Melati mengayunkan langkah menaiki tangga. Kakinya berhenti di sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Dengan ragu Melati mengetuk pintu tersebut.
Seorang pria membuka pintu. Mata Melati membulat saat melihat tubuh gagah yang masih di balut handuk di depannya, rambut ikalnya yang basah membuat pria itu terlihat lebih menawan. Meskipun usianya sudah kepala empat, tubuh Pak Anjas masih terjaga. Tidak kalah seperti ketiga putranya, jika semua pria dewasa seperti ini. Pasti para perjaka tidak akan laku. "Masuk!" Pak Anjas membuka pintu. Punggung lebar itu menjauh dan menghilang di balik pintu. Melati segera duduk di lantai dan membantu Bu Sri untuk bangun dan bersandar pada tumpukan bantal. "Sarapan dulu Bu." Melati mulai menyendok bubur. Bi Sri membuka mulut dan melahap bubur itu. Wajah wanita tersebut masih cantik meskipun sedikit pucat. Melati bisa membayangkan bagaimana pasangan suami istri dulu. Pasti mereka adalah orang paling bahagia di dunia. "Sudah punya pandangan kampus?" tanya Bi Sri melempar senyum. Melati menggelengkan kepalanya. Jangankan kampus, bisa hidup dan tinggal dengan damai disini saja dia sudah sangat bersyukur. "Kamu bisa memilih fakultas yang kamu mau, kami tidak mau membatasinya," ucap Bu Sri lembut. "Lalu untuk pernikahanmu dengan Pak Anjas." Bu Sri menghentikan ucapannya sesaat. Memberi waktu untuk Melati menjawab. Mendengar ucapan Bu Sri, Melati mengangkat kepalanya dan menatap lekat manik mata penuh harap di hadapannya. Ingin sekali dia menolak pernikahan ini, namun dirinya juga tidak tega melihat mata itu. "Aku hanya ingin suamiku memiliki pendamping yang tepat sebelum aku menutup mata. Aku sangat mencintainya dan tidak mau dia sampai salah memilih wanita," ucap Bu Sri meraih tangan Melati. Bibir Melati masih mengatup rapat. Dia saat bersamaan, Pak Anjas keluar dari kamar ganti dan duduk di tepi ranjang. Dia mengecup lembut kening Bu Sri. "Kau boleh keluar, biar saya yang menyuapi Bu Sri," ucap Pak Anjas mengambil mangkuk bubur yang berada di tangan Melati. "Baik Pak," jawab Melati. Dia segera bangkit dan memutar badan, bersiap untuk melangkah pergi. Dia tidak mau menganggu kedua Tuannya. "Tidak, aku mau Melati tetap disini." Bi Sri bersih keras. Melati menghentikan langkah dan memutar tubuhnya. Dia tidak berani menatap Bu Sri dan Pak Anjas. Jemarinya memainkan ujung baju, mencoba untuk membuang rasa canggung. "Sayang, aku tau maksudmu. Keputusanku tetap sama. Aku tidak setuju dengan ide ini." Pak Anjas menatap lembut sang istri. "Tapi kau membutuhkan seseorang di sampingmu," sahut Bu Sri dengan suara lemah. "Empat anak. Itu sudah cukup untuk mengurus hari tuaku. Aku juga memiliki banyak kekayaan, masih cukup untuk menyewa suster. Yang harus kamu pikirkan adalah bagaimana kau lekas sembuh dan kembali seperti dulu," ucap Pak Anjas lembut. Pria itu begitu sabar menghadapi sang istri. Dari nada bicaranya pun, sepertinya Pak Anjas begitu mencintai Bu Sri. Andai saja dia buka pria baik-baik, tanpa di paska Bu Sri pun pasti sudah memiliki istri baru. "Melati, apakah kamu bersedia menjadi istri kedua Pak Anjas. Saya bisa menjamin kalau Pak Anjas akan menyayangimu dan memberi kehidupan jauh lebih baik." Bu Sri melempar pandangan ke arah Melati. "Sayang, Melati akan menjawab setelah kau menghabiskan bubur ini. Jadi buka mulutmu!" Pak Anjas memamerkan deretan gigi putih bersih dan menyuap sesendok bubur ke mulut Bu Sri. Romantis, bila pasangan lain akan terlihat cuek pada pernikahan yang berusia belasan tahun. Sangat jauh