Dipisahkan oleh kematian, kini Bu Ratna hanya bisa menangisi liang lahat yang sedang terbuka di hadapannya. Sekuat apa pun ia meminta, suami yang sangat dicintainya tidak akan pernah kembali.
"Yang kuat ya Bu," seorang wanita memeluk dan menguatkannya. Cantik sekali parasnya. Rambutnya terurai lembut, warnanya sedikit pirang. Kulit wajahnya pun begitu mulus. Milova yakin perawatannya pasti mahal.
Ia menyentuh wajahnya sendiri, sedikit menyayangkan tubuh sendiri. Kulit wajahnya yang cacat terkadang membuatnya cemburu, jujur ia ingin sekali kembali terlihat cantik.
Milova juga ingin sekali menyambangi Bu Ratna dan mengucapkan ikut berbelasungkawa, namun ia tau diri, seorang tukang kebun sepertinya sebaiknya fokus mempersiapkan bunga-bunga yang nantinya akan ditaburkan.
Dari kejauhan, terlihat sosok gagah, berkaca mata hitam, dengan kemeja sederhana dan sepatu mewahnya, memeluk erat tubuh Bu Ratna. 'tinggi sekali lelaki itu', gumam Milova dalam hati. Osa terlihat menyimpan air mata di balik kaca mata hitamnya.
"Dia itu anaknya Pak Seno!" jawab Rika, seorang asisten rumah tangga di rumah Bu Ratna.
Milova tak bertanya, tapi wanita yang di sebelahnya berusaha menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sudah ia ketahui. Ya, wajar saja Rika menjelaskan, toh selama ini Milova tidak pernah diizinkan masuk ke rumah majikannya itu.
"Tapi, kali ini kamu sudah bisa masuk!" bisik Rika.
"Maksudmu?"
"Buk Jem dan beberapa karyawan lain sudah dipecat, jadi kamu mulai hari ini ikut mengurus kebersihan di dalam rumah!" Rika menjelaskan, suaranya dikecilkan agar tidak mengganggu prosesi pemakaman.
Milova tak melanjutkan pertanyaannya. Ia ingin ikut khusyu mendoakan kepergian Pak Seno. Terlihat pula beberapa guru ikut meneteskan air mata. Pastinya banyak kenangan indah yang terlewatkan selama Pak Seno menjadi kepala sekolah. Lelaki paruh baya itu dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana.
Seperti saat berlakunya kurikulum merdeka, Pak Seno dengan sabar memberikan pelatihan kepada guru-gurunya mengenai pembelajaran berdiferensiasi. Beliau sosok kepala sekolah yang cakap teknologi dan kerap mengajari guru-gurunya secara langsung. Baginya, kepala sekolah harus menjadi atasan yang membuat guru-gurunya nyaman dan semangat untuk mengembangkan kompetensi diri.
Pernah suatu ketika ia mendapati Ikhsan, seorang peserta didik dengan latar belakang ekonomi rendah, telat datang ke sekolah. Setelah ditelusuri, ternyata ikhsan sering tidak hadir ke sekolah. Jarak rumah yang jauh dari sekolah, apalagi ikhsan tidak memiliki kendaraan, membuatnya sering telat bahkan tidak hadir ke sekolah. Akhirnya Pak Seno dengan sukarela menghadiahkan sebuah sepeda untuknya. Hingga saat ini, Ikhsan tidak pernah telat lagi ke sekolah.
Kini Ikhsan hanya dapat menangisi idolanya itu. Ia tertegun melihat sosok bapak terbaik sepanjang menjadi peserta didik SMA Swasta Tunas Bangsa.
Milova pun meneteskan air mata, ia yang belum menerima kebaikan apa pun dari Pak Seno ikut merasakan aura kebaikan yang ditebarkan almarhum benar-benar tulus. Berbondong-bondong manusia datang untuk mendoakan, silih berganti.
****
"Dewi!" panggilan itu membuatnya menoleh. "Tolong nanti kamu urus kebersihan di dalam rumah ya untuk acara tahlilan nanti malam". Sri Dewi Milova, tak banyak yang tahu nama lengkap Milova. Ia acapkali dipanggil Dewi oleh orang-orang di sekitarnya.
"Baik, Bu" Milova mengangguk.
"Oh iya, mulai sekarang kamu bertugas menjaga kebersihan di dalam rumah ya. Urusan taman biar satpam yang urus untuk sementara waktu sampai saya menemukan pekerja baru."
