“Qodarullah. Saya sudah ikhlas,” jawab Dean singkat.Dean dan Nawidi telah mengetahui, bahwa kejadian tempo hari adalah perbuatan Elang juga. Elang yang sengaja mengirim makhluk untuk menguji coba kekuatan Dean.Karena saat itu Elang mendapatkan getaran sinyal sebuah kekuatan besar, namun ia masih belum yakin bahwa kekuatan tersebut milik Dean.Saat itu Elang mengetahui Dean yang sedang berada di Sukabumi dan hendak mengarah pulang ke Bandung.Karena itulah Elang mengutus salah satu siluman ular berkepala tujuh di bawah kendalinya, untuk membuat sedikit kekacauan di wilayah Dean dibesarkan.Ia lakukan itu untuk melihat kemampuan Dean.Meski saat itu Elang telah memprediksi kehancuran macam apa yang mungkin akan terjadi, jika benar kekuatan itu dimiliki Dean, namun ia tidak terlalu ambil pusing.Karena Elang yang saat itu, adalah Elang yang hanya peduli pada keberhasilan rencananya, meski itu harus dibayar dengan nyawa manusia.Dean telah mengikhlaskan kejadian naas hari itu dan tak in
09.16 WIBBi Titin mengetuk kamar. Beberapa saat menunggu, namun tak ada sahutan dari dalam kamar. Akhirnya bi Titin membuka pintu kamar, karena ia yakin Aliya hanya sendiri di dalam kamar milik Dean tersebut.“Neng….” panggil bi Titin pelan. Tangan kanannya membawa semangkok bubur sumsum yang masih panas. Mata bi Titin menangkap Aliya yang tengah melamun memandang ke arah jendela kamar.“Neng,” panggil bi Titin lagi ketika kakinya telah hampir sampai di sisi spring bed yang Aliya tempati. Kali ini Aliya menoleh pada bi Titin.Bibir yang masih sedikit pucat itu mengulas sebuah senyuman tipis pada bi Titin.“Duh neng… masih kelihatan pucat kitu…” Bi Titin meletakkan mangkok di tangannya ke atas nakas di sisi spring bed Aliya. “Makan ya.. ini ibi buatin bubur sumsum. Ngga pake apa-apa da, cuma sama gula merah aja… Biar ada tenaga eneng nya…”“Iya, nanti bi,” tolak Aliya halus. Kepalanya lalu beralih lagi, tertuju pada jendela kamar.“Ya sudah. Ini ibi simpan di atas meja ya. Masih panas
“Bukan neeng. Bukan aneh,” sanggah bi Titin cepat. “Keren neng, euy!”Aliya mengerutkan alisnya.“Hebat neng. Lesot nu kasep, meunang deui nu kasep!” (Hebat neng. Lepas dari yang cakep, dapet yang cakep lagi!)“Ah! Bibi mah…” Aliya merutuk pelan.“Neng, enyaan eta teh mantan suami eneng?”“Iya, bi..”“Tidak sampe punya anak, neng?”“Punya, bi. Satu. Perempuan.”“Halah ya Alloh Gustiii….” bi Titin menggeleng-gelengkan kepalanya prihatin. “Kenapa sampe bisa pisah, neng?” tanyanya lagi.Aliya memandang bi Titin sebentar, lalu tersenyum.“Yang jelas mah, bukan faktor ekonomi atuh nya? Keliatan dari penampilannya, den Elang eta teh jelma beunghar. Apa karena orang ketiga, neng?” Bi Titin membulatkan kedua matanya.Tapi sesaat kemudian dia mengayunkan tangan kanannya seolah menepis sesuatu.“Ah. Asa teu mungkin. Keliatan da ku ibi ge. Itu sorot matanya penuh cinta kitu ka eneng. Siga nu bogoh pisan ka eneng. Moal salah ibi mah.”Aliya hanya tersenyum lagi. Kepalanya menunduk menatap bed cove
