Gala berbisik dalam hati, Kenapa kamu begitu berbeda, Kalingga? Lamunan Gala buyar saat mobil yang dikendarai Ilman tiba-tiba mengerem mendadak. Seekor kucing liar melintas cepat di depan mereka. Gala menatap tajam ke arah jalan, memastikan semuanya aman. "Apa yang kamu pikirkan, Ilman?" umpat Gala pada asisten pribadinya itu dengan tajam. "Maaf, Pak. Seekor kucing, saya kurang fokus." Ilman mengangguk sesaat lalu melajukan mobilnya kembali. Namun, di setir kendali, tangan Ilman sedikit gemetar. Pikiran pria itu melayang, dipenuhi kenangan tentang Kalingga. Dalam lamunannya, Ilman melihat kembali ke masa-masa di mana Kalingga selalu tersenyum padanya. Wajah lembut itu penuh semangat ketika mereka bersama di kampung. Ia ingat betapa cekatan Kalingga membantu orang-orang, mulai dari mengajar anak-anak hingga menyelesaikan urusan rumah tangga. “Mas Ilman, aku ingin suatu hari nanti jadi guru TK. Aku suka anak-anak. Semoga kelak aku pun bisa memiliki banyak anak dengan suami yang men
Dalam perjalanan pulang, Ilman kembali mengingat bagaimana ia pertama kali bertemu Kalingga di kampung mereka. Saat itu, Kalingga sedang memapah seorang anak kecil yang jatuh dari sepeda. Ia melakukannya tanpa ragu, dengan penuh kasih sayang.“Mas, nanti kalau aku sudah jadi guru, aku ingin punya murid sebanyak mungkin. Aku ingin mereka semua bahagia,” kata Kalingga saat itu.Ilman tersenyum pahit mengingatnya. Ia tahu, Kalingga kini telah berada di tempat yang berbeda. Ia bukan lagi gadis desa polos, tetapi istri seorang pria seperti Gala. Dan Gala—pria yang dulu begitu dingin—perlahan mulai melunak karena Kalingga.Rasa sesak memenuhi dada Ilman. Kenapa harus Pak Gala? Kenapa bukan aku yang mendampingi Kalingga seperti dulu?Lamunan Ilman terpecah oleh suara Gala di kursi belakang. "Ilman, apa kamu mendengarku?"Ilman tersentak. "Maaf, Pak. Saya hanya … terlalu fokus mengemudi."Tiba-tiba, ponsel Gala berdering. Nama "Papa" tertera di layar. Gala mengangkatnya dengan nada datar. "Ad
Mungkinkah Selena akan setuju, jika Gala mengatakan yang sesungguhnua tentang Selena? Gala segera menepis ide konyol yang terlintas.Apa mungkin yang dikatakan Mita benar tentang Selena? Apakah Selena selama ini merasa tersakiti dengan hubungan mereka? Pernikahan mereka terasa hambar sejak awal, seperti dua orang asing yang dipaksa hidup bersama. Selena sibuk dengan dunianya, dengan karir dan impian yang tak pernah melibatkan dirinya. Tapi apakah itu berarti Selena tidak punya hati?Gala menelan ludah, mencoba meredam gejolak dalam dadanya. Selama ini ia berpikir Selena tidak peduli. Ia hanya memandang dirinya sebagai suami yang harus memenuhi kebutuhannya, bukan sebagai seseorang yang memiliki hati dan perasaan. Namun, ucapan ibunya menohok sesuatu di dalam dirinya. Apa mungkin Selena diam-diam menyimpan luka? Apa mungkin ia telah melukai perasaan Selena lebih dari yang ia sadari?Sementara itu, bayangan Kalingga melintas dalam pikirannya. Senyumnya yang
Deru mobil Gala memecah malam yang sunyi. Ia melesat di antara kendaraan lain tanpa memedulikan lampu merah yang menyala. Tangannya mencengkeram setir erat, sementara pikirannya terus mengulang-ulang kata-kata Ilman."Rumah yang ditempati Kalingga terbakar, Pak. Petugas pemadam sudah membawa Kalingga ke rumah sakit. Dia pingsan di dalam kamarnya saat ditemukan.""Shit!" umpatnya memukul setir.Gala menggeram pelan, tangannya mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Kenapa? Kenapa dia tidak keluar? Apa yang dia pikirkan?!" gumamnya lirih, penuh nada frustrasi.Lampu merah di depannya menyala, tapi Gala tak menginjak rem. Mobilnya melaju dengan kecepatan penuh, hampir menabrak sebuah motor yang melintas. Klakson membahana, tapi ia tak peduli."Kalau terjadi apa-apa padanya—" ucapnya terputus, suaranya nyaris pecah. "Sial! Kenapa aku kalut seperti ini?!"Gala menginjak pedal gas lebih dalam, adrenalin memacu tubuhnya. Rumah sakit. Lingga. Api. Pingsan. Kata-kata
