Begitu mereka pergi, Tobi juga langsung menyusup keluar dengan cepat.Saat melihat ekspresi sedih Widia barusan, hatinya terasa pilu sekali. Saking pilunya, dia sampai hampir kehabisan napas.Namun, dalam situasi seperti itu, hanya itu yang bisa Tobi lakukan . Kalau tidak, dia akan melanggar perjanjian dengan orang misterius yang menghubunginya lewat telepon.Mudah bagi orang misterius di balik telepon itu untuk mengetahui situasi yang terjadi di sini.Widia kembali ke mobil dengan berlinangkan air mata.Dia tidak kuasa lagi menahannya lagi. Isak tangisnya benar-benar membuat orang yang mendengarnya merasa pilu.Entah karena dia menangis terlalu lama atau gerakan Tobi terlalu cepat, pria itu kini sudah sampai di dekat mobil dan mengawasi kondisinya.Dia bahkan lebih cepat dibandingkan Kakek Muhar dan yang lainnya. Karena keluarganya Widia baru saja muncul.Begitu mengetahui ibunya dan yang lainnya telah keluar, Widia berusaha mengendalikan emosinya dan menyalakan mobil. Jelas sekali, d
Setelah beberapa saat, juga tidak tahu entah apa yang dipikirkan Widia. Dia turun dari mobil dan masuk ke dalam hotel. Kenangan dari masa lalu muncul lagi di pikirannya. Dia lupa akan nomor kamar yang mereka tinggali dulu.Dia sama sekali tidak mengingatnya, apalagi itu bukan kamar yang dia pesan.Namun, dia masih ingat dengan tanggalnya.Dia juga tidak tahu apa yang ingin dia lakukan. Mungkin dia hanya tidak ingin pulang ke rumah. Dia mendekati meja resepsionis dan menanyakan nomor kamar yang dipesan atas nama Tobi hari itu.Resepsionis tampak terkejut. Ini adalah informasi rahasia pelanggan. Dia tentu saja tidak boleh sembarangan membeberkannya.Hanya saja, dia tidak kuasa menolak, terutama saat Widia mengeluarkan setumpuk uang tunai sebanyak 20 juta.Kebetulan Tobi memesan kamar dengan nama aslinya waktu itu. Jika tidak, Widia mungkin tidak bisa menemukannya."Kamar 1006!""Apa kamarnya masih kosong sekarang?" tanya Widia."Ya," jawab resepsionis dengan bingung. Entah apa yang ingin
Tobi tertegun. Wanita ini mengira dirinya sedang bermimpi. Memangnya ada orang yang tiba-tiba bermimpi seperti ini sambil berdiri?Mungkin Widia mengira ini semua hanya ilusinya saja.Melihat Widia mulai menangis lagi, Tobi terlihat tidak tega. Dia buru-buru berkata, "Bodoh, jangan menangis lagi. Tak peduli ini mimpi atau bukan, bukankah aku masih ada di sini?""Pembohong. Kalau aku bangun dari mimpi, kamu sudah nggak ada di sini lagi." Widia tidak ingin bangun dari mimpi ini."Buka matamu dan lihat baik-baik. Ini semua bukan mimpi, tapi nyata. Melihatmu begitu sedih hari ini, aku bergegas keluar dan mengejarmu sampai ke hotel," ucap Tobi tak berdaya.Widia membuka matanya dan menatap wajah familier di hadapannya. Apa fantasinya begitu nyata? Namun, Tobi barusan bilang dia mengejarnya dari vila hingga ke sini.Dalam sekejap, Widia tiba-tiba terhenyak. Seakan ingin memastikan pria di hadapannya itu nyata atau bukan, dia pun mencubit wajahnya dengan keras.Tobi tidak tahu apa harus terta
Awalnya, Tobi masih merasa bersalah karena pengorbanan Jessi. Namun, setelah melihat sosok Widia yang begitu terpuruk hari ini, dia akhirnya mengambil keputusan dan tidak peduli begitu banyak lagi.Dia tidak akan membiarkan Widia sedih dan terluka karena dirinya."Se ... sebaiknya jangan begitu." Widia sangat khawatir. Jika sesuatu terjadi kepada calon ibu mertuanya, apalagi gara-gara dirinya, bukankah dia akan menjadi orang yang berdosa?Namun, dia juga tidak ingin Tobi dan Jessi sungguh melakukan apa yang diinginkan oleh orang itu."Jangan khawatir. Semuanya tergantung pada kita sendiri. Jangan pedulikan hal ini lagi. Sekarang, kamu nggak marah sama aku lagi, 'kan?" tanya Tobi sambil tersenyum. Dia mendapati ekspresi wajah Widia kini sudah terlihat lebih rileks.Wajah Widia memerah. Dia kemudian berkata dengan kesal, "Aku masih marah. Siapa suruh kamu nggak memberitahuku semua ini? Aku kira kamu sungguh nggak menginginkanku lagi.""Mana mungkin? Sudah kubilang, asalkan kamu bersedia,
