“Gila! Aku harus menikahi seorang pengidap HIV?” hati Milova mulai tak bisa menerima kenyataan ini.
Apa kali ini, lagi-lagi demi uang, ia harus mengorbankan hidupnya?
Pikiran Milova semakin jauh, ia sedang berpikir sejauh mana kebebasan seksual yang dijalani Osa sampai ia harus mengidap penyakit mematikan itu. Atau mungkin ia adalah pecandu narkoba?
Uang memang bisa mengubah segalanya, pikir Milova. Dengan uang, tentunya seorang Osa Mahendra dapat membeli apa yang ia inginkan dengan mudah. Apa lagi ia yang menjalani masa pendidikan pasca sarjana di Amerika, tentunya hidup glamor dan bebas.
Kebebasan itu yang kini menjadi mala petaka berkepanjangan baginya, pikiran Milova mulai menerjemahkan semua tentang Osa tanpa tahu duduk perkaranya.
Bahkan menurut info yang ia dapat, ia memutuskan hubungan sebelah pihak dengan gadis yang nyaris menjadi istrinya. Padahal kedua belah pihak keluarga sudah siap menuju panggung pelaminan. Tanpa alasan yang jelas, Osa memutuskan untuk berpisah.
Tapi kini Milova tahu jawaban pasti dari rumor tersebut. Tentunya karena ia tidak ingin menularkan penyakitnya pada istri dan keturunannya nanti.
“Ini hanya pernikahan kontrak, jangan berpikir lebih!” pungkas Osa.
Mungkin ia harus ikut menambahkan poin dalam perjanjian itu, pikir Milova. Salah satunya, lelaki itu tidak boleh menyentuh tubuhnya.
Tapi mana mungkin, dari cara bicaranya, sebenarnya Osa pun tak sudi mendekati wanita sepertinya. Bukan hanya karena wajahnya, tapi juga Milova bukanlah tipe wanita yang diinginkannya.
“Jadi alasanmu menikahiku untuk apa?” Milova bertanya sesuatu yang berusaha ia terka. Kali ini ia butuh jawaban pasti dari lelaki itu, agar imajinasi liarnya, seperti firasat ia hanya akan menjadi pelampiasan nafsu birahi Osa, segera diperjelas.
“Aku ingin memenuhi keinginan Mama!” Osa menjawabnya dengan tegas.
Berkali-kali Bu Ratna membujuk putranya untuk menikah, mengingat usianya yang sudah menginjak kepala tiga. Belum lagi ia juga harus meneruskan tugas ayahnya sebagai seorang kepala sekolah, tentunya putranya itu butuh pasangan hidup.
Milova mengerutkan dahinya, “Tahu apa lelaki itu? Bagaimana jika ia menularkan penyakitnya padaku?” suara hati Milova ikut menggerutu.
Ya meski hanya pernikahan di atas materai, tapi wanita itu terlihat masih sedikit bingung untuk mengambil keputusan.
“Ini isi perjanjian yang harus kamu tanda tangani!” Osa menyodorkan secarik kertas ke atas meja bundar besar itu. Milova sedikit meliriknya, namun tetap saja tidak terbaca, jaraknya cukup jauh dari posisinya berdiri. “duduk saja dulu dan baca dengan teliti sebelum kamu menyesal karena menolaknya!” sombong sekali lelaki itu.
Perlahan Milova memutar langkahnya kembali ke kursinya. Meskipun belum pasti ia akan menanda tanganinya, setidaknya ia bisa membaca apa saja isi perjanjian yang membuat Osa begitu yakin.
“Hah?”
“Jangan kaget begitu, belum pernah lihat uang sebanyak itu ya?” sinis lelaki tampan itu. Ia kembali meremehkan Milova. “ya, memang sebelumnya kamu kaya raya, tapi sekarang kan tidak!” Osa kembali merendahkannya.
Memang keadaan ekonomi Milova saat ini sangat memprihatinkan. Untuk makan sehari-hari saja rasanya sangat sulit.
Tawaran lelaki itu sangat menggiurkan dan layak dipertimbangkannya. Terlebih poin terakhir yang dituliskannya, Osa akan membantunya melakukan operasi plastik untuk mengembalikan kecantikannya yang telah hilang.
