Senyum Kalingga memudar kala mendengar suara gaduh dari ruang tamu.
Di sana, berdiri tiga orang pria berbadan besar yang wajahnya seperti ditorehkan amarah. Salah satu dari mereka sedang menunjuk-nunjuk ayahnya—Pak Kasno, yang berdiri gemetaran dengan tongkat kayunya. "Pak Kasno, kita dah kasih banyak waktu buat Bapak! Dan kita sudah cukup bersabar untuk ini! Kalau nggak bisa bayar sekarang, keluarkan semua barang-barang dan keluar dari rumah ini!" bentak salah satu pria, wajahnya memerah. "Bapak belum bisa kalo hari ini, Bang. Beri Bapak waktu lagi," Suara Pak Kasno serak dan lemah. "Berapa lama lagi? Tahun depan? Atau sampai kamu terbujur kaku?" Melihat itu, Kalingga segera berlari ke dalam rumah, menyelipkan tubuhnya di antara ayahnya dan para penagih utang. "Pak, ini ada apa?!" Pria bertubuh kekar menatap Kalingga dari ujung kepala sampai kaki. "Kamu anaknya? Bagus. Bapak kamu utang, harus dibayar lunas hari ini!" "Jangan bawa-bawa anak saya!" Pak Kasno berseru, meski suaranya lemah. Kalingga memeluk ayahnya, berusaha tegar. "Kalian nggak bisa seenaknya datang ke sini. Kami pasti bayar, tapi kasih waktu. Jangan main paksa!" "Ah, bocah kecil mau ngatur!" Pria itu melangkah maju, tapi gerakannya dihentikan seorang laki-laki lain. "Sudah, jangan pakai kekerasan. Kita kasih waktu, tapi nggak gratis. Bunganya naik lagi!" Perseteruan itu menarik perhatian tetangga. Beberapa orang mulai mendekat, termasuk Pak Darto, seorang pria tua yang sudah lama mengenal keluarga Kasno. Ia maju dengan wajah penuh keberanian. "Kalian ini nggak tahu aturan, ya? Orang tua sakit-sakitan kok malah ditekan begitu. Keluar kalian dari sini, atau saya laporkan Pak RT!" seru Pak Darto sambil menunjuk-nunjuk. Salah satu pria berbadan besar mendengkus dan mendorong Pak Darto hingga tersungkur. "Heh, Tua Bangka! Jangan ikut campur! Ini bukan urusan kamu!" Kekacauan itu makin memanas. Beberapa tetangga mencoba melerai, tapi tiga pria itu terlalu arogan untuk mendengarkan. Tiba-tiba, langkah berat mendekat. Suara sepatu mahal menginjak tanah berdebu diiringi bunyi pintu mobil ditutup. Semua orang menoleh. Seorang pria dengan penampilan rapi dan wajah dingin muncul di antara kerumunan. Juragan Sagara. Dengan jas hitam yang pas membalut tubuhnya, berdiri tenang namun menebar aura menekan. "Ada apa ini ribut-ribut?" Suaranya rendah, tapi cukup untuk menghentikan semua keributan. "Juragan!" Salah satu pria tadi langsung membungkuk. "Kami hanya menjalankan tugas." "Diam kamu!" Tatapan Juragan Sagara seperti pisau yang memotong keberanian mereka. Semua orang mundur, memberi jalan. Juragan Sagara menatap Pak Kasno dengan senyum kecil yang dingin. "Berapa total yang harus dilunasi Pak Kasno?" tanyanya tajam. "Seratus juta, Tuan!" jawab anak buahnya yang tadi paling lantang bicara. Pak Kasno gemetar. "Juragan, saya mohon, beri waktu lagi. Saya akan bayar, tapi tidak sekarang." Juragan Sagara mengabaikan permohonan itu. Sebaliknya, matanya tertuju pada Kalingga yang berdiri di sisi ayahnya. "Anak perempuan ini siapa?" tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya. Kalingga menggenggam tangan ayahnya, berusaha tegar. "Saya anaknya. Kalau mau bicara soal utang, bicara dengan saya. Jangan tekan bapak saya." Juragan Sagara mengangguk pelan. "Baik. Kalau begitu, dengarkan penawaranku." Semua mata tertuju padanya. Bahkan Pak Kasno tampak bingung, antara takut dan penasaran. "Saya ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara yang ... menguntungkan. Saya punya seorang anak laki-lak." Juragan Sagara