Di dalam kamar mandi, Gala berdiri di bawah pancuran air, pikirannya berputar tanpa arah. Ia memijat pelipisnya, mencoba mengabaikan bayangan wajah Kalingga—wajah itu yang sebelumnya penuh tekad, kini tergurat kesedihan.
Kenapa aku harus peduli? pikir Gala, mencoba menyangkal perasaan aneh yang merayap di dadanya. Namun, bayangan rambut panjang Kalingga yang sempat tergerai tadi terus menghantuinya. Bukan seperti Selena, yang sempurna tanpa cela, tetapi ada sesuatu dari gadis desa itu yang membuatnya terusik. Gala mempercepat mandinya dan keluar dengan handuk melilit di pinggang. Aroma masakan menggugah selera menyeruak dari arah dapur. Dia mempercepat berpakaian dan keluar kamar. Langkah kakinya terhenti di ambang pintu dapur, matanya tertumbuk pada sosok Kalingga yang sibuk mengaduk wajan. Gala mengamati dari kejauhan. Tangannya lihai memasak, gerak-geriknya penuh keanggunan. Sejenak, ia merasa sedang mengamati seorang istri sungguhan, sesuatu yang tak pernah ia lihat dari Selena. Tapi pikiran itu segera ia tepis. Saat Kalingga meletakkan makanan di meja makan, tatapannya tak pernah bertemu Gala. Kalingga memilih diam, membiarkan luka di hatinya tetap tersembunyi. “Buatkan aku kopi!” Suara Gala terdengar datar. Kalingga berhenti sejenak, lalu mengangguk kecil. Ia membuatkan kopi tanpa sepatah kata, kemudian meletakkannya di depan Gala. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Namun, di balik itu, hatinya menjerit. Kenapa aku harus berada di sini? Apa semua ini pantas untukku? Gala memperhatikan Kalingga yang menunduk, seolah-olah ingin menghilang dari pandangannya. Tanpa sadar, ia meraih pergelangan tangan gadis itu, menghentikan langkahnya. “Katakan,” Suara Gala lebih tegas. “Apa rencanamu setelah melahirkan keturunan untukku? Apa kamu tidak pernah berpikir bagaimana suamimu nanti mempertanyakan statusmu? Statusmu belum menikah, tapi sudah tidak perawan lagi, heuh?” Kata-kata itu membuat Kalingga menatapnya dengan mata yang berkilat, penuh keberanian. Tetapi, sebelum ia sempat menjawab, Gala melanjutkan. “Kamu punya hubungan apa dengan Ilman?” pertanyaan itu disusul senyum mengejek di wajah Gala. “Atau ... bagaimana kalau perjanjian ini batal? Kamu jadi istri keduaku selamanya. Apa yang akan kamu lakukan, heuh?” Kalingga tak sempat menggeleng. Gala mengimpitnya, membuat tubuhnya bersandar di meja makan. Tangan Gala menahan tubuh kecil Kalingga agar tak menyentuh makanan yang masih panas. “Tak perlu menunggu esok hari,” bisiknya dingin, “Lahirkan keturunan untukku sekarang juga!” Kalingga menelan ludahnya dengan susah payah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tubuhnya gemetar saat Gala mengangkatnya dengan mudah dan menggendongnya menaiki tangga menuju kamar. Ia tidak melawan, hanya bisa pasrah, matanya menatap kosong, menghindari sorot tajam Gala yang tak beralih dari wajah Kalingga. Ya Allah ... beri aku kekuatan untuk melewati semua ini. Aku mohon .... Tubuh Kalingga gemetar di atas ranjang, napasnya memburu. Gala menatapnya dari atas, kedua matanya yang dingin menelisik penuh kesombongan. Dengan tangan kokohnya, ia hampir saja menarik kain di bahu Kalingga, tetapi tiba-tiba ia berhenti. Gala berdiri tegak, langkahnya mundur perlahan. Matanya menyipit, seolah sedang menilai sesuatu. Ia menyilangkan tangan di dada, bibirnya melengkung tipis penuh ejekan. “Aku tidak akan menyentuh sesuatu yang belum pasti sehat dan layak untukku,” katanya dingin. Kalingga tertegun, tubuhnya membeku mendengar kata-kata itu. Matanya melebar, tidak percaya bahwa Gala bisa berkata sekejam itu. “Tunggu saja,” lanjut Gala, suaranya menggema di dalam kamar yang sunyi. “Besok kita akan tahu apakah kamu