“Guru yang mengajar di sekolah ini harus cantik!” perintah lelaki yang baru beberapa minggu menjadi seorang kepala sekolah.
Semua guru saling memandang, sayup-sayup mereka mulai berbisik tentang apa yang baru saja mereka dengar.
“Kalau guru tidak cantik dan memesona, bagaimana para peserta didik tertarik untuk mengikuti pembelajaran?” Osa semakin mempertegas pernyataannya. “jadi kalau gak bisa cantik, lebih baik jangan bekerja di sini!” pungkasnya lagi.
Semua guru semakin heran dibuatnya. Mereka tak percaya karakter Osa berbeda jauh dengan almarhum ayahnya.
Pak Seno dulunya selalu merekrut guru atas dasar kemampuan dan prestasi yang dimiliki guru tersebut. Ia sama sekali tak memperdulikan penampilan fisik. Lantas dari mana Osa mengadopsi aturan tersebut?
“Dari Pak Ibrahim!” jelasnya. “lihat bagaimana sekolah Pak Ibrahim sekarang? Mereka menjadi sekolah swasta yang selangkah lebih maju dari kita!” Osa mulai membandingkan, dan tak lepas ikut menyalahkan kinerja para guru di sekolahnya.
Memang, Pak Ibrahim sangat selektif dalam menerima guru. Ia selalu mengedepankan penampilan. Pernah suatu ketika, seorang guru wanita yang merupakan penderita difabel, ditolak mentah-mentah olehnya tanpa basa-basi. Ternyata Osa berkaca pada Pak Ibrahim, yang juga merupakan teman dekat almarhum ayahnya.
“Tapi Pak!” seorang guru wanita paruh baya menyela. “kompetensi guru adalah poin pertama yang harus kita perhatikan dalam menerima guru, selanjutnya baru mengkritik penampilannya!” jelasnya.
Wajar saja Bu Santi bicara begitu, beliau adalah salah satu guru kepercayaan Pak Seno. Jabatannya pun cukup menjanjikan sebagai wakil bagian kurikulum, tentu ia sangat paham kondisi guru-guru yang bekerja di SMA tersebut.
“Betul Pak!” seorang guru lainnya ikut membenarkan ucapan Bu Santi. “Almarhum Pak Seno pun selalu mengutamakan kompetensi guru dibandingkan penampilannya!” lanjutnya.
“Itu dulu!” sahut Osa, tegas.
Lelaki yang terkenal arogan itu memang tak mudah dibantahkan. Osa memang terlalu keras kepala. Sejak kecil ia memang memiliki karakter yang keras dan tak mudah menyerah.
Sebelum ia menggantikan Pak Seno, bahkan saat Pak Seno sakit keras, para guru mulai mengkhawatirkan apa yang saat ini telah terjadi, yaitu Osa yang akan menggantikan posisi ayahnya.
Sebagai sekolah swasta yang didirikan oleh keluarga Mahendra, jelas Osa dan keturunannya akan menjadi penerus. Sesuatu yang sangat disayangkan oleh para guru.
“Sekarang saya kepala sekolah di SMA Tunas Bangsa, jadi semua guru di sini harus mematuhi peraturan yang saya jalankan!” perintahnya. Sombong sekali Osa, pikir para guru.
Di tengah ketegangan yang terjadi, para guru masih berharap Osa mengubah pemikirannya.
“Selamat pagi semuanya ...!” ucap seorang wanita yang baru saja menerobos ruangan rapat. Sempat Bu Santi menghentikannya, tapi langsung dipatahkan oleh Osa.
“Ini adalah guru yang akan menggantikan posisi Bu Santi!” pungkas Osa.
Sontak semua guru terkejut. Terlebih Bu Santi. Ia yang tak menerima aba-aba, tiba-tiba saja diberhentikan begitu saja oleh Osa. Bu Santi merasa malu di depan teman-temannya. Tega sekali Osa membuat wanita paruh baya itu tersinggung.