berhenti sejenak, memberi jeda agar semua memperhatikan. "Dia sudah menikah lima tahun, tapi belum juga memiliki keturunan. Saya butuh seseorang yang bisa melahirkan keturunan untuk keluarga kami." Pak Kasno terperangah. "Apa maksud Juragan?" "Anakmu. Kalingga. Saya akan menikahkannya dengan Gala Sagara. Sampai dia melahirkan anak. Setelah itu, selesai. Dia bebas, dan utangmu lunas. Bahkan, saya akan tanggung semua kebutuhanmu sampai akhir hidupmu nanti." Suasana hening. Kalingga hanya bisa menatap pria itu dengan mata membulat. "Itu nggak mungkin!" serunya dengan suara bergetar. "Ini tawaran, bukan paksaan. Tapi ingat, kalau kamu tolak, rumah ini, tanah ini, semua akan saya ambil. Pilihannya ada di tanganmu." Kalingga memegang tangan ayahnya, menahan amarah dan kesedihan. Tapi sebelum ia bisa membalas, batuk Pak Kasno pecah, diikuti darah yang keluar dari mulutnya. "Pak!" Kalingga berteriak panik. "Tolong! Bantu saya bawa ayah ke rumah sakit!" Juragan Sagara menatap dingin. "Saya bisa bantu. Tapi kamu tahu apa yang saya minta." Kalingga menangis. Hatinya bergejolak, tetapi keadaan ayahnya membuat pikirannya kacau. Akhirnya, ia mengangguk lemah. "Tolong ayah saya dulu ... baru kita bicara." Juragan Sagara tersenyum puas. "Bagus. Kita akan siapkan semuanya." Sesampainya di rumah sakit, Pak Kasno tak segera mendapatkan penanganan. Masih menunggu anak buah Juragan Sagara yang mengurus administrasi sebelum tindakan dokter spesialis dilakukan. Kalingga memandang ayahnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya pucat dengan alat bantu oksigen yang terpasang di hidungnya. Napas Pak Kasno terdengar berat, seolah setiap tarikan napas adalah perjuangan. Seorang dokter wanita masuk ke ruangan, membawa berkas hasil pemeriksaan sementara. Wajahnya serius tapi tetap bersikap tenang. "Anda keluarga Pak Kasno?" tanyanya. Kalingga mengangguk, berdiri dengan gelisah. "Iya, Bu Dokter. Saya anaknya. Gimana keadaan Bapak saya?" Dokter menghela napas, meletakkan berkas di meja. "Pak Kasno mengalami komplikasi serius akibat sirosis hati stadium lanjut. Liver-nya sudah sangat rusak, dan fungsi hatinya hampir sepenuhnya gagal. Tadi beliau muntah darah karena ada perdarahan di saluran cerna, yang sering terjadi pada pasien dengan sirosis stadium akhir." Kalingga terkejut, matanya membelalak. "Maksud Dokter, Bapak saya ... sudah parah?" Dokter mengangguk pelan. "Iya. Ini kondisi yang sangat serius. Jika tidak segera dilakukan tindakan, risiko gagal hati dan perdarahan lebih parah bisa mengancam nyawa beliau." "Tindakan apa yang harus dilakukan?" tanya Kalingga dengan suara serak, hatinya berdegup kencang. "Kami perlu melakukan beberapa tindakan mendesak. Dalam jangka panjang, satu-satunya jalan untuk memperpanjang hidup beliau adalah transplantasi hati." "Transplantasi hati?" Kalingga mengulang dengan suara hampir tak terdengar. Dokter mengangguk. "Iya. Untuk saat ini, fokus kita adalah menghentikan perdarahan dan menstabilkan kondisinya." Kalingga merasa dunia seakan runtuh. Matanya berkaca-kaca, tangannya menggenggam ujung jilbabnya dengan erat. Kata-kata itu seperti pukulan di hati Kalingga. Ia tahu ayahnya tidak punya asuransi, dan tabungan mereka bahkan tak cukup untuk membayar. Ia menatap ayahnya yang terbaring lemah, lalu mengingat kata-kata Juragan Sagara. "Kalau kamu bersedia melahirkan keturunan keluarga saya, semua utang bapakmu lunas, dan kebutuhan hidup kalian akan saya tanggung seumur hidup." Perasaan berat dan bimbang memenuhi dadanya. Namun, melihat ayahnya yang