Amira meloncat kaget. Bayangan masa depan yang dia lihat langsung membuatnya berlari mundur. Beruntung lorong sekolah di jam pulang sangat sepi, jadi Amira tidak menabrak siapapun. “Lah? Bapak?” Amira menunjuk Reynald bingung. “Kok bisa?” Dalam sekejap, Amira jadi melupakan tentang Claudia yang mengejarnya seperti orang gila. Dia berubah haluan. Tatapannya memicing pada Reynald. “Ada apa? Kenapa kalian kejar-kejaran di sekolah?” Otak Claudia ternyata sudah kembali. Cewek itu sempat menyembunyikan gunting yang dia bawa. Entah ke mana benda itu sekarang. “Itu, Pak!” Claudia menyela lebih dulu. “Dia jambak rambut saya sampai copot!” Amira melotot. Dia kecolongan. Semua karena Amira terlalu sibuk kaget dengan masa depan Reynald yang dia lihat. “Tapi dia juga dorong saya! Sampai kepala saya luka!” Amira menunjukkan darah yang mengering di dahinya. Reynald jadi pusing sendiri mendengar teriakan keduanya. Dia sungguh tidak pandai menghadapi murid perempuan, apalagi yang bertengka
Ruang guru di Laveire kembali memanas. Di depan sebuah meja bundar, seorang guru dan lima siswi sedang berdiskusi untuk mencari pemecahan dari masalah yang mereka hadapi. Hanya ada mereka, di saat yang lain sudah pulang karena jam sekolah telah berakhir. “Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya kan, Pak?” Claudia terus menyudutkan Amira. Memang, bagi Claudia tidak masalah jika dia mendapatkan satu baris kasus di dalam buku rapornya. Tapi bagi Amira, ini bisa menjadi masalah besar. “Saya menarik tangannya karena dia mengejek saya duluan, Pak.” Amira masih berusaha membela diri. Sungguh, hari ini benar-benar hari sial untuk Amira. Kenapa juga dia mencari masalah? Kenapa dia menyerang duluan? Dan kenapa pula dia ketahuan? “Pak, saya mau bicara sebentar.” Hari ini adalah hari paling gila dalam hidup Amira, jadi mungkin Amira bisa menjadi gila juga. Tangan Amira menarik Reynald mendekat. Dia berbisik tepat di telinga guru itu. “Jangan laporkan kasus ini, atau saya akan melapo
Di rumahnya, Amira menghela lelah. Senja sudah berakhir dan dia baru saja selesai mengobati luka di dahinya. “Duh! Muka gue jadi tambah jelek, nih!” Gerutu Amira pada dirinya sendiri. Amira terus saja menatap cermin di hadapan. Dia berusaha menutupi plester di dahinya dengan menurunkan sebagian poni. “Tetep keliatan,” gumam Amira pelan. “Atau enggak usah pake plester aja gitu?” Tangan Amira meraba pelan bekas luka di dahinya. Hanya sesaat, sampai dia kemudian berhenti. Kepalanya menggeleng. “Nanti ada bekasnya!” Daripada terus kesal sendiri, Amira memilih untuk menyiapkan makan malam saja. Dia membuka kulkas, lalu mengambil stok bahan makanan dari sana. Tangan Amira bergerak terampil memotong sayur yang akan dimasak. Hari ini dia akan membuat tumis sawi dengan telur dadar. “Apa Raga masih marah sama gue?” Ucap Amira begitu saja. Menggunakan semua barang pemberian Raga, membuat Amira jadi teringat pada cowok itu. “Dia juga enggak ada hubungin gue sama sekali,” gumam Ami
