Mobil warna merah sudah terparkir di halaman. Bagus sudah siap dengan penampilan barunya. Sebisa mungkin dia menghapus wajah malunya. Kejadian itu membuatnya tidak enak hati pada Melati.Melati melangkah dengan ragu mendekati mobil. Sedetik Bagus terpaku melihat penampilan Melati. Dia terlihat cantik dengan wajah polosnya. Dress selutut dengan hiasan bunga terkesan jadul, namun begitu cocok wanita itu kenakan.Bagus segera turun dari mobil dan membuka pintu untuk Melati. Wanita itu melempar senyum kecil dan segera duduk di kursi depan. Bagus segera duduk di belakang kemudi dan melaju meninggalkan rumah megah tersebut.Suasana di mobil begitu canggung, bibir Bagus terbuka mengatup. Otaknya sibuk menyusun kata permintaan maaf. Sedangkan Melati masih menikmati pemandangan perkotaan yang sangat sibuk saat pagi hari."Kau yakin dengan jurusanmu?" tanya Bagus memecah keheningan.Melati tidak langsung menjawab. Dia melempar pandangan ragu ke Bag
"Mau atau tidak, kau harus mau menikah dengan Pak Anjasmoro!" suara monoton itu masih terngiang di telinga Melati. Melati duduk di ranjangnya. Buliran bening terus mengalir di pelupuk matanya. Dia tidak percaya hidupnya akan hancur secepat ini. Setelah penikahan kedua Papanya, dia pikir wanita yang selama ini dia anggap baik ternyata malah menjadi mimpi buruknya, Tante Mira. Wanita yang baru saja satu tahun masuk kedalam kehidupannya dan berhasil merusak semua mimpinya. "Sudah terima saja saran dari Papa, Pak Anjasmoro itu orang kaya. Kamu akan hidup bahagia di sana," ucap Mira mengelus pucuk kepala Melati. Mulut Melati hanya mengatup rapat mendengar ucapan Wanita dengan muka dua di depannya. Terima, bagaimana bisa dia menerima pria yang akan menjadi suaminya dengan jarak umur cukup jauh? 20 tahun lebih tua. Pria yang lebih pantas dia panggil Papa, malah akan menjadi suaminya. Bisakah dia menjalani sebuah pernikahan seperti ini? "Maa, aku pegen sendiri." Melati memalingkan waj
"Melati, duduk sini Nak," ucap Joko lembut dan tersenyum bangga. Melati duduk di samping Joko dan Mira. Gadis itu menegakan hatinya saat melihat calon suaminya. Penampilannya jauh dari bayangannya. Bukankah Pak Anjasmoro orang kaya. Tapi kenapa penampialnnya seperti ini. "Maaf, tidak bisa lama-lama. Saya izin membawa Mbak Melati sekarang," ucap seorang pria dengan seragam hitam. Dilihat dari penampilannya, dia seorang supir pribadi. Dari arah lain Mawar datang membawa nampan yang berisi kopi dan sengaja menjatuhkan diri agar kopi panas itu tumpah ke dua pria itu. "Mawar!" Joko dan Mira segera bangkit dan membersihkan baju dua orang tamu. "Maaf Pak," ucap Mawar melenggang pergi begitu saja. "Maafkan putri saya ya Pak," ucap Mira erasa bersalah. "Tidak apa-apa Bu, saya permisi sekarang," ucap sang supir. "Kita tidak punya banyak waktu, bawa barangmu ke mobil," ucap satu pria lain melempar pandangan ke arah Melati. "Inggih Pak," jawab Melati patuh. Gadis itu menyeret koper kelu
