"Melati, duduk sini Nak," ucap Joko lembut dan tersenyum bangga.
Melati duduk di samping Joko dan Mira. Gadis itu menegakan hatinya saat melihat calon suaminya. Penampilannya jauh dari bayangannya. Bukankah Pak Anjasmoro orang kaya. Tapi kenapa penampialnnya seperti ini. "Maaf, tidak bisa lama-lama. Saya izin membawa Mbak Melati sekarang," ucap seorang pria dengan seragam hitam. Dilihat dari penampilannya, dia seorang supir pribadi. Dari arah lain Mawar datang membawa nampan yang berisi kopi dan sengaja menjatuhkan diri agar kopi panas itu tumpah ke dua pria itu. "Mawar!" Joko dan Mira segera bangkit dan membersihkan baju dua orang tamu. "Maaf Pak," ucap Mawar melenggang pergi begitu saja. "Maafkan putri saya ya Pak," ucap Mira erasa bersalah. "Tidak apa-apa Bu, saya permisi sekarang," ucap sang supir. "Kita tidak punya banyak waktu, bawa barangmu ke mobil," ucap satu pria lain melempar pandangan ke arah Melati. "Inggih Pak," jawab Melati patuh. Gadis itu menyeret koper keluar rumah setelah mencium tangan Joko dan Mira. Hatinya semakin pedih saat melihat kedua orang tuanya bersandiwara. Melati menguatkan hatinya. Setelah sekian banyak pengorbanannya, bahkan dia harus merelakan cita-citanya. Kini dirinya juga harus mengorbankan masa depannya. Tidak ada sedikitpun rasa cinta untuknya. Mobil di buka, Melati masuk ke dalam mobil di ikuti oleh dua orang pria paruh baya. Sesekali gadis itu menoleh kebelakang, berharap kedua orang tuanya berubah pikiran. "Hati-hati ya Nduk," ucap Mira sambil melambaikan tangannya. Joko melambaikan tangannya dan sesekali mengusap air mata yang tidak benar-benar keluar. Melati tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya itu. Mesin mobil muai menyala. Melati masih menatap pedih rumah yang sudah mengukir kisah hidupnya. Meskipun lima tahun belakangan ini dia tersiksa. Tapi rumah itu merupakan tempat ternyamannya dulu. 'Ibu, Melati pergi duu. melati janji akan sering kesini,' batin Melati. Pak supir menginjak pedal gas, perlahan mobil melaju. Di saat bersamaan Mawar keluar dari pintu. Gadis itu masih terisak. Melati menunjukan senyuman terbaiknya dan melambaikan tangannya ke Mawar. Mobil yang membawa Melatii sudah menghilang di balik persimpangan jalan. Mawar bangkit dan masuk ke dalam rumah. Terdengar sorak riuh di ruang tamu. Nominal yang fantastis baru saja masuk ke rekening kedua orang tuanya. Kedua orang tua Mawar seolah merayakan kemenangan mereka. Menjual anak yang paling berbakti. Mereka pikir hidup mereka akan sangat bahagia setelah keperian Melati. Apakah ini yang dimaksud anak adalah infestasi? Mawar bangkit dari lantai dan melangkah menuju ruang tamu. gadis itu meraih ponsel Mira dan membantingnya sampai hancur berkeping-keping. "Mawar! Kamu gila," bentak Mira. "Ya, aku sudah gila. Gila karena melihat kalian berdua," suara Mawar menggelegar. "Apa kalian nggak kasihan sama Mbak Melati? sedikit aja," lanjut Mawar menahan isak. "Melati sudah setuju, kenapa kamu yang ribut?" Mira meraih ponselnya yang hancur. "Besok kita beli hp lagi ya Pak. Hp yang lagi hits itu loh. yang ada logonya apel kroak," ucap Mira dengan mata berbinar. Mawar benar-benar tidak menyangka memiliki kedua orang tua tidak waras seperti mereka. Dengan amarah yang meletup, Mawar membantik meja hingga pecah. Serpihan kaca dari meja itu menyebar kemana-mana. Kaca itu juga menggores kaki Mira dan Joko dan membuat