benar-benar layak mengandung keturunanku atau tidak.” Nada suaranya penuh hinaan, seperti racun yang menyengat hati Kalingga. Gadis itu menunduk, kedua tangannya mengepal erat di atas ranjang. Ia berusaha menahan isak tangisnya, tetapi air matanya tak terbendung lagi. Gala, yang merasa puas dengan reaksinya, meraih kunci mobil dari atas meja. Ia melirik sekilas ke arah Kalingga, senyumnya sinis. “Jangan terlalu berharap, Kalingga,” tambahnya sebelum melangkah keluar kamar. “Kamu hanyalah istri di atas kertas. Tidak lebih.” Pintu kamar tertutup dengan keras, meninggalkan Kalingga yang masih terdiam di tempatnya. Detik berlalu dalam keheningan, hanya suara isakan kecilnya yang memenuhi ruangan. Ya Allah ... Apa aku benar-benar hanya boneka? pikir Kalingga, hatinya seperti disayat ribuan pisau. Ia memeluk lututnya, tubuhnya meringkuk di atas kasur yang terasa dingin dan asing. Tangannya mencengkeram kain di dadanya, mencoba menahan rasa sakit yang terus menghantam. “Kenapa aku harus mengalami ini?” bisiknya lirih. “Kenapa aku harus menjadi istri kedua? Apa aku salah memilih jalan ini, Allah?” Bayangan wajah Pak Kasno tersenyum saat terakhir kali di rumah sakit melintas di benaknya. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat alasan mengapa ia rela menempuh jalan ini. Demi ayahnya yang kini telah tiada. Namun, harga yang harus ia bayar terasa terlalu mahal. Sementara itu, Gala duduk di dalam mobilnya, menyalakan mesin dengan kasar. Pikirannya berkecamuk, tetapi wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Ia memukul setir mobil sekali, mencoba melampiaskan kekesalannya. Kenapa aku harus peduli pada gadis itu? pikirnya keras. Dia hanyalah istri untuk menghasilkan keturunan. Tidak lebih. Namun, bayangan wajah Kalingga yang menangis tadi terus menghantui benaknya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang, sesuatu yang tidak ia pahami. Ia menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan itu. Mobil melaju meninggalkan rumah, sementara di kamar, Kalingga berdoa dalam hati, memohon kekuatan untuk melewati semua ini. Hatinya mungkin terluka, tetapi tekadnya untuk bertahan tetap utuh. Demi janji setia Ilman untuk menikahinya setelah semua usai. **** Sementara di tempat lain, istri Gala yang lain sedang menantikan kehadirannya. Dia sudah berhias siap melayani sang suami sepulang bekerja. Beberapa menit lalu Gala mengirim pesan agar Selena berdandan. "Aku pulang sekarang! Pertemuan dengan klien ditunda. Pastikan kamu melayaniku malam ini." Begitu isi pesan Gala yang membuat Selena berbunga-bunga. Selama menikah, suaminya itu tak pernah sekali pun meminta lebih dulu. Selalu Selena yang menggoda Gala dengan berbagai cara. Suaminya itu lebih memilih berkencan dengan tumpukan dokumen dari klien dibanding dirinya. Itu yang membuat pernikahannya selama ini terasa hanya formalitas dan hambar. Lima tahun berlalu hubungan mereka semakin renggang. Gala yang disibukkan dengan banyak proyek dan Selena dengan banyak jadwal show di berbagai kota di dalam maupun luar negeri. Membuat keduanya jarang sekali berkomunikasi. Pintu kamar Selena terbuka dengan keras. "Kamu sudah siap hamil?" tanya Gala berjalan sempoyongan dengan mata merah menyorot penuh gairah pada sang istri. "Hamil?" desis Selena mempertajam pendengarannya sembari mendorong suaminya yang berbau alkohol ke ranjang. "Kalingga! Kamu hanya perlu hamil!" Gala kembali meraih tubuh Selena dan meracau tak jelas. "Kalingga?" gumam Selena menggeleng tak percaya. Apa Gala merahasiakan sesuatu? Hatinya memanas seiring dengan api asmara yang semakin membakar pasangan suami istri itu.Setelah malam panas itu, Selena terbangun lebih dulu, menatap suaminya yang masih terlelap. Sesekali Gala masih menggumamkan nama perempuan itu lagi—Kalingga, nama yang membuat hatinya terbakar amarah dan curiga. "Kalingga ... kamu hanya perlu hamil ..." Gala bergumam pelan sebelum akhirnya diam. Selena mengerutkan keningnya, perasaan tak nyaman menghantui pikirannya. 