Di tengah tangis, Kalingga mendongak dan menatap suaminya dengan mata yang basah. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri," bisiknya lemah. "Semua ini salahku. Ayah pergi karena aku terlalu sibuk mengejar mimpiku."
Gala terdiam. Ia bukan tipe pria yang mudah menenangkan orang lain. Tetapi pandangannya terhadap Kalingga berubah, tidak lagi hanya melihat gadis lugu yang menjadi istri keduanya, tetapi seseorang yang benar-benar kehilangan. Di sudut ruangan, Ilman berdiri dengan ekspresi penuh perhatian, tetapi tanpa sepatah kata pun. Ada ketulusan dalam tatapannya, membuat suasana menjadi semakin hening. Beberapa jam kemudian, dokter keluar membawa kabar buruk, Pak Kasno tidak dapat diselamatkan. Keadaan tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan lebih lama. Jenazah Pak Kasno segera dikebumikan dini hari itu juga, sesuai tradisi setempat. Gala yang terbiasa dengan kehidupan mewah, merasa canggung berada di lingkungan sederhana rumah Kalingga. Ia sempat berniat kembali ke hotel setelah pemakaman, tetapi ketika melihat Kalingga yang tak henti menangis di sisi pusara ayahnya, ia memilih tetap tinggal. Namun, rasa gengsinya terlalu besar untuk masuk ke rumah kecil itu, sehingga ia memilih tidur di mobil dengan AC menyala sepanjang malam. Sementara itu, Ilman menemani Kalingga di ruang tamu kecil itu. Dengan sabar, ia mendengarkan setiap tangis dan doa Kalingga hingga menjelang Subuh. Ketika waktu shalat tiba, Ilman menjadi imam bagi Kalingga dan sopir Gala. Suara doanya yang tenang menjadi penghiburan bagi hati Kalingga yang remuk. Dari dalam mobil, Gala memperhatikan semuanya dengan seksama. Ada perasaan asing yang mengusiknya ketika melihat kedekatan antara Kalingga dan asistennya itu. Gala akhirnya masuk ke rumah. Ia memasuki ruang tamu sempit itu dan mengambil tempat shalat berjamaah di sisi Kalingga. Ketika Ilman selesai memimpin shalat, Gala secara tiba-tiba ikut menjabat tangan Kalingga yang terkejut atas kehadirannya. Ada kehangatan aneh yang mengalir melalui jabatan tangan itu. Sebuah rasa yang selama ini tidak ia temukan di dalam rumah tangganya bersama Selena. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia tahu ada sesuatu tentang Kalingga yang mulai menyentuh hatinya. Melihat itu, Ilman hanya menunduk. Ia tahu perannya tidak lebih dari seorang asisten. Namun, dalam diam, ia merasa sedikit terpojok oleh kehadiran Gala yang perlahan mulai memperhatikan Kalingga. Perempuan yang selama ini telah bertahta di hatinya. Tidak ingin berlama-lama di desa, Gala memutuskan membawa Kalingga kembali ke kota. "Kamu ikut. Tidak ada gunanya kamu di sini sendirian," ucapnya tegas. Sesampainya di kota, Gala tidak membawa Kalingga ke rumah utama, melainkan ke salah satu properti pribadinya yang tidak diketahui oleh banyak orang. Rumah itu besar, tetapi terlihat kosong dan berdebu tampak jelas tak pernah dihuni pemiliknya. "Ini tempatmu," katanya singkat sebelum pergi ke kantor. Di sepanjang perjalanan menuju kantornya, Gala merasa ada sesuatu yang mengganjal. Di meja kerjanya, ia tidak bisa fokus. Setiap file yang ia buka terasa kosong karena pikirannya terus memutar bayangan Kalingga. Ia teringat bagaimana Kalingga menunduk penuh rasa syukur meskipun hidupnya penuh keterbatasan. Itu berbeda jauh dari Selena yang selalu menuntut lebih, tanpa pernah merasa cukup. Sementara itu Kalingga, yang tidak terbiasa dengan lingkungan seperti itu, merasa terasing. Tetapi ia tidak tinggal diam. Ia mulai membersihkan rumah itu dengan cekatan, membenahi ruangan, dan bahkan menyiapkan makan malam sederhana untuk Gala nanti ketika suaminya pulang. Saat sedang memotong bawang, ponselnya berdering. Awalnya ia ragu menjawab, tetapi panggilan itu terus berulang hingga akhirnya ia mengangkatnya. "Kenapa lama sekali mengangkat telepon?" Suara Gala terdengar dingin di seberang sana. Kaget, Kalingga tanpa sadar menjatuhkan pisau dan melukainya. Ia memekik pelan, membuat Gala terdiam sejenak. "Apa yang terjadi?" tanya Gala, nadanya berubah panik meski ia mencoba