Ia hanya mengangguk, tak berani bertanya apa pun.
Mengikuti arahan Bu Ratna, ia mulai menyapu, mengepel, menggelar ambal untuk menyambut tamu, dan memastikan lampu serta AC menyala dengan baik.
Rumah ini sangat besar jika hanya Milova yang membersihkannya, memiliki 7 kamar, 2 kamar mandi tamu, membuatnya ngos-ngosan. Ia membayangkan jika setiap hari harus membersihkannya sendirian, bisa mati berdiri, pikirnya.
"Dewi!" panggil Rika. Milova yang baru saja merebahkan tubuhnya di lantai, harus tegak berdiri mencari sumber suara itu.
"Kenapa Rika?"
"Tolong bantu aku menyusun kue-kue ini di depan ya, sebentar lagi tamu sudah mulai datang" pinta Rika.
"Oh, baik!" Milova langsung membantu rekan kerjanya. Tanpa pamrih.
"Tunggu, kamu asisten rumah tangga disini?" seseorang menghentikan gerak tangan Milova yang sedang menyusun piring-piring di ruang depan. Rika pun menjadi gugup.
"Maaf Mbak, tadi saya yang minta dia untuk bantu menyusun makanan ini, karena saya takut gak terkejar waktu. Maaf Mbak," Rika sedikit membungkuk.
"Ada apa, Lus?" Bu Ratna pun datang.
"Ini, mama yang memperkerjakan wanita ini?" wanita cantik itu menunjuk ke arah Milova.
"Iya. Memangnya ada apa?"
"Mama ini gimana sih, apa gak ada orang lain?"
Milova tertegun lemas, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Gadis yang dilihat Milova saat pemakaman tadi semakin menjadi-jadi.
Wanita itu menghela napas.
"Aku tuh gak habis pikir ya, coba kalian semua lihat wajah dan tangannya!" ia menunjuk ke arah Milova, membuatnya malu dan menutup sebagian wajahnya dengan selendang yang sedari awal ia pakai saat di pemakaman tadi.
"Maafkan saya, Mbak!" Rika kembali merasa bersalah.
"Ini bukan tentang siapa yang bersalah dan siapa yang harus dimaafkan. Tapi ini tentang kesalahan sistem di rumah ini dalam menerima pekerja. Coba lihat! Bagaimana wanita seperti ini bertugas menyusun piring-piring berisi makanan. Apa kata tamu nanti?" Ia tetap tenang dalam penyampaiannya, tapi begitu menyakitkan bagi Milova.
"Pecat dia!" wanita itu tak berhenti. "tapi aku kasih waktu dia satu Minggu, sembari mencari pekerjaan baru." sambungnya.
Ia berlalu.
Rika tak henti meminta maaf pada Milova, tapi bagi wanita itu bukan maaf yang ia butuhkan saat ini. Ia sedang berpikir tentang isi perutnya setelah satu Minggu berlalu.
****
Setelah sampai di kontrakan, Milova meletakkan tasnya, lalu merebahkan tubuhnya ke kasur buluk di sana. Lengannya menutupi dahi dan pelopak mata. Ia terdiam sejenak. Perkataan gadis itu kembali terngiang.
Kurang ajar, teriaknya.
"Siapa Dewi? Ini bukan kamu!" monolognya.
Ia mengambil sebilah pisau yang bertengger di atas meja, lalu mengiris pergelangan tangannya, tepat di depan bayangan wajah buluknya yang terlihat di cermin.
Kini bukan lagi tentang uang yang membuatnya terpuruk. Tapi wajahnya juga ikut menyumbang duka besar dalam perjalanan hidupnya yang pelik.
Lantas ia merebahkan tubuh mungilnya ke lantai, membiarkan lelahnya melenyapkan alam bawah sadar dan membuatnya menemukan ketenangan walau hanya sejenak saja. Ia lelah pada keadaan yang selalu saja memojokkan. Ia merasa tak ada lagi yang berpihak padanya, bukan hanya jasadnya yang sendirian, tapi jiwanya juga.
Mungkin setelah ini, giliran tubuhnya yang dimakamkan, pikirnya.
