Aliya menatap sedih semua makanan yang terhidang di hadapannya. Bagaimana ia akan memakan semuanya?
Ini bentuk pemubaziran. Meski hidangan itu sungguh sangat terlihat menarik, lezat dan Aliya yakin berharga mahal, namun ia tidak akan sanggup menghabiskan seluruhnya.
“Kau bisa cicipi saja satu per satu, dan hanya memakan yang benar-benar enak menurutmu. It’s ok, Liebling,” Elang menambahkan.
Aliya menggeleng pelan. Sekalipun perutnya sanggup menghabiskan semua itu, tapi bagaimana ia bisa makan dalam kondisi dan suasana hati seperti ini?
Elang sungguh tak paham kah, bahwa dirinya telah jauh berbeda? Elang terlihat santai, bahkan jika harus membuang makanan. Ini yang membuat Aliya merasa sedih.
“Aku…. kita selesaikan dulu saja bahasan kita, Elang.”
Elang mengangkat bahunya. “Ok, then.”
“Kau…..” Aliya terhenti sesaat. Menarik napas dalam, ia melanjutkan “Apa alasanmu menjatuhkan talak padaku?”
Elang tanpa berkedip memandang Aliya.
“You know what your problem was, Elang?” Aliya bertanya dan menatap lurus pada Elang. (Apa kau tahu masalahmu, Elang?)“Kau tidak pernah mencoba berbagi denganku. Kau selalu memendam dan menanggung beban sendiri. Aku ini apa? Aku waktu itu adalah istrimu! Bukan hanya saat senang aku ingin mendampingimu, namun juga berbagi kesulitan denganmu!”“Aliya…”“Tapi kau seolah tidak pernah menganggapku. Aku mungkin tidak sehebat dirimu sebagai seorang elemen. Tapi aku juga bukan pajangan! Tidak ada yang tidak dapat kita bicarakan! Dan selalu… saat itu kau menjadikanku merasa sebagai bebanmu…”“Kau bukan bebanku, Liebling…”“But you made me feel so!!” kali ini Aliya berteriak, tak lagi sanggup menahan dirinya. Kedua matanya memerah dan terasa perih serta panas. (Tapi kau membuatku merasa seperti itu!)“Liebling…..”“Aku bilang, berhenti panggil aku Liebling!!” jerit Aliya.Elang tertegun. Wajahnya langsung pias. Ia menatap wajah wanita d
Aliya menyela. “Kau… juga meninggalkan teman-teman. Agni… Agung… mereka…”“Kurasa aku cukup dalam mendidik mereka. Mereka tetap dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik selama ini. Bukankah begitu?” potong Elang tanpa ekspresi.Bibir Aliya bergerak-gerak hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.Elang yang kini berdiri di hadapannya, kembali menjadi Elang asing yang sangat mengintimidasi dan setiap ucapannya terasa seperti suatu otoritas yang tidak bisa ditolak.“Aku tidak memerlukan rengekan ini, Liebling,” Elang melanjutkan. “Listen. Ya, aku mungkin melukaimu. Tapi itu tetap akan kupilih meski hal itu terulang, jika itu satu-satunya pilihanku untuk memastikan aku bisa tetap melihatmu hidup!”“Dengan… membiarkan dan meninggalkanku?” Aliya bertanya lirih.“Aku tidak meninggalkanmu!” Elang menyahut tegas. “Aku akan mendatangimu dan membawamu bersamaku kembali!”“Membawaku..?” Aliya tersenyum
Kamis, 1 Desember 2022Pertemuan dengan Elang menjadi ingatan yang membuat Aliya kesulitan menetralkan perasaan gelisah dan juga bersalah memenuhi seluruh rongga dadanya dan juga pikirannya.Aliya berguling di atas kasur.Entah berapa kali ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang terjadi pada dirinya dan Elang kemarin, bukan sesuatu yang direncanakan.‘Kecelakaan’ kecil itu bukan pula hal yang diinginkan Aliya untuk terjadi.Namun hal itu terus menghantui Aliya, hingga bahkan semalam wanita itu tidak berani menemui Dean di alam sukma mereka.Tangan Aliya meraih ponsel yang ia letakkan di samping bantal. Ia ingin menghubungi Diani, namun terhenti.Perasaan bersalah ini benar-benar mengganggu, sampai ia merasa enggan untuk menelepon Diani.Aliya sangat bisa menduga apa yang sekiranya akan dikatakan Diani, jika ia bercerita tentang kegundahannya kali ini.Diani akan menyarankan Aliya untuk menemui Dean