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Kalingga sudah terbaring di ranjang pasien di ruang VIP yang disiapkan Gala. Meski tubuhnya lelah, pikirannya tak bisa berhenti berputar.'Kenapa aku selamat? Kenapa harus seperti ini?'Kata-kata itu terus terulang di benaknya. Ia memejamkan mata, berharap gelap bisa menenangkan pikirannya yang berantakan.Baru beberapa detik matanya terbuka lagi, menerawang ke langit-langit. Wajahnya pucat, pikirannya masih berputar pada kejadian beberapa jam lalu.Suara gaduh dari rumah tetangga sebelah awalnya hanya samar-samar terdengar di telinga. Saat itu ia sedang bersiap menunaikan shalat maghrib. Namun, ketika suara ledakan kecil menggema diikuti teriakan panik, jantungnya mulai berdebar.Ia membuka pintu balkon kamar lantai dua dan melihat kepulan asap hitam pekat merayap masuk ke dalam rumahnya melalui ventilasi. Bau gas menyengat semakin kuat. Tetangga sebelah rumahnya tampak panik berlarian keluar, berteri
Gala justru duduk di kursi, tetap memandangi Kalingga yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Kenapa kamu terus memanggilku dengan panggilan tuan? Kamu istriku, Kalingga.""Istri?" Kalingga membuka mata, berbalik dan menatap Gala. Ia tersenyum pahit. "Istri seperti apa, Tuan? Saya hanyalah bayangan, hanya boneka."Ucapan itu menusuk Gala, tetapi ia memilih diam."Tapi kamu tetap istriku, Kalingga."Kalingga menggeleng pelan. "Karena itu yang benar. Saya harus membatasi diri. Jika semuanya terbongkar nanti, setidaknya saya tidak akan terlalu sakit."Gala terdiam beberapa saat, 'tidak akan terlalu sakit?' Kalimat itu terasa janggal di telinga Gala, tapi dia menepisnya, lalu mengangguk. "Kamu benar. Tapi—" Kata-katanya terhenti. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi memilih menahannya.Gala tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Kalingga begitu tenang dan itu yang telah mengambil alih semua kesombongan dan melemahkan Gala dalam
Pagi-pagi buta, Gala meninggalkan rumah sakit. Ilman telah membawa pakaian kerja dan menyiapkan segala kebutuhan agar Gala bisa langsung pulang tanpa menarik perhatian orang rumah.Ketika Gala tiba, baik Papa, Mama dan Selena sudah menunggunya di meja makan. Tak banyak percakapan yang dilontarkan di meja makan. Hanya denting peralatan makan yang mendominasi suasana pagi itu. Setelah sebelumnya Gala telah mengutarakan alasan kenapa dirinya terlambat. Alasan yang sama seperti hari-hari sibuk dengan pekerjaannya.Usai sarapan, Selena memberinya isyarat untuk ke kamar terlebih dahulu, "Aku ingin bicara."Gala mengikuti Selena yang mengunci pintu kamar dan duduk di sofa menunggu istrinya memulai percakapan."Beib, aku ada kabar bagus!" katanya ceria. "Aku ditawari jadi brand ambassador produk susu kehamilan. Apa menurutmu aku harus ambil tawaran ini? Bagaimana menurutmu?"Gala terdiam, pikirannya berkecamuk. Selena, yang selama ini menghindari