“Kami butuh darah golongan A!” ujar dokter. Osa tengah mondar-mandir memikirkan di mana ia dapat menemukan darah golongan A tersebut. Sudah beberapa rumah sakit yang dihubunginya, tetap saja belum membuahkan hasil. Belum lagi beberapa preman yang dikerahkan juga mengeluh hal yang sama. Kerja keras Osa bukan tanpa alasan. Ia khawatir rencana yang telah disusunnya dengan apik ambyar begitu saja. Jika Milova tak juga selamat dari masa kritisnya, bagaimana tentang perjanjian yang telah disepakati bersama? Sial. Bisa-bisanya ia ingin mati setelah mengikat janji dengan Osa. “Hei, perempuan bodoh!” celanya. Meski Milova tak mendengarnya, setidaknya ia ingin meluapkan kekesalan itu. “bukan hanya uangku yang terkuras, tapi darahku juga!” lanjutnya begitu kesal. “kamu harus bangun untuk membayar semuanya!” perintah Osa. Osa yang akhirnya terpaksa mendonorkan darahnya sendiri untuk Milova, sangat berharap wanita itu bangun. Sudah banyak
“Guru yang mengajar di sekolah ini harus cantik!” perintah lelaki yang baru beberapa minggu menjadi seorang kepala sekolah. Semua guru saling memandang, sayup-sayup mereka mulai berbisik tentang apa yang baru saja mereka dengar. “Kalau guru tidak cantik dan memesona, bagaimana para peserta didik tertarik untuk mengikuti pembelajaran?” Osa semakin mempertegas pernyataannya. “jadi kalau gak bisa cantik, lebih baik jangan bekerja di sini!” pungkasnya lagi. Semua guru semakin heran dibuatnya. Mereka tak percaya karakter Osa berbeda jauh dengan almarhum ayahnya. Pak Seno dulunya selalu merekrut guru atas dasar kemampuan dan prestasi yang dimiliki guru tersebut. Ia sama sekali tak memperdulikan penampilan fisik. Lantas dari mana Osa mengadopsi aturan tersebut? “Dari Pak Ibrahim!” jelasnya. “lihat bagaimana sekolah Pak Ibrahim sekarang? Mereka menjadi sekolah swasta yang selangkah lebih maju dari kita!” Osa mulai membandingkan, dan t
“Jangan pura-pura jatuh hanya untuk menarik perhatianku!” cetus Osa. Milova mengerutkan keningnya. Seharusnya justru ia yang patut marah, pikirnya. Laki-laki yang telah merangkulnya itu datang tiba-tiba. Bagaimana bisa Belangi menyiasatinya, sedangkan ia sendiri tak tahu Osa akan muncul. Lelaki aneh. “Kenapa? Masih terpesona?” sombongnya lagi. Ya, memang wajah Osa patut dikagumi. Lelaki bertubuh kekar, berkulit putih, dengan tinggi yang juga tak main-main, jelas akan membuat para wanita takluk kepadanya. Tapi tidak dengan Milova, ia bukan hanya tak bernafsu, tapi baginya disentuh Osa seperti tadi sangat mengkhawatirkan. Osa yang ia ketahui mengidap HIV, membuatnya menyesali telah bersentuhan fisik dengannya. Tapi ia juga masih tak mengerti mengapa dokter mengizinkan Osa mendonorkan darah untuknya kala itu. “Kenapa? HIV tidak ditularkan hanya dengan sentuhan fisik!” Jelasnya. Tak disangka tatapan Milova mampu menjelaskan pada l
“Cantikan siapa aku sama perempuan itu?” sinis sekali Lusi menatap wanita yang melewatinya. Milova pun merasa tak nyaman mendengar sayup-sayup pertanyaan gadis berkulit putih itu. “Dia lebih cantik!” tegas Osa. Lusi menghela napas. Wajahnya terlihat kesal mendengar jawaban lelaki arogan itu. Bisa-bisanya ada gadis lain yang lebih cantik darinya, ia tak terima. Padahal saat masih berpacaran, Osa adalah lelaki yang sangat romantis. Setiap hari selalu saja ada pujian yang mendarat di telinga Lusi. “Kamu tega ya?” Lusi memelas. Ia tak percaya lelaki yang sangat ia cintai, kini justru memuji wanita lain. Osa hanya diam dan berjalan menuju ruangannya, membiarkan gadis itu melankolis sendirian. “Hei, gadis sok cantik!” panggilnya. Milova yang melintas langsung tertegun. “jangan harap bisa merebut perhatian Osa dariku ya!” tegasnya. Ternyata jadi cantik juga rumit ya, pikir Milova. Menjadi sosok wanita yang can