mereka segera menyingkir. "Aku nggak sudi punya orang tua seperti kalian!" Mawar masuk ke dalam kamar dan membereskan semua barangnya. Tanpa Melati, dia tidak bisa hidup dan berdampingan dengan kedua orang tuanya. Dirinya sangat malu dengan perbuatan mereka. Tidak peduli dengan kaki yang mengeluarkan cairan merah kental, Mawar tetap berkemas dan keluar dari rumah. "Berani kamu pergi! Kamu tidak akan mendapatkan warisa sedikitpun!" bentak MIra. Mawar menghentikan langkahnya, dia memutar tubuh dan menatap Mira dengan mata melebar. Seketika Mawar terbahak. "Ibu pikir aku mau? Aku tuh malu punya ibu seperti kamu! Udah ngerusak rumah tangga orang, masih saja sombong. Kapan Ibu sadar kalau Ibu itu salah, yang berhak atas rumah ini itu Mbak Melati, bukan Ibu!" Mawar tertawa pedih. Mendengar ucapan anaknya, amarah Mira meledak. Dia melangkah mendekati Mawar dan melayangkan tamparanhingga Mawar terjatuh. Sepanjang hidupnya, baru kali ini dia kasar pada putri semata wayangnya. Joka meraih tangan Mira dan mencoba meredam amarah Mira. Pria itu membawa Mira menjauh dan menolong Mawar untuk bangun. "Minggir, aku jijik sama Bapak." Mawar mendorong Joko. "Kalian dengar baik-baik! Aku nggak akan pernah anggap kalian orang tuaku lagi. Aku udah anggap kalian udah mati. Satu lagi ... Jangan perna anggapaku anak, aku bisa ngurus hidupku sendiri. "Pergi! Aku juga ngak akan pernah cari kamu," ucap Mira lantang. Mawar mengagguk, dia melangkah keluar dari rumah. Suara Joko yang memanggil namanya tidak membuat Mawar kembali. Gadis itu terus melangkah tanpa ragu. Di tempat lain, di dalam mobil Melati tangannya saling meremas menahan degupan jantung yang terus berdebar. Ini adalah kali pertamanya keluar dari rumah. Meninggalkan rumah cukup jauh. Dia tidak pernah membayangkan akan meninggalkan kampung halamannya engan cara seperti ini. Mobil itu berhenti di bandara. Sebelum turun, pria yang duduk di sampingnya meraih ponsel dan menghubungi seseorang. "Kami sudah membawa Melati Ndoro, sudah sampai bandara ... Inggih Ndoro," sambugan terputus, pria itu memaskkan benda pipih itu lagi ke dalam saku kemejanya. Dia turun dari mobil dan membantu Melati membawa barang bawaan. Pria paruh baya yang berpenampilan rapi itu memesan tiket dan melangkah menuju sebuah ruangan yang terpisah dengan kaca. "Perkenalkan saya Adi, sekertaris Pak Anjasmoro. Beliau tidak bisa datang menjemput karena satu hal. Saya akan mengantarkan Mbak Melati sampai disini. Mbak Raya akan membantu Mbak masuk ke dalam pesawat," ucap Pak Adi sopan. "Sinten Pak?" tanya wanita yang memakai seragam pramugari itu dan mencium tangan Pak Adi. "Tamunya Pak Anjas, bantu dia sampai pesawat turun nggih," ucap Andi lembut. "Inggih pak," "Yowes, ati-ati lek megawe," ucap Pak Adi berlalu pergi dan mengelus kepala Raya. Raya meraih koper Melati dan membantunya untuk mencari tempat duduk. Raya sangat baik, sesekali dia mengajak Melati ngobrol sebelum meninggalkannya dan membantu penumpang yang lain. 'Ya Allah, lindungilah hamba dimanapun hamba berada' Melati menatap langit biru dengan awan putih bersih lewat jendela. Matanya menatap dalam awan bersih itu. Bayangan Mawat terlihat jelas di sana. Hatinya merasa kepedihan yang sama. Selama ini hanya Mawar orang yang dekat dengannya. Saat ini dia harus pergi jauh. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya nanti. "Mawar, doakan aku biar bisa kuat dan hebat sepertimu. Aku takut,"Pesawat mendarat. Satu persatu penumpang turun. Raya membantu Melati membawa kopernya."Nanti Mbak di jemput sama orangnya Pak Anjas di luar." Raya menyeret koper dan berhenti di pintu kaca."Mbak sudah kenal sama Pak Anjas?" Melati memberanikan diri bertanya."Inggih Mbak. Papa saya bekerja lama sama beliau. Dia orang yang sangat baik, beliau membiayai sekolah saya sampai lulus dan mencarikan saya pekerjaan. Pekerjaan ini contohnya." Raya menjelaskan dengan wajah riang.Melihat ekpresi Raya, seharusnya Pak Anjas adalah sosok pria yang baik dan bijaksana. Tapi, kenpa dia memilih wanita untuk menjadi istrinya dengan umur yang terpaut jauh."Kalau istrinya Pak Anjas?" lanjut Melati bertanya sambil memainkan ujung bajunya.Mata Raya membulat, dia dengar Ndoro Sri sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan khusus. Terdengar kabar juga kalau Ndoro Sri mencari wanita untuk mengganti posisinya."Jangan-jangan njenengan!?" Raya menutup mulutnya."Matur Suwun Nggih Nduk Raya," ucap Andi, utu
Melati turun dari tangga. Sampai di bawah Andi sudah menunggunya dan mengantarnya ke meja makan di belakang. Di sana ada empat orang yang berdiri menatap Melati dengan tatapan aneh."Kamu Susternya Bu Sri?" tanya seorang wania paruh baya dengan kebaya dan rambut yang di sanggul ala kadarnya.Melati hanya mengangguk lirih. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya pada barisan orang di hadapannya.Andi menuntun Melati untuk duduk di kursi. Di hadapannya sudah ada berbagai kudapan makan malam. Teman-temannya juga duduk. Mereka memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kesan selama bekerja disini.Tidak ada pengalaman buruk sedikitpun mereka rasakan disini. Bahkan keluarga mereka juga ikut merasakan kebaikan Bu Sri dan Pak Anjas.Ingatan Melati kembali sepuluh menit yang lalu. Dia menebak kalau pernikahan ini juga bukan Pak Anjas yang mau. Dilihat dari betapa Pak Anjas mencintai istrinya tadi."Bu Sri sudah sehat belom?" tanya Mbok Darmi wanita berusia sekitar lima puluh tah
Melati mengayunkan langkah menaiki tangga. Kakinya berhenti di sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Dengan ragu Melati mengetuk pintu tersebut.Seorang pria membuka pintu. Mata Melati membulat saat melihat tubuh gagah yang masih di balut handuk di depannya, rambut ikalnya yang basah membuat pria itu terlihat lebih menawan.Meskipun usianya sudah kepala empat, tubuh Pak Anjas masih terjaga. Tidak kalah seperti ketiga putranya, jika semua pria dewasa seperti ini. Pasti para perjaka tidak akan laku."Masuk!" Pak Anjas membuka pintu. Punggung lebar itu menjauh dan menghilang di balik pintu. Melati segera duduk di lantai dan membantu Bu Sri untuk bangun dan bersandar pada tumpukan bantal."Sarapan dulu Bu." Melati mulai menyendok bubur.Bi Sri membuka mulut dan melahap bubur itu. Wajah wanita tersebut masih cantik meskipun sedikit pucat. Melati bisa membayangkan bagaimana pasangan suami istri dulu. Pasti mereka adalah orang paling bahagia di dunia."Sudah punya pandangan kampus?" tanya