menyembunyikannya. "Ti-tidak apa-apa, hanya tergores pisau sedikit," jawab Kalingga pelan. "Apa yang kamu lakukan?" "Memasak makan malam, Tuan." balas Kalingga gugup. "Tak perlu lakukan apa-apa, bersiaplah sekarang. Aku mengirimkan orang menjemputmu dan akan mengantarmu ke salon sekaligus membeli keperluanmu di rumah itu." Suaranya tak bisa dibantah. Gala merenung sejenak, Kalingga sedang memasak untuknya? Gala merasa dadanya sesak mendengar itu. Namun, ia memilih tetap bersikap keras. "Aku sudah mengirim orang untuk menjemputmu. Pergilah ke butik dan salon. Aku tidak mau kamu terlihat seperti itu di rumah mewahku." Kalimatnya terdengar sarkas namun tajam menusuk hati Kalingga. Setelah memutus panggilan, Gala merasa gelisah. Sikapnya tadi terlalu keras, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara meminta maaf. Pikirannya kembali melayang pada perbedaan mencolok antara Kalingga dan Selena. Selena tidak pernah menyiapkan apa pun untuknya, bahkan untuk hal sekecil makanan. Namun, Kalingga—dengan segala keterbatasannya—sudah membersihkan rumah dan berusaha membuat makan malam hanya dalam waktu singkat. Tak lama ketukan pintu terdengar saat Kalingga masih membalut jarinya. Ia membuka pintu, dan wajahnya langsung cerah melihat Ilman berdiri di sana. "Mas Ilman?" tanyanya, terdengar lega. "Pak Gala yang menyuruhku menjemputmu, kamu sudah siap?" jawab Ilman dengan senyum kecil. Setelah beberapa saat menunggu Kalingga mempersiapkan dirinya. Ilman membawanya ke salon terlebih dulu. Saat ia hendak memesan perawatan yang biasa dilakukan untuk istri tuannya, suasana berubah ketika seorang wanita masuk dengan anggun. Semua orang langsung mengarahkan perhatian padanya. "Selamat datang, Ibu Selena!" Salah satu pegawai menyapa dengan antusias. Selena, dengan sikap angkuhnya, memasuki ruangan. Penampilannya sempurna—dengan tas branded menggantung di lengannya. Semua mata tertuju padanya. Kalingga, yang sedang dilayani di kursi sebelah, merasa kecil di hadapan aura Selena. Selena, dengan senyum penuh kepercayaan diri, berjalan masuk seperti ratu. Matanya menyipit ketika melihat Kalingga. "Siapa dia?" Selena menunjuk Kalingga dengan tatapan merendahkan. "Kenapa dia duduk di kursi itu? Bukannya ini salon untuk kalangan tertentu? Kalian mulai melayani ... orang biasa?" Kalingga, yang awalnya diam, menunduk, merasa malu dengan penilaian itu. Ia mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa terganggunya. Salah satu Staf Salon memberanikan diri berbisik, "Dia adalah pelanggan juga, Bu. Kami melayani semua pelanggan dengan baik." Selena tertawa mengejek, "Pelanggan? Lihat saja bajunya! Apa kalian yakin dia mampu membayar layanan di sini? Jangan sampai aku harus bayar tagihan orang asing ini karena kasihan." "Saya bisa pergi sekarang, Bu," ucap Kalingga pelan, sadar diri dengan tempatnya. Selena mendekati Kalingga dengan tatapan tajam. "Oh, jadi kamu berani bicara, ya? Lihat dirimu baik-baik. Di tempat seperti ini, kamu cuma bikin malu. Apa kamu nggak sadar kalau kamu itu nggak pantas berada di sini? Ini salon untuk orang-orang yang tahu caranya menjaga penampilan, bukan untuk—" Dia melirik Kalingga dari atas ke bawah, "Orang kampungan!" Ilman yang berdiri tidak jauh dari sana, tidak bisa menahan diri, "Maaf, Bu Selena, tapi kata-kata Anda keterlaluan. Semua pelanggan berhak mendapat pelayanan yang sama, tidak peduli siapa mereka." Selena menatap Ilman dengan kesombongan, "Dan kamu? Asisten Gala, kan? Jangan ikut campur urusan yang bukan tempatmu. Kalau kamu yang membawanya ke sini, lebih baik kamu ajak dia pergi sekarang. Salon ini terlalu bagus untuk orang seperti dia, ngerti?" "Saya hanya ingin perawatan, Bu. Saya tidak bermaksud mengganggu siapa pun di sini," balas Kalingga dengan suara gemetar, mencoba tetap tenang. "Perawatan?" Selena tertawa kecil dengan nada mengejek. "Dengan kondisi seperti itu? Kamu pikir hasilnya akan membuatmu selevel denganku?" Ilman mengepalkan tangan, hampir mengatakan sesuatu, tetapi sebuah suara berat menghentikan semuanya.Kira-kira siapa yang datang?