13.12 WIBAliya kembali ke rumah diantar oleh Dean.Pria bermata hazel itu menatap Aliya dengan lembut saat mereka berdiri di ambang pintu rumah Aliya.Aliya menunduk, perasaannya tak menentu sejak tadi. Tersirat kegundahan di wajahnya, namun kehadiran Dean seolah memberikan kehangatan yang menenangkan."Dean... kau mau minum?" tanya Aliya akhirnya, setelah menyadari bahwa pria itu belum beranjak dari tempatnya.Dean mengangguk pelan, tatapan teduh matanya membuat Aliya merasa semakin ingin dekat dengannya.Ada dorongan untuk memeluk pria bermata hazel tersebut, seolah Aliya ingin melenyapkan segala keresahannya yang disebabkan oleh Elang. Tapi, ia menahan diri dan pada akhirnya hanya mengundang Dean masuk.Mereka menuju ruang tamu.Dean, seperti biasa, menunjukkan sikap sopannya.Meski hubungan mereka sudah lebih dalam dari sekadar perasaan, Dean tetap menjaga batasan fisik di dunia nyata.Pria itu duduk di sofa ruang tamu, bukannya di ruang keluarga, menghormati status mereka yang b
Malam itu di basecamp Cikahuripan, suasana sepi, hanya ditemani suara serangga malam dan desiran angin lembut.Dean duduk santai di teras belakang bersama Guntur, menikmati obrolan ringan di bawah langit berbintang.Di tengah obrolan mereka, Agni muncul dengan wajah pias, terlihat gelisah.Guntur mengerutkan kening, bingung juga penasaran dengan apa yang akan dikatakan Agni.Dean, yang selalu bersikap tenang, hanya mengarahkan pandangannya pada Agni, menunggu penjelasan tanpa tergesa-gesa."Om... gimana ini?" kata Agni dengan nada canggung. "Gue... itu... Delia... Delia mau kesini."Dean yang semula santai, kini mengerutkan kening, namun ekspresi tenangnya tetap tidak berubah."Delia?" tanyanya singkat. Tatapannya lurus pada Agni, menuntut penjelasan lebih lanjut.Agni merasakan tekanan dari tatapan itu dan segera mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Iyad yang duduk di meja makan tak jauh dari teras belakang tempat mereka berada."Gegara dia tuh..." Agni mengarahkan telunjuknya pada
Aliya tiba di basecamp dengan perasaan campur aduk.Dari dalam mobil Navara Dean, matanya tertuju pada sosok Agni yang sudah menunggu di teras luar.Pandangan Agni seperti penuh tanda tanya, dan Aliya tak bisa menyalahkannya.Setelah semua yang terjadi, Agni pasti penasaran mengapa Dean membawanya ke tempat ini, terutama setelah Aliya baru saja sembuh dari demamnya.Ketika Dean membuka pintu mobil untuknya, Aliya melangkah keluar, berusaha menenangkan kegelisahan yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya."Om... Moony..." Agni menyapa mereka dengan sedikit terkejut saat melihat Aliya ikut bersama Dean.Tatapan Agni tertuju padanya, seakan mengukur apakah Aliya benar-benar sanggup menghadapi situasi ini.Dean berjalan santai mendekat. "Apa sudah datang?" tanyanya tanpa ekspresi.Agni mengangguk. "Tadi Iyad yang jemput di dekat alun-alun," jawabnya pelan.Aliya bisa merasakan kekhawatiran di balik tatapan Agni. Ia pun menepuk pundak Pemuda Api itu, mencoba menenangkannya."Tenang aja, Agn
Di ruangan tengah, suasana berubah mencekam saat Agni yang penuh amarah melangkah tegas, siap menghajar Delia.Namun langkahnya terhenti mendadak, matanya membelalak melihat Aliya yang dengan cekatan berhasil membekuk Delia. Tak jauh darinya, Elang, mantan suami Aliya, terperangah dengan tatapan terpaku. Siapa sangka, wanita yang dulu selalu ia lindungi dan dianggap lemah lembut tanpa daya itu, kini mampu melindungi dirinya sendiri dengan begitu tangkas.Sementara itu, Dean berdiri tenang.Tatapan tajamnya menghunjam ke arah Delia, mengalirkan energi yang membuat tubuh Delia seketika kaku.Tak bisa bergerak, wajah Delia memucat, terperangkap dalam ketakutan mendalam.Agni langsung melakukan yang seharusnya, tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia segera meraih pisau yang terjatuh dan meringkus Delia tanpa ampun.“Kampret lu! Ga tau diuntung banget, udah diizinin masuk sini, malah bertingkah!” desis Agni marah, tatapannya berkilat penuh kemarahan.Pemuda Api itu menahan amarah yang meng
