Setelah terdengar suara itu, sosok Widia juga masuk ke dalam dengan cepat. Usai mendengar pembicaraan mereka, dia tentu saja tidak akan membiarkan kakeknya berlutut di hadapan Tobi.Bukankah itu sudah keterlaluan sekali?Selanjutnya, dia juga melihat orang tuanya tengah terduduk di lantai, saling bersandar satu sama lain. Wajah ibunya tampak merah dan bengkak. Jelas sekali, ibunya telah ditampar berkali-kali.Selain itu, wajah ayahnya juga terlihat muram, bahkan ada bekas tamparan mencolok di wajahnya.Hal itu tentu membuat wajah Widia yang tadinya sudah terlihat kuyu itu bertambah muram.Sudah pasti ini semua ulahnya Tobi.Widia tahu kelakuan orang tuanya terhadap Tobi sebelumnya sudah sangat keterlaluan. Sebenarnya, dia sendiri juga tidak tahan melihatnya.Hanya saja, bagaimanapun juga, mereka adalah orang tuanya. Berlutut di hadapan Tobi mungkin keinginan orang tuanya sendiri. Namun, mengingat kasih sayang orangtuanya kepadanya, kemungkinan besar Tobi-lah yang menampar wajah mereka.
Mereka menampar diri sendiri?Widia tertegun sejenak. Benarkah itu? Biasanya, meski hanya disentuh sedikit, ibunya sudah akan menjerit minta tolong. Apa dia akan menampar dirinya sendiri seperti ini?Melihat cucunya seakan tidak memercayainya, Kakek Muhar segera menambahkan, "Benar, Tobi bilang dia sudah memaafkan kami, tapi dia nggak mau kembali ke kediaman Lianto, jadi orang tuamu berinisiatif berlutut dan menampar wajah mereka sendiri.""Tobi sudah menghindar dan menghentikan kami, begitu pula kakek. Dari awal hingga akhir, Tobi sama sekali nggak memaksa kami."Lantaran takut Tobi tidak senang, jadi mereka berusaha membantu pria itu menjelaskan.Karena kakeknya sudah mengatakan seperti itu, Widia tentu memercayainya. Hatinya merasa jauh lebih tenang. Kalau dipikirkan baik-baik, ini semua baru benar. Lagi pula, Tobi memang orang yang baik.Apalagi, pria itu telah berkorban terlalu banyak demi Widia."Widia, syukurlah kamu datang. Cepat bujuklah Tobi. Dia jelas-jelas menyukaimu, tapi
Begitu mereka pergi, Tobi juga langsung menyusup keluar dengan cepat.Saat melihat ekspresi sedih Widia barusan, hatinya terasa pilu sekali. Saking pilunya, dia sampai hampir kehabisan napas.Namun, dalam situasi seperti itu, hanya itu yang bisa Tobi lakukan . Kalau tidak, dia akan melanggar perjanjian dengan orang misterius yang menghubunginya lewat telepon.Mudah bagi orang misterius di balik telepon itu untuk mengetahui situasi yang terjadi di sini.Widia kembali ke mobil dengan berlinangkan air mata.Dia tidak kuasa lagi menahannya lagi. Isak tangisnya benar-benar membuat orang yang mendengarnya merasa pilu.Entah karena dia menangis terlalu lama atau gerakan Tobi terlalu cepat, pria itu kini sudah sampai di dekat mobil dan mengawasi kondisinya.Dia bahkan lebih cepat dibandingkan Kakek Muhar dan yang lainnya. Karena keluarganya Widia baru saja muncul.Begitu mengetahui ibunya dan yang lainnya telah keluar, Widia berusaha mengendalikan emosinya dan menyalakan mobil. Jelas sekali, d
Setelah beberapa saat, juga tidak tahu entah apa yang dipikirkan Widia. Dia turun dari mobil dan masuk ke dalam hotel. Kenangan dari masa lalu muncul lagi di pikirannya. Dia lupa akan nomor kamar yang mereka tinggali dulu.Dia sama sekali tidak mengingatnya, apalagi itu bukan kamar yang dia pesan.Namun, dia masih ingat dengan tanggalnya.Dia juga tidak tahu apa yang ingin dia lakukan. Mungkin dia hanya tidak ingin pulang ke rumah. Dia mendekati meja resepsionis dan menanyakan nomor kamar yang dipesan atas nama Tobi hari itu.Resepsionis tampak terkejut. Ini adalah informasi rahasia pelanggan. Dia tentu saja tidak boleh sembarangan membeberkannya.Hanya saja, dia tidak kuasa menolak, terutama saat Widia mengeluarkan setumpuk uang tunai sebanyak 20 juta.Kebetulan Tobi memesan kamar dengan nama aslinya waktu itu. Jika tidak, Widia mungkin tidak bisa menemukannya."Kamar 1006!""Apa kamarnya masih kosong sekarang?" tanya Widia."Ya," jawab resepsionis dengan bingung. Entah apa yang ingin