Pesawat mendarat. Satu persatu penumpang turun. Raya membantu Melati membawa kopernya."Nanti Mbak di jemput sama orangnya Pak Anjas di luar." Raya menyeret koper dan berhenti di pintu kaca."Mbak sudah kenal sama Pak Anjas?" Melati memberanikan diri bertanya."Inggih Mbak. Papa saya bekerja lama sama beliau. Dia orang yang sangat baik, beliau membiayai sekolah saya sampai lulus dan mencarikan saya pekerjaan. Pekerjaan ini contohnya." Raya menjelaskan dengan wajah riang.Melihat ekpresi Raya, seharusnya Pak Anjas adalah sosok pria yang baik dan bijaksana. Tapi, kenpa dia memilih wanita untuk menjadi istrinya dengan umur yang terpaut jauh."Kalau istrinya Pak Anjas?" lanjut Melati bertanya sambil memainkan ujung bajunya.Mata Raya membulat, dia dengar Ndoro Sri sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan khusus. Terdengar kabar juga kalau Ndoro Sri mencari wanita untuk mengganti posisinya."Jangan-jangan njenengan!?" Raya menutup mulutnya."Matur Suwun Nggih Nduk Raya," ucap Andi, utu
Melati turun dari tangga. Sampai di bawah Andi sudah menunggunya dan mengantarnya ke meja makan di belakang. Di sana ada empat orang yang berdiri menatap Melati dengan tatapan aneh."Kamu Susternya Bu Sri?" tanya seorang wania paruh baya dengan kebaya dan rambut yang di sanggul ala kadarnya.Melati hanya mengangguk lirih. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya pada barisan orang di hadapannya.Andi menuntun Melati untuk duduk di kursi. Di hadapannya sudah ada berbagai kudapan makan malam. Teman-temannya juga duduk. Mereka memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kesan selama bekerja disini.Tidak ada pengalaman buruk sedikitpun mereka rasakan disini. Bahkan keluarga mereka juga ikut merasakan kebaikan Bu Sri dan Pak Anjas.Ingatan Melati kembali sepuluh menit yang lalu. Dia menebak kalau pernikahan ini juga bukan Pak Anjas yang mau. Dilihat dari betapa Pak Anjas mencintai istrinya tadi."Bu Sri sudah sehat belom?" tanya Mbok Darmi wanita berusia sekitar lima puluh tah
Melati mengayunkan langkah menaiki tangga. Kakinya berhenti di sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Dengan ragu Melati mengetuk pintu tersebut.Seorang pria membuka pintu. Mata Melati membulat saat melihat tubuh gagah yang masih di balut handuk di depannya, rambut ikalnya yang basah membuat pria itu terlihat lebih menawan.Meskipun usianya sudah kepala empat, tubuh Pak Anjas masih terjaga. Tidak kalah seperti ketiga putranya, jika semua pria dewasa seperti ini. Pasti para perjaka tidak akan laku."Masuk!" Pak Anjas membuka pintu. Punggung lebar itu menjauh dan menghilang di balik pintu. Melati segera duduk di lantai dan membantu Bu Sri untuk bangun dan bersandar pada tumpukan bantal."Sarapan dulu Bu." Melati mulai menyendok bubur.Bi Sri membuka mulut dan melahap bubur itu. Wajah wanita tersebut masih cantik meskipun sedikit pucat. Melati bisa membayangkan bagaimana pasangan suami istri dulu. Pasti mereka adalah orang paling bahagia di dunia."Sudah punya pandangan kampus?" tanya
Dina dan Dimas melangkah menuruni tangga dan mendekati Bagus yang masih berdiri di samping Melati. Dina dan Dimas menatap lekat Melati, keduanya seperti tidak dapat menerima kehadiran wanita kampung itu."Mau joging juga?" tanya Bagus melempar pandangan ke arah Dina dan Dimas."Nggak Mas, kita mau ke kampus ada urusan mendadak." Dina menatap sinis Melati."Sekalian bawa Melati sama kalian dong, siapa tau dia minat sekampus sama kita." Bagus menepuk pundak Dimas."Mas, yang bener aja. Kampus kita kan!?" ucapan Dia terhenti saat Dimas menginjak kaki Dina."Oke Mas, tapi nggak sekarang. Kita masih ada urusan. Lain waktu kita akan bawa Melati ke kampus," ucap Dimas mengedipkan matanya ke arah Dina. Memberikan kode agar gadis itu tetap menjaga emosinya.Dimas dan Dina pamitan, mereka mencium tangan Bagus sebelum berangkat. Diikuti Bagus melangkah di belakangnya kedua adiknya menuju pintu keluar.Dari arah belakang, Andi menepuk pundak Melati yang membuat wanita tersebut terkejut dan tidak
