Pesawat mendarat. Satu persatu penumpang turun. Raya membantu Melati membawa kopernya.
"Nanti Mbak di jemput sama orangnya Pak Anjas di luar." Raya menyeret koper dan berhenti di pintu kaca. "Mbak sudah kenal sama Pak Anjas?" Melati memberanikan diri bertanya. "Inggih Mbak. Papa saya bekerja lama sama beliau. Dia orang yang sangat baik, beliau membiayai sekolah saya sampai lulus dan mencarikan saya pekerjaan. Pekerjaan ini contohnya." Raya menjelaskan dengan wajah riang. Melihat ekpresi Raya, seharusnya Pak Anjas adalah sosok pria yang baik dan bijaksana. Tapi, kenpa dia memilih wanita untuk menjadi istrinya dengan umur yang terpaut jauh. "Kalau istrinya Pak Anjas?" lanjut Melati bertanya sambil memainkan ujung bajunya. Mata Raya membulat, dia dengar Ndoro Sri sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan khusus. Terdengar kabar juga kalau Ndoro Sri mencari wanita untuk mengganti posisinya. "Jangan-jangan njenengan!?" Raya menutup mulutnya. "Matur Suwun Nggih Nduk Raya," ucap Andi, utusan Pak Anjas. "Mbak Melati ya?" sapa orang itu. Melati mengagguk. Andi meraih koper di tangan Raya dan mepersilahkan Melati menuju jalan keluar. Terdengar bisik-bisik di belakang. Sepertiya raya dan Andi adalah teman dekat sebelumnya. Terdengar juga canda tawa di belakang sebelum Andi berjalan sejajar dengan Melati. Pria itu seumuran dengan Melati. Penampilanya juga sangat rapi, jauh dari pemuda yang pernah dia temui. Angan Melati melambung jauh. Pantas saja Pak Anjas memberi nominal yan fantastis kepada orangtuanya. Melihat mua karyawannya berpenampilan rapi, sudah bisa di pastikan seberapa kekayaannya. Andi membuka pintu mobil dan mempersiahkannya untuk masuk. Tidak lupa pria itu menaruh semua barang Melati di bagasi belakang lalu duduk di belakang kemudi dan menginjak pedal gas. "Nama saya Andi, Mbak. Saya tukang kebun di rumah Pak Anjas. jadi kalau ada apa-apa Mbak bisa panggil saya," ucap Andi memperkenalkan diri. Seorang tukang kebun saja pnampilanya rapi sekali? Melati menyamakan pakaiannya dan Andi, sangat beda jauh. Rasa minder mulai merasuk di jiwa Melati. "Nggak usah takut, di sana orangnya baik-baik kok. Apalagi Den Bagus sama Den Agung. Mereka nggak pernah membedakan kasta," lanjut Andi bercerita. Ada dua anak laki-laki dan di pastikan umurnya pasti tidak jauh berbeda, tubuh Melati mendadak lemas saat mendengar penjelsan Andi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia akan berkomunikasi dengan mereka. "Mbak sudah dapat pandangan kampus belum?" Andi melempar wajah cerahnya. Bibir Melati kelu untuk menjelaskan kalau dia adalah calon istri Pak Anjas. jangankan membayangkan kampus, menghadapi semua orang di rumah itu dengan statusnya ini saja nyalinya sudah menciut. "Biasanya kalau anak baru seusia Mbak Melati, pasti di carikan kampus. Jadi kita kerja sambil kuliah. Tapi jangan khawatir, gaji kitatetap sisa kok untuk bayar kuliah." "Raya dulunya juga sama seperti aku, Dia jadi asisten pribadinya Ibu Sri, istri Pak Anjas," lanjut Andi berkisah. "Istri?" Melati mengulang kaliamat tersebut. "Ya, Istri Pak Anjas yang sedang sakit. Saya kira Mbak penggantinya Raya, seoalnya suster yang kemarin di pecat." Andi masih fokus menyetir sambil lanjut bercerita. "Kenapa di pecat?" "Katanya sih dia menggoda Pak Anjas dan ketahuan Bu Sri, jadilah perang Baratayudha," jawab Andi enteng. Seketika jantung Melai keluar dari raganya.Dia benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Bu Sri setelah tau semuanya. Jangankan di pecat, pasti tubuhnya sudah akan di cabik-cabik di tempat. Mau kabur? Bahkan Melati tidak tau dimana dirinya sekarang. Dilihat dari cerita Andi, Pak Anjas adalah orang berkuasa, hanya dengan petikan jari pasti sudah bisa menemukannya. Wajah Melati tiba-tiba pucat. Andi yang melihatnya mulai khawatir. Pria itu membuka laci mobil dan mengeluarkan kantong pelastik. "Sebentar lagi nyampek kok. Ujung jalan itu adalah rumah Pak Anjas," Mobil masuk di sebuah halaman rumah yag cukup luas. Terdapat hiasan air mancur dan beberapa bunga yang cukup terawat. Rumah ini begitu megah dan mewah. Deretan mobil berjejer di garasi yang bertempat di sebelah halaman rumah. Pantas saja Pak Anjas dengan mudah memberi sekolah gratis pada beberapa anak. "Yuk saya antar masuk" ucap Andi membuka pintu dan membantu Melati membawa beberapa barang. Andi masuk lewat pintu belakang, diikuti oleh Melati yang melangkah di belakangnya. Mata Melati membulat, tak henti-hentinya dia mengagumi rumah yang begitu mewah ini. Melati menabrak Andi yang berhenti mendadak. Gadis itu terlalu fokus sampai tidak tau ada orang yang begitu di segani di depannya. "Sugeng dalu Pak Anjas, Mbak Melati pun dugi," ucap Andi sambil memberi hormat. Melati melempar pandangan ke epan saat telinganya mendengar nama sang calon suami. Kakinya lemas seketika saat melihat sosok gagah di hadapannya. Umurnya memang jauh dua puluh tahun lebih tua darinya. Namun penampilannya begitu sempurna. Bahkan jika di lihat, tidak ada keriput yang menghiasi wajahnya. Angan Melati buyar saat suara lembut Pak Anjas menyapanya. Andi melangkah pergi untuk menyiapkan kamar yang akan di tempati teman barunya itu. "Ikut Saya!" Pak Anjas melangkah menaiki tangga dan menuju di salah satu kamar. Mata Melati masih menyapu seluruh ruangan. Lampu gantung yang begitu indah dan ruangan mahal itu seperti di dalam sinetro televisi. Pak Anjas memutar ganggang pintu dan mempersilahkan Melati untuk masuk. Seorang wanita sedang terbaring lemah. Pak Anjas duduk di tepi ranjang dan mencium tangan wanita itu. "Bu, Nduk Melati sudah datang," suara lembut Pak Anjas membuat sepasang mata yang terpejam itu terbuka. Dua pasang mata itu menatap sayu ke arah Melati Dengan susah payah dia mengangkat tangan, memberi kode agar gadis itu mendekat. Melati segera mendekat dan menekuk kedua kakinya hingga kedua wajah mereka sejajar. Wanita yag terbaring itu begitu cantik meskipun wajahnya pucat. Tubuhnya kurus kering. Selang infus terpasang di tangannya. Terdengar isak dari Pak Anjas. Jantung Melati sudah tidak bisa di kondisikan, semua perasaannya bercampur aduk hingga telapak tangannya mengeluarkan keringat. "Kamu cantik sekali, semoga kerasan teng mriki nggih," ucap Wanita itu lirih, nyaris tidak terdengar. "Inggih Bu," "Tugasmu di sini melayani Bapak, saget?" Wanita itu menggenggam tangan Melati. Tangan pucat itu begitu dingin dan rapuh. Melati tak sampai hati melihatnya. Gadis itu meraih tangan pucat tersebut dan menganggukkan kepalanya. "Sudah malam, Melati pasti capek. Ngobrolnya di lanjut besok nggih," ucap Pak Anjas meraih tangan wanita itu di dekapan Melati. Wanita itu hanya tersenyum tipis kemudian menganggukkan kepalanya. pak Anjas membawa Melati keluar dari kamar. "Kamarmu di bawah tangga sebelah dapur. Besok pagi Saya jelaskan apa tugasmu," ucap Pak Anjas sebelum masuk kembali ke kamarMelati turun dari tangga. Sampai di bawah Andi sudah menunggunya dan mengantarnya ke meja makan di belakang. Di sana ada empat orang yang berdiri menatap Melati dengan tatapan aneh."Kamu Susternya Bu Sri?" tanya seorang wania paruh baya dengan kebaya dan rambut yang di sanggul ala kadarnya.Melati hanya mengangguk lirih. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya pada barisan orang di hadapannya.Andi menuntun Melati untuk duduk di kursi. Di hadapannya sudah ada berbagai kudapan makan malam. Teman-temannya juga duduk. Mereka memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kesan selama bekerja disini.Tidak ada pengalaman buruk sedikitpun mereka rasakan disini. Bahkan keluarga mereka juga ikut merasakan kebaikan Bu Sri dan Pak Anjas.Ingatan Melati kembali sepuluh menit yang lalu. Dia menebak kalau pernikahan ini juga bukan Pak Anjas yang mau. Dilihat dari betapa Pak Anjas mencintai istrinya tadi."Bu Sri sudah sehat belom?" tanya Mbok Darmi wanita berusia sekitar lima puluh tah
Melati mengayunkan langkah menaiki tangga. Kakinya berhenti di sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Dengan ragu Melati mengetuk pintu tersebut.Seorang pria membuka pintu. Mata Melati membulat saat melihat tubuh gagah yang masih di balut handuk di depannya, rambut ikalnya yang basah membuat pria itu terlihat lebih menawan.Meskipun usianya sudah kepala empat, tubuh Pak Anjas masih terjaga. Tidak kalah seperti ketiga putranya, jika semua pria dewasa seperti ini. Pasti para perjaka tidak akan laku."Masuk!" Pak Anjas membuka pintu. Punggung lebar itu menjauh dan menghilang di balik pintu. Melati segera duduk di lantai dan membantu Bu Sri untuk bangun dan bersandar pada tumpukan bantal."Sarapan dulu Bu." Melati mulai menyendok bubur.Bi Sri membuka mulut dan melahap bubur itu. Wajah wanita tersebut masih cantik meskipun sedikit pucat. Melati bisa membayangkan bagaimana pasangan suami istri dulu. Pasti mereka adalah orang paling bahagia di dunia."Sudah punya pandangan kampus?" tanya
Dina dan Dimas melangkah menuruni tangga dan mendekati Bagus yang masih berdiri di samping Melati. Dina dan Dimas menatap lekat Melati, keduanya seperti tidak dapat menerima kehadiran wanita kampung itu."Mau joging juga?" tanya Bagus melempar pandangan ke arah Dina dan Dimas."Nggak Mas, kita mau ke kampus ada urusan mendadak." Dina menatap sinis Melati."Sekalian bawa Melati sama kalian dong, siapa tau dia minat sekampus sama kita." Bagus menepuk pundak Dimas."Mas, yang bener aja. Kampus kita kan!?" ucapan Dia terhenti saat Dimas menginjak kaki Dina."Oke Mas, tapi nggak sekarang. Kita masih ada urusan. Lain waktu kita akan bawa Melati ke kampus," ucap Dimas mengedipkan matanya ke arah Dina. Memberikan kode agar gadis itu tetap menjaga emosinya.Dimas dan Dina pamitan, mereka mencium tangan Bagus sebelum berangkat. Diikuti Bagus melangkah di belakangnya kedua adiknya menuju pintu keluar.Dari arah belakang, Andi menepuk pundak Melati yang membuat wanita tersebut terkejut dan tidak
