Tangannya segera meletakkan gelas minuman yang baru saja ia cicipi tadi.
“Hati-hati,” ujar Elang lalu menyodorkan selembar tisu yang ia ambil dari meja di depannya.
“Terima kasih,” balas Aliya lalu mengambil tisu dari tangan Elang. Ia menyeka sudut bibirnya dengan cepat.
Namun sudut matanya sempat menangkap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Elang saat menyodorkan tisu tadi padanya.
‘Ah astaga…. Itu Panerai 1616! Apa itu asli?’
‘Asli. Itu pasti asli…’
Aliya menelan ludah.
Jam tangan berbahan karbon dan kaca yang terbuat dari batu safir itu, adalah jam tangan yang pernah ia kagumi juga belum lama ini.
Harganya di kisaran US 16.000 dolar. Jika di kurs-kan ke rupiah, sekitar dua ratus empat puluh jutaan lebih.
Pikirannya sedikit bingung saat ini.
Elang yang ia kenal, meskipun dengan latar belakang seorang ayah yang miliarder, Elang bukanlah tipe orang yang suka memakai barang dengan ha
Aliya menatap sedih semua makanan yang terhidang di hadapannya. Bagaimana ia akan memakan semuanya?Ini bentuk pemubaziran. Meski hidangan itu sungguh sangat terlihat menarik, lezat dan Aliya yakin berharga mahal, namun ia tidak akan sanggup menghabiskan seluruhnya.“Kau bisa cicipi saja satu per satu, dan hanya memakan yang benar-benar enak menurutmu. It’s ok, Liebling,” Elang menambahkan.Aliya menggeleng pelan. Sekalipun perutnya sanggup menghabiskan semua itu, tapi bagaimana ia bisa makan dalam kondisi dan suasana hati seperti ini?Elang sungguh tak paham kah, bahwa dirinya telah jauh berbeda? Elang terlihat santai, bahkan jika harus membuang makanan. Ini yang membuat Aliya merasa sedih.“Aku…. kita selesaikan dulu saja bahasan kita, Elang.”Elang mengangkat bahunya. “Ok, then.”“Kau…..” Aliya terhenti sesaat. Menarik napas dalam, ia melanjutkan “Apa alasanmu menjatuhkan talak padaku?”Elang tanpa berkedip memandang Aliya.
“You know what your problem was, Elang?” Aliya bertanya dan menatap lurus pada Elang. (Apa kau tahu masalahmu, Elang?)“Kau tidak pernah mencoba berbagi denganku. Kau selalu memendam dan menanggung beban sendiri. Aku ini apa? Aku waktu itu adalah istrimu! Bukan hanya saat senang aku ingin mendampingimu, namun juga berbagi kesulitan denganmu!”“Aliya…”“Tapi kau seolah tidak pernah menganggapku. Aku mungkin tidak sehebat dirimu sebagai seorang elemen. Tapi aku juga bukan pajangan! Tidak ada yang tidak dapat kita bicarakan! Dan selalu… saat itu kau menjadikanku merasa sebagai bebanmu…”“Kau bukan bebanku, Liebling…”“But you made me feel so!!” kali ini Aliya berteriak, tak lagi sanggup menahan dirinya. Kedua matanya memerah dan terasa perih serta panas. (Tapi kau membuatku merasa seperti itu!)“Liebling…..”“Aku bilang, berhenti panggil aku Liebling!!” jerit Aliya.Elang tertegun. Wajahnya langsung pias. Ia menatap wajah wanita d
Aliya menyela. “Kau… juga meninggalkan teman-teman. Agni… Agung… mereka…”“Kurasa aku cukup dalam mendidik mereka. Mereka tetap dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik selama ini. Bukankah begitu?” potong Elang tanpa ekspresi.Bibir Aliya bergerak-gerak hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.Elang yang kini berdiri di hadapannya, kembali menjadi Elang asing yang sangat mengintimidasi dan setiap ucapannya terasa seperti suatu otoritas yang tidak bisa ditolak.“Aku tidak memerlukan rengekan ini, Liebling,” Elang melanjutkan. “Listen. Ya, aku mungkin melukaimu. Tapi itu tetap akan kupilih meski hal itu terulang, jika itu satu-satunya pilihanku untuk memastikan aku bisa tetap melihatmu hidup!”“Dengan… membiarkan dan meninggalkanku?” Aliya bertanya lirih.“Aku tidak meninggalkanmu!” Elang menyahut tegas. “Aku akan mendatangimu dan membawamu bersamaku kembali!”“Membawaku..?” Aliya tersenyum