Suara ketukan pintu dari luar menyita perhatian dia orang yang masih duduk berhadapan di ruang kerja. Suara Andi terlihat begitu cemas."Pak Anjas, Bu Sri, Pak!" Andi terus mengetuk pintu.Pak Anjas diikuti oleh Melati melangkah menuju pintu. Wajah Andi terlihat ketakutan dan pucat. Jarinya menuju ke arah kamar Bu Sri. Menyadari ada yang tidak beres, Anjas segera berlari menuju ruangan sang istri.Pria dengan balutan kemeja warna putih itu segera membuka pintu. Di sana dia melihat sang istri memejamkan mata di sampingnya, Mbok Darmi dan Sarah menangis pilu."Siapkan mobil!" ucap Anjas segera meraih tubuh lemas sang istri.Andi segera turun dan berlari menuju garasi dan menyiapkan mobil. Dari dalam rumah, Anjas segera berlari sambil menggendong sang istri. Dia segera duduk di kursi belakang.Tidak membuang waktu, Andi menginjak gas dan meninggalkan rumah mewah itu. Membawa dua bos besarnya menuju rumah sakit. Kejadian berlangsung begitu cepat. Melati masih membatu melihat kepergian cal
Mobil warna merah sudah terparkir di halaman. Bagus sudah siap dengan penampilan barunya. Sebisa mungkin dia menghapus wajah malunya. Kejadian itu membuatnya tidak enak hati pada Melati.Melati melangkah dengan ragu mendekati mobil. Sedetik Bagus terpaku melihat penampilan Melati. Dia terlihat cantik dengan wajah polosnya. Dress selutut dengan hiasan bunga terkesan jadul, namun begitu cocok wanita itu kenakan.Bagus segera turun dari mobil dan membuka pintu untuk Melati. Wanita itu melempar senyum kecil dan segera duduk di kursi depan. Bagus segera duduk di belakang kemudi dan melaju meninggalkan rumah megah tersebut.Suasana di mobil begitu canggung, bibir Bagus terbuka mengatup. Otaknya sibuk menyusun kata permintaan maaf. Sedangkan Melati masih menikmati pemandangan perkotaan yang sangat sibuk saat pagi hari."Kau yakin dengan jurusanmu?" tanya Bagus memecah keheningan.Melati tidak langsung menjawab. Dia melempar pandangan ragu ke Bag
Melati mengayunkan kakinya menuruni tangga. Jemari lentiknya berulang kali mengusap air mata yang melaju di pipi lembutnya. Dia tidak menyangka Bagus akan mengatakan hal yang tidak pernah dia bayangkan.Dari arah berlawanan seorang pria datang dengan membawa satu set jas, tanpa sengaja Melati menabrak pria tersebut."Maaf Den," ucap Melati segera membungkuk. Menyembunyikan wajahnya yang masih di penuhi bekas air mata."Hobi banget bikin onar sih!?" celetuk Agung yang melewati Melati begitu saja.Melati segera melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Wanita itu segera menuju dapur. Sama seperti rutinitas biasanya, di dapur ada Mbak Sarah dan Mbok Darmi yang sibuk mengupas rimpang untuk jamu Bu Sri.Melati duduk di samping Mbok Darmi. Wanita itu hendak meraih pisau dan membantu wanita tida itu. Namun Sarah menghalanginya. "Tadi Pak Anjas telfon, kamu di suruh pergi ke kampus sama Den Bagus. Kamu siap-siap gih," ucap Sarah."Ke kampus?" Melati masih membeku.Entah mengapa alam selalu tid
