Home / Fiksi Remaja / Ratu Indigo VS Bad Boy / Bab 6. Mencari Petunjuk

Share

Bab 6. Mencari Petunjuk

Keesokan harinya sebelum bel berbunyi, kelas XI-A di Laveire masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang mengobrol atau sekedar bermain handphone di kursi mereka masing-masing. 

Diantara beberapa siswa itu, ada Raga. Raga sengaja datang lebih awal hari ini. Dia menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Amira. 

“Hai!” Raga menyapa Amira di kursinya.

Amira terkejut mendapat sapaan pagi dari Raga. Dia sempat memicing sesaat untuk kemudian menoleh ke belakang. Siapa tahu sapaan itu bukan untuk Amira, tapi untuk orang lain. 

“Gue ngomong sama elo. Emang siapa lagi?” Raga jadi kesal sendiri. 

Belum-belum Raga sudah naik darah. Dia sudah cukup diabaikan oleh Amira. 

Semua panggilan juga pesan singkat yang dikirim Raga sejak kemarin tidak berbalas sama sekali. Sampai seperti itu Amira menghindar darinya. 

“Itu kuping masih ada, kan?” Sindir Raga. 

Padahal Raga sudah menurunkan sedikit kadar egonya untuk menyapa Amira duluan. Tapi cewek itu malah tidak menggubrisnya sama sekali. 

“Ada,” jawab Amira akhirnya. “Mau apa?” Dia bertanya tanpa tertarik. 

Amira masih belum menoleh dan malah sibuk mengeluarkan buku dari dalam tas, membuat Raga semakin kesal karena diabaikan. 

“Muka gue di sini!” ketus Raga. Dia menutup paksa buku Amira.

Raga sampai repot-repot berdiri dari kursinya. Dia menunjukkan wajahnya dengan jelas di depan Amira. Aneh sekali. Biasanya cewek-cewek berebut ingin memandangnya, tapi yang satu ini malah enggan. 

“Mau ngapain?” 

Amira malah berdecak saat Raga menyodorkan wajah tampannya. 

“Butuh apaan?” gerutu Amira kesal. 

Amira sampai mengumpat dalam hati. Tidakkah Raga sadar kalau Amira sengaja menjauh?

“Perhatian,” jawab Raga singkat. 

Amira langsung melotot. Jawaban ambigu dari Raga sukses membuat Amira mendapatkan tatapan cemburu dari semua siswi yang ada di kelas. 

“Jangan ngomong sembarangan!” tukas Amira. Dia tidak mau ada salah paham. 

Hidup Amira sudah sempurna sekarang. Dia ketua kelas. Hubungannya dengan guru baik, dan dia tidak punya masalah dengan teman kelasnya yang lain. Amira tidak mau Raga merusak itu semua. 

“Emang bener,” sahut Raga dengan nada yang tak kalah tinggi. “Gue butuh perhatian lo. Gue mau tanya.”

Seorang Raga tidak peduli dengan tujuan hidup Amira, juga kedamaian yang gadis itu inginkan. Yang dia inginkan hanya jawaban.

“Tapi gue males jawab.” Amira melengos.

Amira dengan jelas menunjukkan wajah malasnya. Dia ingin agar Raga paham kalau dirinya sedang tak ingin diganggu.

“Gue sibuk. Belum ngerjain PR,” kilah Amira, memberikan alasan. 

Tapi Raga bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Cowok itu malah dengan santainya memberikan ancaman.

“Gue bilang ke guru kalo elo enggak bantuin gue.”

Amira terkejut bukan main. Dia tidak percaya Raga menggunakan kata guru untuk menyudutkan dirinya. 

“Dasar!” Amira bersungut kesal. “Cepu!”

Raga si pengadu. Cowok itu sungguh kurang ajar karena berani membawa kata keramat itu. 

Amira jadi tidak bisa berkutik sama sekali. Sebagai seorang murid beasiswa, kata yang tidak bisa diabaikan Amira adalah kata guru dan ujian.  

“Emang mau nanya apaan?” Bentak Amira sewot. 

Amira terpaksa balas menatap Raga. Dia memberikan semua perhatian seperti yang cowok itu inginkan. 

Raga mengangguk puas. Dia duduk kembali di kursinya, mulai berucap tentang apa yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. 

“Darimana lo bisa tau tentang orang-orang yang kemarin? Lo mata-mata?” tanya Raga penasaran.

Raga memang sudah memikirkan berbagai kemungkinan. Jawaban ini yang paling masuk akal. 

“Bukan,” sahut Amira tegas. “Gue cuma kebetulan tau.” 

Jawaban Amira sama saja dengan kemarin. Kebetulan, kebetulan terus! Memangnya masuk akal?

“Siapa bos lo?” 

Raga masih keras kepala. Dia jelas menganggap Amira yang menjadi mata-mata lebih masuk logika daripada sekedar kebetulan. 

“Tuhan!” sungut Amira. 

Amira sudah jujur. Tuhan yang memberikan Amira kelebihan ini. Tapi Raga tidak puas dengan jawaban Amira. Dia terus bertanya sampai telinga Amira berdengung. 

Tidak tahan, Amira beranjak dari kursinya. Dia berdiri, bergegas keluar kelas. 

“Mau kemana?”

Raga ikut beranjak dari kursi. Dia mengekor langkah Amira. Raga hanya membuat jarak satu langkah dengan Amira yang berjalan di depannya. 

“Kenapa ngikutin?” pekik Amira kesal. “Mau ngapain?”

Sengaja Amira mempercepat langkah. Tapi dia tidak bisa lepas dari Raga yang memiliki kaki-kaki panjang. Rasanya satu langkah Raga setara dengan dua langkah Amira. 

“Gue masih mau tanya,” jawab Raga santai. 

Raga berjalan di samping Amira. Tidak membiarkan Amira lolos. 

“Tadi kan udah!” Amira berteriak marah. “Sana! Gue sibuk!” 

Tangan Amira mengusir Raga menjauh. Tapi cowok itu terus saja mengikuti Amira dengan keras kepala. Mereka sekarang malah sudah menjadi tontonan di lorong sekolah karena seperti sedang bermain kejar-kejaran. 

“Amira!” 

Teriakan Raga membuat Amira mempercepat langkah. Tapi Raga malah berlari mengejar untuk mendahului. Sekarang cowok itu berdiri tepat di depan Amira. 

“Jawab pertanyaan gue! Kalo enggak, gue bakal terus ikutin lo sampe lo jawab!”

Raga tidak keberatan mengikuti Amira terus. Dia bisa meladeni Amira main kejar-kejaran sampai Amira puas. 

“Ikutin aja,” ejek Amira sengit. 

Amira meninggikan dagu sombong. Dia sengaja membuat wajah menyebalkan. 

“Kalau berani, ayo ikutin. Masuk sini!” Tantang Amira. 

Raga melotot mendapati Amira yang menutup pintu di depannya. Dia jelas tidak bisa masuk. Itu toilet perempuan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status