berbeda dengan Bu Sri dan Pak Anjas. Bunga cinta masih bermekaran di hubungan mereka. Melati benar-benar tidak tega harus menjadi orang ketiga pada pasangan saling mencintai ini. Andai saja, dia harus memberikan sisa hidupnya untuk Bi Sri. Tanpa pikir panjang, dia akan memberikannya. "Maaf Bu Sri, saya belum siap untuk menjawab pertanyaan Bu Sri. Beri saya sedikit waktu." Melati membungkuk badannya. "Ini memang berat bagi kalian, tapi aku mohon. Sebelum aku menutup mata untuk selamanya. Aku ingin mendengar jawaban kalian," ucap Bi Sri menatap Pak Anjas dan Melati bergantian. "Baiklah, kau boleh pergi." lanjut Bu Sri masih memasang senyum teduhnya. Melati membuka pintu dan menghilang di baliknya. Pak Anjas menatap dalam sang istri dan mengecup lembut bibir pucat do hadapannya. "Tolong jangan paksa aku lagi. Tidak akan ada wanita yang bisa menggantikan posisimu di hatiku," ucap Pak Anjas lembut. "Kau harus memilih, bukankah kau pernah bilang kalau hidup adalah pilihan?" sahut Bu Sri. "Ya, dan pilihanku adalah hidup denganmu. Sampai kapanpun akan tetap seperti itu." Pak Anjas menatap dalam manik mata pucat di hadapannya. "Tapi aku tidak bisa melayanimu. Aku tidak mau kau menyiksa dirimu sendiri." Bu Sri membelai rahang tegas yang di hiasi rambut tipis yang di tata rapi. "Aku tau ini terlalu sakit untuk kau dengar, tapi kau harus tau. Di luar ada banyak wanita yang menginginkan uangku. Jadi jangan paksa Melati." Pak Anjas memeluk Bu Sri. "Sampai kapan aku harus menanggung dosa ini? Membiarkan suami berzina di luar. Aku hanya ingin meninggalkan dunia ini dengan tenang." Air mata Bu Sri mulai menetes. "Melati lebih pantas menjadi putriku. Kita juga harus memperhatikan perasaannya. Baiklah, habiskan bubur ini. Kita akan mengobrol masalah ini di lain waktu," lanjut Pak Anjas menyendok bubur di tangannya ke mulut Bu Sri. Sementara di lantai bawah. Melati masih di dapur. Dia menekan dadanya. Menahan degupan jantung yang tidak dapat di kondisikan. Bagaimana bisa dia memiliki masalah serumit ini. "Melati?" sapa Seorang pria yang datang dari anak tangga. "Enggeh Den," jawab Melati memutar tubuhnya. Seorang pria dengan tubuh tegap. Melangkah mendekat. Pria itu memakai kaos oblong lengkap dengan celana panjang dan sepatu. Sepertinya dia siap untuk olahraga. "Tolong ambilkan botolku di lemari. Oiya, bagaimana badanmu? Apakah ada yang sakit?" tanya Bagus penuh perhatian. Melati mengambil satu botol di lemari dan mengulurkannya ke Bagus. Pria itu meraih botol tersebut dan melempar senyum teduh. Sepertinya semua pria yang tinggal di sini memiliki satu kesamaan. Mereka sangat ramah dan lemah lembut. Andai saja dia tidak datang sebagai istri kedua. Pasti hidupnya jauh lebih bahagia. "Tidak Den, hanya sedikit nyeri tapi sudah mendingan setelah di sekarang air hangat," jawab Melati. "Agung sering ikut bela diri jadi dia mungkin kelepasan. Maafkan dia yaa. Oiya, sudah ada pilihan kampus? Kalau belum kau bisa ikut denganku besok," ucap Bagus sambil mengisi botolnya dengan air minum. "Ke mana Den?" "Mas, jangan sembarang ngajak orang asing!" sahut wanita yang turun dari tangga.Dina dan Dimas melangkah menuruni tangga dan mendekati Bagus yang masih berdiri di samping Melati. Dina dan Dimas menatap lekat Melati, keduanya seperti tidak dapat menerima kehadiran wanita kampung itu."Mau joging juga?" tanya Bagus melempar pandangan ke arah Dina dan Dimas."Nggak Mas, kita mau ke kampus ada urusan mendadak." Dina menatap sinis Melati."Sekalian bawa Melati sama kalian dong, siapa tau dia minat