Mobil berhenti di depan rumah. Bagus dan Agung turun dari mobil. Sementara Dina dan Dimas kembali ke kampus. Di ambang pintu sudah ada Mbok Darmi dan Sarah yang menanti kabar baik dari dua orang tersebut."Den, bagaimana keadaan Bu Sri?" tanya Mbok Darmi sambil meneteskan air mata.Agung memeluk wanita tua yang di penuhi rasa khawatir itu dan menepuk punggungnya. Dia tau bagaimana perasaan wanita tua yang dia anggap seperti neneknya ini."Ibu baik-baik aja, hanya butuh vitamin. Apa jangan-jangan Mbok Darmi lupa yang buatin jamu buat Ibu?" ucap Agung menggoda Mbok Darmi."Nggak kok Den, Mbok selalu rutin ngasih jamu ke Ibu. Maafin Mbok," pecah sudah tangis Mbok Darmi."Jangan nagis Mbok, Agung bercanda kok. Ibu baik-baik aja, besok udah boleh pulang. Sekarang buatin Agung rujak yuk, nggak boleh nangis-nangis lagi," ucap Agung mengusap air mata Mbok Darmi dan menggandeng wanita tua itu menuju dapur.Sarah masih berdiri di ambang pintu. Menatap Bagas, seolah mencari fakta yang di sembuny
Suara ketukan pintu dari luar menyita perhatian dia orang yang masih duduk berhadapan di ruang kerja. Suara Andi terlihat begitu cemas."Pak Anjas, Bu Sri, Pak!" Andi terus mengetuk pintu.Pak Anjas diikuti oleh Melati melangkah menuju pintu. Wajah Andi terlihat ketakutan dan pucat. Jarinya menuju ke arah kamar Bu Sri. Menyadari ada yang tidak beres, Anjas segera berlari menuju ruangan sang istri.Pria dengan balutan kemeja warna putih itu segera membuka pintu. Di sana dia melihat sang istri memejamkan mata di sampingnya, Mbok Darmi dan Sarah menangis pilu."Siapkan mobil!" ucap Anjas segera meraih tubuh lemas sang istri.Andi segera turun dan berlari menuju garasi dan menyiapkan mobil. Dari dalam rumah, Anjas segera berlari sambil menggendong sang istri. Dia segera duduk di kursi belakang.Tidak membuang waktu, Andi menginjak gas dan meninggalkan rumah mewah itu. Membawa dua bos besarnya menuju rumah sakit. Kejadian berlangsung begitu cepat. Melati masih membatu melihat kepergian cal
Dina dan Dimas melangkah menuruni tangga dan mendekati Bagus yang masih berdiri di samping Melati. Dina dan Dimas menatap lekat Melati, keduanya seperti tidak dapat menerima kehadiran wanita kampung itu."Mau joging juga?" tanya Bagus melempar pandangan ke arah Dina dan Dimas."Nggak Mas, kita mau ke kampus ada urusan mendadak." Dina menatap sinis Melati."Sekalian bawa Melati sama kalian dong, siapa tau dia minat sekampus sama kita." Bagus menepuk pundak Dimas."Mas, yang bener aja. Kampus kita kan!?" ucapan Dia terhenti saat Dimas menginjak kaki Dina."Oke Mas, tapi nggak sekarang. Kita masih ada urusan. Lain waktu kita akan bawa Melati ke kampus," ucap Dimas mengedipkan matanya ke arah Dina. Memberikan kode agar gadis itu tetap menjaga emosinya.Dimas dan Dina pamitan, mereka mencium tangan Bagus sebelum berangkat. Diikuti Bagus melangkah di belakangnya kedua adiknya menuju pintu keluar.Dari arah belakang, Andi menepuk pundak Melati yang membuat wanita tersebut terkejut dan tidak
Melati mengayunkan langkah menaiki tangga. Kakinya berhenti di sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Dengan ragu Melati mengetuk pintu tersebut.Seorang pria membuka pintu. Mata Melati membulat saat melihat tubuh gagah yang masih di balut handuk di depannya, rambut ikalnya yang basah membuat pria itu terlihat lebih menawan.Meskipun usianya sudah kepala empat, tubuh Pak Anjas masih terjaga. Tidak kalah seperti ketiga putranya, jika semua pria dewasa seperti ini. Pasti para perjaka tidak akan laku."Masuk!" Pak Anjas membuka pintu. Punggung lebar itu menjauh dan menghilang di balik pintu. Melati segera duduk di lantai dan membantu Bu Sri untuk bangun dan bersandar pada tumpukan bantal."Sarapan dulu Bu." Melati mulai menyendok bubur.Bi Sri membuka mulut dan melahap bubur itu. Wajah wanita tersebut masih cantik meskipun sedikit pucat. Melati bisa membayangkan bagaimana pasangan suami istri dulu. Pasti mereka adalah orang paling bahagia di dunia."Sudah punya pandangan kampus?" tanya