Jumat, 13 Januari 202305.10 WIBMenjelang pagi itu, kabut masih menyelimuti halaman belakang basecamp, memberi suasana hening dan tenang.Di antara embun yang menguap tipis, Dean berdiri dengan tenang, mengolah napas dan memulai serangkaian gerakan pencak silatnya.Posturnya tegap dan bugar, tiap gerakannya penuh kekuatan namun mengalir dengan keindahan yang nyaris magis.Tangannya mengayun perlahan, lalu tiba-tiba menghentak ke depan, seperti menyimpan kekuatan yang siap meledak kapan saja.Agni berdiri di sampingnya, terpesona dengan setiap gerakan yang dilakukan Dean.Pemuda Elemen Api itu belum berhenti mengoceh, betapa ia mengagumi sosok Dean, terutama setelah melihat cara Dean memperlakukan Aliya.“Lu benar-benar hebat, Om!” katanya, sambil melirik ke arah Dean yang tengah menarik napas panjang, memusatkan energi. “Gue kagak tahu kalau lu ternyata udah ngajarin Moony dasar-dasar bela diri. Beneran, gak nyangka banget!”Dean hanya tersenyum tipis, tanpa mengalihkan fokusnya.Ia
Teaser untuk S3 RATU BUMI: KELAHIRAN SANG PEWARIS(Entah kapan akan dibuat S3-nya. Tapi Author ingin berikan ini sebagai ekstra saja untuk kalian. Thanks to you all!!)Seorang wanita tengah berada di depan laptop. Sebuah kacamata berbentuk persegi dengan bingkai berwarna biru bertengger di pangkal hidungnya.Terdengar suara tuts pada keyboard yang ditekan cukup keras dan cepat.“Selesai!!” seru wanita itu dengan bibir tersungging senyum yang begitu lebar.Matanya sekali lagi menatap lekat pada layar laptop miliknya. Seolah puas dengan apa yang ia baca, ia mengangguk dan tersenyum lagi.“Mantap memang. Si gue menggambarkan tokohnya begitu nyata. Cakep banget ini. Epik,” ujarnya sambil terus mengangguk-angguk kan kepala. Tiada henti ia memuji dirinya sendiri.“Mungkin karena aku pake namaku sendiri buat tokoh cewek, ini bener-bener terasa seperti kejadian nyata. Tapi kan itu emang tujuanku..”“Sepertinya aku bener-bener jenius… Beberapa potong mimpi ku, bisa kujadikan rangkaian cerita se
Suatu hari di bulan September 2023.Aliya menggeliat lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merentangkan kedua tangannya dan menguap.Kepalanya menengok ke kiri. Sisi itu kosong.Ia lalu menengadah, melihat ke arah jam dinding dalam kamar itu. 7:15.Aliya kemudian turun dari ranjang-nya. Ia kenakan sandal rumah berbahan kain dengan bordiran inisial A pada bagian tutup kakinya.Dengan langkah malas ia keluar kamar. Kepalanya berputar mencari.Hari itu, setelah ia tadi shalat subuh, ia tertidur kembali, karena semalam ia begadang menyelesaikan pekerjaannya hingga jam 2 dini hari.Kaki Aliya terus melangkah. Kini hidungnya mencium harum masakan berasal dari dapur. Ia pun mengarahkan kakinya ke arah sumber aroma tersebut.Ia terhenti di ambang pintu dapur. Bibirnya tersenyum. Matanya menatap ke depan dengan sorot penuh kasih.Tubuh jangkung dengan masih menggunakan set piyama tidur bermotif salur itu, masih asyik melakukan sesuatu di depan kompor.“Sudah bangun, rupanya…” kata pemilik