Milova menyentuh pelan wajahnya, air matanya pun mulai mengalir. Ia merindukan wajahnya yang dulu, cantik dan memesona.
“Sudah jangan kebanyakan drama. Air mata pun tak ada gunanya lagi, simpan saja untuk menangisi keterlambatanmu bertemu denganku!” pungkas Osa.
Tak ada malunya lelaki itu, pikir Milova.
“Ya, jika kamu bertemu aku lebih cepat dari ini, mungkin hidupmu tidak akan seteruk sekarang!” jelasnya lagi. Osa Mahendra benar-benar lelaki sombong seperti yang diceritakan banyak orang.
Milova yang mendengarnya pun sebenarnya sangat kesal. Namun ia tak ingin memperpanjang pembicaraannya dengan Osa, berdebat dengannya tak ada guna juga. Bukankah lelaki sepertinya tidak pernah ingin kalah?
“Aku juga punya persyaratan!” Milova menantangnya.
Kini giliran Osa yang mengerutkan dahi. Seharusnya tak ada lagi sanggahan atau apa pun itu dari Milova, wanita yang ada di hadapannya harus bisa ia kendalikan. Namun tak segampang yang ia pikirkan, wanita itu cukup cerdas untuk dipatahkan hanya dengan kata-kata.
Osa menghela napas.
“Memang wanita itu membingungkan ya,” sinisnya lagi. Ia kembali menyeruput minuman di hadapannya. “Apa syaratnya?” tantangnya kembali.
“Kamu harus bisa menemukan Rama!” pinta Milova
Kini tatapan Osa terlihat tabu. Ia sangat menyayangkan permintaan wanita yang ada di hadapannya.
“Sesederhana itu?” Osa menyepelekan permintaan Milova.
Tentunya tidak sulit mencari informasi tentang Rama, apalagi bagi seorang Osa Mahendra.
“Iya!” tegas Milova. “karena aku tahu semua itu mudah bagimu,” jelasnya lagi.
Milova berharap dapat segera menemukan keberadaan Rama, lelaki yang ia percaya mencintainya dengan tulus. Lelaki yang jauh sebelum semua kepahitan ini hadir, dengan sepenuh hati menyayanginya. Dan Milova percaya dengan menemukan lelaki yang dicintainya, hidupnya akan kembali bahagia.
Milova yang awalnya berpikir harta akan mengubah hidup sulitnya, ternyata dipatahkan oleh kenyataan. Bahwa tak semuanya dapat dibeli oleh uang, dan Tuhan membuktikannya.
“Sebenarnya siapa Rama?” Osa mulai penasaran.
“Ternyata tidak semua tentangku, kamu tahu!” jawaban nyeleneh Milova membuat Osa tersenyum jahat.
“Memangnya penting?” ia menaikkan alisnya, Osa merasa wanita itu semakin besar kepala. “aku bertanya hanya untuk memudahkanku menemukannya!” pungkasnya.
“Suamiku!” sahut Milova. Jawaban yang sedikit membuat Osa tercengang. Ternyata apa yang ia ketahui tentang Milova belum seutuhnya, pikirnya.