'Siapa Kalingga? Kenapa nama itu terdengar begitu akrab dari mulut Gala?' Pagi harinya, keluarga Sagara duduk di meja makan. Papa Sagara, istrinya, Gala, dan Selena memulai sarapan dengan suasana yang tampak normal. Namun, tiba-tiba percakapan yang menusuk hati mulai mencuat. "Selena, kamu masih belum hamil juga?" tanya Sagara sambil menatap menantunya dengan tajam. "Kenapa tidak berhenti saja menjadi model? Mau sampai kapan kamu kejar kariermu? Kekayaan Sagara ini tidak cukup untukmu?" Selena hampir tersedak. Pertanyaan itu seperti panah yang langsung menghunjam hatinya. Ia menoleh ke Gala, berharap suaminya membe
Dokter memeriksa laporan kesehatan Kalingga dengan seksama, lalu menghela napas panjang. “Pak Gala, saya harus memberi tahu bahwa ada 2 metode kehamilan tanpa hubungan badan. Yaitu metode Intrauterine Insemination (IUI) atau inseminasi intrauterin adalah prosedur reproduksi buatan di mana sperma yang telah diproses dimasukkan langsung ke dalam rahim wanita menggunakan kateter kecil. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemungkinan pembuahan dengan mendekatkan sperma ke sel telur saat ovulasi. "dan metode In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung adalah metode di mana sel telur diambil dari ovarium wanita dan dibuahi dengan sperma di laboratorium. Setelah embrio berkembang, embrio terbaik dipilih dan ditanamkan kembali ke dalam rahim wanita agar terjadi kehamilan. Dua metode ini memiliki risiko tinggi bagi Nona Kalingga. Jadi aya menyarankan metode alami untuk hasil yang lebih baik.” Wajah Gala berubah dingin, tetapi ia tidak berkomentar. Ia hanya mengangguk dan menerima resep vi
Kalingga akhirnya membuka mulut, suaranya bergetar. “Saya akan berusaha memenuhi janji itu, Tuan.” Gala tersenyum tipis, tetapi ada kepahitan di baliknya. “Bagus,” katanya. Namun, dalam hatinya, ia mulai merasakan kegelisahan yang sulit ia jelaskan. Ada perasaan tidak rela melihat Kalingga terus menunduk seperti itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Gala, tapi dia tak peduli. Selama ini dia adalah bosnya, tak ada yang bisa menolak keinginannya. Sejak kecil papa dan mamanya selalu menuruti segala ucapannya. Maka Gala berpikir semua orang pun harus sama. Dan itulah mengapa dia sekarang mau menerima perjodohan dari mamanya untuk menikahi Selena dulu. Dan sekarang Kalingga qtas deaakan papanya. Sementara itu, Ilman mengucap doa dalam hati, berharap Allah memberikan jalan keluar terbaik untuk wanita yang ia cintai dalam diam. --- Sesampainya di rumah, Gala langsung membawa Kalingga ke kamarnya. Dengan nada dingin, ia berkata, “Kamu puny
Gala berjalan keluar kamar mandi dengan handuk kecil di pundaknya. Napasnya masih terdengar berat setelah mendinginkan kepala dengan air dingin. Di ranjang, Kalingga masih menangis dengan tubuh terbungkus selimut tebal.Kalingga ...Bayangan kemarin saat di ruang makan, Gala duduk menatap punggung Kalingga yang sibuk merapikan meja. Tatapannya menyapu gerak-gerik wanita itu yang begitu anggun meskipun terlihat lelah. Hati Gala terhenti sejenak, pikirannya melayang pada perbandingan yang tak bisa ia abaikan.Selena ....Wanita itu selalu datang dengan wangi parfum mahal yang menyengat. Tatapannya tajam, seperti menuntut sesuatu setiap kali berhadapan dengannya. Gala tak pernah merasa nyaman. Di meja makan, Selena jarang menyentuh masakan rumah, lebih memilih salad kemasan atau makanan impor yang dipesannya sendiri. Ia sering mengeluh.Setiap percakapan diakhiri dengan ketus, tanpa kompromi. Bahkan saat Gala mencoba berbicara soal pekerjaan, Selena selalu mengalihkan dengan cerita tenta