sekampus sama kita." Bagus menepuk pundak Dimas."Mas, yang bener aja. Kampus kita kan!?" ucapan Dia terhenti saat Dimas menginjak kaki Dina."Oke Mas, tapi nggak sekarang. Kita masih ada urusan. Lain waktu kita akan bawa Melati ke kampus," ucap Dimas mengedipkan matanya ke arah Dina. Memberikan kode agar gadis itu tetap menjaga emosinya.Dimas dan Dina pamitan, mereka mencium tangan Bagus sebelum berangkat. Diikuti Bagus melangkah di belakangnya kedua adiknya menuju pintu keluar.Dari arah belakang, Andi menepuk pundak Melati yang membuat wanita tersebut terkejut dan tidak
"Mau atau tidak, kau harus mau menikah dengan Pak Anjasmoro!" suara monoton itu masih terngiang di telinga Melati.Melati duduk di ranjangnya. Buliran bening terus mengalir di pelupuk matanya. Dia tidak percaya hidupnya akan hancur secepat ini.Setelah penikahan kedua Papanya, dia pikir wanita yang selama ini dia anggap baik ternyata malah menjadi mimpi buruknya, Tante Mira. Wanita yang baru saja satu tahun masuk kedalam kehidupannya dan berhasil merusak semua mimpinya. "Sudah terima saja saran dari Papa, Pak Anjasmoro itu orang kaya. Kamu akan hidup bahagia di sana," ucap Mira mengelus pucuk kepala Melati.Mulut Melati hanya mengatup rapat mendengar ucapan Wanita dengan muka dua di depannya. Terima, bagaimana bisa dia menerima pria yang akan menjadi suaminya dengan jarak umur cukup jauh? 20 tahun lebih tua.Pria yang lebih pantas dia panggil Papa, malah akan menjadi suaminya. Bisakah dia menjalani sebuah pernikahan seperti ini?"Maa, aku pegen sendiri." Melati memalingkan wajahnya.
"Melati, duduk sini Nak," ucap Joko lembut dan tersenyum bangga.Melati duduk di samping Joko dan Mira. Gadis itu menegakan hatinya saat melihat calon suaminya. Penampilannya jauh dari bayangannya. Bukankah Pak Anjasmoro orang kaya. Tapi kenapa penampialnnya seperti ini."Maaf, tidak bisa lama-lama. Saya izin membawa Mbak Melati sekarang," ucap seorang pria dengan seragam hitam. Dilihat dari penampilannya, dia seorang supir pribadi.Dari arah lain Mawar datang membawa nampan yang berisi kopi dan sengaja menjatuhkan diri agar kopi panas itu tumpah ke dua pria itu. "Mawar!" Joko dan Mira segera bangkit dan membersihkan baju doa orang tamu."Maaf Pak," ucap Mawar melenggang pergi begitu saja."Maafkan putri saya ya Pak," ucap Mira erasa bersalah."Tidak apa-apa Bu, saya permisi sekarang," ucap sang supir."Kita tidak punya banyak waktu, bawa barangmu ke mobil," ucap satu pria lain melempar pandangan ke arah Melati."Inggih Pak," jawab Melati patuh.Gadis itu menyeret koper keluar rumah
Pesawat mendarat. Satu persatu penumpang turun. Raya membantu Melati membawa kopernya."Nanti Mbak di jemput sama orangnya Pak Anjas di luar." Raya menyeret koper dan berhenti di pintu kaca."Mbak sudah kenal sama Pak Anjas?" Melati memberanikan diri bertanya."Inggih Mbak. Papa saya bekerja lama sama beliau. Dia orang yang sangat baik, beliau membiayai sekolah saya sampai lulus dan mencarikan saya pekerjaan. Pekerjaan ini contohnya." Raya menjelaskan dengan wajah riang.Melihat ekpresi Raya, seharusnya Pak Anjas adalah sosok pria yang baik dan bijaksana. Tapi, kenpa dia memilih wanita untuk menjadi istrinya dengan umur yang terpaut jauh."Kalau istrinya Pak Anjas?" lanjut Melati bertanya sambil memainkan ujung bajunya.Mata Raya membulat, dia dengar Ndoro Sri sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan khusus. Terdengar kabar juga kalau Ndoro Sri mencari wanita untuk mengganti posisinya."Jangan-jangan njenengan!?" Raya menutup mulutnya."Matur Suwun Nggih Nduk Raya," ucap Andi, utu
