Pagi hari, di kediaman Smith.
Tuan Beauvoir kembali datang, ada hal yang perlu dibicarakan dengan Tuan Smith. Sudah berbicara dengan asisten sekretarisnya Tuan Smith, pria itu siap membantu untuk bertemu. Tuan Smith menatap Beauvoir dengan pandangan yang dingin dan menusuk, sinar mata itu seolah-olah dapat membekukan udara di sekitar mereka. “Jangan buang waktu terlalu banyak, Samuel Beauvoir. Langsung saja, apa maksud kedatanganmu?” ucapnya dengan suara yang terkendali namun mengandung kekesalan yang terpendam. Tuan Beauvoir menghela napas berat, menatap lawan bicaranya dengan ekspresi yang serius. “William, selama ini kau terus mendendam kepada keluargaku tanpa alasan yang jelas,” katanya, suaranya mencoba tetap tenang meski ada getaran kecil yang menandakan kegelisahan. Kerutan di dahi Tuan Smith semakin dalam, tangannya terkepal di atas meja. “Aku memperingatkan mu, Samuel Beauvoir, jangan banyak bicarMasih di ruang baca milik Tuan Smith, dalam penerangan yang cukup. Tipis-tipis Agatha mencoba untuk tersenyum meski matanya begitu sayu. “Hai, ini Agatha. Ini adalah tahun ke tiga setelah aku menghilang dari kehidupan bahagiaku sebelumnya. Sangat mengejutkan, aku bahkan bisa bertahan tiga tahun ini untuk melawan leukimia. Aku pikir, aku akan sembuh agar aku bisa mencarinya lalu menikah seperti yang sudah kami janjikan. Tapi,...” suara Agatha bergetar, menahan tangis, “aku rasa, aku tidak bisa memenuhi janjiku. Meski sudah melakukan semua prosedur pengobatan untuk membunuh sel cancer ini, nyatanya ini tidak berhasil, dan aku sangat lelah dengan semua rasa sakit serta harapan yang mulai terasa kosong.” Tuan Smith menggelengkan kepalanya, tidak menyangka kalau wanita yang begitu ia cintai diam-diam menyembunyikan kondisinya yang sekarat itu. “Agatha, jangan menipu! Kau tidak boleh melakukan ini, bukankah kau menikah dengan pria konglomerat dar
Matahari terbenam perlahan, memberikan cahaya keemasan pada taman yang tenang di samping rumah besar milik Alexander itu. Tuan Smith dan Tuan Beauvoir, duduk di bangku taman sambil meminum teh yang masih mengepul. Di kejauhan, kedua cucu mereka tampak asyik bermain, tertawa riang tanpa beban. Tuan Beauvoir memperhatikan wajah Tuan Smith yang tampak lebih damai dibandingkan beberapa hari terakhir. “Apakah suasana hati Anda sudah membaik, Tuan Smith?” tanyanya dengan suara lembut. Tuan Smith mengangguk pelan, “Meski merasa kecewa karena Agatha sudah tiada, aku merasa lega karena tahu dia mencintai ku sampai akhir hayatnya,” ucapnya, suaranya bergetar sedikit karena emosi. Mengambil napas dalam, Tuan Smith melanjutkan, “Samuel, tolong bantu aku untuk membooking tempat di samping makam Agatha untukku nanti. Aku ingin beristirahat di sampingnya saat tiba waktunya. Asisten sekretaris
Pagi itu, Elizabeth mengemudi dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, dia bernapas lega karena akhirnya tiba di gedung Smith Corporation, tapi di sisi lain, hatinya dipenuhi dengan kemarahan dan keputusasaan. Dia menggenggam erat pisau di dalam tasnya, pisau yang telah dia siapkan untuk mengakhiri hidup Alexander, pewaris utama Smith Corporation yang telah menyita segala kebencian di dalam hatinya. Setibanya di tempat parkir, Elizabeth melihat sosok Alexander yang baru saja keluar dari mobil mewahnya. “Alexander, karena tidak ada dari Kami bertiga yang bisa memiliki setiap Corporation, maka kau juga tidak boleh memilikinya!” Dengan langkah mantap, dia berjalan mendekat, menyembunyikan pisau itu di dalam jaket tebalnya. Semua persiapan tampak sempurna, sampai mata tajam Han menangkap gerak-gerik mencurigakan dari Elizabeth. Han segera memberi isyarat kepada pengawal lainnya, dan d
“Mereka berempat sungguh sudah dikirim jauh?” Sinar mata Alexander terpaku pada wajah Tuan Smith, yang dengan tenang menjelaskan pengiriman Nyonya Rose dan ketiga anaknya ke luar negeri. Bibir Alexander bergetar tak percaya mendengar kata-kata itu, rasa bingung dan kecewa berkecamuk dalam hatinya. “Bagaimana mungkin, Ayah? Hukuman untuk mereka sangat ringan, ini sangat tidak sesuai!” desahnya dengan suara serak, mencoba mencerna informasi tersebut.Tuan Smith hanya menatapnya dengan ekspresi datar. “Berhentilah untuk memprotes, itu yang terbaik untuk kita semua, Alexander,” jawabnya tegas, tanpa sedikit pun emosi.Alexander berdiri, tangannya terkepal di samping tubuh. “Dan, bagaimana dengan Ibuku? Mengapa Ibuku harus menderita begitu banyak padahal kesalahannya tak seberapa? Hanya karena ingin bertemu denganku, Ayah menghukum dengan sangat keterlaluan,” suaranya meninggi, penuh dengan emosi yang telah terpendam begitu lama. Matanya be