Gala berbisik dalam hati, Kenapa kamu begitu berbeda, Kalingga? Lamunan Gala buyar saat mobil yang dikendarai Ilman tiba-tiba mengerem mendadak. Seekor kucing liar melintas cepat di depan mereka. Gala menatap tajam ke arah jalan, memastikan semuanya aman. "Apa yang kamu pikirkan, Ilman?" umpat Gala pada asisten pribadinya itu dengan tajam. "Maaf, Pak. Seekor kucing, saya kurang fokus." Ilman mengangguk sesaat lalu melajukan mobilnya kembali. Namun, di setir kendali, tangan Ilman sedikit gemetar. Pikiran pria itu melayang, dipenuhi kenangan tentang Kalingga. Dalam lamunannya, Ilman melihat kembali ke masa-masa di mana Kalingga selalu tersenyum padanya. Wajah lembut itu penuh semangat ketika mereka bersama di kampung. Ia ingat betapa cekatan Kalingga membantu orang-orang, mulai dari mengajar anak-anak hingga menyelesaikan urusan rumah tangga. “Mas Ilman, aku ingin suatu hari nanti jadi guru TK. Aku suka anak-anak. Semoga kelak aku pun bisa memiliki banyak anak dengan suami yang men
Dalam perjalanan pulang, Ilman kembali mengingat bagaimana ia pertama kali bertemu Kalingga di kampung mereka. Saat itu, Kalingga sedang memapah seorang anak kecil yang jatuh dari sepeda. Ia melakukannya tanpa ragu, dengan penuh kasih sayang.“Mas, nanti kalau aku sudah jadi guru, aku ingin punya murid sebanyak mungkin. Aku ingin mereka semua bahagia,” kata Kalingga saat itu.Ilman tersenyum pahit mengingatnya. Ia tahu, Kalingga kini telah berada di tempat yang berbeda. Ia bukan lagi gadis desa polos, tetapi istri seorang pria seperti Gala. Dan Gala—pria yang dulu begitu dingin—perlahan mulai melunak karena Kalingga.Rasa sesak memenuhi dada Ilman. Kenapa harus Pak Gala? Kenapa bukan aku yang mendampingi Kalingga seperti dulu?Lamunan Ilman terpecah oleh suara Gala di kursi belakang. "Ilman, apa kamu mendengarku?"Ilman tersentak. "Maaf, Pak. Saya hanya … terlalu fokus mengemudi."Tiba-tiba, ponsel Gala berdering. Nama "Papa" tertera di layar. Gala mengangkatnya dengan nada datar. "Ad
Mungkinkah Selena akan setuju, jika Gala mengatakan yang sesungguhnua tentang Selena? Gala segera menepis ide konyol yang terlintas.Apa mungkin yang dikatakan Mita benar tentang Selena? Apakah Selena selama ini merasa tersakiti dengan hubungan mereka? Pernikahan mereka terasa hambar sejak awal, seperti dua orang asing yang dipaksa hidup bersama. Selena sibuk dengan dunianya, dengan karir dan impian yang tak pernah melibatkan dirinya. Tapi apakah itu berarti Selena tidak punya hati?Gala menelan ludah, mencoba meredam gejolak dalam dadanya. Selama ini ia berpikir Selena tidak peduli. Ia hanya memandang dirinya sebagai suami yang harus memenuhi kebutuhannya, bukan sebagai seseorang yang memiliki hati dan perasaan. Namun, ucapan ibunya menohok sesuatu di dalam dirinya. Apa mungkin Selena diam-diam menyimpan luka? Apa mungkin ia telah melukai perasaan Selena lebih dari yang ia sadari?Sementara itu, bayangan Kalingga melintas dalam pikirannya. Senyumnya yang