Raga sudah menunggu di depan gang rumah Amira seperti biasa. Dia meneror gadis itu dengan pesan singkat dan panggilan, menyuruh Amira datang secepatnya. “Lama!” Gerutu Raga saat pintu mobil terbuka. Terlihat Amira yang mengusap peluh karena lelah berlari. Dia gegas masuk ke dalam mobil, sebelum Raga mengomel lebih banyak. “Salah lo! Ini masih pagi banget!” Amira memaki kesal. Raga memang melakukan hal yang tidak masuk akal, menjemput terlalu pagi. Kalau mereka berangkat sekarang, mereka akan sampai di sekolah satu jam sebelum bel masuk. “Emang mau ngapain ke sekolah buru-buru? Ada apaan?” Pertanyaan Amira tidak bisa dijawab oleh Raga. Sebenarnya, dia bukan ingin datang ke sekolah buru-buru, tapi dia mau segera bertemu dengan Amira. “Enggak ada apa-apa. Gue cuma mau cepet sampe sekolah, biar enggak telat.” Amira memicing sinis. Dia tidak percaya dengan jawaban konyol Raga. “Kita enggak bakal telat, Raga. Kita mungkin bakal jadi yang pertama dateng.” Wajah Raga berubah can
Michelle menunggu di depan pintu kelas XI-A seperti biasa. Bel istirahat sudah berbunyi sejak tadi, harusnya Amira sudah keluar. “Kenapa lama?” Michelle mengintip ke dalam kelas Amira. Lewat jendela, Michelle bisa melihat Amira yang sedang sibuk di depan meja guru. Amira sedang menumpuk buku tugas, berniat membawanya. “Amira!” Panggil Michelle riang. Dengan senyum lebar, Michelle langsung menghampiri dan berdiri di depan Amira. “Mau ke ruang guru? Sini gue bantuin.” Tangan Michelle hendak meraih sebagian buku yang Amira bawa, tapi Raga langsung mengambil alih semuanya. “Eh?” Michelle menatap Raga bingung. Dia tidak sadar jika Raga sudah ada bersama mereka. “Hai, Raga,” sapa Michelle sopan. Namun, Raga sama sekali tidak balas menyapa, atau bahkan bicara. “Kemaren gimana?” Tanya Amira mengalihkan pembicaraan. Amira kasihan pada Michelle yang diabaikan Raga, tapi dia juga tahu betapa sulitnya untuk membuat Raga bersikap baik. Apalagi pada perempuan. “Aman sampe rumah
Amira ikut menoleh. Dia memeriksa keadaan di sekitar lorong perpustakaan, memastikan jika benar sepi. “Perjanjian seperti apa yang Bapak tawarkan?” Tanya Amira penasaran. Sebenarnya, Amira sendiri tidak masalah dengan perjanjian apapun. Dia tetap akan mendapatkan keuntungan. Reynald saja yang terlalu panik jika Amira akan membeberkan hubungan rahasianya. Padahal Amira hanya tahu secuil tentang hal itu. “Saya bisa memberikan berapapun nilai yang kamu mau, asalkan kamu tutup mulut.” Amira mendengus. Itu sama sekali tidak menarik untuknya. “Tapi nilai saya sudah bagus di mata pelajaran Bapak,” ucap Amira datar. Amira memang tidak sebodoh itu, apalagi sekarang dia tambah rajin belajar. Sejak Raga mengetahui kelebihan yang Amira miliki, Amira mulai membatasi dirinya untuk tidak melihat masa depan yang berkaitan dengan tugas atau jawaban. “Duh!” Reynald mengeluh tanpa dia sadari. Sekarang dia memasang wajah bingung sendiri. Amira sedikit kasihan pada Reynald yang tampak kalang
Di lorong perpustakaan yang sepi, Amira disudutkan oleh Raga. Cowok itu terus melangkah mendekat sampai punggung Amira menabrak rak buku di belakangnya. “Menurut lo, gue gimana?” Tanya Raga, tanpa berkedip. Amira memalingkan wajah. Dia bingung, apa sekarang dia harusnya lari saja? Atau lebih baik jawab? “Kenapa enggak jawab?” Desak Raga. Amira jadi kehilangan kesempatan. Saat ini, Raga sudah kepalang memegang tangannya. Dia tidak bisa melarikan diri. “Lo itu ….” Amira berusaha memikirkan jawaban, tapi tidak ada satupun kata yang terlintas. Tak sabar menunggu, Raga menarik Amira mendekat. Dia membuat jarak wajah mereka hanya terpaut beberapa inchi. “Lo ganteng,” cicit Amira, hampir tanpa suara. Sumpah, Amira malu setengah mati. Namun, tidak ada hal lain yang bisa dia pikirkan sekarang. “Lo juga cantik,” balas Raga sambil mengulum senyum. Senyum Raga membuat Amira salah tingkah. Perut Amira terasa geli, seolah ada ribuan kupu-kupu menggelitik di dalamnya. Mata Amira beruba