sekarat, Kalingga tahu ia tidak punya pilihan lain. Dengan suara lemah, ia berbisik kepada dirinya sendiri. "Saya akan lakukan apa saja, asal Bapak selamat ...." "Dia sudah sakit liver parah," ucap Juragan Sagara dengan nada datar. "Kalau tidak segera ditangani, dia tidak akan bertahan lama." Tiba-tiba laki-laki bertubuh tinggi itu sudah berdiri menjulang di depan Kalingga yang menangis di depan IGD. "Tolong Tuan ... beri saya waktu!" Kalingga memekik, tangisnya pecah. "Terserah. Kalau mau bapakmu sembuh, kamu tahu apa yang harus dilakukan." Belum sempat Kalingga membuka suara untuk mengatakan kalimat persetujuan. Suara langkah kaki di lorong terdengar memburu dan mendekat. "Tunggu!""Tunggu!" Seorang pria muda berpakaian rapi datang tergesa. Wajahnya serius, tatapannya langsung tertuju pada Juragan Sagara. "Saya tidak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja," katanya tegas. Kalingga yang tengah memandangi jemarinya yang saling memilin mendongak dengan mata membesar. Harapan terselip di hatinya, tetapi sirna ketika pria itu berhenti di hadapan Juragan Sagara, dan bukan dirinya. “Ini tidak benar,” lanjut pria itu dengan nada tegas, menatap tajam ke arah sang Juragan. Juragan Sagara tersenyum tipis, santai, seakan protes itu angin lalu. Namun, sebelum ia menjawab, langkah lain terdengar di belakang pria itu. Seorang laki-laki tinggi dengan wajah dingin dan sorot mata tajam muncul di lorong. Gala Sagara. “Kenapa Papa memanggilku ke sini?” tanya Gala langsung, tanpa basa-basi. Tatapannya menusuk sang ayah, tanpa memperhatikan siapa pun di sekitarnya. Juragan Sagara melipat tangan di dada, wajahnya serius. “Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar. I
Di tengah tangis, Kalingga mendongak dan menatap suaminya dengan mata yang basah. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri," bisiknya lemah. "Semua ini salahku. Ayah pergi karena aku terlalu sibuk mengejar mimpiku." Gala terdiam. Ia bukan tipe pria yang mudah menenangkan orang lain. Tetapi pandangannya terhadap Kalingga berubah, tidak lagi hanya melihat gadis lugu yang menjadi istri keduanya, tetapi seseorang yang benar-benar kehilangan. Di sudut ruangan, Ilman berdiri dengan ekspresi penuh perhatian, tetapi tanpa sepatah kata pun. Ada ketulusan dalam tatapannya, membuat suasana menjadi semakin hening. Beberapa jam kemudian, dokter keluar membawa kabar buruk, Pak Kasno tidak dapat diselamatkan. Keadaan tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan lebih lama. Jenazah Pak Kasno segera dikebumikan dini hari itu juga, sesuai tradisi setempat. Gala yang terbiasa dengan kehidupan mewah, merasa canggung berada di lingkungan sederhana rumah Kalingga. Ia sempat berniat kembali ke hotel
Di dalam salon mewah, suara alat-alat perawatan tiba-tiba lenyap, tergantikan keheningan yang menegangkan. Selena berdiri angkuh di tengah ruangan, jari-jarinya yang lentik menunjuk Kalingga yang duduk diam di sudut. “Salon eksklusif seperti ini seharusnya tidak menerima sembarang orang,” ucap Selena dengan senyum tipis yang menawan, namun penuh racun. “Kalian harusnya tahu standar pelayanan di tempat seperti ini. Bukan untuk ... ya, orang seperti dia.” Kalingga menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. Hatinya terasa sakit mendengar hinaan itu, tapi ia tahu, melawan hanya akan mempermalukannya lebih dalam. Perasaan rendah diri yang selama ini dipendamnya mendadak menyeruak. Benar kata Selena, pikirnya getir. Aku memang bukan siapa-siapa. Bahkan di sini pun aku dianggap tak pantas. Namun sebelum suasana semakin panas, pintu kaca salon terbuka. Suara langkah sepatu tergesa, membawa aura darurat yang membuat semua orang menoleh. "Mbak Selena, janji temu dengan sutr