Dipisahkan oleh kematian, kini Bu Ratna hanya bisa menangisi liang lahat yang sedang terbuka di hadapannya. Sekuat apa pun ia meminta, suami yang sangat dicintainya tidak akan pernah kembali."Yang kuat ya Bu," seorang wanita memeluk dan menguatkannya. Cantik sekali parasnya. Rambutnya terurai lembut, warnanya sedikit pirang. Kulit wajahnya pun begitu mulus. Milova yakin perawatannya pasti mahal.Ia menyentuh wajahnya sendiri, sedikit menyayangkan tubuh sendiri. Kulit wajahnya yang cacat terkadang membuatnya cemburu, jujur ia ingin sekali kembali terlihat cantik.Milova juga ingin sekali menyambangi Bu Ratna dan mengucapkan ikut berbelasungkawa, namun ia tau diri, seorang tukang kebun sepertinya sebaiknya fokus mempersiapkan bunga-bunga yang nantinya akan ditaburkan.Dari kejauhan, terlihat sosok gagah, berkaca mata hitam, dengan kemeja sederhana dan sepatu mewahnya, memeluk erat tubuh Bu Ratna. 'tinggi sekali lelaki itu', gumam Milova dalam hati. Osa terlihat menyimpan air mata di bal
“Kami butuh darah golongan A!” ujar dokter. Osa tengah mondar-mandir memikirkan di mana ia dapat menemukan darah golongan A tersebut. Sudah beberapa rumah sakit yang dihubunginya, tetap saja belum membuahkan hasil. Belum lagi beberapa preman yang dikerahkan juga mengeluh hal yang sama. Kerja keras Osa bukan tanpa alasan. Ia khawatir rencana yang telah disusunnya dengan apik ambyar begitu saja. Jika Milova tak juga selamat dari masa kritisnya, bagaimana tentang perjanjian yang telah disepakati bersama? Sial. Bisa-bisanya ia ingin mati setelah mengikat janji dengan Osa. “Hei, perempuan bodoh!” celanya. Meski Milova tak mendengarnya, setidaknya ia ingin meluapkan kekesalan itu. “bukan hanya uangku yang terkuras, tapi darahku juga!” lanjutnya begitu kesal. “kamu harus bangun untuk membayar semuanya!” perintah Osa. Osa yang akhirnya terpaksa mendonorkan darahnya sendiri untuk Milova, sangat berharap wanita itu bangun. Sudah banyak
“Guru yang mengajar di sekolah ini harus cantik!” perintah lelaki yang baru beberapa minggu menjadi seorang kepala sekolah. Semua guru saling memandang, sayup-sayup mereka mulai berbisik tentang apa yang baru saja mereka dengar. “Kalau guru tidak cantik dan memesona, bagaimana para peserta didik tertarik untuk mengikuti pembelajaran?” Osa semakin mempertegas pernyataannya. “jadi kalau gak bisa cantik, lebih baik jangan bekerja di sini!” pungkasnya lagi. Semua guru semakin heran dibuatnya. Mereka tak percaya karakter Osa berbeda jauh dengan almarhum ayahnya. Pak Seno dulunya selalu merekrut guru atas dasar kemampuan dan prestasi yang dimiliki guru tersebut. Ia sama sekali tak memperdulikan penampilan fisik. Lantas dari mana Osa mengadopsi aturan tersebut? “Dari Pak Ibrahim!” jelasnya. “lihat bagaimana sekolah Pak Ibrahim sekarang? Mereka menjadi sekolah swasta yang selangkah lebih maju dari kita!” Osa mulai membandingkan, dan t
“Jangan pura-pura jatuh hanya untuk menarik perhatianku!” cetus Osa. Milova mengerutkan keningnya. Seharusnya justru ia yang patut marah, pikirnya. Laki-laki yang telah merangkulnya itu datang tiba-tiba. Bagaimana bisa Belangi menyiasatinya, sedangkan ia sendiri tak tahu Osa akan muncul. Lelaki aneh. “Kenapa? Masih terpesona?” sombongnya lagi. Ya, memang wajah Osa patut dikagumi. Lelaki bertubuh kekar, berkulit putih, dengan tinggi yang juga tak main-main, jelas akan membuat para wanita takluk kepadanya. Tapi tidak dengan Milova, ia bukan hanya tak bernafsu, tapi baginya disentuh Osa seperti tadi sangat mengkhawatirkan. Osa yang ia ketahui mengidap HIV, membuatnya menyesali telah bersentuhan fisik dengannya. Tapi ia juga masih tak mengerti mengapa dokter mengizinkan Osa mendonorkan darah untuknya kala itu. “Kenapa? HIV tidak ditularkan hanya dengan sentuhan fisik!” Jelasnya. Tak disangka tatapan Milova mampu menjelaskan pada l
