Hanya saja, kali ini berbeda dari sebelumnya. Dia tidak bisa menggunakan energi sejatinya untuk memurnikannya lagi. Jadi, dia harus minum perlahan dan harus sadar dengan kapasitas minumnya.Namun, setelah berbasa-basi sebentar, Kakek Muhar mengambil gelas anggur lagi dan berkata, "Tobi, kali ini kami harus berterima kasih kepadamu! Kalau bukan karena kamu, kami pasti akan celaka.""Ayo aku bersulang untukmu!""Kakek Muhar terlalu sungkan."Lantaran Kakek Muhar begitu sopan, Tobi juga tidak berani menolaknya. Dia terpaksa mengambil gelas anggurnya dan menenggaknya habis.Namun, baru saja selesai bersulang dengan Kakek Muhar, Herman, juga ikut bersulang kepadanya. Meski dia tidak menyukai Herman, dia juga ayahnya Widia, calon ayah mertuanya.Tobi juga harus meminum segelas anggur ini.Setelah itu, giliran ibunya Widia. Tobi berpikir mungkin hanya putaran ini saja. Berdasarkan kapasitas minumnya, lebih dari 500 ml seharusnya tidak akan membuatnya mabuk.Jadi, dia kembali menenggak segelas
Setelah menghabiskan tiga gelas, Tobi sudah hampir muntah, bahkan tubuhnya juga sedikit limbung. Untungnya, dia tidak disuruh untuk minum lagi.Melihat waktunya sudah tiba, Kakek Muhar langsung memberi isyarat lewat matanya.Martha buru-buru bangkit, mendekati Tobi dan meraih lengan pria itu sambil berkata, "Kak Tobi, sini biar aku papah kamu masuk ke dalam kamar."Tobi memang minum terlalu banyak. Dia juga terlihat mabuk. Dia kemudian berkata, "Nggak usah, aku bisa jalan sendiri.""Nggak apa-apa. Ayo kubantu."Di bawah inisiatif Martha, Tobi terpaksa membiarkan wanita itu memapahnya ke kamar. Hanya saja, makin dipapah, tubuhnya makin menempel pada tubuh Tobi.Terutama tangannya Tobi, yang terus menyentuh beberapa tempat yang tidak seharusnya dia sentuh.Hal ini membuat hormon dalam tubuh Tobi mulai meningkat, apalagi tubuhnya saat ini tak terkendali sepenuhnya, hingga membuatnya sulit berkonsentrasi.Martha juga merasakan ada yang aneh dari tubuh Tobi. Tanpa sadar, wajahnya tersipu ma
Namun, dia tidak akan membiarkan keponakannya jatuh ke pria tak berguna seperti Tobi. Bagaimana kalau dia benar-benar meniduri Martha? Bukankah hal ini akan menguntungkannya? Jadi, ibunya Widia pun berkata, "Dia istirahat di dalam. ""Istirahat?"Widia tertegun sejenak. Dia merasa sepertinya ada yang sesuatu yang tidak beres.Kakek Muhar memelototi ibunya Widia. Bukankah Tobi dan Martha baru saja masuk ke dalam? Kenapa tidak memberi mereka lebih banyak waktu? Bagaimana kalau mereka berdua masih belum apa-apa?Namun, kalau memang tidak terjadi sesuatu, Martha pasti sudah keluar dari kamar.Lantaran sudah sampai di titik ini, Kakek Muhar terpaksa berkata, "Tobi barusan menemaniku minum. Entah kenapa, sepertinya dia nggak sanggup minum banyak hari ini. Padahal baru minum sedikit saja, tapi dia sudah mabuk, kemudian pergi beristirahat.""Ya, ya, jangan khawatir, dia bahkan berinisiatif menyuruh Martha memapahnya masuk ke dalam kamar. Seharusnya dia baik-baik saja," kata ibunya Widia."Apa?
