Keesokan harinya sebelum bel berbunyi, kelas XI-A di Laveire masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang mengobrol atau sekedar bermain handphone di kursi mereka masing-masing.
Diantara beberapa siswa itu, ada Raga. Raga sengaja datang lebih awal hari ini. Dia menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Amira.
“Hai!” Raga menyapa Amira di kursinya.
Amira terkejut mendapat sapaan pagi dari Raga. Dia sempat memicing sesaat untuk kemudian menoleh ke belakang. Siapa tahu sapaan itu bukan untuk Amira, tapi untuk orang lain.
“Gue ngomong sama elo. Emang siapa lagi?” Raga jadi kesal sendiri.
Belum-belum Raga sudah naik darah. Dia sudah cukup diabaikan oleh Amira.
Semua panggilan juga pesan singkat yang dikirim Raga sejak kemarin tidak berbalas sama sekali. Sampai seperti itu Amira menghindar darinya.
“Itu kuping masih ada, kan?” Sindir Raga.
Padahal Raga sudah menurunkan sedikit kadar egonya untuk menyapa Amira duluan. Tapi cewek itu malah tidak menggubrisnya sama sekali.
“Ada,” jawab Amira akhirnya. “Mau apa?” Dia bertanya tanpa tertarik.
Amira masih belum menoleh dan malah sibuk mengeluarkan buku dari dalam tas, membuat Raga semakin kesal karena diabaikan.
“Muka gue di sini!” ketus Raga. Dia menutup paksa buku Amira.
Raga sampai repot-repot berdiri dari kursinya. Dia menunjukkan wajahnya dengan jelas di depan Amira. Aneh sekali. Biasanya cewek-cewek berebut ingin memandangnya, tapi yang satu ini malah enggan.
“Mau ngapain?”
Amira malah berdecak saat Raga menyodorkan wajah tampannya.
“Butuh apaan?” gerutu Amira kesal.
Amira sampai mengumpat dalam hati. Tidakkah Raga sadar kalau Amira sengaja menjauh?
“Perhatian,” jawab Raga singkat.
Amira langsung melotot. Jawaban ambigu dari Raga sukses membuat Amira mendapatkan tatapan cemburu dari semua siswi yang ada di kelas.
“Jangan ngomong sembarangan!” tukas Amira. Dia tidak mau ada salah paham.
Hidup Amira sudah sempurna sekarang. Dia ketua kelas. Hubungannya dengan guru baik, dan dia tidak punya masalah dengan teman kelasnya yang lain. Amira tidak mau Raga merusak itu semua.
“Emang bener,” sahut Raga dengan nada yang tak kalah tinggi. “Gue butuh perhatian lo. Gue mau tanya.”
Seorang Raga tidak peduli dengan tujuan hidup Amira, juga kedamaian yang gadis itu inginkan. Yang dia inginkan hanya jawaban.
“Tapi gue males jawab.” Amira melengos.
Amira dengan jelas menunjukkan wajah malasnya. Dia ingin agar Raga paham kalau dirinya sedang tak ingin diganggu.
“Gue sibuk. Belum ngerjain PR,” kilah Amira, memberikan alasan.
Tapi Raga bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Cowok itu malah dengan santainya memberikan ancaman.
“Gue bilang ke guru kalo elo enggak bantuin gue.”
Amira terkejut bukan main. Dia tidak percaya Raga menggunakan kata guru untuk menyudutkan dirinya.
“Dasar!” Amira bersungut kesal. “Cepu!”
Raga si pengadu. Cowok itu sungguh kurang ajar karena berani membawa kata keramat itu.
Amira jadi tidak bisa berkutik sama sekali. Sebagai seorang murid beasiswa, kata yang tidak bisa diabaikan Amira adalah kata guru dan ujian.
“Emang mau nanya apaan?” Bentak Amira sewot.
Amira terpaksa balas menatap Raga. Dia memberikan semua perhatian seperti yang cowok itu inginkan.
Raga mengangguk puas. Dia duduk kembali di kursinya, mulai berucap tentang apa yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman.
“Darimana lo bisa tau tentang orang-orang yang kemarin? Lo mata-mata?” tanya Raga penasaran.
Raga memang sudah memikirkan berbagai kemungkinan. Jawaban ini yang paling masuk akal.
“Bukan,” sahut Amira tegas. “Gue cuma kebetulan tau.”
Jawaban Amira sama saja dengan kemarin. Kebetulan, kebetulan terus! Memangnya masuk akal?
“Siapa bos lo?”
Raga masih keras kepala. Dia jelas menganggap Amira yang menjadi mata-mata lebih masuk logika daripada sekedar kebetulan.
“Tuhan!” sungut Amira.