Pada jam istirahat, di tengah keramaian kantin Laveire, Amira bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Debarannya menggila, membuat dia merasa jika semua orang mungkin bisa mendengarnya. “Ha … hahaha ….” Amira tertawa canggung. Habis mau bagaimana lagi? Dia tidak tahu cara merespon ucapan Raga yang mengatakan jika cowok itu akan memasak untuknya setiap hari. Ini ajakan nikah atau apa? “Lo pasti suka banget masak,” ucap Amira sambil menyendok makanan ke mulutnya cepat-cepat. Amira rela melakukan apapun, agar Raga berhenti menatapnya. Sekarang, dia merasa ingin salto karena saking bingungnya. “Emang,” jawab Raga tenang. Raga masih terus menatap Amira tanpa menoleh sama sekali. Sengaja, Raga ingin membuat Amira lebih salah tingkah lagi. “Gue suka banget masak, apalagi masak buat orang yang gue suka.” Tak. Sendok yang Amira pegang, jatuh begitu saja. Dia tidak bisa bergerak, sama sekali. Bahkan Amira hampir lupa caranya bernapas. “Uhuk!” Amira terbatuk. “Uhuk! Uhuk!” Semak
Di mobil, Raga duduk di samping Amira seperti biasa. Leon fokus menyetir karena memang mereka sudah terlambat dari jadwal seharusnya. “Oh, iya.” Raga mengulurkan tangan mengambil tas Amira yang sebelumnya dia simpan di kursi mobil. “Ini tas lo.” Amira tersenyum senang. Dia bersyukur tasnya bisa kembali. “Makasih udah dicariin.” Tangan Amira langsung membuka tas, memeriksa isi di dalamnya. Amira menghela lega saat melihat dompet miliknya aman di sana. Semua barang-barangnya yang lain juga ada. “Eh?” Tangan Amira mendapati satu benda asing di dalam tasnya. “Power bank? Punya siapa?” Dahi Amira berkerut. Tatapannya langsung tertuju pada Raga. “Ya dari gue, lah.” Raga memberikan senyum lebar. Raga pun ikut meraih tas yang dia bawa. Tangannya mengeluarkan satu power bank yang sama persis seperti milik Amira. “Gue beli couple,” ucap Raga bangga. Raga mendekatkan power bank miliknya dengan milik Amira. Sama persis. Hanya saja milik Amira berwarna putih, sedangkan punya Raga
Teriakan Raga membuat Leon mengetuk pintu rumah Amira dari luar. Raga menggerutu. Harusnya dia tidak berteriak sekeras itu. "Tuan Raga? Apa terjadi sesuatu?" Amira dan Raga saling memandang. Mereka sekarang bingung karena mendapatkan ketukan dari luar. Sepertinya, Leon curiga dengan teriakan Raga. “Tuan? Apa Tuan Raga baik-baik saja?” Leon berteriak lagi dari luar. Dia tampak tidak sabar. “Tuan! Saya buka pintunya sekarang!” Merasa tak ada waktu yang tersisa, Raga langsung membuka pintu. Dia terpaksa harus melakukannya, jika tak ingin pintu rumah Amira dijebol paksa oleh Leon. “Gue enggak apa-apa,” jawab Raga singkat. Raga memalingkan wajahnya cepat. Tak ada yang bisa Raga lakukan selain menghindar dari tatapan Leon. Dia tak mau membuat Leon curiga dengan ekspresi wajah yang belum bisa dia kendalikan saat ini. “Sorry.” Amira berinisiatif untuk mengalihkan perhatian. “Gue enggak sengaja nginjek kaki Raga,” ucap Amira pada Leon. Amira menambahkan sedikit bumbu agar Leon
