“Di tangan neng Aliya, lalu kedua pergelangan tangan, lalu di bagian punggung pinggir kanan dan bagian atas ada lebam lebar…” jelas bi Titin lirih.Ia menarik napas pelan, lalu dengan ragu meneruskan. “Lalu emm… di sekitar leher juga banyak bercak merah.”“Ada apa Bi?” Dean yang baru keluar kamar mandi melangkah mendekat bi Titin. “Gimana Aliya?”Baru saja bi Titin hendak membuka mulut, Agni mendahuluinya.“Tangan Moony, pergelangan tangan dan punggung banyak lebam, Om! Moony kenapa?!”Dean terdiam dahinya berkerenyit.Dengan suara berat ia menjelaskan. “Aliya diganggu dan mengalami pelecehan oleh sekelompok orang saat di bar di Kazan.”“APAAA??!!” Agni langsung berdiri dari duduk.“Agni,” Nawidi mencoba menegurnya.“Trus lu apain orang-orang itu Om?” Agni maju mendekat ke Dean. “Jangan bilang lu biarin tu bangsat-bangsat bebas??!”“Tujuan utama saya, segera membawa Aliya pulang,” jawab Dean singkat. Ia berbalik lalu melangkah menuju kamarnya untuk mengecek Aliya.“BANGSAAAATTT!!!” Ag
09.17 WIBAliya membuka matanya perlahan. Ia mengerjap sayu. Kepalanya terasa begitu berat. Seluruh badan baru dirasanya ngilu, linu, nyeri dan sakit yang cukup membuatnya untuk berkeringat dan meringis tertahan.“Emmmhh…” desis Aliya pelan sambil memejamkan mata kembali. Rasa sakit di tubuhnya benar-benar terasa mengganggu sekarang.“Moony?” sebuah suara terdengar dari sisi kanan Aliya.Aliya membuka matanya kembali. Kini tampak olehnya, pemuda berparas ganteng dengan kulit putih khas turunan tionghoa dan hidung bangirnya. Namun kali ini, sorot mata usil dan ceria itu tidak tampak. Yang ada adalah mata kemerahan dengan sorot yang sarat kecemasan dan pancaran rasa takut.Pemuda itu yang kini tengah duduk di lantai dengan tangan terlipat di sisi ranjang, seolah telah menunggui dirinya tanpa mengedipkan mata sekalipun.Aliya tersenyum lemah. “Agni….”“Moo…ny…” A
13.00 WIB, Suntenjaya.Dengan bertelanjang dada, Agni membungkuk lalu mengambil posisi push up. Kedua tangan dan otot lengannya kian mengencang, saat Agung mulai menapakkan kaki dan berdiri di atas punggung Agni, disusul Terry.“Baaaangg! Lu tega dah ah!” Agni berteriak tertahan.“Jangan sekarang hukumnya dong, pleasee. Moony pan kagak lama disini. Bentar lagi bakal pulang. Besok 2 jam kagak papa, bang! Gua jabanin!”“Diam di situ. Tahan, tidak turun atau geser satu sentipun.” Nawidi berujar datar sambil meneruskan membaca bukunya.“Bang, satu menit tu berhargaaa…” rengek Agni memelas.“Tambah 15 menit!” Nawidi merespon datar.“Bang….” Agni masih tak ingin menyerah.“Tambah 15 menit lagi.”Kali ini Agni menutup mulutnya rapat - rapat. Tambahan 30 menit adalah hal besar baginya. Ia tahu ia tidak akan menang melawan Nawidi, ak
Dean tersenyum.Ia lalu duduk di tepi ranjang kembali. “If you feel wanna write it, just write it then (Jika kau ingin menulisnya, tulislah). Tapi jangan terlalu dipaksakan. Tubuhmu masih butuh istirahat yang cukup.”“Ini bukan soal ingin…. Tapi aku--” Aliya menghela napas.“Aku merasa perlu untuk menulis setiap detilnya. Entahlah… Mungkin aku ingin, agar jika aku kelak terlupa lagi tentang dunia elemen ini, aku memiliki catatan yang ku susun seperti novel ini…”“Semua hal detail itu… bahkan emosi yang terisi di dalamnya, agar aku bisa mengembalikan apa yang hilang nanti…”“Insya Allah, tidak ada yang hilang lagi. Kecuali jika kau memang menginginkan untuk melupakan semuanya lagi seperti sebelumnya,” sela Dean.Aliya terdiam.“Karena itu, aku butuh ini,” lanjut Aliya. “Jika terjadi hal yang membuat aku ingin melupakan semua