Di dalam salon mewah, suara alat-alat perawatan tiba-tiba lenyap, tergantikan keheningan yang menegangkan. Selena berdiri angkuh di tengah ruangan, jari-jarinya yang lentik menunjuk Kalingga yang duduk diam di sudut. “Salon eksklusif seperti ini seharusnya tidak menerima sembarang orang,” ucap Selena dengan senyum tipis yang menawan, namun penuh racun. “Kalian harusnya tahu standar pelayanan di tempat seperti ini. Bukan untuk ... ya, orang seperti dia.” Kalingga menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. Hatinya terasa sakit mendengar hinaan itu, tapi ia tahu, melawan hanya akan mempermalukannya lebih dalam. Perasaan rendah diri yang selama ini dipendamnya mendadak menyeruak. Benar kata Selena, pikirnya getir. Aku memang bukan siapa-siapa. Bahkan di sini pun aku dianggap tak pantas. Namun sebelum suasana semakin panas, pintu kaca salon terbuka. Suara langkah sepatu tergesa, membawa aura darurat yang membuat semua orang menoleh. "Mbak Selena, janji temu dengan sutr
Di dalam kamar mandi, Gala berdiri di bawah pancuran air, pikirannya berputar tanpa arah. Ia memijat pelipisnya, mencoba mengabaikan bayangan wajah Kalingga—wajah itu yang sebelumnya penuh tekad, kini tergurat kesedihan. Kenapa aku harus peduli? pikir Gala, mencoba menyangkal perasaan aneh yang merayap di dadanya. Namun, bayangan rambut panjang Kalingga yang sempat tergerai tadi terus menghantuinya. Bukan seperti Selena, yang sempurna tanpa cela, tetapi ada sesuatu dari gadis desa itu yang membuatnya terusik. Gala mempercepat mandinya dan keluar dengan handuk melilit di pinggang. Aroma masakan menggugah selera menyeruak dari arah dapur. Dia mempercepat berpakaian dan keluar kamar. Langkah kakinya terhenti di ambang pintu dapur, matanya tertumbuk pada sosok Kalingga yang sibuk mengaduk wajan. Gala mengamati dari kejauhan. Tangannya lihai memasak, gerak-geriknya penuh keanggunan. Sejenak, ia merasa sedang mengamati seorang istri sungguhan, sesuatu yang tak pernah ia lihat dari Sel
Setelah malam panas itu, Selena terbangun lebih dulu, menatap suaminya yang masih terlelap. Sesekali Gala masih menggumamkan nama perempuan itu lagi—Kalingga, nama yang membuat hatinya terbakar amarah dan curiga. "Kalingga ... kamu hanya perlu hamil ..." Gala bergumam pelan sebelum akhirnya diam. Selena mengerutkan keningnya, perasaan tak nyaman menghantui pikirannya. 'Siapa Kalingga? Kenapa nama itu terdengar begitu akrab dari mulut Gala?' Pagi harinya, keluarga Sagara duduk di meja makan. Papa Sagara, istrinya, Gala, dan Selena memulai sarapan dengan suasana yang tampak normal. Namun, tiba-tiba percakapan yang menusuk hati mulai mencuat. "Selena, kamu masih belum hamil juga?" tanya Sagara sambil menatap menantunya dengan tajam. "Kenapa tidak berhenti saja menjadi model? Mau sampai kapan kamu kejar kariermu? Kekayaan Sagara ini tidak cukup untukmu?" Selena hampir tersedak. Pertanyaan itu seperti panah yang langsung menghunjam hatinya. Ia menoleh ke Gala, berharap suaminya membe
