Bab 61 AIK Apollo dan Axel masih menatap tajam Meredith.Margot menepuk punggung tangan Meredith, seolah mengisyaratkan sesuatu. “Apa kau benar-benar lupa, Axel?” Meredith bersuara. “Memang selama ini ada ingatanmu yang ditidurkan, supaya kau tidak ketakutan sedemikian. Agar semua perasaanmu tidak keluar lalu mengambang. Mungkin ini sebabnya kau juga tidak bisa mengambil keputusan secara tegas.” Axel makin kebingungan dengan perkataan Meredith. “Ada yang bisa menjelaskan dengan bahasa manusia saja?” “Axel, beberapa puluh tahun lalu, kau ingat, kejadian di danau tempat kalian biasa menghabiskan liburan musim panas? Di sana ....” Meredith tidak sanggup menjelaskan, terlalu banyak luka dan sakit hati. “Kau menyelamatkan Bene. Bene Triton, tapi, kau tidak sanggup berenang dan mengambil napas. Jadi, kau pingsan, sementara Bene ....” “Mati?” potong Axel tidak sabaran dengan cerita yang dia dia dengar. “Tapi, aku rasa itu bukan salah satu alasan untuk balas dendam,” celetuk Apollo. S
Meredith yang ada di rumah sakit, menerima telepon Kevin dengan kaget. “Apa? Kau bicara apa? Tidak jelas!” sentak perempuan itu tidak suka. “Kau tahu berita yang baru saja kau sampaikan bisa membuat heboh Nyonya Margot. Kau tahu Axel itu siapa?” Kevin menghela napas, dadanya masih berdebar dengan kencang. Di depannya para tenaga medis berdatangan. “Justru karena aku tahu, aku memberi kabar kepadamu. Pak Axel saat ini terluka. Seseorang menembaknya tadi ketika bersitegang dengan Billy.” Meredith sekali lagi menggigit bibir bagikan bawahnya. Tidak bisa mengatakan apa pun, yang bisa Meredith lakukan adalah menutup sambungan telepon dari Kevin. Apa pun yang terjadi, dia akan memberi tahukan ini kepada Nyonya Margot dan Lily, juga Bree. Namun, semua orang memang harus tahu kabar ini. Meredith berjalan ke ruang perawatan Lily dengan tergesa.Apollo melihat gelagat Meredith yang seperti orang kebingungan. Dia mencegat wanita itu di depan pintu perawatan Lily. “Hei, ada apa?” tanyanya di
Nyonya Margot melihat ekspresi Lily yang berbinar sejak Axel datang. Tapi, tidak bicara, Margot tahu semua itu karena kelegaannya melihat Axel selamat. Semua orang yang ada di ruangan ini berperasaan sama seperti Lily. Tapi, Margot juga harus memberi Lily kesempatan untuk mengungkap semuanya kepada Axel.Mata Margot lalu melirik Axel yang sedang mengobrol dengan Kevin. Terlalu banyak orang di ruangan ini, batinnya berkata. Maka dari itu, Margot menyuruh Meredith, Kate, Kevin dan Apollo keluar dari ruangan ini. Namun, Axel juga mengikuti dirinya. Dengan sigap, Margot mencegat Axel. “Kau tetap di sini!” “Apa? Bukankah aku harus ....” “Tetap di sini, temani Lily. Kau tahu dia hampir kena serangan jantung ketika mendengar kau terluka,” ucapan Margot seolah final. Axel tidak bisa melawannya lagi. Margot berjalan begitu saja meninggalkan Axel yang masih melongo di ambang pintu. Sementara Lily masih melongok ke arah Axel dan Margot yang ada di depan pintu. Axel berdeham dan menghela n