Di sisi lain, Tobi masih tidak mengetahui semua ini. Dia belum sadar kalau tindakan yang dia kira tersembunyi ini telah diketahui oleh ibunya.Lantaran adegan keduanya kelewat intim dan tidak cocok untuk dibaca anak-anak, maka lebih baik tidak perlu di deskripsikan.Waktu berlalu dengan cepat. Keesokan paginya. Matahari sudah tinggi dan cahayanya bahkan sudah menyinari tirai jendela, Widia baru membuka matanya yang masih terasa berat.Dia segera melihat sekeliling dengan gugup. Tobi sudah bangun, tetapi pria itu sepertinya masih belum menyadari kalau Widia telah bangun.Yang terjadi semalam itu bukanlah mimpi.Saat pertama kali berhubungan badan dengan Tobi sebelumnya, ingatannya masih tidak begitu jelas, apalagi di bawah pengaruh obat. Namun, segalanya yang terjadi tadi malam membekas jelas di benaknya.Terutama sensasi yang dia rasakan dari kontak fisik seintim itu. Yang memberinya perasaan nyaman, begitu mengasyikkan. Widia sangat menyukainya.Memikirkan tindakannya tadi malam, waja
"Itu belum tentu benar. Bukankah akhir-akhir ini kamu sangat mendukungnya? Siapa tahu dia akan memperlakukanmu secara berbeda.""Lupakan saja. Aku masih ingat kalau aku sudah meninggalkan kesan buruk kepadanya saat pertemuan pertama kami."Kakek Muhar menghela napas dan berkata tak berdaya, "Hais. Ini semua salah kita. Kita sudah dibutakan oleh kekuasaan dan nggak mau memercayaimu. Kalau nggak, kita juga nggak akan sampai di titik ini.""Kakek, apa gunanya mengatakan hal ini sekarang? Sudah kubilang, kalian pasti akan menyesal," ucap Candra dengan frustrasi. Jika kakak iparnya masih di rumah, dia pasti punya cara untuk menghadapi masalah ini. Kakak iparnya bahkan bisa berurusan dengan Keluarga Yudistira dari Jatra, mana mungkin dia takut kepada Keluarga Jhonson?"Kak Candra, kalau memang nggak bisa, lupakan saja. Aku akan kembali dulu, menstabilkan keluargaku dan mencari peluang nanti," bisik Julia.Julia bukanlah tipe gadis yang sombong. Dia punya sifat yang baik dan wajah cantiknya j
"Ibu!" teriak Candra. Di saat seperti ini, apa dia masih tega merepotkan kakaknya?Ibunya Widia sengaja bertanya dengan suara keras, "Buat apa teriak begitu? Terjadi hal sebesar ini, kamu masih nggak beri tahu kakakmu? Kamu yakin mau meninggalkan pacarmu sendirian dan membuatnya menderita seumur hidupnya?"Widia telah mendengarnya dan langsung bertanya, "Candra, apa yang terjadi?""Kak, kamu sudah seperti ini. Awalnya aku nggak mau membicarakannya, tapi aku benar-benar nggak punya pilihan lain." Candra buru-buru menceritakan secara singkat masalah mengenai pacarnya.Setelah mendengar itu, Widia pun menoleh ke arah Tobi. Dia baru menyadari kalau pria itu tengah menatap ke arah dadanya. Widia langsung menundukkan kepalanya dan berkata dengan wajah memerah, "Apa yang kamu lihat?"Candra tertegun. Meski tidak bisa mendengar dengan jelas, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia bertanya dengan suara pelan, "Kak, kamu baik-baik saja?""A ... aku baik-baik saja. Kamu nggak perlu khawatir
Namun, makin Tobi berperilaku seperti itu, Widia makin merasa bersalah. Dia pun bertanya, "Tobi, aku begitu bodoh sebelumnya. Aku bahkan terus-menerus nggak memercayaimu dan juga menceraikanmu. Apa kamu nggak menyalahkanku?""Tentu saja aku nggak. Kalau aku menyalahkanmu, aku nggak mungkin muncul di hadapanmu lagi.""Mengenai masalah perceraian, aku tahu waktu itu kamu khawatir akan melibatkanku," ucap Tobi sambil tersenyum.Mendengar itu, Widia menghela napas lega dan berkata dengan gembira, "Tobi, kamu baik sekali!""Tentu saja. Selain itu, aku juga hebat. Apalagi tubuhku, jauh lebih kuat!""Apa-apaan! Seingatku, dulu kamu nggak senakal ini.""Apa yang kamu pikirkan? Aku hanya bilang tubuhku kuat saja. Jangan-jangan kamu lagi pikir yang aneh-aneh?"Widia malu sekali. Hari ini dia tampak seperti gadis kecil yang baru pertama kali merasakan cinta. Dia yang saat ini sudah kehilangan wibawanya sebagai seorang direktur perusahaan.Akhirnya kesalahpahaman di antara mereka telah terselesaik