Tobi tertegun. Wanita ini mengira dirinya sedang bermimpi. Memangnya ada orang yang tiba-tiba bermimpi seperti ini sambil berdiri?Mungkin Widia mengira ini semua hanya ilusinya saja.Melihat Widia mulai menangis lagi, Tobi terlihat tidak tega. Dia buru-buru berkata, "Bodoh, jangan menangis lagi. Tak peduli ini mimpi atau bukan, bukankah aku masih ada di sini?""Pembohong. Kalau aku bangun dari mimpi, kamu sudah nggak ada di sini lagi." Widia tidak ingin bangun dari mimpi ini."Buka matamu dan lihat baik-baik. Ini semua bukan mimpi, tapi nyata. Melihatmu begitu sedih hari ini, aku bergegas keluar dan mengejarmu sampai ke hotel," ucap Tobi tak berdaya.Widia membuka matanya dan menatap wajah familier di hadapannya. Apa fantasinya begitu nyata? Namun, Tobi barusan bilang dia mengejarnya dari vila hingga ke sini.Dalam sekejap, Widia tiba-tiba terhenyak. Seakan ingin memastikan pria di hadapannya itu nyata atau bukan, dia pun mencubit wajahnya dengan keras.Tobi tidak tahu apa harus terta
Awalnya, Tobi masih merasa bersalah karena pengorbanan Jessi. Namun, setelah melihat sosok Widia yang begitu terpuruk hari ini, dia akhirnya mengambil keputusan dan tidak peduli begitu banyak lagi.Dia tidak akan membiarkan Widia sedih dan terluka karena dirinya."Se ... sebaiknya jangan begitu." Widia sangat khawatir. Jika sesuatu terjadi kepada calon ibu mertuanya, apalagi gara-gara dirinya, bukankah dia akan menjadi orang yang berdosa?Namun, dia juga tidak ingin Tobi dan Jessi sungguh melakukan apa yang diinginkan oleh orang itu."Jangan khawatir. Semuanya tergantung pada kita sendiri. Jangan pedulikan hal ini lagi. Sekarang, kamu nggak marah sama aku lagi, 'kan?" tanya Tobi sambil tersenyum. Dia mendapati ekspresi wajah Widia kini sudah terlihat lebih rileks.Wajah Widia memerah. Dia kemudian berkata dengan kesal, "Aku masih marah. Siapa suruh kamu nggak memberitahuku semua ini? Aku kira kamu sungguh nggak menginginkanku lagi.""Mana mungkin? Sudah kubilang, asalkan kamu bersedia,
Di sisi lain, Tobi masih tidak mengetahui semua ini. Dia belum sadar kalau tindakan yang dia kira tersembunyi ini telah diketahui oleh ibunya.Lantaran adegan keduanya kelewat intim dan tidak cocok untuk dibaca anak-anak, maka lebih baik tidak perlu di deskripsikan.Waktu berlalu dengan cepat. Keesokan paginya. Matahari sudah tinggi dan cahayanya bahkan sudah menyinari tirai jendela, Widia baru membuka matanya yang masih terasa berat.Dia segera melihat sekeliling dengan gugup. Tobi sudah bangun, tetapi pria itu sepertinya masih belum menyadari kalau Widia telah bangun.Yang terjadi semalam itu bukanlah mimpi.Saat pertama kali berhubungan badan dengan Tobi sebelumnya, ingatannya masih tidak begitu jelas, apalagi di bawah pengaruh obat. Namun, segalanya yang terjadi tadi malam membekas jelas di benaknya.Terutama sensasi yang dia rasakan dari kontak fisik seintim itu. Yang memberinya perasaan nyaman, begitu mengasyikkan. Widia sangat menyukainya.Memikirkan tindakannya tadi malam, waja
"Itu belum tentu benar. Bukankah akhir-akhir ini kamu sangat mendukungnya? Siapa tahu dia akan memperlakukanmu secara berbeda.""Lupakan saja. Aku masih ingat kalau aku sudah meninggalkan kesan buruk kepadanya saat pertemuan pertama kami."Kakek Muhar menghela napas dan berkata tak berdaya, "Hais. Ini semua salah kita. Kita sudah dibutakan oleh kekuasaan dan nggak mau memercayaimu. Kalau nggak, kita juga nggak akan sampai di titik ini.""Kakek, apa gunanya mengatakan hal ini sekarang? Sudah kubilang, kalian pasti akan menyesal," ucap Candra dengan frustrasi. Jika kakak iparnya masih di rumah, dia pasti punya cara untuk menghadapi masalah ini. Kakak iparnya bahkan bisa berurusan dengan Keluarga Yudistira dari Jatra, mana mungkin dia takut kepada Keluarga Jhonson?"Kak Candra, kalau memang nggak bisa, lupakan saja. Aku akan kembali dulu, menstabilkan keluargaku dan mencari peluang nanti," bisik Julia.Julia bukanlah tipe gadis yang sombong. Dia punya sifat yang baik dan wajah cantiknya j