Share

Golongan A

“Kami butuh darah golongan A!” ujar dokter.

            Osa tengah mondar-mandir memikirkan di mana ia dapat menemukan darah golongan A tersebut. Sudah beberapa rumah sakit yang dihubunginya, tetap saja belum membuahkan hasil. Belum lagi beberapa preman yang dikerahkan juga mengeluh hal yang sama.

            Kerja keras Osa bukan tanpa alasan. Ia khawatir rencana yang telah disusunnya dengan apik ambyar begitu saja. Jika Milova tak juga selamat dari masa kritisnya, bagaimana tentang perjanjian yang telah disepakati bersama?

            Sial. Bisa-bisanya ia ingin mati setelah mengikat janji dengan Osa.

            “Hei, perempuan bodoh!” celanya. Meski Milova tak mendengarnya, setidaknya ia ingin meluapkan kekesalan itu. “bukan hanya uangku yang terkuras, tapi darahku juga!” lanjutnya begitu kesal. “kamu harus bangun untuk membayar semuanya!” perintah Osa.

            Osa yang akhirnya terpaksa mendonorkan darahnya sendiri untuk Milova, sangat berharap wanita itu bangun. Sudah banyak yang ia korbankan, bahkan seumur hidupnya ia enggan mendonorkan darahnya kepada siapa pun. Dan kali ini, komitmennya itu dipatahkan oleh Milova. Wanita sialan, pikirnya.

            Namun ada yang sedikit mengganjal di pikirannya, bagaimana mungkin dokter membolehkan ia mendonorkan darah untuk wanita itu? Bahkan hasil pemeriksaan membuktikan ia layak mendonorkan darahnya. Osa sangat bingung, apa mungkin penderita HIV sepertinya dibolehkan mendonorkan darah? Tapi yasudah lah, setidaknya dokter tahu yang terbaik untuk pasiennya.

            Osa duduk di sebuah Sofa yang berjarak beberapa meter saja dari ranjang Milova. Ia memandangi sekujur tubuh wanita yang terbaring lemah itu. Mulut dan hidungnya ditutupi selang yang ia sendiri tak terlalu paham fungsinya. Sedikit menyedihkan, wanita buluk yang ada di hadapannya itu berusaha mengakhiri hidup tanpa ia tahu alasannya. Untung saja, lelaki tampan itu datang tepat waktu.

            Tujuannya hanya untuk memberikan salinan kontrak kerja sama yang sudah mereka tanda tangani. Namun ternyata Osa justru dihadapkan dalam kondisi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

            “Sepertinya, bekerja sama denganmu hanya akan menambah deretan masalah bagiku!” cetus Osa. Ia memijat keningnya, sedikit menenangkan pikirannya yang kacau.

****

            Milova mulai membuka matanya, ia melihat beberapa perawat dan seorang dokter cantik di sisinya. Semua tersenyum manis. Ia kembali mengenang apa yang telah terjadi, tragedi bunuh diri yang ia lakukan tanpa perencanaan itu ternyata tak berhasil mulus.

            Milova hanya membalas senyum saat dokter memberitahunya tentang perkembangan kesehatannya setelah operasi. Meskipun dokter menggunakan bahasa Inggris, tapi Milova mampu mencernanya.

            “Kamu harus membayar semua hutangmu, totalnya tak akan cukup bahkan jika kamu menyerahkan seluruh hidupmu untuk mengabdi kepadaku!” sombong sekali ucapan Osa.

            Tapi bukankah itu memang watak yang ia bawa sejak lahir?

            Milova belum ingin bicara. Meski kondisinya jauh lebih membaik dari sebelumnya, tapi ia masih ingin tidur kembali, mungkin karena pengaruh obat bius yang belum sepenuhnya hilang.

           

            “Jangan hanya diam!” protes Osa. “bicara! Agar aku tahu kalau kamu sudah waras kembali?”

            “Memangnya aku gila?” Milova sedikit terpancing. Suaranya masih lemah, tapi ia tak ingin terus disepelekan lelaki itu.

            “Sepertinya iya!” Osa semakin mengaduk-aduk emosi wanita itu. “buktinya kamu ingin bunuh diri disaat aku akan mengubah hidupmu menjadi seorang Cinderella!”

            Milova tersenyum sambil nyeleneh. Ia menganggap justru Osa yang gila, merasa paling hebat dan bisa mengubah semuanya seperti apa yang ia inginkan. Ia merasa masalah terbesarnya saat ini adalah wajahnya yang seperti monster. Wajah yang selalu menjadi cemoohan orang banyak. Sering kali ia diejek seperti monster dan sebagainya oleh anak-anak remaja di sekitaran kos. Belum lagi diskriminasi yang ia terima dari orang-orang sekitar, bahkan di tempat ia bekerja.

            Merasa dikucilkan membuat harga diri Milova sebagai seorang perempuan runtuh. Ia merasa tak berharga hingga berpikir untuk mengakhiri hidupnya yang pelik.

            “Aku di rumah sakit?” Milova menyangkal.

            “Ya di rumah sakit, tidak mungkin kamu di rumah duka!” celetuk Osa. “kecuali kamu sudah mati, baru aku antar ke rumah duka!” sambungnya.

            Milova tak ingin lagi beradu mulut dengan lelaki sombong itu. Perlahan ia perhatikan kamar di rumah sakit yang begitu megah, dilengkapi berbagai perabotan lengkap yang siap memanjakannya. Rumah sakit seperti apa ini? Milova berusaha menebaknya sendiri. Ya, mungkin karena Osa memiliki banyak uang, sehingga mudah baginya melakukan semua itu.

            “Kamu sedang di Korea!” pungkas Osa. Seolah ia tahu apa yang sedang dipikirkan wanita menyebalkan yang ada di hadapannya itu.

            Pantas saja semua perawat dan dokter menggunakan Bahasa Inggris saat bicara dengannya. Bahkan wajah mereka pun terlihat asing jika dibandingkan dengan para dokter dan perawat rumah sakit di Indonesia. Kini Milova paham.

            Lantas mengapa harus ke Korea? Bukankah ia hanya mengalami luka di bagian pergelangan tangan. Sepertinya jika hanya dengan kondisi tersebut, rumah sakit di Indonesia mampu menanganinya. Lelaki aneh, pikirnya.

            “Bukan hanya pergelangan tanganmu yang aku obati, tapi juga wajah bulukmu itu!” Osa kembali bicara dengan nadanya yang tak mengenakkan.

            Milova sangat terkejut. Ia segera meraba wajahnya, ternyata sudah berbalut perban yang dari awal tidak ia sadari.

            “Kamu apakan wajahku?”

            “Aku buat kamu layak menjadi istri seorang Osa Mahendra!” pungkas Osa. Lantas ia pergi meninggalkan ruang rawat.

            Milova yang tak begitu mengerti merasa tidak percaya dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Berani sekali ia, pikirnya.

           Namun, di sisi lain, Osa masih sangat tidak yakin dengan apa yang dikatakan dokter beberapa jam sebelum operasi dilakukan, “Setelah kami melakukan pemeriksaan, ternyata pasien tidak lagi memiliki rahim”, ucapan dokter masih membuat Osa tak percaya dengan apa yang didengarnya. Apa Milova tahu tentang itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status