Dean tersenyum.
Ia lalu duduk di tepi ranjang kembali. “If you feel wanna write it, just write it then (Jika kau ingin menulisnya, tulislah). Tapi jangan terlalu dipaksakan. Tubuhmu masih butuh istirahat yang cukup.”
“Ini bukan soal ingin…. Tapi aku--” Aliya menghela napas.
“Aku merasa perlu untuk menulis setiap detilnya. Entahlah… Mungkin aku ingin, agar jika aku kelak terlupa lagi tentang dunia elemen ini, aku memiliki catatan yang ku susun seperti novel ini…”
“Semua hal detail itu… bahkan emosi yang terisi di dalamnya, agar aku bisa mengembalikan apa yang hilang nanti…”
“Insya Allah, tidak ada yang hilang lagi. Kecuali jika kau memang menginginkan untuk melupakan semuanya lagi seperti sebelumnya,” sela Dean.
Aliya terdiam.
“Karena itu, aku butuh ini,” lanjut Aliya. “Jika terjadi hal yang membuat aku ingin melupakan semua
Malam itu rengekan Agni untuk menyuapi Aliya dikabulkan, dan Aliya menghabiskan hampir setengah porsi yang diambilkan Guntur untuk Aliya.Agni merapikan letak bantal yang tersusun di belakang kepala Aliya, sebelum Aliya kembali bersandar.“Dah… istirahat ya Moony…. Aku simpen dulu ini ke dapur,” kata Agni bergegas keluar. Di ruang makan Agung yang tengah duduk makan malam, menegur Agni.“Habis, Ni?”“Lumayan nih, setengahnya.”“Syukurlah. Tadi pagi dan siang kan Liya ga makan sama sekali ya.”“Itu dia. Makanya gua paksa tadi,” celoteh Agni, lalu batal melangkah ke dapur. Ia justru menarik kursi di seberang Agung dan duduk di sana. Piring bekas makan Aliya tadi, ia letakkan di atas meja.Agni mengeluarkan ponsel milik Dean dari saku celananya. Ponsel milik Dean itu kini memang lebih sering dipegang Agni. Sesaat ia asyik dengan ponsel tersebut.Iyad yang ma
20.50 WIBKetika Aliya mengganti posisi rebahannya dengan posisi miring ke kiri, ia agak terkejut dengan Agni yang tiba-tiba membuka pintu kamar tanpa mengetuk.Ia membawa guling dalam dekapannya sambil tersenyum lebar.“Moony…. aku mau bobo di sini, yaa….”“Hah… a-apa?”Belum lagi Aliya selesai dengan keterkejutannya, sosok lain muncul dengan wajah nyengir juga.“Saya juga, Liya….. Mau ikut tidur di sini….”“Agung..?”Tanpa menunggu Aliya mengijinkan, Agni melangkah masuk, sementara Agung keluar dari kamar sebentar dan masuk kembali sambil mengangkat ujung kasur palembang. Tak lama, muncul Iyad yang memegang ujung lainnya kasur yang digulung itu.“Hai… Aliya… Aku juga ikutan tidur di sini ya…” kata Iyad riang. Ia dan Agung lalu membuka gulungan kasur itu di lantai di sisi kiri ranjang Aliya.Aliya t
Saat mereka berlima asyik bersenda gurau, Guntur datang.Suasana dalam kamar itu kian marak, dari mulai membahas tokoh Avenger sampai resep masakan Guntur. Dari mulai pujian seputar Dean, sampai ledekan untuk Terry dan Agni.Aliya tak urung merasa sangat terhibur. Hatinya terasa begitu hangat di kelilingi ‘anak-anak’ itu. Mereka sungguh kompak menghiburnya dan memberinya dukungan secara tidak langsung agar dirinya bisa terlepas dari pengalaman traumatis di Kazan tempo hari.“Ehem!” Suara deheman terdengar tiba-tiba. Begitu mereka menengok ke arah pintu dan melihat sosok pemilik deheman tersebut, semuanya langsung terdiam.“Lumayan gaduh juga. Bukankah Aliya butuh istirahat?” tegurnya datar.Ya. Pemilik suara datar yang punya keajaiban mendiamkan kegaduhan tersebut, adalah Nawidi.Setelah kalimat itu keluar darinya, kontan kelima pemuda elemen itu ambil posisi berbaring dan menarik selimut mereka masing-mas
Jumat, 16 Desember 202210.10 WIB, Suntenjaya.Aliya melangkah perlahan menyusuri ruang tengah. Ruang ini terlihat sepi dan terlalu kosong. Selain karena Nawidi, Agni dan lainnya tengah keluar untuk sesi latihan pagi mereka, ruangan ini juga minim hiasan ataupun pajangan.Hanya beberapa perabot sederhana yang fungsional ada di sana. Seharusnya beberapa foto terpajang di atas bufet panjang ini, pikir Aliya dalam hati.Langkah Aliya berhenti ketika sampai di ruang makan, ia dapat melihat taman belakang yang dibatasi oleh pintu kaca lebar yang selalu terbuka.Ia terhenti sejenak memandang pantulan dirinya pada kaca lebar itu. Ia melihat dirinya yang menggunakan kemeja flanel milik Dean. Tubuh Aliya tampak agak tenggelam dalam flanel yang kebesaran baginya itu.Aliya sedikit tersipu, saat teringat tatapan Dean padanya semalam, saat mengantarnya ke kamar mandi. Dean memandang dirinya yang memakai kemeja ini.Aliya tahu, Dean memikirkan hal