Dokter memeriksa laporan kesehatan Kalingga dengan seksama, lalu menghela napas panjang. “Pak Gala, saya harus memberi tahu bahwa ada 2 metode kehamilan tanpa hubungan badan. Yaitu metode Intrauterine Insemination (IUI) atau inseminasi intrauterin adalah prosedur reproduksi buatan di mana sperma yang telah diproses dimasukkan langsung ke dalam rahim wanita menggunakan kateter kecil. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemungkinan pembuahan dengan mendekatkan sperma ke sel telur saat ovulasi. "dan metode In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung adalah metode di mana sel telur diambil dari ovarium wanita dan dibuahi dengan sperma di laboratorium. Setelah embrio berkembang, embrio terbaik dipilih dan ditanamkan kembali ke dalam rahim wanita agar terjadi kehamilan. Dua metode ini memiliki risiko tinggi bagi Nona Kalingga. Jadi aya menyarankan metode alami untuk hasil yang lebih baik.” Wajah Gala berubah dingin, tetapi ia tidak berkomentar. Ia hanya mengangguk dan menerima resep vi
Kalingga akhirnya membuka mulut, suaranya bergetar. “Saya akan berusaha memenuhi janji itu, Tuan.” Gala tersenyum tipis, tetapi ada kepahitan di baliknya. “Bagus,” katanya. Namun, dalam hatinya, ia mulai merasakan kegelisahan yang sulit ia jelaskan. Ada perasaan tidak rela melihat Kalingga terus menunduk seperti itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Gala, tapi dia tak peduli. Selama ini dia adalah bosnya, tak ada yang bisa menolak keinginannya. Sejak kecil papa dan mamanya selalu menuruti segala ucapannya. Maka Gala berpikir semua orang pun harus sama. Dan itulah mengapa dia sekarang mau menerima perjodohan dari mamanya untuk menikahi Selena dulu. Dan sekarang Kalingga qtas deaakan papanya. Sementara itu, Ilman mengucap doa dalam hati, berharap Allah memberikan jalan keluar terbaik untuk wanita yang ia cintai dalam diam. --- Sesampainya di rumah, Gala langsung membawa Kalingga ke kamarnya. Dengan nada dingin, ia berkata, “Kamu puny
Gala berjalan keluar kamar mandi dengan handuk kecil di pundaknya. Napasnya masih terdengar berat setelah mendinginkan kepala dengan air dingin. Di ranjang, Kalingga masih menangis dengan tubuh terbungkus selimut tebal.Kalingga ...Bayangan kemarin saat di ruang makan, Gala duduk menatap punggung Kalingga yang sibuk merapikan meja. Tatapannya menyapu gerak-gerik wanita itu yang begitu anggun meskipun terlihat lelah. Hati Gala terhenti sejenak, pikirannya melayang pada perbandingan yang tak bisa ia abaikan.Selena ....Wanita itu selalu datang dengan wangi parfum mahal yang menyengat. Tatapannya tajam, seperti menuntut sesuatu setiap kali berhadapan dengannya. Gala tak pernah merasa nyaman. Di meja makan, Selena jarang menyentuh masakan rumah, lebih memilih salad kemasan atau makanan impor yang dipesannya sendiri. Ia sering mengeluh.Setiap percakapan diakhiri dengan ketus, tanpa kompromi. Bahkan saat Gala mencoba berbicara soal pekerjaan, Selena selalu mengalihkan dengan cerita tenta
Gala berbisik dalam hati, Kenapa kamu begitu berbeda, Kalingga?Lamunan Gala buyar saat mobil yang dikendarai Ilman tiba-tiba mengerem mendadak. Seekor kucing liar melintas cepat di depan mereka. Gala menatap tajam ke arah jalan, memastikan semuanya aman."Apa yang kamu pikirkan, Ilman?" umpat Gala pada asisten pribadinya itu dengan tajam."Maaf, Pak. Seekor kucing, saya kurang fokus." Ilman mengangguk sesaat lalu melajukan mobilnya kembali.Namun, di setir kendali, tangan Ilman sedikit gemetar. Pikiran pria itu melayang, dipenuhi kenangan tentang Kalingga.Dalam lamunannya, Ilman melihat kembali ke masa-masa di mana Kalingga selalu tersenyum padanya. Wajah lembut itu penuh semangat ketika mereka bersama di kampung. Ia ingat betapa cekatan Kalingga membantu orang-orang, mulai dari mengajar anak-anak hingga menyelesaikan urusan rumah tangga.“Mas Ilman, aku ingin suatu hari nanti jadi guru TK. Aku suka anak-anak. Semoga kelak aku pun bisa memiliki banyak anak dengan suami yang mencinta