“Rasanya tak perlu tersinggung, apalagi marah. Seperti yang saya sampaikan tadi, kita butuh guru-guru yang cantik dan energik!” sambung Osa.
Sama saja seperti ia mengatakan bahwa Bu Santi hanyalah guru tua dan tak lagi berkarisma. Sangat menyakitkan, bahkan bukan hanya di hati Bu Santi, guru-guru lain pun geram mendengarnya.
Padahal Bu Santi masih menjadi guru yang layak digugu dan ditiru dengan segudang prestasinya. Bahkan ia masih menjadi tempat curhat bagi para peserta didik, karena memang Bu Santi sangat memahami perasaan remaja yang kerap labil.
Dan yang lebih membanggakan lagi, selama menjadi wakil kurikulum, Bu Santi yang merupakan seorang sarjana ekonomi membawa prestasi sebagai juara 2 guru berprestasi tingkat provinsi. Lantas bagaimana Osa bisa begitu saja menggantikan posisi yang melekat pada Bu Santi?
Memang, penampilan Bu Santi terbilang sangat sederhana. Ia hanya mengenakan hijab persegi dan baju dinas resmi untuk bekerja. Wajahnya pun hanya diselimuti bedak tabur yang harganya tak seberapa, dan terkadang ia tak suka memakai lipstik. Tapi meskipun begitu, ia tetap tampil rapi dengan sepatu yang juga senada dengan baju dinasnya.
“Perkenalkan ini guru baru, namanya Milova.” Osa memperkenalkan pengganti Bu Santi pada semua guru yang sedang mengikuti rapat.
Wajah wanita itu sangat cantik. Bahkan bisa dikatakan ia adalah guru tercantik dari 62 guru yang bekerja di sekolah tersebut. Kulitnya yang begitu putih dengan berat badan yang sepertinya tak lebih dari 50 kg, membuatnya semakin memesona. Beberapa guru lelaki yang masih bujang terlihat saling berbisik, sepertinya Milova akan memiliki banyak penggemar.
Selain kulit dan wajah, busana yang dikenakannya juga tak main-main. Harganya tidak murahan jika dilihat dari jenis kain dan modelnya. Benar-benar sesuai dengan ekspektasi Osa.
Dan yang membuat para lelaki tergoda, adalah senyum manisnya yang terpatri dibalik lipstik berwarna orange yang sangat cocok untuknya, membuat siapa pun yang melirik tak mungkin menoleh.
“Jangan lupa, setelah ini transfer 100 juta!” bisik wanita itu. Membuat semua guru memandangi mereka. Mesra sekali mereka, sampai harus saling berbisik, pikir Bu Santi.
“Jangan pura-pura jatuh hanya untuk menarik perhatianku!” cetus Osa. Milova mengerutkan keningnya. Seharusnya justru ia yang patut marah, pikirnya. Laki-laki yang telah merangkulnya itu datang tiba-tiba. Bagaimana bisa Belangi menyiasatinya, sedangkan ia sendiri tak tahu Osa akan muncul. Lelaki aneh. “Kenapa? Masih terpesona?” sombongnya lagi. Ya, memang wajah Osa patut dikagumi. Lelaki bertubuh kekar, berkulit putih, dengan tinggi yang juga tak main-main, jelas akan membuat para wanita takluk kepadanya. Tapi tidak dengan Milova, ia bukan hanya tak bernafsu, tapi baginya disentuh Osa seperti tadi sangat mengkhawatirkan. Osa yang ia ketahui mengidap HIV, membuatnya menyesali telah bersentuhan fisik dengannya. Tapi ia juga masih tak mengerti mengapa dokter mengizinkan Osa mendonorkan darah untuknya kala itu. “Kenapa? HIV tidak ditularkan hanya dengan sentuhan fisik!” Jelasnya. Tak disangka tatapan Milova mampu menjelaskan pada l
