai!” Raga menyapa Amira di kursinya.Amira terkejut mendapat sapaan pagi dari Raga. Dia sempat memicing sesaat untuk kemudian menoleh ke belakang. Siapa tahu sapaan itu bukan untuk Amira, tapi untuk orang lain. “Gue ngomong sama elo. Emang siapa lagi?” Raga jadi kesal sendiri. Belum-belum Raga sudah naik darah. Dia sudah cukup diabaikan oleh Amira. Semua panggilan juga pesan singkat yang dikirim Raga sejak kemarin tidak berbalas sama sekali. Sampai seperti itu Amira menghindar darinya. “Itu kuping masih ada, kan?” Sindir Raga. Padahal Raga sudah menurunkan sedikit kadar egonya untuk menyapa Amira duluan. Tapi cewek itu malah tidak menggubrisnya sama sekali. “Ada,”
Saat kembali ke kelas XI-A, Amira melirik ke sudut ruangan. Di tempat duduknya, Raga tampak kesal dengan bibir berkerut sempurna. Amira melangkah masuk. Dia berjalan ke tempat duduknya santai. Amira pura-pura tidak melihat wajah Raga yang cemberut. Dia cuek saja mendengar Raga yang menggerutu di sampingnya. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Amira memang sengaja datang bersamaan dengan guru yang masuk ke kelas. “Buka buku kalian!” Guru di depan kelas memberi perintah. Perintah yang menjadi bencana untuk Amira.“Liat, dong! Gue kan belum punya buku!” Nah, ini bencananya. Raga.Raga si murid baru yang belum punya buku. Raga ingin Amira berbagi. Dia dengan sengaja mendekat, membuat kursinya dengan kursi Amira tidak berjarak. Raga memepet Amira, membuat Amira jadi keki sendiri. Andai tidak ada guru di depan sana, dia ingin menempeleng Raga. Puas sekali Raga saat mendengar Amira berdecak kesal. Dia berbohong dengan mengatakan kalau dirinya tidak punya buku. Dia cuma ingin Amira tidak men
“Nama gue, Raga Kendrick Wijaya. Panggil aja Raga!"Kelas XI-A kedatangan murid baru. Namanya Raga. Dia pindahan dari Bellva School. Suasana di dalam kelas mendadak ricuh. Sepertinya, Raga berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni kelas, terkecuali seorang siswi yang duduk di samping jendela baris pertama, tepat di depan meja guru. Siswi itu bernama Amira Putri. Dia adalah murid beasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas. “OMG! Dia ganteng banget!”"Mukanya cute kayak oppa-oppa Korea!"Astaga! Bibirnya tebal dan sangat seksi!”"Dia tinggi. Raga pantes jadi kapten basket sekolah!"Amira mendengar celoteh kekaguman dari beberapa siswi. Mungkin saja, Raga akan menjadi siswa terganteng di sekolahnya, Laveire.Sebenarnya, Amira pun mengakui. Semua orang bersemangat menyambut Raga, kecuali dia sendiri. “Raga, kamu duduk di samping Amira, ya!"Sayangnya, takdir suka bercanda. Amira tidak tertarik pada Raga, tapi cowok itu justru duduk di sampingnya. “Ibu harap, kamu bisa bantu Raga ya
"Gue enggak punya musuh.” Raga berucap sinis. “Tapi lo bisa jadi salah satunya kalau mau.”Amira menggeleng. “Enggak, makasih.” Dia memilih untuk kembali pada tugas matematikanya. Amira berusaha berkonsentrasi di kursinya sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama.“Gue enggak mungkin salah,” gumam Amira pelan. “Gue enggak pernah salah.”Selama dua tahun, apa yang Amira lihat hanya kenyataan. Tidak pernah ada pengecualian.Amira memang bisa melihat masa depan. Entah itu adalah anugerah atau kutukan. Semua berawal saat Amira kehilangan sang nenek, Ida, di usianya yang ke-16. “Nenek ….” Amira menangis pilu. “Kenapa nenek meninggalkan Amira juga? Ayah dan ibu sudah tidak ada. Nenek juga pergi. Amira sama siapa sekarang?”Sebuah kecelakaan membuat Amira menjadi yatim piatu. Amira pun tinggal bersama dengan sang nenek. Tapi sekarang Ida meninggalkannya juga. “Kenapa kalian pergi? Bawa aku juga …. Aku mau ikut bersama kalian ….” Ya, Amira pernah merasa ingin mati saja. Dia tidak peduli dengan
Raga membiarkan Amira menariknya. Mereka berlari tanpa arah sebelum akhirnya Amira melihat sebuah jalan kecil.“Lewat sini!” Amira berteriak sambil menunjuk ke sisi kiri. Dia menyempatkan diri menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati jika mobil hitam yang mengejar mereka semakin dekat. Mobil itu telah berhenti sempurna di jalan. Lima orang berpakaian hitam lengkap turun dari mobil dan mulai mengejar.“Cepat!” pekik Amira. Dia membuat kedua kakinya melaju lebih kencang. Raga menoleh ke belakang. Kali ini ia melihat dengan kedua matanya sendiri jika nemang ada gerombolan yang mengejar mereka. “Sembunyi!” Raga tidak ragu lagi setelah melihat bukti. Kali ini dia yang menarik Amira.Amira tidak protes saat Raga memimpin dan menariknya melewati jalan kecil berkelok. Dia tahu jika Raga sedang mencoba untuk membuat mereka terbebas dari pengejaran. “Naik!” Perintah Raga membuat Amira melotot. Amira menatap pagar di depannya. Tidak tinggi tapi cukup untuk membuatnya meloncat. Masalahnya
Saat ini, Raga dan Amira sedang duduk di kursi belakang. Keduanya ada di dalam mobil Raga yang tengah melaju di jalan. Suasana hening beberapa detik sebelum akhirnya Amira membuka mulut. “Enggak punya musuh kepala lo!” Cemooh Amira. “Tadi semuanya ngejar kita!”Raga menanggapi Amira santai. Dia bersandar di kursi mobil nyaman, memandang Amira dengan tatapan datar. “Ya mana gue tau. Gue nggak kenal mereka siapa,” jawab Raga jujur. Raga meraih handphone dari saku. Tangannya mengangkat benda itu tinggi, menunjukkan layar yang menyala di depan Amira. “Ini gue baru mau bilang ke bokap gue. Biar dia yang urus. Tapi ….”Ucapan Raga terhenti sesaat. Wajahnya kini menoleh ke Amira, menatap penuh curiga. “Lo sendiri gimana bisa tau kalau ada yang ngejar gue?”Amira mengalihkan pandang, menghindar dari tatapan menyudutkan Raga. Tapi tetap saja, Amira tidak bisa lepas dari cowok itu. “Kok lo bisa tau? Gue penasaran.”Raga terus membuat Amira terdesak. Amira jadi menyesal. Berada di dalam sa