Senyum Kalingga memudar kala mendengar suara gaduh dari ruang tamu.Di sana, berdiri tiga orang pria berbadan besar yang wajahnya seperti ditorehkan amarah. Salah satu dari mereka sedang menunjuk-nunjuk ayahnya—Pak Kasno, yang berdiri gemetaran dengan tongkat kayunya. "Pak Kasno, kita dah kasih banyak waktu buat Bapak! Dan kita sudah cukup bersabar untuk ini! Kalau nggak bisa bayar sekarang, keluarkan semua barang-barang dan keluar dari rumah ini!" bentak salah satu pria, wajahnya memerah. "Bapak belum bisa kalo hari ini, Bang. Beri Bapak waktu lagi," Suara Pak Kasno serak dan lemah. "Berapa lama lagi? Tahun depan? Atau sampai kamu terbujur kaku?" Melihat itu, Kalingga segera berlari ke dalam rumah, menyelipkan tubuhnya di antara ayahnya dan para penagih utang. "Pak, ini ada apa?!" Pria bertubuh kekar menatap Kalingga dari ujung kepala sampai kaki. "Kamu anaknya? Bagus. Bapak kamu utang, harus dibayar lunas hari ini!" "Jangan bawa-bawa anak saya!" Pak Kasno berseru, meski
Gala berbisik dalam hati, Kenapa kamu begitu berbeda, Kalingga?Lamunan Gala buyar saat mobil yang dikendarai Ilman tiba-tiba mengerem mendadak. Seekor kucing liar melintas cepat di depan mereka. Gala menatap tajam ke arah jalan, memastikan semuanya aman."Apa yang kamu pikirkan, Ilman?" umpat Gala pada asisten pribadinya itu dengan tajam."Maaf, Pak. Seekor kucing, saya kurang fokus." Ilman mengangguk sesaat lalu melajukan mobilnya kembali.Namun, di setir kendali, tangan Ilman sedikit gemetar. Pikiran pria itu melayang, dipenuhi kenangan tentang Kalingga.Dalam lamunannya, Ilman melihat kembali ke masa-masa di mana Kalingga selalu tersenyum padanya. Wajah lembut itu penuh semangat ketika mereka bersama di kampung. Ia ingat betapa cekatan Kalingga membantu orang-orang, mulai dari mengajar anak-anak hingga menyelesaikan urusan rumah tangga.“Mas Ilman, aku ingin suatu hari nanti jadi guru TK. Aku suka anak-anak. Semoga kelak aku pun bisa memiliki banyak anak dengan suami yang mencinta
Gala berjalan keluar kamar mandi dengan handuk kecil di pundaknya. Napasnya masih terdengar berat setelah mendinginkan kepala dengan air dingin. Di ranjang, Kalingga masih menangis dengan tubuh terbungkus selimut tebal.Kalingga ...Bayangan kemarin saat di ruang makan, Gala duduk menatap punggung Kalingga yang sibuk merapikan meja. Tatapannya menyapu gerak-gerik wanita itu yang begitu anggun meskipun terlihat lelah. Hati Gala terhenti sejenak, pikirannya melayang pada perbandingan yang tak bisa ia abaikan.Selena ....Wanita itu selalu datang dengan wangi parfum mahal yang menyengat. Tatapannya tajam, seperti menuntut sesuatu setiap kali berhadapan dengannya. Gala tak pernah merasa nyaman. Di meja makan, Selena jarang menyentuh masakan rumah, lebih memilih salad kemasan atau makanan impor yang dipesannya sendiri. Ia sering mengeluh.Setiap percakapan diakhiri dengan ketus, tanpa kompromi. Bahkan saat Gala mencoba berbicara soal pekerjaan, Selena selalu mengalihkan dengan cerita tenta