Amira sudah jujur. Tuhan yang memberikan Amira kelebihan ini. Tapi Raga tidak puas dengan jawaban Amira. Dia terus bertanya sampai telinga Amira berdengung.
Tidak tahan, Amira beranjak dari kursinya. Dia berdiri, bergegas keluar kelas.
“Mau kemana?”
Raga ikut beranjak dari kursi. Dia mengekor langkah Amira. Raga hanya membuat jarak satu langkah dengan Amira yang berjalan di depannya.
“Kenapa ngikutin?” pekik Amira kesal. “Mau ngapain?”
Sengaja Amira mempercepat langkah. Tapi dia tidak bisa lepas dari Raga yang memiliki kaki-kaki panjang. Rasanya satu langkah Raga setara dengan dua langkah Amira.
“Gue masih mau tanya,” jawab Raga santai.
Raga berjalan di samping Amira. Tidak membiarkan Amira lolos.
“Tadi kan udah!” Amira berteriak marah. “Sana! Gue sibuk!”
Tangan Amira mengusir Raga menjauh. Tapi cowok itu terus saja mengikuti Amira dengan keras kepala. Mereka sekarang malah sudah menjadi tontonan di lorong sekolah karena seperti sedang bermain kejar-kejaran.
“Amira!”
Teriakan Raga membuat Amira mempercepat langkah. Tapi Raga malah berlari mengejar untuk mendahului. Sekarang cowok itu berdiri tepat di depan Amira.
“Jawab pertanyaan gue! Kalo enggak, gue bakal terus ikutin lo sampe lo jawab!”
Raga tidak keberatan mengikuti Amira terus. Dia bisa meladeni Amira main kejar-kejaran sampai Amira puas.
“Ikutin aja,” ejek Amira sengit.
Amira meninggikan dagu sombong. Dia sengaja membuat wajah menyebalkan.
“Kalau berani, ayo ikutin. Masuk sini!” Tantang Amira.
Raga melotot mendapati Amira yang menutup pintu di depannya. Dia jelas tidak bisa masuk. Itu toilet perempuan!
Saat kembali ke kelas XI-A, Amira melirik ke sudut ruangan. Di tempat duduknya, Raga tampak kesal dengan bibir berkerut sempurna. Amira melangkah masuk. Dia berjalan ke tempat duduknya santai. Amira pura-pura tidak melihat wajah Raga yang cemberut. Dia cuek saja mendengar Raga yang menggerutu di sampingnya. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Amira memang sengaja datang bersamaan dengan guru yang masuk ke kelas. “Buka buku kalian!” Guru di depan kelas memberi perintah. Perintah yang menjadi bencana untuk Amira.“Liat, dong! Gue kan belum punya buku!” Nah, ini bencananya. Raga.Raga si murid baru yang belum punya buku. Raga ingin Amira berbagi. Dia dengan sengaja mendekat, membuat kursinya dengan kursi Amira tidak berjarak. Raga memepet Amira, membuat Amira jadi keki sendiri. Andai tidak ada guru di depan sana, dia ingin menempeleng Raga. Puas sekali Raga saat mendengar Amira berdecak kesal. Dia berbohong dengan mengatakan kalau dirinya tidak punya buku. Dia cuma ingin Amira tidak men
“Nama gue, Raga Kendrick Wijaya. Panggil aja Raga!"Kelas XI-A kedatangan murid baru. Namanya Raga. Dia pindahan dari Bellva School. Suasana di dalam kelas mendadak ricuh. Sepertinya, Raga berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni kelas, terkecuali seorang siswi yang duduk di samping jendela baris pertama, tepat di depan meja guru. Siswi itu bernama Amira Putri. Dia adalah murid beasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas. “OMG! Dia ganteng banget!”"Mukanya cute kayak oppa-oppa Korea!"Astaga! Bibirnya tebal dan sangat seksi!”"Dia tinggi. Raga pantes jadi kapten basket sekolah!"Amira mendengar celoteh kekaguman dari beberapa siswi. Mungkin saja, Raga akan menjadi siswa terganteng di sekolahnya, Laveire.Sebenarnya, Amira pun mengakui. Semua orang bersemangat menyambut Raga, kecuali dia sendiri. “Raga, kamu duduk di samping Amira, ya!"Sayangnya, takdir suka bercanda. Amira tidak tertarik pada Raga, tapi cowok itu justru duduk di sampingnya. “Ibu harap, kamu bisa bantu Raga ya