Semalam, Amira terlalu sibuk meladeni mulut manis Raga sampai dia tertidur. Amira benar-benar mengalami apa yang disebut sleep call untuk pertama kalinya. “Yah, baterainya habis,” ucap Amira sambil menatap handphone miliknya yang mati total saat dia terbangun di pagi hari. Entah sampai kapan handphone itu menyala. Amira tidak bisa mengingatnya. Apakah Raga yang memutuskan panggilan mereka atau handphone Amira yang terlanjur tewas. “Cas dulu.” Amira beranjak dari tempat tidur. Dia menghubungkan ponsel pintarnya dengan pengisi daya. Saat itu, tangannya tak sengaja menyenggol handphone yang lain. “Ah, gue lupa. Semalam enggak balas pesan yang di sini.” Amira mengecek ponsel lipat itu. Layarnya menyala menampilkan pesan di kotak masuk. [Nama keluarga gue Wijaya. W itu bukannya kakek gue? Nama kakek gue Heri Wijaya.] [Bisa aja Leon lagi ngabarin ke kakek.] Amira mendengus. Tentu saja dia sudah memikirkan kemungkinan itu. Masalahnya adalah, isi pesan itu tidak seperti
Meski hari sudah larut, rasa kantuk Amira hilang seketika. Sekarang dia sibuk berbalas pesan dengan Raga, sambil menelepon. “Udah ngantuk banget?” Tanya Raga dari seberang. Amira menggeleng. “Enggak. Udah enggak ngantuk lagi.” Amira mengucapkan jawaban jujur, tapi Raga malah terkekeh. “Udah enggak ngantuk … berarti sebelumnya ngantuk, dong.” Amira tidak mau mengakui. Dia diam saja. Tangannya masih sibuk mengetik balasan di handphone kecilnya. Mereka memang sedang melakukan pembicaraan dua jalur. Satu jalur panggilan lewat smartphone, sementara satu jalur yang lain lewat pesan singkat di handphone lipat baru milik Amira. [Udah cari tau tentang asisten baru lo?] Amira menunggu sebentar sebelum ada balasan lain yang masuk dalam handphone lipat kecil miliknya. [Udah. Enggak ada yang aneh. Leon udah kerja lama sama kakek. Emang lo liat apa?] Amira memang belum mengatakan apa yang dia lihat. Kecurigaan Amira membuat dia tidak mau bicara terlalu banyak di depan Leon. [Asiste
Amira menatap handphone kecil di tangan miliknya. Itu handphone yang diberikan oleh Raga diam-diam saat di mobil tadi. “Kenapa coba dia kasih ini?” Amira menyempatkan diri untuk melihat ke kanan kiri. Dia bahkan mengunci pintu rumahnya sebelum memeriksa handphone itu. “Nyalain dulu aja,” ucap Amira sambil berusaha menahan rasa penasarannya. Ponsel lipat yang memang berukuran lebih kecil dari tangan Amira, kini terbuka. Amira memperhatikan layarnya yang berpendar. “Ini handphone baru?”Amira hendak mencari tahu lebih banyak saat pintu rumahnya diketuk. “Pesanan atas nama Amira!”Amira pun membuka pintu. Dia mendapatkan sebuah paper bag besar dari sang kurir. “Makasih,” ucap Amira seraya menutup pintu kembali. Paper bag itu masih di tangan Amira ketika handphone miliknya berbunyi nyaring. Tangan Amira meraih handphone tersebut. Dia mendapati nama Raga tertera di layar. “Udah sampai makanannya?” Tanya Raga di nada sambung pertama.“Udah, kenapa?” Sambil menjawab, Amira membawa p
Amira melepaskan pelukan Raga. Di dalam mobil, dia bergeser sedikit. Amira mencoba memasukkan handphone yang baru saja Raga berikan ke dalam saku celananya. “Gue maafin, tapi jangan kirim hadiah lagi.”Amira bersikap seolah tak ada yang terjadi. Dia harus mengatakan sesuatu untuk menutupi apa yang baru saja mereka lakukan. Pembahasan tentang hadiah adalah satu-satunya hal yang terlintas dalam otak Amira. “Pemborosan. Makanan yang lo kirim semalam juga enggak habis,” sambung Amira kemudian. Makanan yang Raga kirim memang sangat banyak, melebihi porsi Amira. Amira sampai menyimpannya di kulkas, lalu menghangatkannya lagi sebagian untuk sarapan pagi ini. “Harusnya lo habisin,” sahut Raga. “Nanti malam juga gue kirimin lagi.”Amira mendelik. Dia merasa pacarnya ini bebal. Padahal baru saja Amira menolak, tapi Raga malah abai. “Jangan nolak,” ucap Raga, mengingatkan. “Gue kan udah bilang mau tanggung jawab.”Raga memberikan senyum miring, dan Amira tidak suka itu. Dia merasa Raga mere
