Bulir airmata menetes deras dari kedua matanya.Sebagai istrinya waktu itu, ia tersenyum tanpa tahu Elang yang tengah menderita.Ia berbahagia di atas penderitaan Elang yang tengah berusaha seorang diri untuk menyelamatkan dirinya.Bagaimana ia akan minta maaf pada Elang? Bagaimana ia melakukannya? Elang telah pergi lagi. Bagaimana Aliya bisa menebus kebodohannya itu?“Om….” Agni memanggil Dean dengan nada cemas saat melihat kedua mata Aliya mengalir begitu deras buliran bening dan ia mengigaukan kalimat-kalimat tak jelas.Hanya kata ‘maaf’ yang terdengar cukup jelas di telinga Agni.Dean menempelkan telunjuk kirinya ke bibirnya, memberi kode agar Agni tetap diam, lalu lanjut membacakan beberapa ayat untuk Aliya.Jemari kanannya kembali mengelus ubun-ubun Aliya. Lalu tangan satunya mengalirkan energi halus ke tubuh Aliya.Tampak oleh Agni, Aliya mulai berangsur-angsur tenang. Bibirnya tak lagi mengigau. Airmata telah berhenti mengalir, namun bulir keringat masih mengucur di keningnya.
Kamis, 12 Januari 202307.01 WIB, Basecamp CikahuripanAgni mengetuk pintu kamar perlahan. Tak ada jawaban. Ia lalu membuka pintu itu dengan hati-hati. Agni sejenak terdiam melihat pemandangan di depannya, setelah pintu terbuka lebar.Dean sang om, duduk di kursi di sisi spring bed, dekat kepala Aliya. Ia duduk dengan posisi agak membungkuk karena kedua siku bertopang di atas lututnya.Di sisi satunya, Agni melihat Elang sang abang, posisi duduk dekat kaki Aliya, namun dengan punggung bersandar di kursi dan kedua tangan yang saling bertaut di depan tubuhnya.Hanya satu kesamaan mereka. Sama-sama memandang sabar dan penuh perhatian ke arah Aliya.Agni merasakan perasaan yang cukup asing.Pemandangan ini sesungguhnya tidak aneh, karena ia sangat paham perasaan kedua pria hebat di depannya kepada wanita yang juga ia cintai.Namun entah bagaimana, melihat kedua pria itu sama-sama menunggui Aliya, membuat hatinya terasa sejuk.Mungkin karena kekhawatiran yang sempat terlintas dalam benak A
“Qodarullah. Saya sudah ikhlas,” jawab Dean singkat.Dean dan Nawidi telah mengetahui, bahwa kejadian tempo hari adalah perbuatan Elang juga. Elang yang sengaja mengirim makhluk untuk menguji coba kekuatan Dean.Karena saat itu Elang mendapatkan getaran sinyal sebuah kekuatan besar, namun ia masih belum yakin bahwa kekuatan tersebut milik Dean.Saat itu Elang mengetahui Dean yang sedang berada di Sukabumi dan hendak mengarah pulang ke Bandung.Karena itulah Elang mengutus salah satu siluman ular berkepala tujuh di bawah kendalinya, untuk membuat sedikit kekacauan di wilayah Dean dibesarkan.Ia lakukan itu untuk melihat kemampuan Dean.Meski saat itu Elang telah memprediksi kehancuran macam apa yang mungkin akan terjadi, jika benar kekuatan itu dimiliki Dean, namun ia tidak terlalu ambil pusing.Karena Elang yang saat itu, adalah Elang yang hanya peduli pada keberhasilan rencananya, meski itu harus dibayar dengan nyawa manusia.Dean telah mengikhlaskan kejadian naas hari itu dan tak in
09.16 WIBBi Titin mengetuk kamar. Beberapa saat menunggu, namun tak ada sahutan dari dalam kamar. Akhirnya bi Titin membuka pintu kamar, karena ia yakin Aliya hanya sendiri di dalam kamar milik Dean tersebut.“Neng….” panggil bi Titin pelan. Tangan kanannya membawa semangkok bubur sumsum yang masih panas. Mata bi Titin menangkap Aliya yang tengah melamun memandang ke arah jendela kamar.“Neng,” panggil bi Titin lagi ketika kakinya telah hampir sampai di sisi spring bed yang Aliya tempati. Kali ini Aliya menoleh pada bi Titin.Bibir yang masih sedikit pucat itu mengulas sebuah senyuman tipis pada bi Titin.“Duh neng… masih kelihatan pucat kitu…” Bi Titin meletakkan mangkok di tangannya ke atas nakas di sisi spring bed Aliya. “Makan ya.. ini ibi buatin bubur sumsum. Ngga pake apa-apa da, cuma sama gula merah aja… Biar ada tenaga eneng nya…”“Iya, nanti bi,” tolak Aliya halus. Kepalanya lalu beralih lagi, tertuju pada jendela kamar.“Ya sudah. Ini ibi simpan di atas meja ya. Masih panas