Dina dan Dimas melangkah menuruni tangga dan mendekati Bagus yang masih berdiri di samping Melati. Dina dan Dimas menatap lekat Melati, keduanya seperti tidak dapat menerima kehadiran wanita kampung itu."Mau joging juga?" tanya Bagus melempar pandangan ke arah Dina dan Dimas."Nggak Mas, kita mau ke kampus ada urusan mendadak." Dina menatap sinis Melati."Sekalian bawa Melati sama kalian dong, siapa tau dia minat sekampus sama kita." Bagus menepuk pundak Dimas."Mas, yang bener aja. Kampus kita kan!?" ucapan Dia terhenti saat Dimas menginjak kaki Dina."Oke Mas, tapi nggak sekarang. Kita masih ada urusan. Lain waktu kita akan bawa Melati ke kampus," ucap Dimas mengedipkan matanya ke arah Dina. Memberikan kode agar gadis itu tetap menjaga emosinya.Dimas dan Dina pamitan, mereka mencium tangan Bagus sebelum berangkat. Diikuti Bagus melangkah di belakangnya kedua adiknya menuju pintu keluar.Dari arah belakang, Andi menepuk pundak Melati yang membuat wanita tersebut terkejut dan tidak
Suara ketukan pintu dari luar menyita perhatian dia orang yang masih duduk berhadapan di ruang kerja. Suara Andi terlihat begitu cemas."Pak Anjas, Bu Sri, Pak!" Andi terus mengetuk pintu.Pak Anjas diikuti oleh Melati melangkah menuju pintu. Wajah Andi terlihat ketakutan dan pucat. Jarinya menuju ke arah kamar Bu Sri. Menyadari ada yang tidak beres, Anjas segera berlari menuju ruangan sang istri.Pria dengan balutan kemeja warna putih itu segera membuka pintu. Di sana dia melihat sang istri memejamkan mata di sampingnya, Mbok Darmi dan Sarah menangis pilu."Siapkan mobil!" ucap Anjas segera meraih tubuh lemas sang istri.Andi segera turun dan berlari menuju garasi dan menyiapkan mobil. Dari dalam rumah, Anjas segera berlari sambil menggendong sang istri. Dia segera duduk di kursi belakang.Tidak membuang waktu, Andi menginjak gas dan meninggalkan rumah mewah itu. Membawa dua bos besarnya menuju rumah sakit. Kejadian berlangsung begitu cepat. Melati masih membatu melihat kepergian cal
Mobil berhenti di depan rumah. Bagus dan Agung turun dari mobil. Sementara Dina dan Dimas kembali ke kampus. Di ambang pintu sudah ada Mbok Darmi dan Sarah yang menanti kabar baik dari dua orang tersebut."Den, bagaimana keadaan Bu Sri?" tanya Mbok Darmi sambil meneteskan air mata.Agung memeluk wanita tua yang di penuhi rasa khawatir itu dan menepuk punggungnya. Dia tau bagaimana perasaan wanita tua yang dia anggap seperti neneknya ini."Ibu baik-baik aja, hanya butuh vitamin. Apa jangan-jangan Mbok Darmi lupa yang buatin jamu buat Ibu?" ucap Agung menggoda Mbok Darmi."Nggak kok Den, Mbok selalu rutin ngasih jamu ke Ibu. Maafin Mbok," pecah sudah tangis Mbok Darmi."Jangan nagis Mbok, Agung bercanda kok. Ibu baik-baik aja, besok udah boleh pulang. Sekarang buatin Agung rujak yuk, nggak boleh nangis-nangis lagi," ucap Agung mengusap air mata Mbok Darmi dan menggandeng wanita tua itu menuju dapur.Sarah masih berdiri di ambang pintu. Menatap Bagas, seolah mencari fakta yang di sembuny
Melati mengayunkan kakinya menuruni tangga. Jemari lentiknya berulang kali mengusap air mata yang melaju di pipi lembutnya. Dia tidak menyangka Bagus akan mengatakan hal yang tidak pernah dia bayangkan.Dari arah berlawanan seorang pria datang dengan membawa satu set jas, tanpa sengaja Melati menabrak pria tersebut."Maaf Den," ucap Melati segera membungkuk. Menyembunyikan wajahnya yang masih di penuhi bekas air mata."Hobi banget bikin onar sih!?" celetuk Agung yang melewati Melati begitu saja.Melati segera melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Wanita itu segera menuju dapur. Sama seperti rutinitas biasanya, di dapur ada Mbak Sarah dan Mbok Darmi yang sibuk mengupas rimpang untuk jamu Bu Sri.Melati duduk di samping Mbok Darmi. Wanita itu hendak meraih pisau dan membantu wanita tida itu. Namun Sarah menghalanginya. "Tadi Pak Anjas telfon, kamu di suruh pergi ke kampus sama Den Bagus. Kamu siap-siap gih," ucap Sarah."Ke kampus?" Melati masih membeku.Entah mengapa alam selalu tid