Melati turun dari tangga. Sampai di bawah Andi sudah menunggunya dan mengantarnya ke meja makan di belakang. Di sana ada empat orang yang berdiri menatap Melati dengan tatapan aneh."Kamu Susternya Bu Sri?" tanya seorang wania paruh baya dengan kebaya dan rambut yang di sanggul ala kadarnya.Melati hanya mengangguk lirih. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya pada barisan orang di hadapannya.Andi menuntun Melati untuk duduk di kursi. Di hadapannya sudah ada berbagai kudapan makan malam. Teman-temannya juga duduk. Mereka memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kesan selama bekerja disini.Tidak ada pengalaman buruk sedikitpun mereka rasakan disini. Bahkan keluarga mereka juga ikut merasakan kebaikan Bu Sri dan Pak Anjas.Ingatan Melati kembali sepuluh menit yang lalu. Dia menebak kalau pernikahan ini juga bukan Pak Anjas yang mau. Dilihat dari betapa Pak Anjas mencintai istrinya tadi."Bu Sri sudah sehat belom?" tanya Mbok Darmi wanita berusia sekitar lima puluh tah
Dina dan Dimas melangkah menuruni tangga dan mendekati Bagus yang masih berdiri di samping Melati. Dina dan Dimas menatap lekat Melati, keduanya seperti tidak dapat menerima kehadiran wanita kampung itu."Mau joging juga?" tanya Bagus melempar pandangan ke arah Dina dan Dimas."Nggak Mas, kita mau ke kampus ada urusan mendadak." Dina menatap sinis Melati."Sekalian bawa Melati sama kalian dong, siapa tau dia minat sekampus sama kita." Bagus menepuk pundak Dimas."Mas, yang bener aja. Kampus kita kan!?" ucapan Dia terhenti saat Dimas menginjak kaki Dina."Oke Mas, tapi nggak sekarang. Kita masih ada urusan. Lain waktu kita akan bawa Melati ke kampus," ucap Dimas mengedipkan matanya ke arah Dina. Memberikan kode agar gadis itu tetap menjaga emosinya.Dimas dan Dina pamitan, mereka mencium tangan Bagus sebelum berangkat. Diikuti Bagus melangkah di belakangnya kedua adiknya menuju pintu keluar.Dari arah belakang, Andi menepuk pundak Melati yang membuat wanita tersebut terkejut dan tidak
Melati mengayunkan langkah menaiki tangga. Kakinya berhenti di sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Dengan ragu Melati mengetuk pintu tersebut.Seorang pria membuka pintu. Mata Melati membulat saat melihat tubuh gagah yang masih di balut handuk di depannya, rambut ikalnya yang basah membuat pria itu terlihat lebih menawan.Meskipun usianya sudah kepala empat, tubuh Pak Anjas masih terjaga. Tidak kalah seperti ketiga putranya, jika semua pria dewasa seperti ini. Pasti para perjaka tidak akan laku."Masuk!" Pak Anjas membuka pintu. Punggung lebar itu menjauh dan menghilang di balik pintu. Melati segera duduk di lantai dan membantu Bu Sri untuk bangun dan bersandar pada tumpukan bantal."Sarapan dulu Bu." Melati mulai menyendok bubur.Bi Sri membuka mulut dan melahap bubur itu. Wajah wanita tersebut masih cantik meskipun sedikit pucat. Melati bisa membayangkan bagaimana pasangan suami istri dulu. Pasti mereka adalah orang paling bahagia di dunia."Sudah punya pandangan kampus?" tanya