Kamis, 1 Desember 2022Pertemuan dengan Elang menjadi ingatan yang membuat Aliya kesulitan menetralkan perasaan gelisah dan juga bersalah memenuhi seluruh rongga dadanya dan juga pikirannya.Aliya berguling di atas kasur.Entah berapa kali ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang terjadi pada dirinya dan Elang kemarin, bukan sesuatu yang direncanakan.‘Kecelakaan’ kecil itu bukan pula hal yang diinginkan Aliya untuk terjadi.Namun hal itu terus menghantui Aliya, hingga bahkan semalam wanita itu tidak berani menemui Dean di alam sukma mereka.Tangan Aliya meraih ponsel yang ia letakkan di samping bantal. Ia ingin menghubungi Diani, namun terhenti.Perasaan bersalah ini benar-benar mengganggu, sampai ia merasa enggan untuk menelepon Diani.Aliya sangat bisa menduga apa yang sekiranya akan dikatakan Diani, jika ia bercerita tentang kegundahannya kali ini.Diani akan menyarankan Aliya untuk menemui Dean
Rumah kayu ini terlihat begitu kokoh dengan satu lajur bagian yang tertutup tanaman rambat hingga ke lantai dua.Tanaman rambat itu pun dipenuhi aneka warna bunga. Aliya tidak tahu persis nama-nama bunga itu. Yang ia tahu hanya satu kata. Indah.Aliya lalu memalingkan kepalanya ke kanan, mendengar suara gemericik yang begitu menggoda.Matanya lagi-lagi membelalak takjub.Ia melihat kolam sepanjang rumah itu dengan bebatuan kali yang tertata begitu artistik. Dengan lebar sekitar dua meter, seolah sebuah sungai kecil mengelilingi rumah mereka.“Ini… rumah kita?” Aliya berbisik pelan.Belum sempat dia mengagumi bagian lain dari halaman belakang rumah miliknya dan Dean, ia kembali teringat tujuan semula hingga ia setengah berlari keluar rumah melalui pintu belakang tadi.Mengejar Dean.‘Ya. Dean. Kemana dia?’Kini kepala Aliya menoleh mencari-cari keberadaan suami sukmanya.Sete
Namun, ketika Dean berdiri kembali, Aliya langsung mendekat dengan kedua tangan terulur ke arah pinggang Dean.Jemarinya lalu menggelitiki pinggang Dean.“Senyum…. ayo senyum…” bujuk Aliya sambil jemarinya terus menggelitiki pinggang Dean.Dean sempat sekali meliukkan tubuhnya karena kaget dan geli. Tangan kirinya yang memegang sebuah botol, terangkat dan meletakkan botol itu di sisi wastafel.“Aliya….” Suara rendah Dean yang memanggil Aliya agak tersendat karena menahan geli.Aliya lalu menghentikan tangannya yang menggelitiki pinggang Dean.“Habisnya, kau cuekin aku dari tadi. Sedih tau….” lirih Aliya berujar. Ia menampilkan mimik muka se-menyedihkan mungkin. Berharap dengan begitu, Dean akan luluh.Serentetan kalimat pun ia siapkan dalam kepalanya, apabila Dean akan mulai berbicara dengannya atau bahkan beradu argumentasi dengannya.Namun Aliya hanya melihat Dea
[Liebling, seperti aku katakan kemarin, aku akan mengirimkan lagi untukmu. Jangan ditolak lagi.]“Apa-apaan ini!” Aliya hanya mendesis kaget.Ternyata memang benar ada transfer masuk. Dan ternyata memang benar, itu adalah Elang.Dengan sedikit geram, Aliya mengetik kalimat untuk statusnya sendiri.[Hentikan. Aku tidak perlu uangmu.]Status tersebut terpasang.Namun lima detik kemudian…Ding!Notifikasi yang sama seperti sebelumnya, terdengar masuk.[KREDIT Rp. 800,000,000.00 rek TJ xxx109 pada 03/12/22 11:31:11.] “Gila!” Aliya refleks memekik lagi.Suasana tetiba hening di sekitar wanita muda itu, membuat Aliya segera tersadar.Kepalanya terangkat, sambil menggigit bibir bagian bawah ia mengangguk malu pada Camat yang duduk di depan dan tengah memberikan arahan.“Ma-maaf, Pak.”Demi keamanan dan kenyamanan semua, Aliya