Amira baru selesai mengganti baju saat seseorang mengetuk pintu rumahnya beberapa kali. Sedikit curiga, Amira tidak langsung membuka pintu. Apalagi hari sudah malam dan semua teman-temannya sudah pulang. Amira sendirian.“Siapa?” Tanya Amira tanpa membuka pintu. “Kurir pengantaran pesanan atas nama Amira,” sahut suara dari seberang.Amira mendelik. Dia menggeleng curiga. “Gue enggak pesen apa-apa!” Balas Amira, berteriak. Amira hendak menjauh dari pintu, sebelum ketukan kembali terdengar.“Nama pengirimnya Raga!”Seruan itu membuat Amira berhenti. Dia gegas mengambil handphone miliknya sendiri. Amira berniat memastikan. Dia langsung menghubungi nomor Raga. “Iya, itu dari gue,” sahut Raga dari seberang.Belum juga Amira mengucapkan apa pun, Raga sudah tahu apa yang hendak Amira tanyakan. Amira memasang senyum sekilas. Dia meledek Raga. “Mau nyogok ceritanya?” Pasti karena Amira bilang kalau dia kesal pada Raga. Pacarnya itu sedang bersikap manis padanya. “Iya, dong. Isinya makan
Evan mendelik pada Amira. Dia yang harusnya bertanya kenapa. Amira malah melamun tak bergerak. Dipanggil pun tidak menoleh. “Lo yang kenapa. Kenapa diem?”Raga yang sebelumnya masih mengucek mata, mengumpulkan nyawa, seketika terduduk. “Kenapa?” Raga bertanya dengan suara yang masih serak. Cowok itu bersandar pada dinding di sebelah Leon. “Enggak apa-apa.” Amira menjawab singkat. “Cuma mau nyuruh lo pulang. Bentar lagi malem.”Amira menepuk lengan Raga lagi, meminta pacarnya itu cepat bangun. “Iya,” ucap Raga sambil menutup mulutnya yang masih menguap. Saat Raga hendak berdiri, Leon mendahului. Mana mungkin dia membiarkan tuan mudanya lebih sigap daripada dirinya sendiri. “Gue numpang ke kamar mandi dulu, boleh enggak?” Tanya Raga. Dia menunjuk pintu imut yang menuju ke kamar mandi Amira. Raga perlu mencuci wajahnya. Dia tidak mau terlihat mengerikan lebih lama di depan Amira. Setidaknya dia mau memastikan wajahnya layak diperlihatkan di depan sang pacar. “Ya udah sana!” Ami
Amira memandang Evan dan Michelle bergantian. Dia sudah ikut duduk bersama keduanya di teras warung.“Udah istirahatnya belum?” Tanya Amira. “Jalan lagi, yuk. Bentar lagi sampe.”Rumah Amira memang tidak jauh lagi, dan Amira merasa jika lebih baik mereka istirahat di rumahnya saja. “Sebentar lagi?” Wajah Michelle berubah cerah. Dia gegas berdiri menyusul Amira yang sudah bangkit. “Ayo cepet ke rumah lo. Di luar panas!”Amira terkekeh mendengar keluhan Michelle. Dia menggeleng kasihan pada sang teman.“Tapi di rumah gue juga enggak ada AC loh, tetep panas.”Michelle cemberut, tapi menggeleng kemudian. Dia tetap menggandeng tangan Amira, mengajak temannya itu lanjut berjalan. “Enggak apa-apa. Yang penting kepala gue enggak kebakar.”Mereka pun terus berjalan sampai ke rumah kecil yang ada di pojok. Amira meminta kedua temannya menunggu. Dia berniat meminjam kunci cadangan ke pemilik kontrakan sebentar.“Nah, ayo masuk,” ucap Amira sambil membuka pintu. Amira mendahului kedua temannya