Malam itu rengekan Agni untuk menyuapi Aliya dikabulkan, dan Aliya menghabiskan hampir setengah porsi yang diambilkan Guntur untuk Aliya.Agni merapikan letak bantal yang tersusun di belakang kepala Aliya, sebelum Aliya kembali bersandar.“Dah… istirahat ya Moony…. Aku simpen dulu ini ke dapur,” kata Agni bergegas keluar. Di ruang makan Agung yang tengah duduk makan malam, menegur Agni.“Habis, Ni?”“Lumayan nih, setengahnya.”“Syukurlah. Tadi pagi dan siang kan Liya ga makan sama sekali ya.”“Itu dia. Makanya gua paksa tadi,” celoteh Agni, lalu batal melangkah ke dapur. Ia justru menarik kursi di seberang Agung dan duduk di sana. Piring bekas makan Aliya tadi, ia letakkan di atas meja.Agni mengeluarkan ponsel milik Dean dari saku celananya. Ponsel milik Dean itu kini memang lebih sering dipegang Agni. Sesaat ia asyik dengan ponsel tersebut.Iyad yang ma
20.50 WIBKetika Aliya mengganti posisi rebahannya dengan posisi miring ke kiri, ia agak terkejut dengan Agni yang tiba-tiba membuka pintu kamar tanpa mengetuk.Ia membawa guling dalam dekapannya sambil tersenyum lebar.“Moony…. aku mau bobo di sini, yaa….”“Hah… a-apa?”Belum lagi Aliya selesai dengan keterkejutannya, sosok lain muncul dengan wajah nyengir juga.“Saya juga, Liya….. Mau ikut tidur di sini….”“Agung..?”Tanpa menunggu Aliya mengijinkan, Agni melangkah masuk, sementara Agung keluar dari kamar sebentar dan masuk kembali sambil mengangkat ujung kasur palembang. Tak lama, muncul Iyad yang memegang ujung lainnya kasur yang digulung itu.“Hai… Aliya… Aku juga ikutan tidur di sini ya…” kata Iyad riang. Ia dan Agung lalu membuka gulungan kasur itu di lantai di sisi kiri ranjang Aliya.Aliya t
Saat mereka berlima asyik bersenda gurau, Guntur datang.Suasana dalam kamar itu kian marak, dari mulai membahas tokoh Avenger sampai resep masakan Guntur. Dari mulai pujian seputar Dean, sampai ledekan untuk Terry dan Agni.Aliya tak urung merasa sangat terhibur. Hatinya terasa begitu hangat di kelilingi ‘anak-anak’ itu. Mereka sungguh kompak menghiburnya dan memberinya dukungan secara tidak langsung agar dirinya bisa terlepas dari pengalaman traumatis di Kazan tempo hari.“Ehem!” Suara deheman terdengar tiba-tiba. Begitu mereka menengok ke arah pintu dan melihat sosok pemilik deheman tersebut, semuanya langsung terdiam.“Lumayan gaduh juga. Bukankah Aliya butuh istirahat?” tegurnya datar.Ya. Pemilik suara datar yang punya keajaiban mendiamkan kegaduhan tersebut, adalah Nawidi.Setelah kalimat itu keluar darinya, kontan kelima pemuda elemen itu ambil posisi berbaring dan menarik selimut mereka masing-mas
Jumat, 16 Desember 202210.10 WIB, Suntenjaya.Aliya melangkah perlahan menyusuri ruang tengah. Ruang ini terlihat sepi dan terlalu kosong. Selain karena Nawidi, Agni dan lainnya tengah keluar untuk sesi latihan pagi mereka, ruangan ini juga minim hiasan ataupun pajangan.Hanya beberapa perabot sederhana yang fungsional ada di sana. Seharusnya beberapa foto terpajang di atas bufet panjang ini, pikir Aliya dalam hati.Langkah Aliya berhenti ketika sampai di ruang makan, ia dapat melihat taman belakang yang dibatasi oleh pintu kaca lebar yang selalu terbuka.Ia terhenti sejenak memandang pantulan dirinya pada kaca lebar itu. Ia melihat dirinya yang menggunakan kemeja flanel milik Dean. Tubuh Aliya tampak agak tenggelam dalam flanel yang kebesaran baginya itu.Aliya sedikit tersipu, saat teringat tatapan Dean padanya semalam, saat mengantarnya ke kamar mandi. Dean memandang dirinya yang memakai kemeja ini.Aliya tahu, Dean memikirkan hal