Kalingga akhirnya membuka mulut, suaranya bergetar. “Saya akan berusaha memenuhi janji itu, Tuan.” Gala tersenyum tipis, tetapi ada kepahitan di baliknya. “Bagus,” katanya. Namun, dalam hatinya, ia mulai merasakan kegelisahan yang sulit ia jelaskan. Ada perasaan tidak rela melihat Kalingga terus menunduk seperti itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Gala, tapi dia tak peduli. Selama ini dia adalah bosnya, tak ada yang bisa menolak keinginannya. Sejak kecil papa dan mamanya selalu menuruti segala ucapannya. Maka Gala berpikir semua orang pun harus sama. Dan itulah mengapa dia sekarang mau menerima perjodohan dari mamanya untuk menikahi Selena dulu. Dan sekarang Kalingga qtas deaakan papanya. Sementara itu, Ilman mengucap doa dalam hati, berharap Allah memberikan jalan keluar terbaik untuk wanita yang ia cintai dalam diam. --- Sesampainya di rumah, Gala langsung membawa Kalingga ke kamarnya. Dengan nada dingin, ia berkata, “Kamu puny
Dokter memeriksa laporan kesehatan Kalingga dengan seksama, lalu menghela napas panjang. “Pak Gala, saya harus memberi tahu bahwa ada 2 metode kehamilan tanpa hubungan badan. Yaitu metode Intrauterine Insemination (IUI) atau inseminasi intrauterin adalah prosedur reproduksi buatan di mana sperma yang telah diproses dimasukkan langsung ke dalam rahim wanita menggunakan kateter kecil. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemungkinan pembuahan dengan mendekatkan sperma ke sel telur saat ovulasi. "dan metode In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung adalah metode di mana sel telur diambil dari ovarium wanita dan dibuahi dengan sperma di laboratorium. Setelah embrio berkembang, embrio terbaik dipilih dan ditanamkan kembali ke dalam rahim wanita agar terjadi kehamilan. Dua metode ini memiliki risiko tinggi bagi Nona Kalingga. Jadi aya menyarankan metode alami untuk hasil yang lebih baik.” Wajah Gala berubah dingin, tetapi ia tidak berkomentar. Ia hanya mengangguk dan menerima resep vi
Setelah malam panas itu, Selena terbangun lebih dulu, menatap suaminya yang masih terlelap. Sesekali Gala masih menggumamkan nama perempuan itu lagi—Kalingga, nama yang membuat hatinya terbakar amarah dan curiga. "Kalingga ... kamu hanya perlu hamil ..." Gala bergumam pelan sebelum akhirnya diam. Selena mengerutkan keningnya, perasaan tak nyaman menghantui pikirannya. 'Siapa Kalingga? Kenapa nama itu terdengar begitu akrab dari mulut Gala?' Pagi harinya, keluarga Sagara duduk di meja makan. Papa Sagara, istrinya, Gala, dan Selena memulai sarapan dengan suasana yang tampak normal. Namun, tiba-tiba percakapan yang menusuk hati mulai mencuat. "Selena, kamu masih belum hamil juga?" tanya Sagara sambil menatap menantunya dengan tajam. "Kenapa tidak berhenti saja menjadi model? Mau sampai kapan kamu kejar kariermu? Kekayaan Sagara ini tidak cukup untukmu?" Selena hampir tersedak. Pertanyaan itu seperti panah yang langsung menghunjam hatinya. Ia menoleh ke Gala, berharap suaminya membe
Di dalam kamar mandi, Gala berdiri di bawah pancuran air, pikirannya berputar tanpa arah. Ia memijat pelipisnya, mencoba mengabaikan bayangan wajah Kalingga—wajah itu yang sebelumnya penuh tekad, kini tergurat kesedihan. Kenapa aku harus peduli? pikir Gala, mencoba menyangkal perasaan aneh yang merayap di dadanya. Namun, bayangan rambut panjang Kalingga yang sempat tergerai tadi terus menghantuinya. Bukan seperti Selena, yang sempurna tanpa cela, tetapi ada sesuatu dari gadis desa itu yang membuatnya terusik. Gala mempercepat mandinya dan keluar dengan handuk melilit di pinggang. Aroma masakan menggugah selera menyeruak dari arah dapur. Dia mempercepat berpakaian dan keluar kamar. Langkah kakinya terhenti di ambang pintu dapur, matanya tertumbuk pada sosok Kalingga yang sibuk mengaduk wajan. Gala mengamati dari kejauhan. Tangannya lihai memasak, gerak-geriknya penuh keanggunan. Sejenak, ia merasa sedang mengamati seorang istri sungguhan, sesuatu yang tak pernah ia lihat dari Sel