“Cantikan siapa aku sama perempuan itu?” sinis sekali Lusi menatap wanita yang melewatinya. Milova pun merasa tak nyaman mendengar sayup-sayup pertanyaan gadis berkulit putih itu. “Dia lebih cantik!” tegas Osa. Lusi menghela napas. Wajahnya terlihat kesal mendengar jawaban lelaki arogan itu. Bisa-bisanya ada gadis lain yang lebih cantik darinya, ia tak terima. Padahal saat masih berpacaran, Osa adalah lelaki yang sangat romantis. Setiap hari selalu saja ada pujian yang mendarat di telinga Lusi. “Kamu tega ya?” Lusi memelas. Ia tak percaya lelaki yang sangat ia cintai, kini justru memuji wanita lain. Osa hanya diam dan berjalan menuju ruangannya, membiarkan gadis itu melankolis sendirian. “Hei, gadis sok cantik!” panggilnya. Milova yang melintas langsung tertegun. “jangan harap bisa merebut perhatian Osa dariku ya!” tegasnya. Ternyata jadi cantik juga rumit ya, pikir Milova. Menjadi sosok wanita yang can
“Apa-apaan sih!” celetuk Milova. Memang, bunga mawar merah yang sudah bertengger di atas meja kerjanya itu merupakan bunga kesukaannya. Harumnya pun sangat semerbak, sepertinya baru dipetik subuh tadi. Semangat beraktifitas, sebuah ucapan ikut menambah sakralnya perasaan pengirim bunga tersebut. Milova duduk di kursi empuknya, menatap tabu mawar merah kesukaannya itu. Pasti si arogan itu, pikirnya. Kemarin saja, ia memeluknya tanpa izin. Memang karena sebuah kecelakaan sih, saat Milova hampir saja terjatuh karena menyusun buku-bukunya. Tapi lelaki itu bisa saja mencari kesempatan dalam kesempitan, Milova masih sangat yakin. “Ini tugas kamu hari ini!” sebuah lemparan beberapa lembaran kertas sontak mengejutkan lamunannya. Milova memeriksanya, memastikan apa yang tertulis di dalamnya. Ternyata sebuah roster yang masih bentrok sana-sini. Banyak jam mengajar guru yang berbenturan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan
Jangan bilang dia! Milova mengutuk dirinya sendiri jika memang benar tua bangka itu yang meletakkan mawar di mejanya. Lelaki itu dipanggil Bang Jal. Milova sangat risih melihatnya, karena Bang Jal yang punya kekurangan monohok, yaitu ompong. “Aku juga gak bisa terima jika memang Bang Jal yang menaruh bunga itu!” ucap Husna dengan santainya sambil mencium bunga yang harumnya masih semerbak. Husna juga merupakan guru baru di sekolah Osa. Usianya 2 tahun lebih mudah dari Milova. Ia cukup cerdas, lulusan terbaik dari Universitas Indonesia. Bahkan beberapa kali ia memenangkan olimpiade tingkat nasional saat menduduki bangku SMA. Wajar saja jika Osa menerimanya tanpa pertimbangan. Tapi yang terpenting bagi Osa bukan hanya kepintaran Husna. Wanita bertubuh langsing, berkulit putih, juga tinggi yang ideal dengan lekuk tubuhnya, membuat Osa cukup yakin untuk menerimanya sebagai guru matematika. “Tapi btw enak ya jadi orang cantik!” cel
“Dasar cowok dolar!” cecar Husna. Itu gelar yang sudah lima tahun ini disandang oleh Raka. Guru-guru di sekolah dengan sengaja menyematkan panggilan tersebut kepadanya karena setiap sesuatu yang dilakukan Raka pasti ujung-ujungnya bermuara pada uang. Seperti saat ini, ia akan mengatakan siapa yang menanggalkan bunga mawar merah itu di meja Milova jika ia bersedia memberinya sejumlah uang. “Gak banyak-banyak kok!” sahut Raka. “seratus ribu saja! Itu pun karena teman!” sambungnya lagi sambil tersenyum manis. Husna geram melihat rekan kerjanya itu. Kemarin saja, saat Husna meminta lelaki itu mengajarinya mengisi PMM, ia harus mengeluarkan uang seratus ribu rupiah sebagai upah. Seharusnya sesama rekan kerja saling membantu, pikir Husna. “Nih!” Husna menempelkan selembar uang kertas berwarna merah di dahi lelaki yang membuatnya panas itu. “Eh, gak usah bayar Na!” Milova mencoba menghentikan Husna, namun terlambat, lelaki itu sudah