Di dalam kamar mandi, Gala berdiri di bawah pancuran air, pikirannya berputar tanpa arah. Ia memijat pelipisnya, mencoba mengabaikan bayangan wajah Kalingga—wajah itu yang sebelumnya penuh tekad, kini tergurat kesedihan. Kenapa aku harus peduli? pikir Gala, mencoba menyangkal perasaan aneh yang merayap di dadanya. Namun, bayangan rambut panjang Kalingga yang sempat tergerai tadi terus menghantuinya. Bukan seperti Selena, yang sempurna tanpa cela, tetapi ada sesuatu dari gadis desa itu yang membuatnya terusik. Gala mempercepat mandinya dan keluar dengan handuk melilit di pinggang. Aroma masakan menggugah selera menyeruak dari arah dapur. Dia mempercepat berpakaian dan keluar kamar. Langkah kakinya terhenti di ambang pintu dapur, matanya tertumbuk pada sosok Kalingga yang sibuk mengaduk wajan. Gala mengamati dari kejauhan. Tangannya lihai memasak, gerak-geriknya penuh keanggunan. Sejenak, ia merasa sedang mengamati seorang istri sungguhan, sesuatu yang tak pernah ia lihat dari Sel
Setelah malam panas itu, Selena terbangun lebih dulu, menatap suaminya yang masih terlelap. Sesekali Gala masih menggumamkan nama perempuan itu lagi—Kalingga, nama yang membuat hatinya terbakar amarah dan curiga. "Kalingga ... kamu hanya perlu hamil ..." Gala bergumam pelan sebelum akhirnya diam. Selena mengerutkan keningnya, perasaan tak nyaman menghantui pikirannya. 'Siapa Kalingga? Kenapa nama itu terdengar begitu akrab dari mulut Gala?' Pagi harinya, keluarga Sagara duduk di meja makan. Papa Sagara, istrinya, Gala, dan Selena memulai sarapan dengan suasana yang tampak normal. Namun, tiba-tiba percakapan yang menusuk hati mulai mencuat. "Selena, kamu masih belum hamil juga?" tanya Sagara sambil menatap menantunya dengan tajam. "Kenapa tidak berhenti saja menjadi model? Mau sampai kapan kamu kejar kariermu? Kekayaan Sagara ini tidak cukup untukmu?" Selena hampir tersedak. Pertanyaan itu seperti panah yang langsung menghunjam hatinya. Ia menoleh ke Gala, berharap suaminya membe
Dokter memeriksa laporan kesehatan Kalingga dengan seksama, lalu menghela napas panjang. “Pak Gala, saya harus memberi tahu bahwa ada 2 metode kehamilan tanpa hubungan badan. Yaitu metode Intrauterine Insemination (IUI) atau inseminasi intrauterin adalah prosedur reproduksi buatan di mana sperma yang telah diproses dimasukkan langsung ke dalam rahim wanita menggunakan kateter kecil. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemungkinan pembuahan dengan mendekatkan sperma ke sel telur saat ovulasi. "dan metode In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung adalah metode di mana sel telur diambil dari ovarium wanita dan dibuahi dengan sperma di laboratorium. Setelah embrio berkembang, embrio terbaik dipilih dan ditanamkan kembali ke dalam rahim wanita agar terjadi kehamilan. Dua metode ini memiliki risiko tinggi bagi Nona Kalingga. Jadi aya menyarankan metode alami untuk hasil yang lebih baik.” Wajah Gala berubah dingin, tetapi ia tidak berkomentar. Ia hanya mengangguk dan menerima resep vi