Mobil warna merah sudah terparkir di halaman. Bagus sudah siap dengan penampilan barunya. Sebisa mungkin dia menghapus wajah malunya. Kejadian itu membuatnya tidak enak hati pada Melati.Melati melangkah dengan ragu mendekati mobil. Sedetik Bagus terpaku melihat penampilan Melati. Dia terlihat cantik dengan wajah polosnya. Dress selutut dengan hiasan bunga terkesan jadul, namun begitu cocok wanita itu kenakan.Bagus segera turun dari mobil dan membuka pintu untuk Melati. Wanita itu melempar senyum kecil dan segera duduk di kursi depan. Bagus segera duduk di belakang kemudi dan melaju meninggalkan rumah megah tersebut.Suasana di mobil begitu canggung, bibir Bagus terbuka mengatup. Otaknya sibuk menyusun kata permintaan maaf. Sedangkan Melati masih menikmati pemandangan perkotaan yang sangat sibuk saat pagi hari."Kau yakin dengan jurusanmu?" tanya Bagus memecah keheningan.Melati tidak langsung menjawab. Dia melempar pandangan ragu ke Bag
Mobil warna merah sudah terparkir di halaman. Bagus sudah siap dengan penampilan barunya. Sebisa mungkin dia menghapus wajah malunya. Kejadian itu membuatnya tidak enak hati pada Melati.Melati melangkah dengan ragu mendekati mobil. Sedetik Bagus terpaku melihat penampilan Melati. Dia terlihat cantik dengan wajah polosnya. Dress selutut dengan hiasan bunga terkesan jadul, namun begitu cocok wanita itu kenakan.Bagus segera turun dari mobil dan membuka pintu untuk Melati. Wanita itu melempar senyum kecil dan segera duduk di kursi depan. Bagus segera duduk di belakang kemudi dan melaju meninggalkan rumah megah tersebut.Suasana di mobil begitu canggung, bibir Bagus terbuka mengatup. Otaknya sibuk menyusun kata permintaan maaf. Sedangkan Melati masih menikmati pemandangan perkotaan yang sangat sibuk saat pagi hari."Kau yakin dengan jurusanmu?" tanya Bagus memecah keheningan.Melati tidak langsung menjawab. Dia melempar pandangan ragu ke Bag
Melati mengayunkan kakinya menuruni tangga. Jemari lentiknya berulang kali mengusap air mata yang melaju di pipi lembutnya. Dia tidak menyangka Bagus akan mengatakan hal yang tidak pernah dia bayangkan.Dari arah berlawanan seorang pria datang dengan membawa satu set jas, tanpa sengaja Melati menabrak pria tersebut."Maaf Den," ucap Melati segera membungkuk. Menyembunyikan wajahnya yang masih di penuhi bekas air mata."Hobi banget bikin onar sih!?" celetuk Agung yang melewati Melati begitu saja.Melati segera melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Wanita itu segera menuju dapur. Sama seperti rutinitas biasanya, di dapur ada Mbak Sarah dan Mbok Darmi yang sibuk mengupas rimpang untuk jamu Bu Sri.Melati duduk di samping Mbok Darmi. Wanita itu hendak meraih pisau dan membantu wanita tida itu. Namun Sarah menghalanginya. "Tadi Pak Anjas telfon, kamu di suruh pergi ke kampus sama Den Bagus. Kamu siap-siap gih," ucap Sarah."Ke kampus?" Melati masih membeku.Entah mengapa alam selalu tid