Suara ketukan pintu dari luar menyita perhatian dia orang yang masih duduk berhadapan di ruang kerja. Suara Andi terlihat begitu cemas."Pak Anjas, Bu Sri, Pak!" Andi terus mengetuk pintu.Pak Anjas diikuti oleh Melati melangkah menuju pintu. Wajah Andi terlihat ketakutan dan pucat. Jarinya menuju ke arah kamar Bu Sri. Menyadari ada yang tidak beres, Anjas segera berlari menuju ruangan sang istri.Pria dengan balutan kemeja warna putih itu segera membuka pintu. Di sana dia melihat sang istri memejamkan mata di sampingnya, Mbok Darmi dan Sarah menangis pilu."Siapkan mobil!" ucap Anjas segera meraih tubuh lemas sang istri.Andi segera turun dan berlari menuju garasi dan menyiapkan mobil. Dari dalam rumah, Anjas segera berlari sambil menggendong sang istri. Dia segera duduk di kursi belakang.Tidak membuang waktu, Andi menginjak gas dan meninggalkan rumah mewah itu. Membawa dua bos besarnya menuju rumah sakit. Kejadian berlangsung begitu cepat. Melati masih membatu melihat kepergian cal
Mobil berhenti di depan rumah. Bagus dan Agung turun dari mobil. Sementara Dina dan Dimas kembali ke kampus. Di ambang pintu sudah ada Mbok Darmi dan Sarah yang menanti kabar baik dari dua orang tersebut."Den, bagaimana keadaan Bu Sri?" tanya Mbok Darmi sambil meneteskan air mata.Agung memeluk wanita tua yang di penuhi rasa khawatir itu dan menepuk punggungnya. Dia tau bagaimana perasaan wanita tua yang dia anggap seperti neneknya ini."Ibu baik-baik aja, hanya butuh vitamin. Apa jangan-jangan Mbok Darmi lupa yang buatin jamu buat Ibu?" ucap Agung menggoda Mbok Darmi."Nggak kok Den, Mbok selalu rutin ngasih jamu ke Ibu. Maafin Mbok," pecah sudah tangis Mbok Darmi."Jangan nagis Mbok, Agung bercanda kok. Ibu baik-baik aja, besok udah boleh pulang. Sekarang buatin Agung rujak yuk, nggak boleh nangis-nangis lagi," ucap Agung mengusap air mata Mbok Darmi dan menggandeng wanita tua itu menuju dapur.Sarah masih berdiri di ambang pintu. Menatap Bagas, seolah mencari fakta yang di sembuny
Melati mengayunkan kakinya menuruni tangga. Jemari lentiknya berulang kali mengusap air mata yang melaju di pipi lembutnya. Dia tidak menyangka Bagus akan mengatakan hal yang tidak pernah dia bayangkan.Dari arah berlawanan seorang pria datang dengan membawa satu set jas, tanpa sengaja Melati menabrak pria tersebut."Maaf Den," ucap Melati segera membungkuk. Menyembunyikan wajahnya yang masih di penuhi bekas air mata."Hobi banget bikin onar sih!?" celetuk Agung yang melewati Melati begitu saja.Melati segera melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Wanita itu segera menuju dapur. Sama seperti rutinitas biasanya, di dapur ada Mbak Sarah dan Mbok Darmi yang sibuk mengupas rimpang untuk jamu Bu Sri.Melati duduk di samping Mbok Darmi. Wanita itu hendak meraih pisau dan membantu wanita tida itu. Namun Sarah menghalanginya. "Tadi Pak Anjas telfon, kamu di suruh pergi ke kampus sama Den Bagus. Kamu siap-siap gih," ucap Sarah."Ke kampus?" Melati masih membeku.Entah mengapa alam selalu tid
Mobil warna merah sudah terparkir di halaman. Bagus sudah siap dengan penampilan barunya. Sebisa mungkin dia menghapus wajah malunya. Kejadian itu membuatnya tidak enak hati pada Melati.Melati melangkah dengan ragu mendekati mobil. Sedetik Bagus terpaku melihat penampilan Melati. Dia terlihat cantik dengan wajah polosnya. Dress selutut dengan hiasan bunga terkesan jadul, namun begitu cocok wanita itu kenakan.Bagus segera turun dari mobil dan membuka pintu untuk Melati. Wanita itu melempar senyum kecil dan segera duduk di kursi depan. Bagus segera duduk di belakang kemudi dan melaju meninggalkan rumah megah tersebut.Suasana di mobil begitu canggung, bibir Bagus terbuka mengatup. Otaknya sibuk menyusun kata permintaan maaf. Sedangkan Melati masih menikmati pemandangan perkotaan yang sangat sibuk saat pagi hari."Kau yakin dengan jurusanmu?" tanya Bagus memecah keheningan.Melati tidak langsung menjawab. Dia melempar pandangan ragu ke Bag