Di satu tempat, dalam satu ruangan besar --serupa ruang kerja, satu sosok bertubuh tinggi dan proporsional tengah duduk di balik meja kerja besar.Satu tangan terlipat bertumpu da atas meja untuk menopang dagu, sementara tangan lainnya berada di atas tuts keyboard laptop.Telunjuk kanannya mengetuk di sana dengan santai.Bibirnya bahkan tertarik ke atas, membentuk seringai geli. Ia tersenyum miring --seakan tengah mendengarkan percakapan kocak.Namun tidak ada apa-apa di sana.Layar laptop tengah menampilkan satu menu di website internet banking. Deretan informasi berupa huruf dan angka tertera di sana.Itu adalah mutasi rekening.‘Elang… apalagi mau mu? Mengapa bertingkah seperti ini?’‘Dia ini kenapa sih! Astaga bikin puyeng orang saja!’ Kata demi kata yang terdengar dalam pikiran Elang, membuat pria itu tersenyum miring lagi.Ia mendengar dengan jelas setiap kata maupun ucapan yang ada dalam pikiran Aliya --mantan istrinya.Tidak tampak ekspresi yang negatif di raut wajahnya, pun
Teaser untuk S3 RATU BUMI: KELAHIRAN SANG PEWARIS(Entah kapan akan dibuat S3-nya. Tapi Author ingin berikan ini sebagai ekstra saja untuk kalian. Thanks to you all!!)Seorang wanita tengah berada di depan laptop. Sebuah kacamata berbentuk persegi dengan bingkai berwarna biru bertengger di pangkal hidungnya.Terdengar suara tuts pada keyboard yang ditekan cukup keras dan cepat.“Selesai!!” seru wanita itu dengan bibir tersungging senyum yang begitu lebar.Matanya sekali lagi menatap lekat pada layar laptop miliknya. Seolah puas dengan apa yang ia baca, ia mengangguk dan tersenyum lagi.“Mantap memang. Si gue menggambarkan tokohnya begitu nyata. Cakep banget ini. Epik,” ujarnya sambil terus mengangguk-angguk kan kepala. Tiada henti ia memuji dirinya sendiri.“Mungkin karena aku pake namaku sendiri buat tokoh cewek, ini bener-bener terasa seperti kejadian nyata. Tapi kan itu emang tujuanku..”“Sepertinya aku bener-bener jenius… Beberapa potong mimpi ku, bisa kujadikan rangkaian cerita se
Suatu hari di bulan September 2023.Aliya menggeliat lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merentangkan kedua tangannya dan menguap.Kepalanya menengok ke kiri. Sisi itu kosong.Ia lalu menengadah, melihat ke arah jam dinding dalam kamar itu. 7:15.Aliya kemudian turun dari ranjang-nya. Ia kenakan sandal rumah berbahan kain dengan bordiran inisial A pada bagian tutup kakinya.Dengan langkah malas ia keluar kamar. Kepalanya berputar mencari.Hari itu, setelah ia tadi shalat subuh, ia tertidur kembali, karena semalam ia begadang menyelesaikan pekerjaannya hingga jam 2 dini hari.Kaki Aliya terus melangkah. Kini hidungnya mencium harum masakan berasal dari dapur. Ia pun mengarahkan kakinya ke arah sumber aroma tersebut.Ia terhenti di ambang pintu dapur. Bibirnya tersenyum. Matanya menatap ke depan dengan sorot penuh kasih.Tubuh jangkung dengan masih menggunakan set piyama tidur bermotif salur itu, masih asyik melakukan sesuatu di depan kompor.“Sudah bangun, rupanya…” kata pemilik