Melati turun dari tangga. Sampai di bawah Andi sudah menunggunya dan mengantarnya ke meja makan di belakang. Di sana ada empat orang yang berdiri menatap Melati dengan tatapan aneh."Kamu Susternya Bu Sri?" tanya seorang wania paruh baya dengan kebaya dan rambut yang di sanggul ala kadarnya.Melati hanya mengangguk lirih. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya pada barisan orang di hadapannya.Andi menuntun Melati untuk duduk di kursi. Di hadapannya sudah ada berbagai kudapan makan malam. Teman-temannya juga duduk. Mereka memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kesan selama bekerja disini.Tidak ada pengalaman buruk sedikitpun mereka rasakan disini. Bahkan keluarga mereka juga ikut merasakan kebaikan Bu Sri dan Pak Anjas.Ingatan Melati kembali sepuluh menit yang lalu. Dia menebak kalau pernikahan ini juga bukan Pak Anjas yang mau. Dilihat dari betapa Pak Anjas mencintai istrinya tadi."Bu Sri sudah sehat belom?" tanya Mbok Darmi wanita berusia sekitar lima puluh tah
Pesawat mendarat. Satu persatu penumpang turun. Raya membantu Melati membawa kopernya."Nanti Mbak di jemput sama orangnya Pak Anjas di luar." Raya menyeret koper dan berhenti di pintu kaca."Mbak sudah kenal sama Pak Anjas?" Melati memberanikan diri bertanya."Inggih Mbak. Papa saya bekerja lama sama beliau. Dia orang yang sangat baik, beliau membiayai sekolah saya sampai lulus dan mencarikan saya pekerjaan. Pekerjaan ini contohnya." Raya menjelaskan dengan wajah riang.Melihat ekpresi Raya, seharusnya Pak Anjas adalah sosok pria yang baik dan bijaksana. Tapi, kenpa dia memilih wanita untuk menjadi istrinya dengan umur yang terpaut jauh."Kalau istrinya Pak Anjas?" lanjut Melati bertanya sambil memainkan ujung bajunya.Mata Raya membulat, dia dengar Ndoro Sri sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan khusus. Terdengar kabar juga kalau Ndoro Sri mencari wanita untuk mengganti posisinya."Jangan-jangan njenengan!?" Raya menutup mulutnya."Matur Suwun Nggih Nduk Raya," ucap Andi, utu
"Melati, duduk sini Nak," ucap Joko lembut dan tersenyum bangga.Melati duduk di samping Joko dan Mira. Gadis itu menegakan hatinya saat melihat calon suaminya. Penampilannya jauh dari bayangannya. Bukankah Pak Anjasmoro orang kaya. Tapi kenapa penampialnnya seperti ini."Maaf, tidak bisa lama-lama. Saya izin membawa Mbak Melati sekarang," ucap seorang pria dengan seragam hitam. Dilihat dari penampilannya, dia seorang supir pribadi.Dari arah lain Mawar datang membawa nampan yang berisi kopi dan sengaja menjatuhkan diri agar kopi panas itu tumpah ke dua pria itu. "Mawar!" Joko dan Mira segera bangkit dan membersihkan baju doa orang tamu."Maaf Pak," ucap Mawar melenggang pergi begitu saja."Maafkan putri saya ya Pak," ucap Mira erasa bersalah."Tidak apa-apa Bu, saya permisi sekarang," ucap sang supir."Kita tidak punya banyak waktu, bawa barangmu ke mobil," ucap satu pria lain melempar pandangan ke arah Melati."Inggih Pak," jawab Melati patuh.Gadis itu menyeret koper keluar rumah
"Mau atau tidak, kau harus mau menikah dengan Pak Anjasmoro!" suara monoton itu masih terngiang di telinga Melati.Melati duduk di ranjangnya. Buliran bening terus mengalir di pelupuk matanya. Dia tidak percaya hidupnya akan hancur secepat ini.Setelah penikahan kedua Papanya, dia pikir wanita yang selama ini dia anggap baik ternyata malah menjadi mimpi buruknya, Tante Mira. Wanita yang baru saja satu tahun masuk kedalam kehidupannya dan berhasil merusak semua mimpinya. "Sudah terima saja saran dari Papa, Pak Anjasmoro itu orang kaya. Kamu akan hidup bahagia di sana," ucap Mira mengelus pucuk kepala Melati.Mulut Melati hanya mengatup rapat mendengar ucapan Wanita dengan muka dua di depannya. Terima, bagaimana bisa dia menerima pria yang akan menjadi suaminya dengan jarak umur cukup jauh? 20 tahun lebih tua.Pria yang lebih pantas dia panggil Papa, malah akan menjadi suaminya. Bisakah dia menjalani sebuah pernikahan seperti ini?"Maa, aku pegen sendiri." Melati memalingkan wajahnya.