"Mau atau tidak, kau harus mau menikah dengan Pak Anjasmoro!" suara monoton itu masih terngiang di telinga Melati. Melati duduk di ranjangnya. Buliran bening terus mengalir di pelupuk matanya. Dia tidak percaya hidupnya akan hancur secepat ini. Setelah penikahan kedua Papanya, dia pikir wanita yang selama ini dia anggap baik ternyata malah menjadi mimpi buruknya, Tante Mira. Wanita yang baru saja satu tahun masuk kedalam kehidupannya dan berhasil merusak semua mimpinya. "Sudah terima saja saran dari Papa, Pak Anjasmoro itu orang kaya. Kamu akan hidup bahagia di sana," ucap Mira mengelus pucuk kepala Melati. Mulut Melati hanya mengatup rapat mendengar ucapan Wanita dengan muka dua di depannya. Terima, bagaimana bisa dia menerima pria yang akan menjadi suaminya dengan jarak umur cukup jauh? 20 tahun lebih tua. Pria yang lebih pantas dia panggil Papa, malah akan menjadi suaminya. Bisakah dia menjalani sebuah pernikahan seperti ini? "Maa, aku pegen sendiri." Melati memalingkan waj
Mobil warna merah sudah terparkir di halaman. Bagus sudah siap dengan penampilan barunya. Sebisa mungkin dia menghapus wajah malunya. Kejadian itu membuatnya tidak enak hati pada Melati.Melati melangkah dengan ragu mendekati mobil. Sedetik Bagus terpaku melihat penampilan Melati. Dia terlihat cantik dengan wajah polosnya. Dress selutut dengan hiasan bunga terkesan jadul, namun begitu cocok wanita itu kenakan.Bagus segera turun dari mobil dan membuka pintu untuk Melati. Wanita itu melempar senyum kecil dan segera duduk di kursi depan. Bagus segera duduk di belakang kemudi dan melaju meninggalkan rumah megah tersebut.Suasana di mobil begitu canggung, bibir Bagus terbuka mengatup. Otaknya sibuk menyusun kata permintaan maaf. Sedangkan Melati masih menikmati pemandangan perkotaan yang sangat sibuk saat pagi hari."Kau yakin dengan jurusanmu?" tanya Bagus memecah keheningan.Melati tidak langsung menjawab. Dia melempar pandangan ragu ke Bag
Melati mengayunkan kakinya menuruni tangga. Jemari lentiknya berulang kali mengusap air mata yang melaju di pipi lembutnya. Dia tidak menyangka Bagus akan mengatakan hal yang tidak pernah dia bayangkan.Dari arah berlawanan seorang pria datang dengan membawa satu set jas, tanpa sengaja Melati menabrak pria tersebut."Maaf Den," ucap Melati segera membungkuk. Menyembunyikan wajahnya yang masih di penuhi bekas air mata."Hobi banget bikin onar sih!?" celetuk Agung yang melewati Melati begitu saja.Melati segera melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Wanita itu segera menuju dapur. Sama seperti rutinitas biasanya, di dapur ada Mbak Sarah dan Mbok Darmi yang sibuk mengupas rimpang untuk jamu Bu Sri.Melati duduk di samping Mbok Darmi. Wanita itu hendak meraih pisau dan membantu wanita tida itu. Namun Sarah menghalanginya. "Tadi Pak Anjas telfon, kamu di suruh pergi ke kampus sama Den Bagus. Kamu siap-siap gih," ucap Sarah."Ke kampus?" Melati masih membeku.Entah mengapa alam selalu tid