“Cantikan siapa aku sama perempuan itu?” sinis sekali Lusi menatap wanita yang melewatinya. Milova pun merasa tak nyaman mendengar sayup-sayup pertanyaan gadis berkulit putih itu. “Dia lebih cantik!” tegas Osa. Lusi menghela napas. Wajahnya terlihat kesal mendengar jawaban lelaki arogan itu. Bisa-bisanya ada gadis lain yang lebih cantik darinya, ia tak terima. Padahal saat masih berpacaran, Osa adalah lelaki yang sangat romantis. Setiap hari selalu saja ada pujian yang mendarat di telinga Lusi. “Kamu tega ya?” Lusi memelas. Ia tak percaya lelaki yang sangat ia cintai, kini justru memuji wanita lain. Osa hanya diam dan berjalan menuju ruangannya, membiarkan gadis itu melankolis sendirian. “Hei, gadis sok cantik!” panggilnya. Milova yang melintas langsung tertegun. “jangan harap bisa merebut perhatian Osa dariku ya!” tegasnya. Ternyata jadi cantik juga rumit ya, pikir Milova. Menjadi sosok wanita yang can
“Apa-apaan sih!” celetuk Milova. Memang, bunga mawar merah yang sudah bertengger di atas meja kerjanya itu merupakan bunga kesukaannya. Harumnya pun sangat semerbak, sepertinya baru dipetik subuh tadi. Semangat beraktifitas, sebuah ucapan ikut menambah sakralnya perasaan pengirim bunga tersebut. Milova duduk di kursi empuknya, menatap tabu mawar merah kesukaannya itu. Pasti si arogan itu, pikirnya. Kemarin saja, ia memeluknya tanpa izin. Memang karena sebuah kecelakaan sih, saat Milova hampir saja terjatuh karena menyusun buku-bukunya. Tapi lelaki itu bisa saja mencari kesempatan dalam kesempitan, Milova masih sangat yakin. “Ini tugas kamu hari ini!” sebuah lemparan beberapa lembaran kertas sontak mengejutkan lamunannya. Milova memeriksanya, memastikan apa yang tertulis di dalamnya. Ternyata sebuah roster yang masih bentrok sana-sini. Banyak jam mengajar guru yang berbenturan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan
Jangan bilang dia! Milova mengutuk dirinya sendiri jika memang benar tua bangka itu yang meletakkan mawar di mejanya. Lelaki itu dipanggil Bang Jal. Milova sangat risih melihatnya, karena Bang Jal yang punya kekurangan monohok, yaitu ompong. “Aku juga gak bisa terima jika memang Bang Jal yang menaruh bunga itu!” ucap Husna dengan santainya sambil mencium bunga yang harumnya masih semerbak. Husna juga merupakan guru baru di sekolah Osa. Usianya 2 tahun lebih mudah dari Milova. Ia cukup cerdas, lulusan terbaik dari Universitas Indonesia. Bahkan beberapa kali ia memenangkan olimpiade tingkat nasional saat menduduki bangku SMA. Wajar saja jika Osa menerimanya tanpa pertimbangan. Tapi yang terpenting bagi Osa bukan hanya kepintaran Husna. Wanita bertubuh langsing, berkulit putih, juga tinggi yang ideal dengan lekuk tubuhnya, membuat Osa cukup yakin untuk menerimanya sebagai guru matematika. “Tapi btw enak ya jadi orang cantik!” cel
“Dasar cowok dolar!” cecar Husna. Itu gelar yang sudah lima tahun ini disandang oleh Raka. Guru-guru di sekolah dengan sengaja menyematkan panggilan tersebut kepadanya karena setiap sesuatu yang dilakukan Raka pasti ujung-ujungnya bermuara pada uang. Seperti saat ini, ia akan mengatakan siapa yang menanggalkan bunga mawar merah itu di meja Milova jika ia bersedia memberinya sejumlah uang. “Gak banyak-banyak kok!” sahut Raka. “seratus ribu saja! Itu pun karena teman!” sambungnya lagi sambil tersenyum manis. Husna geram melihat rekan kerjanya itu. Kemarin saja, saat Husna meminta lelaki itu mengajarinya mengisi PMM, ia harus mengeluarkan uang seratus ribu rupiah sebagai upah. Seharusnya sesama rekan kerja saling membantu, pikir Husna. “Nih!” Husna menempelkan selembar uang kertas berwarna merah di dahi lelaki yang membuatnya panas itu. “Eh, gak usah bayar Na!” Milova mencoba menghentikan Husna, namun terlambat, lelaki itu sudah