Dean menyetir mobil Jeep Cherokee Trackhawk yang terbuka dengan santai, menikmati embusan angin yang hangat di wajahnya sementara Aliya di sampingnya tampak takjub memandangi pemandangan di sekeliling mereka.Sekitar lima belas menit lalu, Aliya dan Dean tiba di Amboseli Airtrip di dalam Taman Nasional Amboseli.Taman Nasional Amboseli ini terletak di selatan Kenya, tepatnya di Kabupaten Kajiado, dekat perbatasan Kenya dengan Tanzania.Taman ini berada sekitar 240 kilometer sebelah tenggara Nairobi, ibu kota Kenya, dan terletak di bawah bayang-bayang Gunung Kilimanjaro yang megah di Tanzania, yang memberikan latar belakang yang ikonik dan terkenal di taman ini.Amboseli terkenal dengan populasi gajah besarnya, serta pemandangan sabana yang menakjubkan.Dean sengaja membawa Aliya ke tempat favorit-nya ini, untuk memberikan pengalaman baru bagi Aliya.Dengan helikopter, mereka terbang sekitar 40 menit dari helipad di atas gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi menuju Kajiado. Se
Aliya paham, yang dimaksud orang Elemen Air itu adalah Elang. Namun yang tidak ia paham, mengapa ia menangkap gestur kemarahan dari sosok Syauqi? Apakah Syauqi dan Elang pernah bertemu sebelumnya?Ini belum waktunya Aliya bertanya lebih jauh tentang itu. Jadi ia kemudian hanya mengalihkan pertanyaan pada hal lain.“Bukankah yang kudengar, bahwa Realm adalah keluarga yang memang bermukim di Tanah Air. Tapi--” Ucapan Aliya terhenti.Syauqi tertawa kecil. “Anda bingung karena saya berwajah campuran di luar Indonesia?”“Ya, jujur aku bingung.” Mau tak mau Aliya pun tertawa kecil.“Nenek saya sedikit memberontak, Madam.”“Eh?”Syauqi terkekeh. “Nenek saya kabur dari Indonesia dan menikah dengan orang Jepang. Lalu ibu saya lahir dan kemudian menikah dengan orang Amerika. Lalu lahirlah saya.”Pria berwajah elok itu menjeda diri sesaat. “Saat saya berumur lima tahun, ibu saya membawa saya kembali ke kakek buyut. Tetua Realm Api dan mengembalikan saya. Kata ibu saya, itu wasiat nenek saya sebel
Aliya bersandar di sofa lounge hotel yang nyaman, menatap tenang pada makanan di depannya.Ia mencoba hidangan khas Nairobi: Nyama Choma, potongan daging panggang yang gurih dan kaya rempah, ditemani dengan kachumbari—salad segar dari tomat, bawang, dan cabai.Rasa pedas dan segar dari kachumbari melengkapi cita rasa daging yang hangat, membuat Aliya semakin larut dalam suasana santai sambil menunggu Dean yang tengah dalam rapat mendadak di ballroom hotel.Saat kunyahan terakhir, Aliya teringat percakapannya tadi dengan Matteo, yang penuh dengan dukungan.Matteo, sahabat Dean itu, mengungkapkan ketulusan hati ketika mengetahui Aliya bersama Dean."Aku sangat bahagia, Nyonya.”“Please, panggil Aliya saja, Matteo.”Matteo tersenyum sumringah. “Baiklah.. Ya.. aku benar-benar merasa bahagia.”“Aku bisa lihat itu. Sejak pertama kita bertemu, wajahmu berseri-seri terus,” Aliya tersenyum lebar.“Ini bukan tentang diriku, Nyonya. Melihatmu akhirnya bersama Dean... itu sungguh yang selama ini
Tak berapa lama limousine yang ditumpangi Dean dan Aliya tiba di satu hotel yang tampak megah.Beberapa greeter dan bellboy tampak menyambut ramah dan penuh hormat saat Aliya dan Dean yang dipimpin Matteo, memasuki area hotel.Dean terlihat sedikit menaikkan alis—tampak berpikir sesuatu, namun tetap dengan santai mengikuti langkah Matteo yang terlihat bersemangat berbicara dengan Aliya.Aliya melangkah masuk ke dalam suite mewah di Helshington Nairobi, tak dapat menahan gumaman kagum yang meluncur pelan.Matanya menyusuri setiap sudut ruangan—sebuah suite yang luas dengan desain butik berkelas, bercampur sentuhan klasik yang elegan.Dindingnya dihiasi karya seni khas Afrika, menambah sentuhan eksotis pada ruangan yang megah namun tetap hangat.Lampu-lampu gantung dari kristal menghiasi langit-langit tinggi, sementara lantai kayu yang mengilap mencerminkan pantulan cahaya lembut dari lampu yang dipasang dengan artistik.Di satu sisi, ada balkon pribadi yang menghadap ke pemandangan perb
Gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi terlihat lebih sibuk dari biasanya.Para karyawan berjalan cepat, membawa berkas-berkas dan peralatan, memastikan setiap detail tertata sempurna untuk menyambut kedatangan CEO mereka, yang nyaris tidak pernah terlihat.Lobi utama yang biasanya hanya dihiasi dengan dekorasi sederhana kini terlihat sedikit berbeda. Tanaman hijau segar diletakkan di beberapa sudut, meja resepsionis dibersihkan hingga berkilau, dan tim keamanan memeriksa ulang setiap titik untuk memastikan semuanya sesuai standar.Di tengah kesibukan tersebut, Direktur cabang melangkah mendekati Matteo, manajer yang selalu tenang di tengah hiruk-pikuk persiapan ini.Dengan ragu, Direktur bertanya, "Mr. Odhiambo, apa benar tidak masalah jika kita melakukan persiapan seperti ini?"Sang Direktur masih teringat akan sikap sang CEO yang cenderung rendah hati dan tidak suka dengan seremoni berlebihan.Pernah sekali waktu saat ia pertama kali menjabat sebagai direktur cabang, ketika
Aliya duduk sendirian di dalam kabin jet pribadi Gulf Stream yang melaju anggun di atas awan menuju Kenya.Interior jet ini tampak begitu mewah dan nyaman, didesain dengan kursi kulit lembut berwarna krem yang berpadu dengan elemen kayu mahoni gelap.Cahaya matahari senja yang masuk dari jendela memberikan kilau hangat ke dalam kabin, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti perjalanan mereka.Aliya menatap keluar jendela, melihat hamparan langit oranye keemasan yang seakan tak berujung, membiarkan pikirannya melayang.Bayangan pertama kali ia melihat pesawat ini, dengan logo Starlight Corp di badan jet, memenuhi benaknya.Kata-kata Agung kembali terngiang di kepalanya, bagaimana Dean memilih nama Starlight, terinspirasi dari panggilan kesayangan yang ia berikan padanya setelah pertama kali melihat Aliya dalam mimpi.Ketika ia iseng berselancar di dunia maya, ia mendapati bahwa Starlight Corp adalah korporasi besar yang dikagumi dunia. Selain Starlight Corp dikenal dengan kebijakan
Dean tersedak lalu terbatuk.“Prrrfffffftttttt.” Agni sukses menyemburkan nasi yang baru saja ia suapkan ke dalam mulutnya.Bi Titin menahan tawa. Ia mengacungkan jempol pada Aliya, lalu melenggang santai kembali ke dapur.Hening.Aliya melotot ke arah Agni.“Jorok, ih!” Aliya menepukkan tangannya ke beberapa nasi semburan Agni yang mampir dan bertengger di bajunya.“So-sorry Moony!” Agni bergegas bangun dan meraih beberapa lembar tissue dan menghampiri Aliya. Tangannya mengelap tangan Aliya.Saat tangan Agni akan berpindah ke bagian baju di bawah dagu Aliya, tangan Dean telah memegang tangan Agni.“Biar saya saja,” kata Dean singkat.Agni memanyunkan mulutnya. “Lu sih, Om…” Lalu kembali ke tempat duduknya dan membersihkan sisa-sisa nasi yang berhamburan di meja sambil nyengir.Dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, Agni mengambil piring makannya dan memutuskan segera menyingkir dari ruang makan, untuk memberi keleluasaan bagi pasangan itu.“Gue pindah ah. Ini obrolannya udah dua