Mobil berhenti di depan rumah. Bagus dan Agung turun dari mobil. Sementara Dina dan Dimas kembali ke kampus. Di ambang pintu sudah ada Mbok Darmi dan Sarah yang menanti kabar baik dari dua orang tersebut."Den, bagaimana keadaan Bu Sri?" tanya Mbok Darmi sambil meneteskan air mata.Agung memeluk wanita tua yang di penuhi rasa khawatir itu dan menepuk punggungnya. Dia tau bagaimana perasaan wanita tua yang dia anggap seperti neneknya ini."Ibu baik-baik aja, hanya butuh vitamin. Apa jangan-jangan Mbok Darmi lupa yang buatin jamu buat Ibu?" ucap Agung menggoda Mbok Darmi."Nggak kok Den, Mbok selalu rutin ngasih jamu ke Ibu. Maafin Mbok," pecah sudah tangis Mbok Darmi."Jangan nagis Mbok, Agung bercanda kok. Ibu baik-baik aja, besok udah boleh pulang. Sekarang buatin Agung rujak yuk, nggak boleh nangis-nangis lagi," ucap Agung mengusap air mata Mbok Darmi dan menggandeng wanita tua itu menuju dapur.Sarah masih berdiri di ambang pintu. Menatap Bagas, seolah mencari fakta yang di sembuny
Suara ketukan pintu dari luar menyita perhatian dia orang yang masih duduk berhadapan di ruang kerja. Suara Andi terlihat begitu cemas."Pak Anjas, Bu Sri, Pak!" Andi terus mengetuk pintu.Pak Anjas diikuti oleh Melati melangkah menuju pintu. Wajah Andi terlihat ketakutan dan pucat. Jarinya menuju ke arah kamar Bu Sri. Menyadari ada yang tidak beres, Anjas segera berlari menuju ruangan sang istri.Pria dengan balutan kemeja warna putih itu segera membuka pintu. Di sana dia melihat sang istri memejamkan mata di sampingnya, Mbok Darmi dan Sarah menangis pilu."Siapkan mobil!" ucap Anjas segera meraih tubuh lemas sang istri.Andi segera turun dan berlari menuju garasi dan menyiapkan mobil. Dari dalam rumah, Anjas segera berlari sambil menggendong sang istri. Dia segera duduk di kursi belakang.Tidak membuang waktu, Andi menginjak gas dan meninggalkan rumah mewah itu. Membawa dua bos besarnya menuju rumah sakit. Kejadian berlangsung begitu cepat. Melati masih membatu melihat kepergian cal
Dina dan Dimas melangkah menuruni tangga dan mendekati Bagus yang masih berdiri di samping Melati. Dina dan Dimas menatap lekat Melati, keduanya seperti tidak dapat menerima kehadiran wanita kampung itu."Mau joging juga?" tanya Bagus melempar pandangan ke arah Dina dan Dimas."Nggak Mas, kita mau ke kampus ada urusan mendadak." Dina menatap sinis Melati."Sekalian bawa Melati sama kalian dong, siapa tau dia minat sekampus sama kita." Bagus menepuk pundak Dimas."Mas, yang bener aja. Kampus kita kan!?" ucapan Dia terhenti saat Dimas menginjak kaki Dina."Oke Mas, tapi nggak sekarang. Kita masih ada urusan. Lain waktu kita akan bawa Melati ke kampus," ucap Dimas mengedipkan matanya ke arah Dina. Memberikan kode agar gadis itu tetap menjaga emosinya.Dimas dan Dina pamitan, mereka mencium tangan Bagus sebelum berangkat. Diikuti Bagus melangkah di belakangnya kedua adiknya menuju pintu keluar.Dari arah belakang, Andi menepuk pundak Melati yang membuat wanita tersebut terkejut dan tidak
Melati mengayunkan langkah menaiki tangga. Kakinya berhenti di sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Dengan ragu Melati mengetuk pintu tersebut.Seorang pria membuka pintu. Mata Melati membulat saat melihat tubuh gagah yang masih di balut handuk di depannya, rambut ikalnya yang basah membuat pria itu terlihat lebih menawan.Meskipun usianya sudah kepala empat, tubuh Pak Anjas masih terjaga. Tidak kalah seperti ketiga putranya, jika semua pria dewasa seperti ini. Pasti para perjaka tidak akan laku."Masuk!" Pak Anjas membuka pintu. Punggung lebar itu menjauh dan menghilang di balik pintu. Melati segera duduk di lantai dan membantu Bu Sri untuk bangun dan bersandar pada tumpukan bantal."Sarapan dulu Bu." Melati mulai menyendok bubur.Bi Sri membuka mulut dan melahap bubur itu. Wajah wanita tersebut masih cantik meskipun sedikit pucat. Melati bisa membayangkan bagaimana pasangan suami istri dulu. Pasti mereka adalah orang paling bahagia di dunia."Sudah punya pandangan kampus?" tanya