Rumah kayu ini terlihat begitu kokoh dengan satu lajur bagian yang tertutup tanaman rambat hingga ke lantai dua.Tanaman rambat itu pun dipenuhi aneka warna bunga. Aliya tidak tahu persis nama-nama bunga itu. Yang ia tahu hanya satu kata. Indah.Aliya lalu memalingkan kepalanya ke kanan, mendengar suara gemericik yang begitu menggoda.Matanya lagi-lagi membelalak takjub.Ia melihat kolam sepanjang rumah itu dengan bebatuan kali yang tertata begitu artistik. Dengan lebar sekitar dua meter, seolah sebuah sungai kecil mengelilingi rumah mereka.“Ini… rumah kita?” Aliya berbisik pelan.Belum sempat dia mengagumi bagian lain dari halaman belakang rumah miliknya dan Dean, ia kembali teringat tujuan semula hingga ia setengah berlari keluar rumah melalui pintu belakang tadi.Mengejar Dean.‘Ya. Dean. Kemana dia?’Kini kepala Aliya menoleh mencari-cari keberadaan suami sukmanya.Sete
Namun, ketika Dean berdiri kembali, Aliya langsung mendekat dengan kedua tangan terulur ke arah pinggang Dean.Jemarinya lalu menggelitiki pinggang Dean.“Senyum…. ayo senyum…” bujuk Aliya sambil jemarinya terus menggelitiki pinggang Dean.Dean sempat sekali meliukkan tubuhnya karena kaget dan geli. Tangan kirinya yang memegang sebuah botol, terangkat dan meletakkan botol itu di sisi wastafel.“Aliya….” Suara rendah Dean yang memanggil Aliya agak tersendat karena menahan geli.Aliya lalu menghentikan tangannya yang menggelitiki pinggang Dean.“Habisnya, kau cuekin aku dari tadi. Sedih tau….” lirih Aliya berujar. Ia menampilkan mimik muka se-menyedihkan mungkin. Berharap dengan begitu, Dean akan luluh.Serentetan kalimat pun ia siapkan dalam kepalanya, apabila Dean akan mulai berbicara dengannya atau bahkan beradu argumentasi dengannya.Namun Aliya hanya melihat Dea
[Liebling, seperti aku katakan kemarin, aku akan mengirimkan lagi untukmu. Jangan ditolak lagi.]“Apa-apaan ini!” Aliya hanya mendesis kaget.Ternyata memang benar ada transfer masuk. Dan ternyata memang benar, itu adalah Elang.Dengan sedikit geram, Aliya mengetik kalimat untuk statusnya sendiri.[Hentikan. Aku tidak perlu uangmu.]Status tersebut terpasang.Namun lima detik kemudian…Ding!Notifikasi yang sama seperti sebelumnya, terdengar masuk.[KREDIT Rp. 800,000,000.00 rek TJ xxx109 pada 03/12/22 11:31:11.] “Gila!” Aliya refleks memekik lagi.Suasana tetiba hening di sekitar wanita muda itu, membuat Aliya segera tersadar.Kepalanya terangkat, sambil menggigit bibir bagian bawah ia mengangguk malu pada Camat yang duduk di depan dan tengah memberikan arahan.“Ma-maaf, Pak.”Demi keamanan dan kenyamanan semua, Aliya
Di satu tempat, dalam satu ruangan besar --serupa ruang kerja, satu sosok bertubuh tinggi dan proporsional tengah duduk di balik meja kerja besar.Satu tangan terlipat bertumpu da atas meja untuk menopang dagu, sementara tangan lainnya berada di atas tuts keyboard laptop.Telunjuk kanannya mengetuk di sana dengan santai.Bibirnya bahkan tertarik ke atas, membentuk seringai geli. Ia tersenyum miring --seakan tengah mendengarkan percakapan kocak.Namun tidak ada apa-apa di sana.Layar laptop tengah menampilkan satu menu di website internet banking. Deretan informasi berupa huruf dan angka tertera di sana.Itu adalah mutasi rekening.‘Elang… apalagi mau mu? Mengapa bertingkah seperti ini?’‘Dia ini kenapa sih! Astaga bikin puyeng orang saja!’ Kata demi kata yang terdengar dalam pikiran Elang, membuat pria itu tersenyum miring lagi.Ia mendengar dengan jelas setiap kata maupun ucapan yang ada dalam pikiran Aliya --mantan istrinya.Tidak tampak ekspresi yang negatif di raut wajahnya, pun
Kiriman uang ke rekening Aliya, berlanjut di hari berikutnya, dengan nominal sama dengan yang dikirim Elang terakhir kali. Delapan ratus juta rupiah.Total saldo yang ada di rekening Aliya saat ini menjadi dua koma empat miliar.Wanita muda itu termangu memandangi layar ATM --tanpa berkedip, bukan takjub tapi nyaris tak percaya, bahwa Elang benar-benar terlihat begitu berniat membuat dirinya kesal.“Teh, sudah belum?” Seseorang menegurnya dari belakang.Pengunjung lain yang hendak menggunakan layanan mesin ATM itu telah mengantri di belakang Aliya dan menjadi tidak sabar begitu Aliya terlihat hanya memandangi layar monitor tanpa melakukan transaksi apa-apa.Aliya yang seolah baru dibangunkan, terkesiap dan buru-buru menekan tombol cancel. Tak lama setelah kartu ATM miliknya keluar dan diambil, Aliya bergegas bergeser.“Maaf Pak.” Aliya meminta maaf pada bapak-bapak yang mengantri di belakangnya.Setelah ia sedi