“Tidak!”Keempat elemen teman-teman Aliya serentak menolak.“Listen, mungkin sekarang aku belum terbuka. Tapi sangat mungkin kan, aku sesungguhnya menyimpan energi besar dalam diriku? Hanya saja masih tersegel. Jadi mungkin ga akan apa-apa diambil sedikit--”“Tidak, Mbak. Jangan,” potong Guntur menolak lagi.Ketiga teman lainnya menggeleng kuat-kuat, tanda mereka pun menolak keras ide itu.“Kalo ini jangan, itu jangan, terus harus bagaimana….?” Aliya menghela napas lesu.Mereka berempat saling melempar pandang.Lalu Guntur menjawab, “kita tunggu rekan-rekan dari posko lain dulu, mbak. Kita bisa diskusi dengan mereka.”“Ya Liya… Apalagi diperkirakan sore ini keluarga kang Nawidi akan tiba di sini. Siapa tau kita juga bisa meminta pendapat mereka. Mereka bukan elemen sembarangan, Liya…” Agung berkata dengan pelan.“Baiklah,” Aliya mengalah. “Lalu, siapa aja pimpinan posko negara lain yang akan datang?”“Reed, dari posko Turki, seperti Liya tau dia seorang api di level 2 menengah. Lalu K
15.48“Assalammu’alaikum.”Sebuah suara rendah yang terdengar berwibawa, terdengar dari arah ruang tamu. Aliya yang baru saja selesai membaca surat yasin sebanyak tiga kali untuk ia kirimkan pada Dean, menutup mushaf yang ada di tangannya.Ia melepas mukena dan melipatnya dengan cepat namun rapi. “Wa’alaikumsalam,” terdengar suara Guntur menjawab salam itu.Aliya bergegas menyimpan lipatan mukena dan sajadah ke atas meja di kamar Dean.Aliya memang sengaja membawa mukena dan menyimpannya di kamar Dean untuk ia gunakan. Ia tahu, ia akan sering datang ke sini dalam beberapa hari ini. Ia lalu menyimpan dengan hati-hati mushaf milik suaminya kembali ke tempatnya.Aliya merapikan diri, lalu bergegas keluar kamar.Di ruang tamu, ia melihat Guntur tengah berdiri berhadapan dengan dua orang pria yang tampak hampir sebaya. Pria di depan Guntur menggunakan semacam koko panjang dan celana longgar berwarna coklat muda sebatas mata kaki.Meski tampak beberapa kerut di wajahnya, namun sorot matany
“Benar Mbak. Sepertinya mereka berdua sengaja membuka dirinya untuk terbaca saya. Dugaan saya, untuk membuat kita tenang, karena tahu mereka pada level yang sangat memungkinkan untuk menolong mas Nawidi….”“Alhamdulillah kalau begitu. Kita benar-benar beruntung.…” Aliya menghela napas lega. “Luar biasa memang, keluarga kang Awi. Begitu banyak elemen Level satu.” Aliya bergumam takjub.Bagaimana tidak, Level 1 adalah level yang jarang dapat dicapai para elemen.Level 1 merupakan pencapaian tertinggi elemen pada umumnya. Butuh puluhan tahun untuk mencapai level 1 ini pada manusia elemen secara normal. Hanya orang-orang tertentu yang bisa dengan singkat mencapai Level ini.Entah dia sangat berbakat, atau dia mengikuti gemblengan khusus di alam lain.Para Penjaga Inti Aliya, contohnya. Terutama Elang dan Dean. Mereka berdua merupakan jenis pria langka yang begitu cepat melampaui tingkatan dan level.
