Raga sudah menunggu di depan gang rumah Amira seperti biasa. Dia meneror gadis itu dengan pesan singkat dan panggilan, menyuruh Amira datang secepatnya. “Lama!” Gerutu Raga saat pintu mobil terbuka. Terlihat Amira yang mengusap peluh karena lelah berlari. Dia gegas masuk ke dalam mobil, sebelum Raga mengomel lebih banyak. “Salah lo! Ini masih pagi banget!” Amira memaki kesal. Raga memang melakukan hal yang tidak masuk akal, menjemput terlalu pagi. Kalau mereka berangkat sekarang, mereka akan sampai di sekolah satu jam sebelum bel masuk. “Emang mau ngapain ke sekolah buru-buru? Ada apaan?” Pertanyaan Amira tidak bisa dijawab oleh Raga. Sebenarnya, dia bukan ingin datang ke sekolah buru-buru, tapi dia mau segera bertemu dengan Amira. “Enggak ada apa-apa. Gue cuma mau cepet sampe sekolah, biar enggak telat.” Amira memicing sinis. Dia tidak percaya dengan jawaban konyol Raga. “Kita enggak bakal telat, Raga. Kita mungkin bakal jadi yang pertama dateng.” Wajah Raga berubah can
Michelle menunggu di depan pintu kelas XI-A seperti biasa. Bel istirahat sudah berbunyi sejak tadi, harusnya Amira sudah keluar. “Kenapa lama?” Michelle mengintip ke dalam kelas Amira. Lewat jendela, Michelle bisa melihat Amira yang sedang sibuk di depan meja guru. Amira sedang menumpuk buku tugas, berniat membawanya. “Amira!” Panggil Michelle riang. Dengan senyum lebar, Michelle langsung menghampiri dan berdiri di depan Amira. “Mau ke ruang guru? Sini gue bantuin.” Tangan Michelle hendak meraih sebagian buku yang Amira bawa, tapi Raga langsung mengambil alih semuanya. “Eh?” Michelle menatap Raga bingung. Dia tidak sadar jika Raga sudah ada bersama mereka. “Hai, Raga,” sapa Michelle sopan. Namun, Raga sama sekali tidak balas menyapa, atau bahkan bicara. “Kemaren gimana?” Tanya Amira mengalihkan pembicaraan. Amira kasihan pada Michelle yang diabaikan Raga, tapi dia juga tahu betapa sulitnya untuk membuat Raga bersikap baik. Apalagi pada perempuan. “Aman sampe rumah
Amira ikut menoleh. Dia memeriksa keadaan di sekitar lorong perpustakaan, memastikan jika benar sepi. “Perjanjian seperti apa yang Bapak tawarkan?” Tanya Amira penasaran. Sebenarnya, Amira sendiri tidak masalah dengan perjanjian apapun. Dia tetap akan mendapatkan keuntungan. Reynald saja yang terlalu panik jika Amira akan membeberkan hubungan rahasianya. Padahal Amira hanya tahu secuil tentang hal itu. “Saya bisa memberikan berapapun nilai yang kamu mau, asalkan kamu tutup mulut.” Amira mendengus. Itu sama sekali tidak menarik untuknya. “Tapi nilai saya sudah bagus di mata pelajaran Bapak,” ucap Amira datar. Amira memang tidak sebodoh itu, apalagi sekarang dia tambah rajin belajar. Sejak Raga mengetahui kelebihan yang Amira miliki, Amira mulai membatasi dirinya untuk tidak melihat masa depan yang berkaitan dengan tugas atau jawaban. “Duh!” Reynald mengeluh tanpa dia sadari. Sekarang dia memasang wajah bingung sendiri. Amira sedikit kasihan pada Reynald yang tampak kalang
Di lorong perpustakaan yang sepi, Amira disudutkan oleh Raga. Cowok itu terus melangkah mendekat sampai punggung Amira menabrak rak buku di belakangnya. “Menurut lo, gue gimana?” Tanya Raga, tanpa berkedip. Amira memalingkan wajah. Dia bingung, apa sekarang dia harusnya lari saja? Atau lebih baik jawab? “Kenapa enggak jawab?” Desak Raga. Amira jadi kehilangan kesempatan. Saat ini, Raga sudah kepalang memegang tangannya. Dia tidak bisa melarikan diri. “Lo itu ….” Amira berusaha memikirkan jawaban, tapi tidak ada satupun kata yang terlintas. Tak sabar menunggu, Raga menarik Amira mendekat. Dia membuat jarak wajah mereka hanya terpaut beberapa inchi. “Lo ganteng,” cicit Amira, hampir tanpa suara. Sumpah, Amira malu setengah mati. Namun, tidak ada hal lain yang bisa dia pikirkan sekarang. “Lo juga cantik,” balas Raga sambil mengulum senyum. Senyum Raga membuat Amira salah tingkah. Perut Amira terasa geli, seolah ada ribuan kupu-kupu menggelitik di dalamnya. Mata Amira beruba