Malam itu, di kediaman Alexander. “Alexander, aku mengerti bagaimana perasaan mu saat ini. Kau boleh sedih, tidak apa-apa.” ucap Helena, perhatian. “Sayang, bagaimana ini, aku jadi benar-benar kesal. Aku ingin melampiaskan kemarahan ku, tapi orangnya sudah tidak ada lagi di dunia ini.” ungkap Alexander, lesu. Alexander lemas, duduk bersandar di sofa dengan mata yang sembab. Helena mengeratkan pelukannya, menyelimuti pria itu dengan pelukan hangatnya. “Sudahlah, Alexander,” bisik Helena lembut, lagi-lagi mencoba menghibur. “Seburuk apapun, dia adalah seorang Ibu, dia pasti mencintai mu juga.”Alexander menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku tidak bisa percaya, Sayang... selama ini aku membenci Ayah karena cerita-cerita yang orang di dekat Ibuku berikan. Ternyata, dia bukanlah monster yang mereka gambarkan,” ucapnya dengan suara yang serak, berusaha keras menelan kekecewaan yang menggumpal di dadan
Alexander membuka pintu mobilnya dengan gaya yang elegan, sementara mata semua pegawai di parkiran kantor seketika tertuju padanya. Sinar matahari pagi memantul dari setelan jas hitamnya yang rapi, membuatnya tampak seperti bintang film. Tak lama kemudian, Helena juga turun dari mobil dengan langkah yang sigap. Dengan segera, Alexander menggenggam tangan Helena yang tampak anggun dalam balutan gaun berwarna pastel yang lembut. Mereka berjalan bersama menuju ke ruang presiden direktur, tempat Alexander bekerja. Setiap langkah mereka disertai tatapan kagum dari para pegawai yang menyaksikan keharmonisan dan keindahan visual pasangan suami istri tersebut. Meskipun pernah ada isu buruk yang menimpa Helena, tampaknya semua itu sudah menjadi cerita lama yang tidak lagi relevan. Sesampainya di ruang kerja yang mewah, Helena tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.“Wah... ruangan kerjamu membuatku iri,” ujar Hele
Alexander dan Helena melangkah menembus keramaian kota besar, udara segar pagi masih terasa di kulit mereka. Suasana kota yang baru mereka kunjungi itu berbeda dengan tempat mereka tinggal. Dengan antusias, mereka memulai perjalanan liburan pertama mereka setelah menikah maupun sebelumnya dengan mencicipi street food yang terkenal lezat. “Semoga perut kita baik-baik saja ya, Sayang,” harap Alexander. Mendengar itu, Helena pun terkekeh. “Ayolah, tidak usah berlebihan begitu.” Helena memilih sayap ayam bakar yang aromanya menggoda, sementara Alexander memilih kue olahan dari wortel dan tepung yang dibentuk bulat, berkuah, dan agak pedas yang membuatnya berkeringat. “Ahh...” Alexander menggelengkan kepalanya, matanya mulai memerah membuat Helena tertawa kecil. “Sudah, hentikan, jangan makan lagi!” Helena pun memberikan makanannya kepada Alexander. Setelah perut mereka cukup terisi, keduanya berjalan menuju museum terkenal yang menyimpan koleksi benda-benda kuno dari zaman pra
“Sayang, masuklah! Firasat ku tidak baik,” ucap Alexander. Helena menggelengkan kepalanya, “Tidak mau! Ayo cepat kita masuk, minta nahkodanya untuk menjauh dari sini,” ucapnya, panik. Alexander merangkul Helena, membawanya masuk. Namun, langkah kaki Alexander dan Helena terhenti saat melihat nahkoda kapal pesiar yang mereka tumpangi justru pingsan. “A—Alexander... apa lagi ini?” tanya Helena, suaranya bergetar gugup, dan takut. “Dia, pingsan?” gumam Alexander. Alexander membalikkan tubuh nahkoda yang sudah tergeletak lemah, matanya menyala penuh kemarahan. “Sial! Kenapa ini bisa terjadi?!” teriaknya dengan suara menggelegar. Kapal pesiar lain semakin mendekat, membuat keadaan semakin tegang. Helena merasakan tubuhnya gemetar tak terkendali. “Ini sangat aneh, Alexander...apa yang harus kita lakukan?” suaranya nyaris tak terdengar. Alexander mencoba