"Gue enggak punya musuh.” Raga berucap sinis. “Tapi lo bisa jadi salah satunya kalau mau.”Amira menggeleng. “Enggak, makasih.” Dia memilih untuk kembali pada tugas matematikanya. Amira berusaha berkonsentrasi di kursinya sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama.“Gue enggak mungkin salah,” gumam Amira pelan. “Gue enggak pernah salah.”Selama dua tahun, apa yang Amira lihat hanya kenyataan. Tidak pernah ada pengecualian.Amira memang bisa melihat masa depan. Entah itu adalah anugerah atau kutukan. Semua berawal saat Amira kehilangan sang nenek, Ida, di usianya yang ke-16. “Nenek ….” Amira menangis pilu. “Kenapa nenek meninggalkan Amira juga? Ayah dan ibu sudah tidak ada. Nenek juga pergi. Amira sama siapa sekarang?”Sebuah kecelakaan membuat Amira menjadi yatim piatu. Amira pun tinggal bersama dengan sang nenek. Tapi sekarang Ida meninggalkannya juga. “Kenapa kalian pergi? Bawa aku juga …. Aku mau ikut bersama kalian ….” Ya, Amira pernah merasa ingin mati saja. Dia tidak peduli dengan
Raga membiarkan Amira menariknya. Mereka berlari tanpa arah sebelum akhirnya Amira melihat sebuah jalan kecil.“Lewat sini!” Amira berteriak sambil menunjuk ke sisi kiri. Dia menyempatkan diri menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati jika mobil hitam yang mengejar mereka semakin dekat. Mobil itu telah berhenti sempurna di jalan. Lima orang berpakaian hitam lengkap turun dari mobil dan mulai mengejar.“Cepat!” pekik Amira. Dia membuat kedua kakinya melaju lebih kencang. Raga menoleh ke belakang. Kali ini ia melihat dengan kedua matanya sendiri jika nemang ada gerombolan yang mengejar mereka. “Sembunyi!” Raga tidak ragu lagi setelah melihat bukti. Kali ini dia yang menarik Amira.Amira tidak protes saat Raga memimpin dan menariknya melewati jalan kecil berkelok. Dia tahu jika Raga sedang mencoba untuk membuat mereka terbebas dari pengejaran. “Naik!” Perintah Raga membuat Amira melotot. Amira menatap pagar di depannya. Tidak tinggi tapi cukup untuk membuatnya meloncat. Masalahnya
Saat ini, Raga dan Amira sedang duduk di kursi belakang. Keduanya ada di dalam mobil Raga yang tengah melaju di jalan. Suasana hening beberapa detik sebelum akhirnya Amira membuka mulut. “Enggak punya musuh kepala lo!” Cemooh Amira. “Tadi semuanya ngejar kita!”Raga menanggapi Amira santai. Dia bersandar di kursi mobil nyaman, memandang Amira dengan tatapan datar. “Ya mana gue tau. Gue nggak kenal mereka siapa,” jawab Raga jujur. Raga meraih handphone dari saku. Tangannya mengangkat benda itu tinggi, menunjukkan layar yang menyala di depan Amira. “Ini gue baru mau bilang ke bokap gue. Biar dia yang urus. Tapi ….”Ucapan Raga terhenti sesaat. Wajahnya kini menoleh ke Amira, menatap penuh curiga. “Lo sendiri gimana bisa tau kalau ada yang ngejar gue?”Amira mengalihkan pandang, menghindar dari tatapan menyudutkan Raga. Tapi tetap saja, Amira tidak bisa lepas dari cowok itu. “Kok lo bisa tau? Gue penasaran.”Raga terus membuat Amira terdesak. Amira jadi menyesal. Berada di dalam sa
Amira terkejut. Dia tidak suka keputusan Raga untuk mengantar. Amira bergerak gelisah di kursinya, di dalam mobil Raga yang masih melaju cepat di jalan.“Enggak!” Amira menggeleng kuat. “Turunin aja gue di sini. Gue bisa pulang sendiri!”Penolakan yang Amira katakan terdengar aneh di telinga Raga. Kenapa cewek itu mati-matian menolaknya? Padahal ada banyak perempuan yang rela mengantri untuk diantar pulang oleh Raga. Amira tegas menggeleng. Berulang kali dia mengucapkan tidak. Kedua tangannya memegang handle pintu mobil Raga kuat-kuat. “Berhenti! Berhenti di sini!”Raga menyerah dengan teriakan Amira. Dia menuruti Amira dengan meminta supirnya untuk menepi.“Buka pintunya, Raga!” Mohon Amira.Tapi kali ini Raga mengatakan tidak. Dia membuat Amira menoleh, menatapnya.“Kalo lo enggak mau gue anterin, kasih nomor lo.” Raga menyodorkan handphone miliknya. “Gue mau pastiin lo aman sampe di rumah.”Amira menatap lama sebelum dia menerima handphone milik Raga. Jarinya mengetikkan nomor di