“Aku yang menaruh bunga itu di atas meja Milova!” ucap Osa yang tiba-tiba saja muncul. Semua saling menatap satu sama lain. Mereka mulai menerka-nerka apa yang terjadi pada lelaki arogan itu. Husna menyinggung bahu Milova, seraya meninggikan sedikit alisnya dan mengangkat dagunya ke arah teman kerjanya itu. Tapi Milova justru dibuat heran dengan bahasa tubuh Husna, ia sendiri tidak yakin tentang kebenaran yang diungkap Osa. Bahwa ternyata dia lah yang menanggalkan bunga mawar merah itu di meja kerja Milova. “Kamu serius?” Lusi tak bisa berdiam diri, ia merasa perlu mengklarifikasi apa yang ia dengar beberapa detik yang lalu. Milova masih mengerutkan keningnya. Osa yang beberapa jam yang lalu kekeh mengakui bukan ia yang menaruh bunga tersebut, kini mengeluarkan kalimat sebaliknya. Osa menghela napas pelan. “Ia benar, aku bukan tipe lelaki yang suka berubah pikiran!” ucap Osa tanpa basa-basi. “kenapa? Kamu gak suka?” sambungnya
Sial. Kenapa sih harus seperti adegan romantis? Tragedi yang sering terjadi asal ketemu Osa. Kali ini hampir saja ia terjatuh dari tangga. Ada sedikit air yang tergenang di sana, entah siapa pelakunya. Jangan-jangan ini juga akal-akalan Osa, pikirnya. “Kenapa ya kamu itu selalu mencari kesempatan di setiap kesempitan?” Lusi begitu sinis. Sudah berjam-jam lamanya ia menunggu lelaki pujaannya. Namun saat bertemu, justru di adegan yang sangat menyesakkan. Di depan matanya sendiri, Osa tengah merangkul Milova yang hampir saja mencium lantai. Dekapannya begitu meyakinkan, mungkin karena panik. Kedua tangan Osa menggenggam erat bahu wanita yang ditolongnya itu. Tatapan keduanya pun tak berpaling hingga beberapa detik. Hampir saja bibir Osa berlabuh di pipi Milova. Milova yang terkejut, kemudian berteriak histeris, hingga seolah teriakannya memanggil Lusi untuk hadir. Beberapa karyawan lainnya ikut mencari sumber teriakan tersebut. A
“Ambil ini!” Osa melempar sebuah map biru, hampir saja semua isi dokumen di dalamnya berhamburan. Sangat tidak sopan, untung saja Milova menyambutnya lemparan tersebut dengan sempurna. “Apa ini?” Milova menatap lelaki yang sedang bersantai di sofa ruang kerjanya. Bukan hanya duduk, tapi ia juga ikut merebahkan tubuhnya dan menaikkan sepatunya ke sofa. Milova tak ingin menghentikannya, karena percuma. Toh ia bos di sekolah ini, dengan wataknya yang arogan, rasanya tidak mungkin berdiskusi, apalagi hanya tentang sofa yang kotor akibat debu yang menempel di sepatunya. “Setahuku, jika seseorang yang benar-benar pintar tidak akan banyak tanya!” sahutnya. Lagi-lagi ia memancing kesabaran Milova. Tapi dengan sabar, Milova mencoba tenang. Sempat ia berpikir, kenapa seolah ia diperlakukan semena-mena oleh lelaki yang bahkan baru ia kenal? Dan mengapa ia harus menerimanya begitu saja? Entahlah, terkadang Milova merasa tak ingin melanjutkan perjanji