Selena, di sisi lain, selalu menuntut lebih. Penampilannya harus selalu memukau, ekspektasinya tak pernah rendah. Dan sekarang, dengan keinginannya untuk memiliki anak hanya karena tekanan dari kontrak baru, Gala merasa semakin jauh darinya.'Jika Selena tahu tentang Kalingga ... tidak! Dia pasti akan menghancurkan segalanya.'"Pak, istirahat dulu. Ini kopi baru untuk Anda, atau kita pergi keluar?" tanya Ilman sambil membawa berkas yang baru saja ia koreksi karena kesalahan Gala dan mendekatkan kopinya.Gala hanya mengangguk, "Kita keluar saja!" Dia berdiri tanpa memakai jasnya yang tersampir di kursi. Ilman akhirnya membawa Gala keluar kantor untuk istirahat di sebuah kafe. Di pinggir jalan tengah kota, dua laki-laki yang hanya terpaut usia dua tahun itu duduk berhadapan saling diam. Saat kopi tiba, Ilman membuka percakapan, mencoba menyelami apa yang sebenarnya mengganggu pikiran atasannya."Pak, maaf jika saya lancang," kata Ilman pe
Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da
"Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t
"Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa
Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb
"Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal
Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada
“By… aku berangkat dulu. Ada meeting penting hari ini. Mungkin pulang agak mal—”“Makanya sini dulu!”Tangan perempuan yang sudah rapi dalam setelan formal kantoran itu ditarik paksa hingga jatuh menimpa tubuh polos suaminya di ranjang.“Aku sudah mandi, By! Lima belas men—”Kalimatnya terpotong. Mulutnya dibungkam tanpa ampun oleh Galen yang langsung membalikkan posisi, menindih dengan gairah yang meletup.Satu minggu telah berlalu sejak insiden mengerikan itu. Tak satu pun jejak kasus tersisa.Pergerakan Secret Umbrella begitu senyap dan bersih. Big Boss mereka, seorang hacker jenius, mampu melumpuhkan sistem pemerintahan, menanamkan tersangka palsu, dan membebaskan seluruh anggota terlibat. Termasuk G4 dan Maiza—keduanya benar-benar lenyap dari radar publik.Hidup Galen dan Maiza kembali seperti biasa. Sepasang pengantin baru beda usia dan profesi itu melanjutkan rutinitas: Galen menyusun skripsi, Maiza sibuk mengelol
"Jangan takut lagi, aku akan menjaga dan melindungimu. I love you .…" Kecupan yang lama dan dalam dia jatuhkan di kening Maiza yang mengangguk perlahan.Pelukan itu terasa seperti rumah, dan Maiza memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam hangatnya perlindungan Galen—lelaki yang hampir saja dia lupakan, tapi hatinya tetap mengenalinya, selalu."Maafkan aku. Aku pikir tak akan pernah bertemu denganmu, dan aku tak pernah termaafkan atas keegoisanku sendiri.""Tidak ada yang bersalah dan tak ada yang perlu dimaafkan, Sayang." Galen merenggangkan pelukan, menatap manik mata sembab milik cinta pertamanya. Mata yang penuh arti, menunjukkan cinta yang begitu dalam. Memancarkan harapan dan semangat dalam sorot tajamnya."Hub–by...."Mantan anak didiknya itu menarik napasnya, lalu menekan tengkuk Maiza, membuat kepalanya mendongak. Gerakan lembut dan penuh candu itu berkembang cepat—menjadi balasan tak tertahankan antara dua insan yang telah
“Aaarrrgh!?” Suara letusan memecah malam, bersamaan dengan jeritan Galen yang menyayat. Namun, tubuhnya tetap meluncur masuk ke dalam pipa pembuangan yang sudah dirusaknya lebih dulu—pelarian terakhir yang ia punya.Pintu kamar mandi didobrak paksa. Tiga pria berpakaian serba hitam menyerbu masuk dan langsung menghujani ruangan dengan tembakan brutal. Cipratan darah membekas di dinding dan lantai, menyisakan jejak yang mengerikan.“Dia nggak akan bertahan lama dengan peluru beracun kita! Cari barangnya di setiap sudut!” bentak pemimpin mereka dengan suara dingin dan menakutkan.Sementara itu, di dalam mobil yang melaju tak tentu arah, Maiza menatap pria yang duduk di balik kemudi dengan pandangan terpaku. Ketakutan makin menyesakkan dadanya.“Ka–kamu bukan Galen?” suaranya nyaris tak terdengar, tercekat oleh rasa ngeri.Dia mencuri pandang, berharap sang penolong hanyalah Galen yang menyamar—tapi tidak. Sosok itu menoleh sekilas, wajahnya