Dean menyetir mobil Jeep Cherokee Trackhawk yang terbuka dengan santai, menikmati embusan angin yang hangat di wajahnya sementara Aliya di sampingnya tampak takjub memandangi pemandangan di sekeliling mereka.Sekitar lima belas menit lalu, Aliya dan Dean tiba di Amboseli Airtrip di dalam Taman Nasional Amboseli.Taman Nasional Amboseli ini terletak di selatan Kenya, tepatnya di Kabupaten Kajiado, dekat perbatasan Kenya dengan Tanzania.Taman ini berada sekitar 240 kilometer sebelah tenggara Nairobi, ibu kota Kenya, dan terletak di bawah bayang-bayang Gunung Kilimanjaro yang megah di Tanzania, yang memberikan latar belakang yang ikonik dan terkenal di taman ini.Amboseli terkenal dengan populasi gajah besarnya, serta pemandangan sabana yang menakjubkan.Dean sengaja membawa Aliya ke tempat favorit-nya ini, untuk memberikan pengalaman baru bagi Aliya.Dengan helikopter, mereka terbang sekitar 40 menit dari helipad di atas gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi menuju Kajiado. Se
Aliya paham, yang dimaksud orang Elemen Air itu adalah Elang. Namun yang tidak ia paham, mengapa ia menangkap gestur kemarahan dari sosok Syauqi? Apakah Syauqi dan Elang pernah bertemu sebelumnya?Ini belum waktunya Aliya bertanya lebih jauh tentang itu. Jadi ia kemudian hanya mengalihkan pertanyaan pada hal lain.“Bukankah yang kudengar, bahwa Realm adalah keluarga yang memang bermukim di Tanah Air. Tapi--” Ucapan Aliya terhenti.Syauqi tertawa kecil. “Anda bingung karena saya berwajah campuran di luar Indonesia?”“Ya, jujur aku bingung.” Mau tak mau Aliya pun tertawa kecil.“Nenek saya sedikit memberontak, Madam.”“Eh?”Syauqi terkekeh. “Nenek saya kabur dari Indonesia dan menikah dengan orang Jepang. Lalu ibu saya lahir dan kemudian menikah dengan orang Amerika. Lalu lahirlah saya.”Pria berwajah elok itu menjeda diri sesaat. “Saat saya berumur lima tahun, ibu saya membawa saya kembali ke kakek buyut. Tetua Realm Api dan mengembalikan saya. Kata ibu saya, itu wasiat nenek saya sebel
Aliya bersandar di sofa lounge hotel yang nyaman, menatap tenang pada makanan di depannya.Ia mencoba hidangan khas Nairobi: Nyama Choma, potongan daging panggang yang gurih dan kaya rempah, ditemani dengan kachumbari—salad segar dari tomat, bawang, dan cabai.Rasa pedas dan segar dari kachumbari melengkapi cita rasa daging yang hangat, membuat Aliya semakin larut dalam suasana santai sambil menunggu Dean yang tengah dalam rapat mendadak di ballroom hotel.Saat kunyahan terakhir, Aliya teringat percakapannya tadi dengan Matteo, yang penuh dengan dukungan.Matteo, sahabat Dean itu, mengungkapkan ketulusan hati ketika mengetahui Aliya bersama Dean."Aku sangat bahagia, Nyonya.”“Please, panggil Aliya saja, Matteo.”Matteo tersenyum sumringah. “Baiklah.. Ya.. aku benar-benar merasa bahagia.”“Aku bisa lihat itu. Sejak pertama kita bertemu, wajahmu berseri-seri terus,” Aliya tersenyum lebar.“Ini bukan tentang diriku, Nyonya. Melihatmu akhirnya bersama Dean... itu sungguh yang selama ini
Tak berapa lama limousine yang ditumpangi Dean dan Aliya tiba di satu hotel yang tampak megah.Beberapa greeter dan bellboy tampak menyambut ramah dan penuh hormat saat Aliya dan Dean yang dipimpin Matteo, memasuki area hotel.Dean terlihat sedikit menaikkan alis—tampak berpikir sesuatu, namun tetap dengan santai mengikuti langkah Matteo yang terlihat bersemangat berbicara dengan Aliya.Aliya melangkah masuk ke dalam suite mewah di Helshington Nairobi, tak dapat menahan gumaman kagum yang meluncur pelan.Matanya menyusuri setiap sudut ruangan—sebuah suite yang luas dengan desain butik berkelas, bercampur sentuhan klasik yang elegan.Dindingnya dihiasi karya seni khas Afrika, menambah sentuhan eksotis pada ruangan yang megah namun tetap hangat.Lampu-lampu gantung dari kristal menghiasi langit-langit tinggi, sementara lantai kayu yang mengilap mencerminkan pantulan cahaya lembut dari lampu yang dipasang dengan artistik.Di satu sisi, ada balkon pribadi yang menghadap ke pemandangan perb
Gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi terlihat lebih sibuk dari biasanya.Para karyawan berjalan cepat, membawa berkas-berkas dan peralatan, memastikan setiap detail tertata sempurna untuk menyambut kedatangan CEO mereka, yang nyaris tidak pernah terlihat.Lobi utama yang biasanya hanya dihiasi dengan dekorasi sederhana kini terlihat sedikit berbeda. Tanaman hijau segar diletakkan di beberapa sudut, meja resepsionis dibersihkan hingga berkilau, dan tim keamanan memeriksa ulang setiap titik untuk memastikan semuanya sesuai standar.Di tengah kesibukan tersebut, Direktur cabang melangkah mendekati Matteo, manajer yang selalu tenang di tengah hiruk-pikuk persiapan ini.Dengan ragu, Direktur bertanya, "Mr. Odhiambo, apa benar tidak masalah jika kita melakukan persiapan seperti ini?"Sang Direktur masih teringat akan sikap sang CEO yang cenderung rendah hati dan tidak suka dengan seremoni berlebihan.Pernah sekali waktu saat ia pertama kali menjabat sebagai direktur cabang, ketika
Aliya duduk sendirian di dalam kabin jet pribadi Gulf Stream yang melaju anggun di atas awan menuju Kenya.Interior jet ini tampak begitu mewah dan nyaman, didesain dengan kursi kulit lembut berwarna krem yang berpadu dengan elemen kayu mahoni gelap.Cahaya matahari senja yang masuk dari jendela memberikan kilau hangat ke dalam kabin, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti perjalanan mereka.Aliya menatap keluar jendela, melihat hamparan langit oranye keemasan yang seakan tak berujung, membiarkan pikirannya melayang.Bayangan pertama kali ia melihat pesawat ini, dengan logo Starlight Corp di badan jet, memenuhi benaknya.Kata-kata Agung kembali terngiang di kepalanya, bagaimana Dean memilih nama Starlight, terinspirasi dari panggilan kesayangan yang ia berikan padanya setelah pertama kali melihat Aliya dalam mimpi.Ketika ia iseng berselancar di dunia maya, ia mendapati bahwa Starlight Corp adalah korporasi besar yang dikagumi dunia. Selain Starlight Corp dikenal dengan kebijakan
Dean tersedak lalu terbatuk.“Prrrfffffftttttt.” Agni sukses menyemburkan nasi yang baru saja ia suapkan ke dalam mulutnya.Bi Titin menahan tawa. Ia mengacungkan jempol pada Aliya, lalu melenggang santai kembali ke dapur.Hening.Aliya melotot ke arah Agni.“Jorok, ih!” Aliya menepukkan tangannya ke beberapa nasi semburan Agni yang mampir dan bertengger di bajunya.“So-sorry Moony!” Agni bergegas bangun dan meraih beberapa lembar tissue dan menghampiri Aliya. Tangannya mengelap tangan Aliya.Saat tangan Agni akan berpindah ke bagian baju di bawah dagu Aliya, tangan Dean telah memegang tangan Agni.“Biar saya saja,” kata Dean singkat.Agni memanyunkan mulutnya. “Lu sih, Om…” Lalu kembali ke tempat duduknya dan membersihkan sisa-sisa nasi yang berhamburan di meja sambil nyengir.Dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, Agni mengambil piring makannya dan memutuskan segera menyingkir dari ruang makan, untuk memberi keleluasaan bagi pasangan itu.“Gue pindah ah. Ini obrolannya udah dua