Deru mobil Gala memecah malam yang sunyi. Ia melesat di antara kendaraan lain tanpa memedulikan lampu merah yang menyala. Tangannya mencengkeram setir erat, sementara pikirannya terus mengulang-ulang kata-kata Ilman."Rumah yang ditempati Kalingga terbakar, Pak. Petugas pemadam sudah membawa Kalingga ke rumah sakit. Dia pingsan di dalam kamarnya saat ditemukan.""Shit!" umpatnya memukul setir.Gala menggeram pelan, tangannya mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Kenapa? Kenapa dia tidak keluar? Apa yang dia pikirkan?!" gumamnya lirih, penuh nada frustrasi.Lampu merah di depannya menyala, tapi Gala tak menginjak rem. Mobilnya melaju dengan kecepatan penuh, hampir menabrak sebuah motor yang melintas. Klakson membahana, tapi ia tak peduli."Kalau terjadi apa-apa padanya—" ucapnya terputus, suaranya nyaris pecah. "Sial! Kenapa aku kalut seperti ini?!"Gala menginjak pedal gas lebih dalam, adrenalin memacu tubuhnya. Rumah sakit. Lingga. Api. Pingsan. Kata-kata
Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da
"Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t
"Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa
Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb
"Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal
Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada
“By… aku berangkat dulu. Ada meeting penting hari ini. Mungkin pulang agak mal—”“Makanya sini dulu!”Tangan perempuan yang sudah rapi dalam setelan formal kantoran itu ditarik paksa hingga jatuh menimpa tubuh polos suaminya di ranjang.“Aku sudah mandi, By! Lima belas men—”Kalimatnya terpotong. Mulutnya dibungkam tanpa ampun oleh Galen yang langsung membalikkan posisi, menindih dengan gairah yang meletup.Satu minggu telah berlalu sejak insiden mengerikan itu. Tak satu pun jejak kasus tersisa.Pergerakan Secret Umbrella begitu senyap dan bersih. Big Boss mereka, seorang hacker jenius, mampu melumpuhkan sistem pemerintahan, menanamkan tersangka palsu, dan membebaskan seluruh anggota terlibat. Termasuk G4 dan Maiza—keduanya benar-benar lenyap dari radar publik.Hidup Galen dan Maiza kembali seperti biasa. Sepasang pengantin baru beda usia dan profesi itu melanjutkan rutinitas: Galen menyusun skripsi, Maiza sibuk mengelol
"Jangan takut lagi, aku akan menjaga dan melindungimu. I love you .…" Kecupan yang lama dan dalam dia jatuhkan di kening Maiza yang mengangguk perlahan.Pelukan itu terasa seperti rumah, dan Maiza memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam hangatnya perlindungan Galen—lelaki yang hampir saja dia lupakan, tapi hatinya tetap mengenalinya, selalu."Maafkan aku. Aku pikir tak akan pernah bertemu denganmu, dan aku tak pernah termaafkan atas keegoisanku sendiri.""Tidak ada yang bersalah dan tak ada yang perlu dimaafkan, Sayang." Galen merenggangkan pelukan, menatap manik mata sembab milik cinta pertamanya. Mata yang penuh arti, menunjukkan cinta yang begitu dalam. Memancarkan harapan dan semangat dalam sorot tajamnya."Hub–by...."Mantan anak didiknya itu menarik napasnya, lalu menekan tengkuk Maiza, membuat kepalanya mendongak. Gerakan lembut dan penuh candu itu berkembang cepat—menjadi balasan tak tertahankan antara dua insan yang telah
“Aaarrrgh!?” Suara letusan memecah malam, bersamaan dengan jeritan Galen yang menyayat. Namun, tubuhnya tetap meluncur masuk ke dalam pipa pembuangan yang sudah dirusaknya lebih dulu—pelarian terakhir yang ia punya.Pintu kamar mandi didobrak paksa. Tiga pria berpakaian serba hitam menyerbu masuk dan langsung menghujani ruangan dengan tembakan brutal. Cipratan darah membekas di dinding dan lantai, menyisakan jejak yang mengerikan.“Dia nggak akan bertahan lama dengan peluru beracun kita! Cari barangnya di setiap sudut!” bentak pemimpin mereka dengan suara dingin dan menakutkan.Sementara itu, di dalam mobil yang melaju tak tentu arah, Maiza menatap pria yang duduk di balik kemudi dengan pandangan terpaku. Ketakutan makin menyesakkan dadanya.“Ka–kamu bukan Galen?” suaranya nyaris tak terdengar, tercekat oleh rasa ngeri.Dia mencuri pandang, berharap sang penolong hanyalah Galen yang menyamar—tapi tidak. Sosok itu menoleh sekilas, wajahnya