Share

Salah Tingkah

“Jangan pura-pura jatuh hanya untuk menarik perhatianku!” cetus Osa.

            Milova mengerutkan keningnya. Seharusnya justru ia yang patut marah, pikirnya. Laki-laki yang telah merangkulnya itu datang tiba-tiba. Bagaimana bisa Belangi menyiasatinya, sedangkan ia sendiri tak tahu Osa akan muncul. Lelaki aneh.

            “Kenapa? Masih terpesona?” sombongnya lagi.

            Ya, memang wajah Osa patut dikagumi. Lelaki bertubuh kekar, berkulit putih, dengan tinggi yang juga tak main-main, jelas akan membuat para wanita takluk kepadanya. Tapi tidak dengan Milova, ia bukan hanya tak bernafsu, tapi baginya disentuh Osa seperti tadi sangat mengkhawatirkan.

            Osa yang ia ketahui mengidap HIV, membuatnya menyesali telah bersentuhan fisik dengannya. Tapi ia juga masih tak mengerti mengapa dokter mengizinkan Osa mendonorkan darah untuknya kala itu.

            “Kenapa? HIV tidak ditularkan hanya dengan sentuhan fisik!” Jelasnya. Tak disangka tatapan Milova mampu menjelaskan pada lelaki itu tentang apa yang ia khawatirkan.

            Baguslah, pikir Belangi.

            “Makanya belajar, biar gak salah kaprah!”  cetusnya lagi. Membuat Milova menghela napas. Sepertinya ia selalu kalah jika harus beradu mulut dengan Osa.

            “Hei!” teriak Milova. “kamu yang tiba-tiba datang, malah ngomel-ngomel gak jelas!” sambungnya.

            Ia tak lagi diam dengan perlakuan Osa. Benar saja, Milova yang sedang sibuk menyusun barang-barangnya di ruang kantor yang diperuntukkan untuknya, hampir terjatuh akibat kecerobohannya sendiri. Untung saja Osa datang di waktu yang tepat. Hanya saja, kebaikannya tak lantas membuat Milova bersyukur saat dibumbui kata-kata sombong yang memang menjadi karakter seorang Osa Mahendra.

            Namun tak bisa dipungkiri, kini Milova tetap bersyukur. Wajah buluk yang selalu ia takuti, kini telah berubah cantik. Mulai sekarang, tak lagi yang akan menghinanya. Malah sebaliknya, orang-orang akan kagum melihat wajah baru seorang Milova.

            Meski kini jati dirinya pun harus ia kubur, ia siap menerimanya. Namun ia rasa itu tidak masalah, sekalian membuang semua kepahitan hidup yang ia alami di masa lalu. Bukankah tak semua kenangan mesti diabadikan?

            “Jadi ini wakil kurikulum baru di sekolah kita?” tanya Bu Ratna yang sesuka hati masuk ke ruang kerja Milova. Milova yang kaget tetap menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum.

            “Iya, Ma. Perkenalkan ini Milova!” sahut Osa seraya memperkenalkan wanita yang ada di sebelahnya.

            Bu Ratna yang juga memiliki karakter yang sama seperti putra semata wayangnya. Atau mungkin ia yang mewariskannya pada Osa, terlihat begitu sombong. Bahkan uluran tangan Milova tak lantas disambutnya.

            “Sudah gak usah salaman!” tepis Ratna. “saya itu baru salaman kalau sudah kenal bagaimana detailnya orang yang saya jumpai!” ketusnya lagi.

            Sama persis seperti lelaki arogan itu, pikir Milova. Perlahan ia kembali menarik ulur tangannya.

            Milova juga sempat berpikir bagaimana sosok baik hati seperti Pak Seno mampu bertahan dengan istrinya yang sangar itu. Atau mungkin hari-harinya begitu sulit, hingga akhirnya ia jatuh sakit dan meninggal? Pikiran Milova mulai menerka-nerka.

            “Oh iya, Nak!” Ratna menyentuh bahu putranya. “Lusi ada di luar dan sedang menunggu kamu!” sambungnya lagi.

            Milova kembali mengingat. Lusi adalah wanita cantik yang juga ikut hadir di hari pemakaman Pak Seno, yang kemudian diketahuinya sebagai mantan pacar Osa.

            Wanita secantik Lusi rasanya tak layak diabaikan begitu saja. Tubuhnya yang langsing, ditambah wajah cantik dan penampilannya yang elegan dianggap layak mendampingi Osa. Lantas mengapa tidak Lusi saja yang diajak menjadi istri kontraknya?, pikir Belangi.

            “Kapan kamu akan melamar Lusi?” Ratna kembali mengulang pertanyaan yang telah ia sampaikan berkali-kali. Milova melanjutkan pekerjaannya, merapikan buku-buku di rak yang sedari awal sedang ia rapikan, sebelum Osa dan Ratna datang menjedanya.

            “Aku kan sudah bilang sama Mama kalau kami sudah putus!” Osa kelihatannya sedikit kesal.

            Tapi ia tak ingin terlalu bersikeras dengan sang ibu. Sebagai seorang anak laki-laki, ia sangat menghormati ibunya itu. Keras kepala dan arogan tak lantas membuat Osa tak punya hati, apalagi pada ibu yang sangat ia sayangi.

            “Kerjakan tugasmu dengan baik!” perintah Ratna sambil menatap Milova dan wanita itu hanya bisa mengangguk, “ayo kamu jumpai Lusi!” perintahnya pada Osa.

            Ratna mengarahkan Osa untuk mengikutinya, meninggalkan Belangi dengan pekerjaannya.

            “Osa, ibu mau tanya apa kamu tahu ke mana Dewi?” saat akan menuju pintu keluar, Osa ditodong dengan pertanyaan Ratna, membuat Milova menjatuhkan sebuah buku yang sedang disusunnya. Ratna menoleh, memperhatikan tingkah Milova, namun wanita itu segera menepisnya.

            “Dia sudah aku pecat, Ma!” sahut Osa dengan begitu tenang.

Aini Pien

Mengapa dokter mengizinkan penderita HIV mendonorkn darahnya?

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status