Jumat, 30 Desember 202208.27 WIBKeesokan harinya, Aliya berkunjung ke makam ayahnya.Sesaat setelah ia memarkirkan motornya, matanya menyapu pemandangan sekeliling pemakaman itu. Badannya sedikit menggigil. Angin bertiup cukup kencang dan kabut masih menutup pemandangan di bawah bukit. Pemakaman ini memang terletak di atas perbukitan.Telah hampir dua minggu ini, hawa dingin Lembang terasa kurang wajar. Temperatur menunjukkan angka 20°, namun suhu yang terasa, seolah 5 derajat di bawahnya.Aliya mengalihkan pandangannya kini pada hamparan pemakaman di depannya. Lalu melangkah mendekat.Di tangannya tergenggam dua kuntum mawar. Merah dan putih. Ia mengucap salam lirih diperuntukkan para penghuni kubur yang ada di lokasi pemakaman itu.Kakinya terayun pelan menuju satu gundukan tanah yang telah tertata rapi dengan rumput yang menghijau di atasnya.“Selamat pagi, Pa…” ujar Aliya lirih. Ia lalu berjongkok d
“Betul, Nak. Jadi Buya minta, Nak Aliya tetap tenang dan bersabar. Hindari bertindak terburu-buru ataupun gegabah.”Aliya terdiam beberapa saat. Ia seperti berpikir keras, sebelum kemudian bertanya lagi.“Tapi, apakah Buya tahu, kapan bantuan itu akan datang?”“Tak lama lagi, Nak,” jawab Tuan Qazzafi. “Jangan risaukan tentang tubuh suami Nak Aliya. Sebelum hal terburuk terjadi, bantuan itu Insya Allah telah datang.”Aliya terdiam lagi, mencoba mencerna setiap kata yang disampaikan oleh Tuan Qazzafi tadi. Sebelum hal terburuk terjadi, bantuan itu telah datang.Aliya mengulang-ulang kalimat itu.Meski merasa ini ironis, karena Aliya sesungguhnya berharap, bantuan itu datang sebelum Dean tewas. Tapi lalu Aliya menghela napas lega. Dia merasa bebannya sedikit berkurang.Setidaknya, perkataan seorang sesepuh dari RealmAir, tidak mungkin adalah perkataan spekulasi semata. Atau hanya sekadar hiburan belaka.Aliya
Sabtu, 31 Desember 202213.15 WIB, Basecamp Cikahuripan.Siang itu Aliya menengok Nawidi kembali.Tuan Qazzafi dan adiknya --Tuan Nazran-- masih di dalam kamar Nawidi untuk sesi healingmereka pada Nawidi.Ia mendengar dari Agung bahwa Nawidi masih belum siuman. Namun kondisinya tampak lebih stabil.Agung dan Iyad lalu pamit pada Aliya, untuk ke paviliun belakang menemui Reed dan rekan-rekannya yang menginap di sana.Reed dari posko Turki, Oliver dari posko Albania, Kyler dari posko Ghana dan Nevan dari posko Luxembourg telah datang Jumat sore kemarin, beberapa jam setelah Aliya pamit pulang.Mereka ditempatkan di paviliun belakang yang telah disiapkan beberapa hari itu oleh Agung dan teman-teman.Agung dan Iyad ada janji rapat dengan keempat pimpinan posko tersebut siang ini. Mereka hendak membahas lebih lanjut beberapa opsi untuk memulangkan jasad Dean dan membawa Agni kembali dan beberapa hal penting lainnya.
Praaang!Nampan dan kedua gelas terjatuh dari pegangan Aliya. Pecahan terserak tak jauh dari kedua kaki Aliya.Mata Aliya membelalak, mulut membuka, jantung terlewat beberapa detakan, napasnya terdengar pendek-pendek seakan terengah.Kedua lutut Aliya gemetar dan menjadi lemas hingga tak lama kemudian tubuhnya hendak terjatuh.Namun sosok yang berdiri di depan Aliya itu, dengan sigap menyingkirkan pecahan cangkir yang berserakan di bawah Aliya dengan sekali empasan ringan energi dari tangan kirinya, sementara tangan kanan menangkap lengan kiri Aliya dan menahannya tidak sampai terjatuh.Kedua lutut Aliya sungguh lemas.Ia kini terduduk di lantai dengan lengannya yang terlingkari erat oleh tangan sosok itu.Wajah Aliya menengadah memandang tak percaya pada pria yang berlutut satu kaki di depan Aliya dengan tangan yang tetap melingkari lengannya.Bibirnya bergetar, lalu dengan susah payah satu kata keluar dari mulutnya.“De-Dean…”Pria di hadapan Aliya itu tersenyum. “Aku pulang…” bisik
Sosok jangkung yang kini tampak di depannya dengan kaos hitam lengan panjang dan celana kargo berwarna senada itu, tengah menatap diri Aliya dengan sorot mata yang tampak rumit.Terlihat jejak lelah pada wajah tampan-nya yang masih dihiasi jambang yang menyambung dengan janggut dan kumis tipisnya.Aliya terpaku menatap wajah maskulin itu.Wajah dengan sepasang bola mata berwarna hazel terbingkai garis rahang yang kuat dan tegas dengan hidung mancung yang terpahat sempurna di atas bibir tipis indahnya.Wajah yang telah ia rindukan dengan amat sangat selama berhari-hari ini.Wajah yang ia inginkan untuk hadir di mimpinya dan ia harapkan untuk mendatangi dirinya dalam bayangan. Wajah yang muncul dalam doa di setiap ia selesai melaksanakan sujud-sujud panjangnya di sepertiga malam dan lima waktu wajibnya. Aliya seperti tak bernapas, ketika pria jangkung itu melangkah mendekat padanya.“Aliya….” Suara rendah itu memanggil nama Aliya begitu langkahnya hanya berjarak sekitar tiga puluh s