“Apa-apaan sih!” celetuk Milova. Memang, bunga mawar merah yang sudah bertengger di atas meja kerjanya itu merupakan bunga kesukaannya. Harumnya pun sangat semerbak, sepertinya baru dipetik subuh tadi. Semangat beraktifitas, sebuah ucapan ikut menambah sakralnya perasaan pengirim bunga tersebut. Milova duduk di kursi empuknya, menatap tabu mawar merah kesukaannya itu. Pasti si arogan itu, pikirnya. Kemarin saja, ia memeluknya tanpa izin. Memang karena sebuah kecelakaan sih, saat Milova hampir saja terjatuh karena menyusun buku-bukunya. Tapi lelaki itu bisa saja mencari kesempatan dalam kesempitan, Milova masih sangat yakin. “Ini tugas kamu hari ini!” sebuah lemparan beberapa lembaran kertas sontak mengejutkan lamunannya. Milova memeriksanya, memastikan apa yang tertulis di dalamnya. Ternyata sebuah roster yang masih bentrok sana-sini. Banyak jam mengajar guru yang berbenturan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan
Jangan bilang dia! Milova mengutuk dirinya sendiri jika memang benar tua bangka itu yang meletakkan mawar di mejanya. Lelaki itu dipanggil Bang Jal. Milova sangat risih melihatnya, karena Bang Jal yang punya kekurangan monohok, yaitu ompong. “Aku juga gak bisa terima jika memang Bang Jal yang menaruh bunga itu!” ucap Husna dengan santainya sambil mencium bunga yang harumnya masih semerbak. Husna juga merupakan guru baru di sekolah Osa. Usianya 2 tahun lebih mudah dari Milova. Ia cukup cerdas, lulusan terbaik dari Universitas Indonesia. Bahkan beberapa kali ia memenangkan olimpiade tingkat nasional saat menduduki bangku SMA. Wajar saja jika Osa menerimanya tanpa pertimbangan. Tapi yang terpenting bagi Osa bukan hanya kepintaran Husna. Wanita bertubuh langsing, berkulit putih, juga tinggi yang ideal dengan lekuk tubuhnya, membuat Osa cukup yakin untuk menerimanya sebagai guru matematika. “Tapi btw enak ya jadi orang cantik!” cel
“Dasar cowok dolar!” cecar Husna. Itu gelar yang sudah lima tahun ini disandang oleh Raka. Guru-guru di sekolah dengan sengaja menyematkan panggilan tersebut kepadanya karena setiap sesuatu yang dilakukan Raka pasti ujung-ujungnya bermuara pada uang. Seperti saat ini, ia akan mengatakan siapa yang menanggalkan bunga mawar merah itu di meja Milova jika ia bersedia memberinya sejumlah uang. “Gak banyak-banyak kok!” sahut Raka. “seratus ribu saja! Itu pun karena teman!” sambungnya lagi sambil tersenyum manis. Husna geram melihat rekan kerjanya itu. Kemarin saja, saat Husna meminta lelaki itu mengajarinya mengisi PMM, ia harus mengeluarkan uang seratus ribu rupiah sebagai upah. Seharusnya sesama rekan kerja saling membantu, pikir Husna. “Nih!” Husna menempelkan selembar uang kertas berwarna merah di dahi lelaki yang membuatnya panas itu. “Eh, gak usah bayar Na!” Milova mencoba menghentikan Husna, namun terlambat, lelaki itu sudah
“Aku yang menaruh bunga itu di atas meja Milova!” ucap Osa yang tiba-tiba saja muncul. Semua saling menatap satu sama lain. Mereka mulai menerka-nerka apa yang terjadi pada lelaki arogan itu. Husna menyinggung bahu Milova, seraya meninggikan sedikit alisnya dan mengangkat dagunya ke arah teman kerjanya itu. Tapi Milova justru dibuat heran dengan bahasa tubuh Husna, ia sendiri tidak yakin tentang kebenaran yang diungkap Osa. Bahwa ternyata dia lah yang menanggalkan bunga mawar merah itu di meja kerja Milova. “Kamu serius?” Lusi tak bisa berdiam diri, ia merasa perlu mengklarifikasi apa yang ia dengar beberapa detik yang lalu. Milova masih mengerutkan keningnya. Osa yang beberapa jam yang lalu kekeh mengakui bukan ia yang menaruh bunga tersebut, kini mengeluarkan kalimat sebaliknya. Osa menghela napas pelan. “Ia benar, aku bukan tipe lelaki yang suka berubah pikiran!” ucap Osa tanpa basa-basi. “kenapa? Kamu gak suka?” sambungnya