Melati turun dari tangga. Sampai di bawah Andi sudah menunggunya dan mengantarnya ke meja makan di belakang. Di sana ada empat orang yang berdiri menatap Melati dengan tatapan aneh."Kamu Susternya Bu Sri?" tanya seorang wania paruh baya dengan kebaya dan rambut yang di sanggul ala kadarnya.Melati hanya mengangguk lirih. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya pada barisan orang di hadapannya.Andi menuntun Melati untuk duduk di kursi. Di hadapannya sudah ada berbagai kudapan makan malam. Teman-temannya juga duduk. Mereka memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kesan selama bekerja disini.Tidak ada pengalaman buruk sedikitpun mereka rasakan disini. Bahkan keluarga mereka juga ikut merasakan kebaikan Bu Sri dan Pak Anjas.Ingatan Melati kembali sepuluh menit yang lalu. Dia menebak kalau pernikahan ini juga bukan Pak Anjas yang mau. Dilihat dari betapa Pak Anjas mencintai istrinya tadi."Bu Sri sudah sehat belom?" tanya Mbok Darmi wanita berusia sekitar lima puluh tah
Pesawat mendarat. Satu persatu penumpang turun. Raya membantu Melati membawa kopernya."Nanti Mbak di jemput sama orangnya Pak Anjas di luar." Raya menyeret koper dan berhenti di pintu kaca."Mbak sudah kenal sama Pak Anjas?" Melati memberanikan diri bertanya."Inggih Mbak. Papa saya bekerja lama sama beliau. Dia orang yang sangat baik, beliau membiayai sekolah saya sampai lulus dan mencarikan saya pekerjaan. Pekerjaan ini contohnya." Raya menjelaskan dengan wajah riang.Melihat ekpresi Raya, seharusnya Pak Anjas adalah sosok pria yang baik dan bijaksana. Tapi, kenpa dia memilih wanita untuk menjadi istrinya dengan umur yang terpaut jauh."Kalau istrinya Pak Anjas?" lanjut Melati bertanya sambil memainkan ujung bajunya.Mata Raya membulat, dia dengar Ndoro Sri sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan khusus. Terdengar kabar juga kalau Ndoro Sri mencari wanita untuk mengganti posisinya."Jangan-jangan njenengan!?" Raya menutup mulutnya."Matur Suwun Nggih Nduk Raya," ucap Andi, utu
"Melati, duduk sini Nak," ucap Joko lembut dan tersenyum bangga. Melati duduk di samping Joko dan Mira. Gadis itu menegakan hatinya saat melihat calon suaminya. Penampilannya jauh dari bayangannya. Bukankah Pak Anjasmoro orang kaya. Tapi kenapa penampialnnya seperti ini. "Maaf, tidak bisa lama-lama. Saya izin membawa Mbak Melati sekarang," ucap seorang pria dengan seragam hitam. Dilihat dari penampilannya, dia seorang supir pribadi. Dari arah lain Mawar datang membawa nampan yang berisi kopi dan sengaja menjatuhkan diri agar kopi panas itu tumpah ke dua pria itu. "Mawar!" Joko dan Mira segera bangkit dan membersihkan baju dua orang tamu. "Maaf Pak," ucap Mawar melenggang pergi begitu saja. "Maafkan putri saya ya Pak," ucap Mira erasa bersalah. "Tidak apa-apa Bu, saya permisi sekarang," ucap sang supir. "Kita tidak punya banyak waktu, bawa barangmu ke mobil," ucap satu pria lain melempar pandangan ke arah Melati. "Inggih Pak," jawab Melati patuh. Gadis itu menyeret koper kelu