Kalingga akhirnya membuka mulut, suaranya bergetar. “Saya akan berusaha memenuhi janji itu, Tuan.” Gala tersenyum tipis, tetapi ada kepahitan di baliknya. “Bagus,” katanya. Namun, dalam hatinya, ia mulai merasakan kegelisahan yang sulit ia jelaskan. Ada perasaan tidak rela melihat Kalingga terus menunduk seperti itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Gala, tapi dia tak peduli. Selama ini dia adalah bosnya, tak ada yang bisa menolak keinginannya. Sejak kecil papa dan mamanya selalu menuruti segala ucapannya. Maka Gala berpikir semua orang pun harus sama. Dan itulah mengapa dia sekarang mau menerima perjodohan dari mamanya untuk menikahi Selena dulu. Dan sekarang Kalingga qtas deaakan papanya. Sementara itu, Ilman mengucap doa dalam hati, berharap Allah memberikan jalan keluar terbaik untuk wanita yang ia cintai dalam diam. --- Sesampainya di rumah, Gala langsung membawa Kalingga ke kamarnya. Dengan nada dingin, ia berkata, “Kamu puny
Gala berjalan keluar kamar mandi dengan handuk kecil di pundaknya. Napasnya masih terdengar berat setelah mendinginkan kepala dengan air dingin. Di ranjang, Kalingga masih menangis dengan tubuh terbungkus selimut tebal.Kalingga ...Bayangan kemarin saat di ruang makan, Gala duduk menatap punggung Kalingga yang sibuk merapikan meja. Tatapannya menyapu gerak-gerik wanita itu yang begitu anggun meskipun terlihat lelah. Hati Gala terhenti sejenak, pikirannya melayang pada perbandingan yang tak bisa ia abaikan.Selena ....Wanita itu selalu datang dengan wangi parfum mahal yang menyengat. Tatapannya tajam, seperti menuntut sesuatu setiap kali berhadapan dengannya. Gala tak pernah merasa nyaman. Di meja makan, Selena jarang menyentuh masakan rumah, lebih memilih salad kemasan atau makanan impor yang dipesannya sendiri. Ia sering mengeluh.Setiap percakapan diakhiri dengan ketus, tanpa kompromi. Bahkan saat Gala mencoba berbicara soal pekerjaan, Selena selalu mengalihkan dengan cerita tenta
Gala berbisik dalam hati, Kenapa kamu begitu berbeda, Kalingga?Lamunan Gala buyar saat mobil yang dikendarai Ilman tiba-tiba mengerem mendadak. Seekor kucing liar melintas cepat di depan mereka. Gala menatap tajam ke arah jalan, memastikan semuanya aman."Apa yang kamu pikirkan, Ilman?" umpat Gala pada asisten pribadinya itu dengan tajam."Maaf, Pak. Seekor kucing, saya kurang fokus." Ilman mengangguk sesaat lalu melajukan mobilnya kembali.Namun, di setir kendali, tangan Ilman sedikit gemetar. Pikiran pria itu melayang, dipenuhi kenangan tentang Kalingga.Dalam lamunannya, Ilman melihat kembali ke masa-masa di mana Kalingga selalu tersenyum padanya. Wajah lembut itu penuh semangat ketika mereka bersama di kampung. Ia ingat betapa cekatan Kalingga membantu orang-orang, mulai dari mengajar anak-anak hingga menyelesaikan urusan rumah tangga.“Mas Ilman, aku ingin suatu hari nanti jadi guru TK. Aku suka anak-anak. Semoga kelak aku pun bisa memiliki banyak anak dengan suami yang mencinta
Gala berjalan keluar kamar mandi dengan handuk kecil di pundaknya. Napasnya masih terdengar berat setelah mendinginkan kepala dengan air dingin. Di ranjang, Kalingga masih menangis dengan tubuh terbungkus selimut tebal.Kalingga ...Bayangan kemarin saat di ruang makan, Gala duduk menatap punggung Kalingga yang sibuk merapikan meja. Tatapannya menyapu gerak-gerik wanita itu yang begitu anggun meskipun terlihat lelah. Hati Gala terhenti sejenak, pikirannya melayang pada perbandingan yang tak bisa ia abaikan.Selena ....Wanita itu selalu datang dengan wangi parfum mahal yang menyengat. Tatapannya tajam, seperti menuntut sesuatu setiap kali berhadapan dengannya. Gala tak pernah merasa nyaman. Di meja makan, Selena jarang menyentuh masakan rumah, lebih memilih salad kemasan atau makanan impor yang dipesannya sendiri. Ia sering mengeluh.Setiap percakapan diakhiri dengan ketus, tanpa kompromi. Bahkan saat Gala mencoba berbicara soal pekerjaan, Selena selalu mengalihkan dengan cerita tenta