Di dalam salon mewah, suara alat-alat perawatan tiba-tiba lenyap, tergantikan keheningan yang menegangkan. Selena berdiri angkuh di tengah ruangan, jari-jarinya yang lentik menunjuk Kalingga yang duduk diam di sudut. “Salon eksklusif seperti ini seharusnya tidak menerima sembarang orang,” ucap Selena dengan senyum tipis yang menawan, namun penuh racun. “Kalian harusnya tahu standar pelayanan di tempat seperti ini. Bukan untuk ... ya, orang seperti dia.” Kalingga menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. Hatinya terasa sakit mendengar hinaan itu, tapi ia tahu, melawan hanya akan mempermalukannya lebih dalam. Perasaan rendah diri yang selama ini dipendamnya mendadak menyeruak. Benar kata Selena, pikirnya getir. Aku memang bukan siapa-siapa. Bahkan di sini pun aku dianggap tak pantas. Namun sebelum suasana semakin panas, pintu kaca salon terbuka. Suara langkah sepatu tergesa, membawa aura darurat yang membuat semua orang menoleh. "Mbak Selena, janji temu dengan sutr
Di tengah tangis, Kalingga mendongak dan menatap suaminya dengan mata yang basah. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri," bisiknya lemah. "Semua ini salahku. Ayah pergi karena aku terlalu sibuk mengejar mimpiku." Gala terdiam. Ia bukan tipe pria yang mudah menenangkan orang lain. Tetapi pandangannya terhadap Kalingga berubah, tidak lagi hanya melihat gadis lugu yang menjadi istri keduanya, tetapi seseorang yang benar-benar kehilangan. Di sudut ruangan, Ilman berdiri dengan ekspresi penuh perhatian, tetapi tanpa sepatah kata pun. Ada ketulusan dalam tatapannya, membuat suasana menjadi semakin hening. Beberapa jam kemudian, dokter keluar membawa kabar buruk, Pak Kasno tidak dapat diselamatkan. Keadaan tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan lebih lama. Jenazah Pak Kasno segera dikebumikan dini hari itu juga, sesuai tradisi setempat. Gala yang terbiasa dengan kehidupan mewah, merasa canggung berada di lingkungan sederhana rumah Kalingga. Ia sempat berniat kembali ke hotel
"Tunggu!" Seorang pria muda berpakaian rapi datang tergesa. Wajahnya serius, tatapannya langsung tertuju pada Juragan Sagara. "Saya tidak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja," katanya tegas. Kalingga yang tengah memandangi jemarinya yang saling memilin mendongak dengan mata membesar. Harapan terselip di hatinya, tetapi sirna ketika pria itu berhenti di hadapan Juragan Sagara, dan bukan dirinya. “Ini tidak benar,” lanjut pria itu dengan nada tegas, menatap tajam ke arah sang Juragan. Juragan Sagara tersenyum tipis, santai, seakan protes itu angin lalu. Namun, sebelum ia menjawab, langkah lain terdengar di belakang pria itu. Seorang laki-laki tinggi dengan wajah dingin dan sorot mata tajam muncul di lorong. Gala Sagara. “Kenapa Papa memanggilku ke sini?” tanya Gala langsung, tanpa basa-basi. Tatapannya menusuk sang ayah, tanpa memperhatikan siapa pun di sekitarnya. Juragan Sagara melipat tangan di dada, wajahnya serius. “Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar. I