Siang itu, di lobi hotel yang tampak sunyi, Aliya berjalan dengan tenang diiringi oleh Agung.Langkahnya mantap, penuh keyakinan untuk menemui seseorang.Sejak diusir oleh Agni semalam, Delia diantar Iyad ke satu hotel di kota --tentunya atas seizin Dean. Setelah lebih dulu Agni menghapus ingatan Delia tentang lokasi basecamp, Iyad pun mengantar wanita cantik itu keluar dari area Lembang.Entah bagaimana dan mengapa, saat terbangun di pagi ini, Aliya merasakan dorongan untuk menemui Delia. Maka itu, begitu melihat Dean masuk dari halaman belakang, Aliya langsung melancarkan bujuk rayunya pada Dean untuk mengizinkan dirinya menemui Delia.Tentu saja, tanpa membutuhkan pertimbangan berat, Dean mengizinkan.Aliya menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir pikiran ‘aneh’ saat ingatan pagi tadi memenuhi ruang pikirnya. Sosok Dean yang memesona, dengan kaos yang melekat karena keringat pada tubuh gagahnya, terpampang jelas dalam ingatannya.Ia lalu tahu, bahwa Dean selesai berolahraga.Ali
15.57 WIBAliya kini berada dalam mobil Wrangler yang dikendarai Agung.Ia tengah mengecek ponselnya dan menjawab beberapa chat di aplikasi pesan instan berlogo warna hijau itu.Bibirnya tersungging senyum, lalu tak lama ia tertawa kecil.“Kenapa, Liya?” Agung yang penasaran, akhirnya bertanya.“Ini… kata Diani, Agni ngomel-ngomel…”“Agni? Ngapain dia ngomel-ngomel?”“Iya, dia komplen setelah tau aku pergi keluar. Dia sewot, kenapa kamu yang nganter aku. Padahal hari ini jadwalnya dia yang patroli, katanya…”Agung sontak tertawa. “Kasian banget…”“Ya gimana lagi. Dia sendiri aja udah sewot banget sama Delia. Kalau aku minta anter dia nemuin Delia, sepanjang jalan bakal ngomel terus…” keluh Aliya.“Bener tuh. Udah kebayang sih, ngomelnya kaya gimana,” Agung tertawa lagi.“Mana dia nyebut Delia juga dengan panggilan ‘si 7’. Saking ga mau nyebut namanya,” Aliya mengeluh lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Si tujuh?”“Iya Gung,” sahut Aliya.“Gimana ceritanya jadi panggilan si tujuh
Buku ini adalah Season 2 dari Istri Ku Sang Ratu Bumi. Disarankan untuk membaca buku pertama. Buku ini akan sedikit sulit dipahami jika dibaca secara terpisah, karena merupakan sekuel dari buku pertama tersebut. Happy Reading, GoodReaders! === * * * === Langit mulai temaram dengan bias kemerahan di atas tanah bak lautan darah. Cakrawala seakan menghitam menyambut kegelapan yang menutupi kedamaian di atas bumi. Udara betul-betul mencekam diselimuti atmosfer pembinasaan. Gelimpangan tubuh-tubuh dengan jiwa yang telah tak berada di tempatnya, mengelana memenuhi perjalanan selanjutnya. Namun ratusan raga-raga yang tersisa masih saling menghunus, menembak energi dan saling membantai. Di satu titik area pertempuran penuh darah itu, seorang pria dengan baju zirahnya berdiri seakan membatu. “Ti-tidak…” Gemetar suara Elang menatap pemandangan di depannya, hanya berjarak dua langkah lagi saja. Seluruh pemandangan yang sebelumnya begitu jelas terbentang dalam tangkapan mata, kini seakan b
“E.. Lang… Sa-sakit…” rintih Aliya. “Pelan, Elang…”Namun Elang di atasnya, seakan tak mendengar itu. Ia terus mengentak dan memacu tubuhnya ke dalam inti Aliya.“E-Elang… ahh!” Desahan itu bukan desahan nikmat, Aliya meringis menahan nyeri.Alih-alih melambatkan gerakan dirinya mencumbu sang istri, Elang menarik kedua tangan Aliya dan menahan pergelangannya di atas kepala.“Elang! Sakit!” Aliya mencoba menggeser tubuhnya, akan tetapi Elang justru kian menindih dirinya dan melesak seraya mengentak lebih dalam.Entah apa yang terjadi, bagaimana Elang seakan tak mendengar apapun yang keluar dari bibir Aliya. Ia menyusupkan wajahnya di leher Aliya dengan pinggul yang tak henti mengentak kasar.“Elang!”“Emmmhhh.” Elang menggeram rendah. “Ahh!”Pelepasan itu akhirnya ia dapatkan. Mata yang semula terus terpejam, kini terbuka dan seketika tertegun melihat raut wajah istrinya.“Liebling!” Elang bergegas mengangkat tubuh lalu menangkup wajah Aliya dengan kedua tangan. Matanya melebar melihat