Kalingga akhirnya membuka mulut, suaranya bergetar. “Saya akan berusaha memenuhi janji itu, Tuan.” Gala tersenyum tipis, tetapi ada kepahitan di baliknya. “Bagus,” katanya. Namun, dalam hatinya, ia mulai merasakan kegelisahan yang sulit ia jelaskan. Ada perasaan tidak rela melihat Kalingga terus menunduk seperti itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Gala, tapi dia tak peduli. Selama ini dia adalah bosnya, tak ada yang bisa menolak keinginannya. Sejak kecil papa dan mamanya selalu menuruti segala ucapannya. Maka Gala berpikir semua orang pun harus sama. Dan itulah mengapa dia sekarang mau menerima perjodohan dari mamanya untuk menikahi Selena dulu. Dan sekarang Kalingga qtas deaakan papanya. Sementara itu, Ilman mengucap doa dalam hati, berharap Allah memberikan jalan keluar terbaik untuk wanita yang ia cintai dalam diam. --- Sesampainya di rumah, Gala langsung membawa Kalingga ke kamarnya. Dengan nada dingin, ia berkata, “Kamu puny
Dokter memeriksa laporan kesehatan Kalingga dengan seksama, lalu menghela napas panjang. “Pak Gala, saya harus memberi tahu bahwa ada 2 metode kehamilan tanpa hubungan badan. Yaitu metode Intrauterine Insemination (IUI) atau inseminasi intrauterin adalah prosedur reproduksi buatan di mana sperma yang telah diproses dimasukkan langsung ke dalam rahim wanita menggunakan kateter kecil. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemungkinan pembuahan dengan mendekatkan sperma ke sel telur saat ovulasi. "dan metode In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung adalah metode di mana sel telur diambil dari ovarium wanita dan dibuahi dengan sperma di laboratorium. Setelah embrio berkembang, embrio terbaik dipilih dan ditanamkan kembali ke dalam rahim wanita agar terjadi kehamilan. Dua metode ini memiliki risiko tinggi bagi Nona Kalingga. Jadi aya menyarankan metode alami untuk hasil yang lebih baik.” Wajah Gala berubah dingin, tetapi ia tidak berkomentar. Ia hanya mengangguk dan menerima resep vi
Setelah malam panas itu, Selena terbangun lebih dulu, menatap suaminya yang masih terlelap. Sesekali Gala masih menggumamkan nama perempuan itu lagi—Kalingga, nama yang membuat hatinya terbakar amarah dan curiga. "Kalingga ... kamu hanya perlu hamil ..." Gala bergumam pelan sebelum akhirnya diam. Selena mengerutkan keningnya, perasaan tak nyaman menghantui pikirannya. 'Siapa Kalingga? Kenapa nama itu terdengar begitu akrab dari mulut Gala?' Pagi harinya, keluarga Sagara duduk di meja makan. Papa Sagara, istrinya, Gala, dan Selena memulai sarapan dengan suasana yang tampak normal. Namun, tiba-tiba percakapan yang menusuk hati mulai mencuat. "Selena, kamu masih belum hamil juga?" tanya Sagara sambil menatap menantunya dengan tajam. "Kenapa tidak berhenti saja menjadi model? Mau sampai kapan kamu kejar kariermu? Kekayaan Sagara ini tidak cukup untukmu?" Selena hampir tersedak. Pertanyaan itu seperti panah yang langsung menghunjam hatinya. Ia menoleh ke Gala, berharap suaminya membe