"Tobi, kamu memang pantas mati. Cepat keluar dari situ."Ibunya Widia terlihat emosi. Selesai memarahinya, dia langsung mengejar putrinya.Melihat wajah Widia tampak sedih dan tersiksa, Kakek Muhar langsung bertanya, seolah-olah tidak tahu apa-apa, "Widia, ada apa? Apa yang terjadi?"Ibunya Widia buru-buru berlari mendekatinya, lalu mengumpat dengan marah, "Tobi, dasar berengsek, nggak tahu malu! Padahal Widia begitu baik kepadanya, bagaimana dia tega melakukan hal seperti itu, apalagi kepada adik sepupunya sendiri?""Apa!"Herman terkejut, lalu bertanya dengan kesal, "Apa yang kamu bicarakan? Maksudmu, Tobi dan Martha di dalam?"Ibunya Widia mengangguk dengan cepat."Sialan! Dasar bajingan! Beraninya dia melakukan hal seperti ini kepada putriku! Aku akan membunuhnya!" Herman tampak emosi. Dia bahkan bersiap untuk menghabisi Tobi."Hentikan!"Kakek Muhar menghentikan Herman dan berkata dengan nada tegas, "Buat apa buru-buru? Periksa dulu kebenarannya. Yesa, kamu yakin sudah melihat den
Tak satu pun dari mereka yang bisa mengalahkannya.Namun, setelah melakukan semua ini, apa yang dia peroleh sebagai balasannya?Dia baru saja mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan Keluarga Lianto, tetapi sebagai balasannya, dia malah dijebak oleh mereka. Selain itu, wanita yang dia cintai terus menerus tidak memercayainya.Kali ini, Tobi benar-benar merasa lelah.Hatinya lelah!Namun, dia masih menaruh harapan terakhir. Dia mengabaikan Keluarga Lianto yang telah mempermalukannya dan berkata perlahan, "Widia, kalau aku bilang aku diberi obat hari ini, apa kamu percaya?""Diberi obat?"Ibunya Widia tampak panik. "Tobi, apa maksudmu? Apa kamu mau menuduh kami memberimu obat?""Tobi, jangan sembarangan memfitnah orang."Wajah Kakek Muhar berubah dingin, lalu berkata dengan marah, "Aku selalu memperlakukanmu dengan baik, kenapa kamu malah berbalik memfitnah kami?""Widia, kamu rasa Kakek bisa melakukan hal seperti itu?""Ya, Widia, kamu tahu Ibu sangat menyayangi Martha, 'kan? Mana mu
Selain Kakek Muhar yang menanyakan Tobi apa dia membawa kartu keluarga dan surat nikah, tidak ada seorang pun yang mengucapkan sepatah kata kepadanya lagi.Tobi selalu membawa barang-barang penting bersamanya karena dia memiliki ruang yang tidak dimiliki orang lain.Lantaran Widia duduk di samping Kakek Muhar, dia juga tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada Tobi.Ibunya Widia masuk ke dalam kamar untuk menemani Martha. Tak lama kemudian, Martha juga keluar.Martha melirik Tobi sekilas. Tak disangka, pria itu juga tengah menatapnya. Hatinya berdegap kencang. Untungnya, Tobi tidak menanyakan apa pun.Kalau tidak, dia takut dirinya tidak bisa menahan diri dan akan mengatakan hal yang sebenarnya. Padahal, bibinya barusan sudah berkali-kali memperingatkannya.Martha berjalan mendekati Widia dan memanggilnya pelan, "Kak Widia!"Widia meliriknya sekilas. Ekspresinya begitu dingin. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.Martha tahu Kak Widia menyalahkan dirinya. Dia merasa malu dan juga me
Setelah menghentikan Tobi, Widia berjalan mendekat dan berkata dengan dingin, "Tobi, kamu nggak ingin menyampaikan sesuatu kepadaku?"Tobi mengangkat akta di tangannya dan bertanya, "Akta cerai sudah keluar, apa lagi yang bisa kukatakan?""Bagus. Mulai sekarang, kamu dan aku nggak hubungan lagi. Kita hanya perlu jalani hidup masing-masing," ucap Widia dengan dingin."Jangan khawatir, aku nggak akan muncul di hadapanmu lagi."Setelah melontarkan kata-kata itu, Tobi pun berjalan pergi, tanpa ragu sedikit pun.Namun, jika diperhatikan secara saksama, langkahnya sedikit berbeda dari biasanya, bahkan tubuhnya juga agak gemetar.Dia tidak menyangka mereka berdua akan mencapai titik ini.Kalau dipikir-pikir, perceraian mungkin termasuk hal yang baik. Bagaimanapun juga, lawan yang akan dia hadapi ke depannya akan makin menakutkan, bahkan mungkin ada Guru Besar tingkat puncak.Apalagi, berdasarkan kekuatannya saat ini, dia akan kewalahan menghadapinya. Selain itu, dia juga masih belum menemukan
Widia yang dipenuhi dengan amarah dan rasa sakit langsung melampiaskannya keluar.Mulai dari Joni, hingga Tuan Darel dari Kota Sawarna dan kali ini Rio dari Keluarga Yudistira di Jatra.Apalagi, latar belakang mereka makin lama makin menakutkan. Begitu pula dengan bahaya yang ditimbulkan, juga akan bertambah mengerikan.Jika kakeknya dan orang tuanya tidak memaksa dirinya, bagaimana mereka bisa mencapai titik ini?Saat Widia kembali hari ini, dia menerima telepon dari Rio. Pria itu menjelaskan bahwa dia berharap Widia bisa muncul di Jatra dalam waktu tiga hari. Jika tidak, Keluarga Lianto pasti akan hancur.Selain itu, Rio juga mengetahui keberadaan Tobi. Dia juga mengancam, kalau Widia tidak menuruti permintaannya, dia pasti akan membuat Tobi mati secara tragis.Padahal, kemarin Kakek Muhar hanya berpura-pura menjadi Rio dan mengancam untuk menipu Widia. Namun, siapa sangka, Widia hari ini sungguh telah diancam oleh Rio.Rio jelas-jelas tidak sabar. Awalnya dia berencana menggunakan p