Pada jam istirahat, di tengah keramaian kantin Laveire, Amira bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Debarannya menggila, membuat dia merasa jika semua orang mungkin bisa mendengarnya. “Ha … hahaha ….” Amira tertawa canggung. Habis mau bagaimana lagi? Dia tidak tahu cara merespon ucapan Raga yang mengatakan jika cowok itu akan memasak untuknya setiap hari. Ini ajakan nikah atau apa? “Lo pasti suka banget masak,” ucap Amira sambil menyendok makanan ke mulutnya cepat-cepat. Amira rela melakukan apapun, agar Raga berhenti menatapnya. Sekarang, dia merasa ingin salto karena saking bingungnya. “Emang,” jawab Raga tenang. Raga masih terus menatap Amira tanpa menoleh sama sekali. Sengaja, Raga ingin membuat Amira lebih salah tingkah lagi. “Gue suka banget masak, apalagi masak buat orang yang gue suka.” Tak. Sendok yang Amira pegang, jatuh begitu saja. Dia tidak bisa bergerak, sama sekali. Bahkan Amira hampir lupa caranya bernapas. “Uhuk!” Amira terbatuk. “Uhuk! Uhuk!” Semak
Raga menggeleng pelan. Dia tak ingin menyentuh makanannya lagi. Amira telah membuatnya kehilangan selera, membuat perasannya berantakan. “Ck!” Raga mengeluh dengan decakan. Sungguh, Raga masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Amira yang berniat menolaknya, tapi tetap mengatakan Raga sebagai orang spesial yang paling dipercaya? Apa Amira sedang mempermainkannya? “Jadi, Kakak mau bicara apa?” Pertanyaan Amira menyadarkan Raga dari lamunan. Raga memandang Amira yang kini nampak penasaran. Sepertinya Amira sudah tidak sabar, ingin tahu apa yang hendak dikatakan oleh Febby. “Itu … sebenarnya … gue cuma mau tau apa yang lo omongin sama Pak Reynald.” Febby terlihat canggung saat bicara. Tangannya bergerak gelisah, seperti takut mendengar jawaban dari Amira. “Gue enggak ngomongin apa-apa sama Pak Reynald, Kak.” Amira sengaja menutupi kesepakatan yang dia buat dengan Reynald, tapi Raga menegurnya. “Ngomong aja yang jujur.” Raga memberikan saran yang sama sekali tidak Am
Amira mengernyit melihat Raga yang menggeleng. Sebenarnya dia tidak tahu apa yang Raga inginkan, Amira hanya menebaknya saja. “Ya udah, kita balik aja ke kelas, yuk,” ajak Amira. Raga tidak suka pembicaraan basa-basi dengan orang lain, jadi cowok itu pasti tidak akan keberatan untuk kembali ke kelas. Apalagi bel akan berbunyi, Amira juga tak berniat untuk ketinggalan kelas. “Tapi minum gue belum habis,” keluh Michelle. Michelle kelabakan saat Amira beranjak dari kursi. Jusnya belum selesai. Padahal, Michelle sengaja hanya memesan minuman. Dia yakin tidak akan sempat kalau makan. Namun, bahkan jus saja tak bisa dia habiskan. “Enggak apa, sambil jalan aja,” ajak Febby sambil menggandeng lengan Michelle. “Punya gue juga belum habis.” Michelle akhirnya mengangguk. Dia menerima tawaran Febby. Mereka berjalan di belakang Raga dan Amira yang sudah lebih dulu beranjak. Di belakang mereka, ada Reynald yang menyusul. “Nanti pulang, mau bareng?” Tanya Michelle pada Amira. Amira tidak
Raga sudah bersabar. Dia mengalah dengan membiarkan ketiga perempuan itu untuk menumpang dalam mobilnya. Namun, kemurahan hatinya ternyata masih belum cukup.“Lo duduk di depan, dong! Biar kita bisa duduk bertiga di belakang,” ucap Michelle pada Raga.Michelle sepertinya sudah kehilangan akal karena terbawa suasana. Dia begitu senang karena bisa hangout dengan teman-temannya. “Ini mobil gue! Kenapa lo yang ngatur?” Bentak Raga keras.Saat itu juga, Michelle langsung menutup mulut. Dia mengutuk dirinya sendiri karena sempat lupa jika Raga galaknya melebihi singa. “So-sorry,” ucap Michelle dalam suara panik dan ketakutan.Amira sampai turun tangan menengahi. Dia menarik Raga mundur, lalu menenangkan cowok itu. “Santai aja, kali. Michelle cuma mau elo enggak canggung di antara cewek-cewek,” imbuh Amira.Memang benar. Raga juga pasti tidak akan nyaman jika mereka duduk berempat di satu baris kursi. “I-iya ….” Sambung Michelle, tergagap. “Gue enggak bermaksud kurang ajar. Maafin gue ….
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m