Tahun 201708.56. Sebuah lapangan luas dengan bukit kecil di belakangnya, di sekitar Tangerang Selatan.“Beraninya kalian memasuki wilayah kami!!” Seorang pria muda di kisaran usia 27 tahunan berteriak marah sambil menunjuk sekelompok orang di depannya.Pemuda itu berparas menarik, dengan alis yang cukup tebal, hidung mancung, serta rambut berpotongan cepak.Ia mengenakan kaos berkerah berwarna merah dengan dua garis horizontal abu dan biru navy di bagian dadanya dengan sebuah logo dari merek cukup ternama. Dengan celana jeans biru tua dan sneakers model terbaru, pemuda itu tampak cukup modis.“Apa kalian tidak belajar dari penyusup-penyusup sebelumnya?” Kali ini seorang pemuda berkacamata dengan usia sebaya, angkat bicara. Dari pose berdiri pemuda itu, ia tampak lebih santai dibanding pemuda sebelumnya.Tampilannya pun tampak lebih sederhana, hanya mengenakan kaos oblong polos abu-abu dan celana jeans belel selutut. Paras rupawan-nya terbilang manis dan terlihat memiliki senyum yang
Kedua tangan Agung mengepal lalu tanah yang dipijaknya bergetar.Meskipun kini Agung dan Iyad harus menghadapi sepuluh orang sekaligus, tak sedikitpun mereka menunjukkan wajah gentar.Sementara itu, di dataran yang lebih tinggi dari lokasi pertarungan.“Biar saya saja yang turun.” Guntur berkata cepat, saat ia melihat Agni menurunkan satu kakinya.“Jangan bikin lama, Gun. Kita lagi buru-buru neh,” sahut Agni.Guntur mengangguk. Tanpa banyak berkata, ia melompat turun sambil mengempaskan energinya ke arah pengeroyokan itu.Sebentuk angin cukup besar meliuk cepat lalu mendorong dan melempar beberapa dari sepuluh lelaki berseragam hitam itu.Guntur seorang elemen angin.Terlihat dari tekanan dan besarnya kekuatan yang dihasilkan, Guntur --pemuda berlogat jawa itu-- memiliki kekuatan lebih besar dibanding Iyad dan Agung.Guntur berada di tingkat yang lebih tinggi dari kedua rekannya yang lebih dulu bertarung.Erangan terdengar sesaat dari mereka yang terlempar oleh pukulan angin dari Gunt
Padang sabana di 240 km sebelah tenggara Nairobi, ibukota Kenya.Alam di salah satu wilayah di Afrika itu berupa gabungan antara daerah tropis dan subtropis yang menjadi pemicu terbentuknya sistem biotik yang dipenuhi oleh semak perdu dan diselingi beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar. Menyuguhkan pemandangan luar biasa indah.Penampakan kawanan gajah, banteng, impala dan zebra dengan latar belakang gunung Kilimanjaro yang puncaknya tertutup salju, tak akan cukup memuaskan mata untuk menikmatinya meski berjam-jam lamanya.Terdengar derap kuda memecah ketenangan dengan laju cepatnya yang membelah angin.Di atas punggung kuda, seorang pria mengendalikannya dengan tangkas. Sementara tangan kiri pria itu tampak menggenggam gagang sebuah busur sederhana.“Hiiaahh!” seru pria itu menghela kudanya. Tangan kanannya mengayun lalu beberapa batu terangkat ke udara begitu saja.Masih di atas kuda hitam sejenis ras Boerperd itu, pria tersebut kemudian melepas tangannya pada tali kekang dan de
Dean terlihat menghela napas.“Tidak apa. Tidak perlu dilakukan lagi,” ujarnya kemudian.“Apakah dana itu keperluan untuk sistem perlindungan Light-mu?” tanya Matteo. “Karena nominal per transfer-nya sama sekali tidak kecil. Aku hanya terpikirkan ke arah itu. Benar kan?”“Bukan apa-apa. Aku hanya membantu teman, tak perlu dipikirkan,” jawab Dean lalu mengalihkan fokusnya pada singa yang terlihat bermanja-manja padanya.“Bagaimana Botswana? Apa semuanya baik?” Matteo lalu mengalihkan topik saat mendapati Dean yang enggan melanjutkan pembahasan sebelumnya.Sebagai salah satu sahabat Dean sejak belasan tahun lalu, ia sangat memahami gestur Dean dan hampir jarang salah dalam mengartikan mood atau pikiran karibnya itu.Dengan sangat pengertian, ia memberi jalan pada mereka berdua untuk membahas hal lainnya.“Baik. Sangat baik,” jawab Dean tanpa mengalihkan fokus dari singa kesayangannya itu. “Kami bahkan menemukan sumber baru untuk segera digarap.”Matteo melebarkan matanya. “Wah, selamat