Share

Bab 5. Diantar Pulang

Amira terkejut. Dia tidak suka keputusan Raga untuk mengantar. Amira bergerak gelisah di kursinya, di dalam mobil Raga yang masih melaju cepat di jalan.

“Enggak!” Amira menggeleng kuat. “Turunin aja gue di sini. Gue bisa pulang sendiri!”

Penolakan yang Amira katakan terdengar aneh di telinga Raga. Kenapa cewek itu mati-matian menolaknya? Padahal ada banyak perempuan yang rela mengantri untuk diantar pulang oleh Raga. 

Amira tegas menggeleng. Berulang kali dia mengucapkan tidak. Kedua tangannya memegang handle pintu mobil Raga kuat-kuat. 

“Berhenti! Berhenti di sini!”

Raga menyerah dengan teriakan Amira. Dia menuruti Amira dengan meminta supirnya untuk menepi.

“Buka pintunya, Raga!” Mohon Amira.

Tapi kali ini Raga mengatakan tidak. Dia membuat Amira menoleh, menatapnya.

“Kalo lo enggak mau gue anterin, kasih nomor lo.” Raga menyodorkan handphone miliknya. “Gue mau pastiin lo aman sampe di rumah.”

Amira menatap lama sebelum dia menerima handphone milik Raga. Jarinya mengetikkan nomor di layar yang menyala itu. 

Raga menerima kembali ponselnya dari Amira. Dia langsung menekan tombol panggil dan menyuruh Amira menjawab panggilan darinya. 

Amira mendengus. Tangannya meraih ponsel dari dalam tas. Dia pun menjawab panggilan Raga.

“Jangan tutup teleponnya sampe lo masuk rumah.”

Amira menurut dengan perintah Raga, membuat Raga mengangguk puas. Raga pun meminta supirnya untuk membuka kunci. 

Cklik.

Suara kecil yang mampu membuat Amira lega luar biasa. Dia bergegas meraih handle pintu mobil dan membukanya. Amira meloncat turun tanpa ragu. 

“Jangan tutup sampe lo nyampe!”

Amira tak menjawab teriakan Raga. Dia cuma mendengus kasar. Saat Raga lengah, Amira mengambil langkah seribu. 

“Heh!” 

Raga berteriak marah saat dia melihat Amira memutuskan panggilan sepihak. Amira berlari kabur, membiarkan Raga memaki dirinya sampai puas. 

Biar saja Raga marah. Amira tak berniat untuk membiarkan Raga tahu lebih banyak tentang dirinya. Dia tak mau lagi terlibat dalam urusan apapun dengan Raga!

*** 

Di dalam mobil, Raga berdecak kesal. Dia membuat supirnya mendengar kata mutiara indah untuk Amira. 

“Baru pertama kali gue ketemu cewek yang bener-bener nyebelin kayak dia!”

Raga menekan tombol panggil berulang kali sampai kesabarannya habis.

“Enggak diangkat!” 

Gerutuan Raga terhenti oleh suara mesin yang mati. Sepertinya dia sudah sampai di rumah. 

Pintu mobil terbuka. Supir Raga keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya. 

“Sudah sampai, Tuan.” 

Raga mengangguk. Dia pun melangkah turun dari mobil. Kakinya berjalan masuk ke dalam rumah. 

Di depan Raga, ada sebuah rumah mewah dengan tembok bercat putih. Di depan pintunya, ada Gavin, sang ayah, yang sedang berdiri menunggu Raga.

“Ayah sangat kaget mendapat kabar darimu!”

Gavin berlari mendekat. Dia tak bisa sabar menunggu Raga berjalan masuk. Langsung saja Gavin mengecek keadaan putranya. 

“Apa kamu terluka? Siapa orang-orang yang mengejarmu?”

Runtutan pertanyaan Gavin hanya dijawab oleh sebuah angkatan bahu dari Raga. 

“Enggak tau,” sahut Raga singkat. 

Gavin menghela. Dia menyesal karena bertanya. Tentu saja Raga tidak tahu apa-apa. 

“Ayah akan mencari tentang orang-orang itu. Yang terpenting sekarang kamu selamat dan baik-baik saja.”

Raga mengangguk santai. Jarinya kemudian menunjuk ke arah tangga yang menuju ke lantai dua, tempat kamarnya berada. 

“Boleh istirahat dulu, Yah? Raga capek.” 

Berlarian pastinya menguras tenaga. Selain itu Raga juga sedang malas menjawab pertanyaan Gavin yang tentunya akan sangat banyak. 

“Tentu. Kamu pasti lelah. Hari ini ayah akan mengurus orang-orang itu. Ayah pastikan besok kamu bisa berangkat ke sekolah dengan tenang.”

Gavin terdiam sebentar. Tiba-tiba saja dia mendapatkan sebuah ide bagus yang melintas. 

“Atau kamu mau pindah ke sekolah lain? Sepertinya sekolah barumu tidak memiliki sistem keamanan yang cukup.”

Benak Gavin mulai memilah nama-nama sekolah yang mungkin akan mereka pilih. Masih ada lusinan yang pasti lebih baik dari Laveire. 

“Enggak!” Seru Raga. Dia menggeleng keras. “Enggak perlu pindah.”

Gavin sedikit terkejut dengan penolakan Raga. Putranya itu terlihat sangat tidak menyukai ide yang dia berikan.

“Kejadiannya juga di luar sekolah! Itu juga bukan salah sistem keamanan,” tukas Raga. “Lagipula, sekolahnya menyenangkan ….” 

Gavin memandang Raga heran. Putranya itu sedang mengulas senyum yang sangat lebar sekarang, entah untuk apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status