Di dalam kamar mandi, Gala berdiri di bawah pancuran air, pikirannya berputar tanpa arah. Ia memijat pelipisnya, mencoba mengabaikan bayangan wajah Kalingga—wajah itu yang sebelumnya penuh tekad, kini tergurat kesedihan. Kenapa aku harus peduli? pikir Gala, mencoba menyangkal perasaan aneh yang merayap di dadanya. Namun, bayangan rambut panjang Kalingga yang sempat tergerai tadi terus menghantuinya. Bukan seperti Selena, yang sempurna tanpa cela, tetapi ada sesuatu dari gadis desa itu yang membuatnya terusik. Gala mempercepat mandinya dan keluar dengan handuk melilit di pinggang. Aroma masakan menggugah selera menyeruak dari arah dapur. Dia mempercepat berpakaian dan keluar kamar. Langkah kakinya terhenti di ambang pintu dapur, matanya tertumbuk pada sosok Kalingga yang sibuk mengaduk wajan. Gala mengamati dari kejauhan. Tangannya lihai memasak, gerak-geriknya penuh keanggunan. Sejenak, ia merasa sedang mengamati seorang istri sungguhan, sesuatu yang tak pernah ia lihat dari Sel
Di dalam salon mewah, suara alat-alat perawatan tiba-tiba lenyap, tergantikan keheningan yang menegangkan. Selena berdiri angkuh di tengah ruangan, jari-jarinya yang lentik menunjuk Kalingga yang duduk diam di sudut. “Salon eksklusif seperti ini seharusnya tidak menerima sembarang orang,” ucap Selena dengan senyum tipis yang menawan, namun penuh racun. “Kalian harusnya tahu standar pelayanan di tempat seperti ini. Bukan untuk ... ya, orang seperti dia.” Kalingga menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. Hatinya terasa sakit mendengar hinaan itu, tapi ia tahu, melawan hanya akan mempermalukannya lebih dalam. Perasaan rendah diri yang selama ini dipendamnya mendadak menyeruak. Benar kata Selena, pikirnya getir. Aku memang bukan siapa-siapa. Bahkan di sini pun aku dianggap tak pantas. Namun sebelum suasana semakin panas, pintu kaca salon terbuka. Suara langkah sepatu tergesa, membawa aura darurat yang membuat semua orang menoleh. "Mbak Selena, janji temu dengan sutr
Di tengah tangis, Kalingga mendongak dan menatap suaminya dengan mata yang basah. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri," bisiknya lemah. "Semua ini salahku. Ayah pergi karena aku terlalu sibuk mengejar mimpiku." Gala terdiam. Ia bukan tipe pria yang mudah menenangkan orang lain. Tetapi pandangannya terhadap Kalingga berubah, tidak lagi hanya melihat gadis lugu yang menjadi istri keduanya, tetapi seseorang yang benar-benar kehilangan. Di sudut ruangan, Ilman berdiri dengan ekspresi penuh perhatian, tetapi tanpa sepatah kata pun. Ada ketulusan dalam tatapannya, membuat suasana menjadi semakin hening. Beberapa jam kemudian, dokter keluar membawa kabar buruk, Pak Kasno tidak dapat diselamatkan. Keadaan tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan lebih lama. Jenazah Pak Kasno segera dikebumikan dini hari itu juga, sesuai tradisi setempat. Gala yang terbiasa dengan kehidupan mewah, merasa canggung berada di lingkungan sederhana rumah Kalingga. Ia sempat berniat kembali ke hotel
"Tunggu!" Seorang pria muda berpakaian rapi datang tergesa. Wajahnya serius, tatapannya langsung tertuju pada Juragan Sagara. "Saya tidak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja," katanya tegas. Kalingga yang tengah memandangi jemarinya yang saling memilin mendongak dengan mata membesar. Harapan terselip di hatinya, tetapi sirna ketika pria itu berhenti di hadapan Juragan Sagara, dan bukan dirinya. “Ini tidak benar,” lanjut pria itu dengan nada tegas, menatap tajam ke arah sang Juragan. Juragan Sagara tersenyum tipis, santai, seakan protes itu angin lalu. Namun, sebelum ia menjawab, langkah lain terdengar di belakang pria itu. Seorang laki-laki tinggi dengan wajah dingin dan sorot mata tajam muncul di lorong. Gala Sagara. “Kenapa Papa memanggilku ke sini?” tanya Gala langsung, tanpa basa-basi. Tatapannya menusuk sang ayah, tanpa memperhatikan siapa pun di sekitarnya. Juragan Sagara melipat tangan di dada, wajahnya serius. “Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar. I