Mobil berhenti di depan rumah. Bagus dan Agung turun dari mobil. Sementara Dina dan Dimas kembali ke kampus. Di ambang pintu sudah ada Mbok Darmi dan Sarah yang menanti kabar baik dari dua orang tersebut."Den, bagaimana keadaan Bu Sri?" tanya Mbok Darmi sambil meneteskan air mata.Agung memeluk wanita tua yang di penuhi rasa khawatir itu dan menepuk punggungnya. Dia tau bagaimana perasaan wanita tua yang dia anggap seperti neneknya ini."Ibu baik-baik aja, hanya butuh vitamin. Apa jangan-jangan Mbok Darmi lupa yang buatin jamu buat Ibu?" ucap Agung menggoda Mbok Darmi."Nggak kok Den, Mbok selalu rutin ngasih jamu ke Ibu. Maafin Mbok," pecah sudah tangis Mbok Darmi."Jangan nagis Mbok, Agung bercanda kok. Ibu baik-baik aja, besok udah boleh pulang. Sekarang buatin Agung rujak yuk, nggak boleh nangis-nangis lagi," ucap Agung mengusap air mata Mbok Darmi dan menggandeng wanita tua itu menuju dapur.Sarah masih berdiri di ambang pintu. Menatap Bagas, seolah mencari fakta yang di sembuny
Suara ketukan pintu dari luar menyita perhatian dia orang yang masih duduk berhadapan di ruang kerja. Suara Andi terlihat begitu cemas."Pak Anjas, Bu Sri, Pak!" Andi terus mengetuk pintu.Pak Anjas diikuti oleh Melati melangkah menuju pintu. Wajah Andi terlihat ketakutan dan pucat. Jarinya menuju ke arah kamar Bu Sri. Menyadari ada yang tidak beres, Anjas segera berlari menuju ruangan sang istri.Pria dengan balutan kemeja warna putih itu segera membuka pintu. Di sana dia melihat sang istri memejamkan mata di sampingnya, Mbok Darmi dan Sarah menangis pilu."Siapkan mobil!" ucap Anjas segera meraih tubuh lemas sang istri.Andi segera turun dan berlari menuju garasi dan menyiapkan mobil. Dari dalam rumah, Anjas segera berlari sambil menggendong sang istri. Dia segera duduk di kursi belakang.Tidak membuang waktu, Andi menginjak gas dan meninggalkan rumah mewah itu. Membawa dua bos besarnya menuju rumah sakit. Kejadian berlangsung begitu cepat. Melati masih membatu melihat kepergian cal
Dina dan Dimas melangkah menuruni tangga dan mendekati Bagus yang masih berdiri di samping Melati. Dina dan Dimas menatap lekat Melati, keduanya seperti tidak dapat menerima kehadiran wanita kampung itu."Mau joging juga?" tanya Bagus melempar pandangan ke arah Dina dan Dimas."Nggak Mas, kita mau ke kampus ada urusan mendadak." Dina menatap sinis Melati."Sekalian bawa Melati sama kalian dong, siapa tau dia minat sekampus sama kita." Bagus menepuk pundak Dimas."Mas, yang bener aja. Kampus kita kan!?" ucapan Dia terhenti saat Dimas menginjak kaki Dina."Oke Mas, tapi nggak sekarang. Kita masih ada urusan. Lain waktu kita akan bawa Melati ke kampus," ucap Dimas mengedipkan matanya ke arah Dina. Memberikan kode agar gadis itu tetap menjaga emosinya.Dimas dan Dina pamitan, mereka mencium tangan Bagus sebelum berangkat. Diikuti Bagus melangkah di belakangnya kedua adiknya menuju pintu keluar.Dari arah belakang, Andi menepuk pundak Melati yang membuat wanita tersebut terkejut dan tidak
Melati mengayunkan langkah menaiki tangga. Kakinya berhenti di sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Dengan ragu Melati mengetuk pintu tersebut.Seorang pria membuka pintu. Mata Melati membulat saat melihat tubuh gagah yang masih di balut handuk di depannya, rambut ikalnya yang basah membuat pria itu terlihat lebih menawan.Meskipun usianya sudah kepala empat, tubuh Pak Anjas masih terjaga. Tidak kalah seperti ketiga putranya, jika semua pria dewasa seperti ini. Pasti para perjaka tidak akan laku."Masuk!" Pak Anjas membuka pintu. Punggung lebar itu menjauh dan menghilang di balik pintu. Melati segera duduk di lantai dan membantu Bu Sri untuk bangun dan bersandar pada tumpukan bantal."Sarapan dulu Bu." Melati mulai menyendok bubur.Bi Sri membuka mulut dan melahap bubur itu. Wajah wanita tersebut masih cantik meskipun sedikit pucat. Melati bisa membayangkan bagaimana pasangan suami istri dulu. Pasti mereka adalah orang paling bahagia di dunia."Sudah punya pandangan kampus?" tanya