Dean menatap manik obsidian milik Aliya. Bibirnya menyungging senyuman tipis.“Bagaimana jika kau sekalian berlatih sesuatu?” Pria tampan bermanik hazel itu menawarkan.“Aku?” tunjuk Aliya pada wajahnya sendiri. “Berlatih apa?”“Ya. Misalnya, dasar-dasar pertahanan diri? Kau mau mencoba?” ujar Dean.Aliya terlihat ragu sejenak. Namun ia kemudian mengangguk.Mengingat pengalaman buruknya di Kazan tempo hari, ia memang harus mulai melakukan itu.“Baiklah,” kata Aliya sambil mengangguk.Dean memberi kode padanya untuk mengikutinya ke tengah ruangan, di atas matras lebar.Sampai di tengah, Aliya berdiri dengan gugup.Di depannya, Dean berdiri tegak, tatapan matanya lembut namun penuh fokus. “Kita mulai dengan teknik kuncian dasar,” ujar Dean, suaranya rendah dan tenang, membuat Aliya sedikit lebih rileks.Dean mendekat, tangannya perlahan menyentu
Sementara itu di ruang dapur, bi Titin terkejut ketika melihat Aliya masuk.“Lah, eneng ngapain di sini? Udahan nonton pemandangan indahnya?” tanyanya usil.Aliya tertawa kecil. “Iya, udahan. Makanya ke sini…” Aliya melongok yang sedang dilakukan bi Titin. “Bikin apa, bi?”“Ini mau bikin sambal goreng terong. Sama nanti mau bikin sop. Kalau tahu, tempe sama ayam mah tinggal goreng aja, da udah ibi bumbuin,” jelasnya.“Sini, sama saya aja potong-potong terongnya,” sahut Aliya lalu menggeser tubuh bi Titin.“Aduh eneng mah istirahat aja atuuh…”“Gapapa bi. Biar latihan gerak juga. Lagian bosen di kamar terus dari kemarin. Agni dan yang lainnya juga lagi pada di luar,” kata Aliya.“Okee kalo gitu, ibi jadi punya temen ngegosip deeh,” sahut bi Titin sambil mengacungkan jarinya membentuk kode ‘OK’.Aliya terkekeh
Tubuh Dean hanya dililit oleh handuk dari pinggang ke bawah, yang artinya kini Dean bertelanjang dada.Rambutnya basah dan meneteskan titik-titik sisa air. Beberapa bahkan tampak bergulir pelan di dahi Dean.Wajah tampan dan segar Dean, dengan beberapa helai poni basah yang menjuntai menutupi dahinya. Aroma yang menguar dari paduan wangi maskulin khas sabun pria dan aroma Dean sendiri.Lalu dada bidang dan lebar, dengan setiap ototnya berada di tempat yang tepat tanpa lemak sedikitpun yang terlihat.Setiap lekuk begitu sempurna, terutama pada enam petak otot perut yang seksi, dengan garis V di bawah otot yang sebagian tertutup handuk, serta posisi berdiri Dean yang tampak gagah dan mengundang.Ini… pemandangan menakjubkan!Aliya menelan ludah.Apa-apaan ini? Aku seharusnya yang menghibur dia, not the other way around! (bukan sebaliknya) Kok malah serasa aku yang dihibur dengan pemandangan ini?? Aliya memekik panik dalam hati.Tapi Aliya merasa sungguh mubazir jika ia mengalihkan matany
Dan barusan, dirinya dengan santai menyebut tentang Elang.Elang, yang Agni telah anggap sebagai abangnya sendiri, telah berubah. Di mata Agni, abangnya yang semula menjadi Penjaga terhebat untuk Moony-nya, menjadi Penjahat terkejam bagi Moony sekarang.“Hey… ayo jangan muram gitu mukanya. Aku gak suka,” Aliya menghibur Agni lagi. Tangannya menepuk-tepuk lutut Agni.“Iya, Moony…” jawab Agni lesu.Ia lalu beringsut ke lantai. Kedua tangannya terlipat di atas ranjang. Matanya menatap Aliya dengan penuh penyesalan.“Maafin gue….” pintanya memelas.Aliya tertawa kecil. “Agni, it’s not a big deal. Ok?”“Udah, bangun. Jangan di lantai,” kata Aliya lagi. “Dan sana mandi, siap-siap. Sebentar lagi kan mau sesi latihan kedua.”Agni perlahan berdiri. Ia mengangguk lemah. “Iya Moony. Gue siap-siap dulu kalo gitu ya..”“Good boy,” sahut Aliya sambil tersenyum. “Terima kasih udah angetin teh-nya, ya Agni…”Agni mengangguk. Lalu ia berjalan ke luar kamar itu, meninggalkan Aliya yang menghela napas la