“Bukan neeng. Bukan aneh,” sanggah bi Titin cepat. “Keren neng, euy!”Aliya mengerutkan alisnya.“Hebat neng. Lesot nu kasep, meunang deui nu kasep!” (Hebat neng. Lepas dari yang cakep, dapet yang cakep lagi!)“Ah! Bibi mah…” Aliya merutuk pelan.“Neng, enyaan eta teh mantan suami eneng?”“Iya, bi..”“Tidak sampe punya anak, neng?”“Punya, bi. Satu. Perempuan.”“Halah ya Alloh Gustiii….” bi Titin menggeleng-gelengkan kepalanya prihatin. “Kenapa sampe bisa pisah, neng?” tanyanya lagi.Aliya memandang bi Titin sebentar, lalu tersenyum.“Yang jelas mah, bukan faktor ekonomi atuh nya? Keliatan dari penampilannya, den Elang eta teh jelma beunghar. Apa karena orang ketiga, neng?” Bi Titin membulatkan kedua matanya.Tapi sesaat kemudian dia mengayunkan tangan kanannya seolah menepis sesuatu.“Ah. Asa teu mungkin. Keliatan da ku ibi ge. Itu sorot matanya penuh cinta kitu ka eneng. Siga nu bogoh pisan ka eneng. Moal salah ibi mah.”Aliya hanya tersenyum lagi. Kepalanya menunduk menatap bed cove
13.12 WIBAliya kembali ke rumah diantar oleh Dean.Pria bermata hazel itu menatap Aliya dengan lembut saat mereka berdiri di ambang pintu rumah Aliya.Aliya menunduk, perasaannya tak menentu sejak tadi. Tersirat kegundahan di wajahnya, namun kehadiran Dean seolah memberikan kehangatan yang menenangkan."Dean... kau mau minum?" tanya Aliya akhirnya, setelah menyadari bahwa pria itu belum beranjak dari tempatnya.Dean mengangguk pelan, tatapan teduh matanya membuat Aliya merasa semakin ingin dekat dengannya.Ada dorongan untuk memeluk pria bermata hazel tersebut, seolah Aliya ingin melenyapkan segala keresahannya yang disebabkan oleh Elang. Tapi, ia menahan diri dan pada akhirnya hanya mengundang Dean masuk.Mereka menuju ruang tamu.Dean, seperti biasa, menunjukkan sikap sopannya.Meski hubungan mereka sudah lebih dalam dari sekadar perasaan, Dean tetap menjaga batasan fisik di dunia nyata.Pria itu duduk di sofa ruang tamu, bukannya di ruang keluarga, menghormati status mereka yang b
Malam itu di basecamp Cikahuripan, suasana sepi, hanya ditemani suara serangga malam dan desiran angin lembut.Dean duduk santai di teras belakang bersama Guntur, menikmati obrolan ringan di bawah langit berbintang.Di tengah obrolan mereka, Agni muncul dengan wajah pias, terlihat gelisah.Guntur mengerutkan kening, bingung juga penasaran dengan apa yang akan dikatakan Agni.Dean, yang selalu bersikap tenang, hanya mengarahkan pandangannya pada Agni, menunggu penjelasan tanpa tergesa-gesa."Om... gimana ini?" kata Agni dengan nada canggung. "Gue... itu... Delia... Delia mau kesini."Dean yang semula santai, kini mengerutkan kening, namun ekspresi tenangnya tetap tidak berubah."Delia?" tanyanya singkat. Tatapannya lurus pada Agni, menuntut penjelasan lebih lanjut.Agni merasakan tekanan dari tatapan itu dan segera mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Iyad yang duduk di meja makan tak jauh dari teras belakang tempat mereka berada."Gegara dia tuh..." Agni mengarahkan telunjuknya pada
Aliya tiba di basecamp dengan perasaan campur aduk.Dari dalam mobil Navara Dean, matanya tertuju pada sosok Agni yang sudah menunggu di teras luar.Pandangan Agni seperti penuh tanda tanya, dan Aliya tak bisa menyalahkannya.Setelah semua yang terjadi, Agni pasti penasaran mengapa Dean membawanya ke tempat ini, terutama setelah Aliya baru saja sembuh dari demamnya.Ketika Dean membuka pintu mobil untuknya, Aliya melangkah keluar, berusaha menenangkan kegelisahan yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya."Om... Moony..." Agni menyapa mereka dengan sedikit terkejut saat melihat Aliya ikut bersama Dean.Tatapan Agni tertuju padanya, seakan mengukur apakah Aliya benar-benar sanggup menghadapi situasi ini.Dean berjalan santai mendekat. "Apa sudah datang?" tanyanya tanpa ekspresi.Agni mengangguk. "Tadi Iyad yang jemput di dekat alun-alun," jawabnya pelan.Aliya bisa merasakan kekhawatiran di balik tatapan Agni. Ia pun menepuk pundak Pemuda Api itu, mencoba menenangkannya."Tenang aja, Agn