Melati turun dari tangga. Sampai di bawah Andi sudah menunggunya dan mengantarnya ke meja makan di belakang. Di sana ada empat orang yang berdiri menatap Melati dengan tatapan aneh."Kamu Susternya Bu Sri?" tanya seorang wania paruh baya dengan kebaya dan rambut yang di sanggul ala kadarnya.Melati hanya mengangguk lirih. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya pada barisan orang di hadapannya.Andi menuntun Melati untuk duduk di kursi. Di hadapannya sudah ada berbagai kudapan makan malam. Teman-temannya juga duduk. Mereka memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kesan selama bekerja disini.Tidak ada pengalaman buruk sedikitpun mereka rasakan disini. Bahkan keluarga mereka juga ikut merasakan kebaikan Bu Sri dan Pak Anjas.Ingatan Melati kembali sepuluh menit yang lalu. Dia menebak kalau pernikahan ini juga bukan Pak Anjas yang mau. Dilihat dari betapa Pak Anjas mencintai istrinya tadi."Bu Sri sudah sehat belom?" tanya Mbok Darmi wanita berusia sekitar lima puluh tah
Pesawat mendarat. Satu persatu penumpang turun. Raya membantu Melati membawa kopernya."Nanti Mbak di jemput sama orangnya Pak Anjas di luar." Raya menyeret koper dan berhenti di pintu kaca."Mbak sudah kenal sama Pak Anjas?" Melati memberanikan diri bertanya."Inggih Mbak. Papa saya bekerja lama sama beliau. Dia orang yang sangat baik, beliau membiayai sekolah saya sampai lulus dan mencarikan saya pekerjaan. Pekerjaan ini contohnya." Raya menjelaskan dengan wajah riang.Melihat ekpresi Raya, seharusnya Pak Anjas adalah sosok pria yang baik dan bijaksana. Tapi, kenpa dia memilih wanita untuk menjadi istrinya dengan umur yang terpaut jauh."Kalau istrinya Pak Anjas?" lanjut Melati bertanya sambil memainkan ujung bajunya.Mata Raya membulat, dia dengar Ndoro Sri sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan khusus. Terdengar kabar juga kalau Ndoro Sri mencari wanita untuk mengganti posisinya."Jangan-jangan njenengan!?" Raya menutup mulutnya."Matur Suwun Nggih Nduk Raya," ucap Andi, utu
"Melati, duduk sini Nak," ucap Joko lembut dan tersenyum bangga. Melati duduk di samping Joko dan Mira. Gadis itu menegakan hatinya saat melihat calon suaminya. Penampilannya jauh dari bayangannya. Bukankah Pak Anjasmoro orang kaya. Tapi kenapa penampialnnya seperti ini. "Maaf, tidak bisa lama-lama. Saya izin membawa Mbak Melati sekarang," ucap seorang pria dengan seragam hitam. Dilihat dari penampilannya, dia seorang supir pribadi. Dari arah lain Mawar datang membawa nampan yang berisi kopi dan sengaja menjatuhkan diri agar kopi panas itu tumpah ke dua pria itu. "Mawar!" Joko dan Mira segera bangkit dan membersihkan baju dua orang tamu. "Maaf Pak," ucap Mawar melenggang pergi begitu saja. "Maafkan putri saya ya Pak," ucap Mira erasa bersalah. "Tidak apa-apa Bu, saya permisi sekarang," ucap sang supir. "Kita tidak punya banyak waktu, bawa barangmu ke mobil," ucap satu pria lain melempar pandangan ke arah Melati. "Inggih Pak," jawab Melati patuh. Gadis itu menyeret koper kelu