Melati turun dari tangga. Sampai di bawah Andi sudah menunggunya dan mengantarnya ke meja makan di belakang. Di sana ada empat orang yang berdiri menatap Melati dengan tatapan aneh."Kamu Susternya Bu Sri?" tanya seorang wania paruh baya dengan kebaya dan rambut yang di sanggul ala kadarnya.Melati hanya mengangguk lirih. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya pada barisan orang di hadapannya.Andi menuntun Melati untuk duduk di kursi. Di hadapannya sudah ada berbagai kudapan makan malam. Teman-temannya juga duduk. Mereka memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kesan selama bekerja disini.Tidak ada pengalaman buruk sedikitpun mereka rasakan disini. Bahkan keluarga mereka juga ikut merasakan kebaikan Bu Sri dan Pak Anjas.Ingatan Melati kembali sepuluh menit yang lalu. Dia menebak kalau pernikahan ini juga bukan Pak Anjas yang mau. Dilihat dari betapa Pak Anjas mencintai istrinya tadi."Bu Sri sudah sehat belom?" tanya Mbok Darmi wanita berusia sekitar lima puluh tah
Pesawat mendarat. Satu persatu penumpang turun. Raya membantu Melati membawa kopernya."Nanti Mbak di jemput sama orangnya Pak Anjas di luar." Raya menyeret koper dan berhenti di pintu kaca."Mbak sudah kenal sama Pak Anjas?" Melati memberanikan diri bertanya."Inggih Mbak. Papa saya bekerja lama sama beliau. Dia orang yang sangat baik, beliau membiayai sekolah saya sampai lulus dan mencarikan saya pekerjaan. Pekerjaan ini contohnya." Raya menjelaskan dengan wajah riang.Melihat ekpresi Raya, seharusnya Pak Anjas adalah sosok pria yang baik dan bijaksana. Tapi, kenpa dia memilih wanita untuk menjadi istrinya dengan umur yang terpaut jauh."Kalau istrinya Pak Anjas?" lanjut Melati bertanya sambil memainkan ujung bajunya.Mata Raya membulat, dia dengar Ndoro Sri sedang sakit keras dan membutuhkan perawatan khusus. Terdengar kabar juga kalau Ndoro Sri mencari wanita untuk mengganti posisinya."Jangan-jangan njenengan!?" Raya menutup mulutnya."Matur Suwun Nggih Nduk Raya," ucap Andi, utu
"Melati, duduk sini Nak," ucap Joko lembut dan tersenyum bangga. Melati duduk di samping Joko dan Mira. Gadis itu menegakan hatinya saat melihat calon suaminya. Penampilannya jauh dari bayangannya. Bukankah Pak Anjasmoro orang kaya. Tapi kenapa penampialnnya seperti ini. "Maaf, tidak bisa lama-lama. Saya izin membawa Mbak Melati sekarang," ucap seorang pria dengan seragam hitam. Dilihat dari penampilannya, dia seorang supir pribadi. Dari arah lain Mawar datang membawa nampan yang berisi kopi dan sengaja menjatuhkan diri agar kopi panas itu tumpah ke dua pria itu. "Mawar!" Joko dan Mira segera bangkit dan membersihkan baju dua orang tamu. "Maaf Pak," ucap Mawar melenggang pergi begitu saja. "Maafkan putri saya ya Pak," ucap Mira erasa bersalah. "Tidak apa-apa Bu, saya permisi sekarang," ucap sang supir. "Kita tidak punya banyak waktu, bawa barangmu ke mobil," ucap satu pria lain melempar pandangan ke arah Melati. "Inggih Pak," jawab Melati patuh. Gadis itu menyeret koper kelu