Sementara itu di apartemen Bree.“Mengenai pengawal yang ada di apartemen, aku akan menariknya, karena masalah teror ini sudah selesai.” Bree menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu,” jawabnya, suaranya dibuat sedemikian agar Bree terdengar sangat tulus. Padahal Bree hanya berbahagia kalau sekarang dia bisa bebas bertemu dan pergi ke mana pun dia mau. Diego yang selalu dia rindukan. Entah berapa banyak pesan yang saling mereka kirim setiap hari. Bree mengantisipasi apartemennya ada yang menyadap. Jadi, dia membatasi semua bentuk percakapan di apartemen itu. “Baik kalau begitu, kau akan pulang malam ini, kan? Mau kumasakkan sesuatu?”Axel menghela napas, “Apa, ya?” tujuan Axel hanya satu ingin memberitahukan keadaan anak yang ada di rahim Lily. “Bisa kau buatkan aku daging semur? Yang waktu itu pernah kau buatkan? Mungkin nanti saat pulang aku akan sangat kelaparan.” Bree tersenyum, “Baiklah. Aku akan buatkan. Pulang cepatlah,” katanya lagi. ***Beberapa jam kemudian, Axel mu
Diego menyambut Bree walau wajah wanita itu masam. Bree langsung mengambil bir dalam kulkas, agar tenggorokan dan juga hatinya lega dan tenang sedikit. Bicara soal bayi rasanya membuat harinya berantakan. “Bayi, bayi, bayi terus yang Axel bicarakan, huh ....” Bree mengenyakkan badan di sofa dekat dengan Diego. “Aku juga mau punya bayi,” ujar Diego riang dan antusias. Bree mendelik ke arah Diego, seolah tidak ada yang membuatnya bahagia kecuali uang. “Kau bisa punya sendiri,” desisnya.“Aku tidak punya rahim. Bayi hidup di rahim ibu,” jawab Diego konyol. Bree menggenggam kaleng bir dengan erat. “Apa ada yang bisa membuatku tersenyum hari ini. Dua hari lagi Axel menyuruhku untuk memilih rumah yang cocok dengan anak-anak, yang ada di pusat kota.” Diego mendekatkan tubuhnya ke arah Bree dan menggodanya. “Bagaimana kalau aku membuatmu sibuk di ranjang.” Bree sebenarnya sedang ada dalam mood yang jelek. Tapi, Diego tidak pernah gagal memberinya kepuasan. “Aku harus pulang nanti sore
Axel sepertinya salah mendengar, dan waktu istirahat rapat sudah habis, jadi, Nyonya Margot belum sempat melanjutkan pembicaraan rumah itu. Sepanjang rapat, Axel mendebat para komisaris yang ingin Billy tetap menjadi memegang jabatan ini. “Tolong, Nyonya Margot, Anda bisa pertimbangkan Billy. Karena dia terlalu lama mengabdi pada Anda,” tutur salah satu komisaris, dari lima orang. “Apa Anda ada di pihak Billy?” Axel saat ini menyangsikan semua anggota yang hadir. “Billy mengancam calon anak-anakku. Mereka hampir mati di perut ibu penggantinya. Anda bisa bayangkan kalau itu adalah anak kalian.” Lelaki itu menggebu-gebu ketika diungkit soal masa pengabdian Billy. “Saya pikir yang loyal dan setia dengan saya, bukan hanya Billy saja. Anda Mr. Armstrong, bukankah Anda juga setia?” ucap Nyonya Margot akhirnya meredam semua amarah para komisaris yang sebagian lelaki. “Saya, tidak berani macam-macam dengan Anda, Nyonya Margot,” ucap Armstrong kemudian. “Semua karena jasa Anda ke keluarga
“Baik kalau begitu,” Lily memutus sambungan telepon, sedangkan Apollo dan Kate masih menatap dirinya. “Ada apa?” Kate bersuara, penasaran, karena wajah Lily terlihat serius. “Itu tadi Meredith. Nyonya Margot menyuruh aku untuk datang makan malam di rumahnya.” Mata Kate membesar, dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Makan malam? Apa kau mau makan siang sekarang?” tawar Kate, “Agar nanti waktunya cukup untuk bersiap makan malam.” “Bersiap?” ulang Lily. “Memang aku harus bersiap seperti apa? Aku pikir makan malam perusahaan kemarin adalah yang paling melelahkan dalam persiapannya.” “Ah, kau ini,” gerutu Kate, “Kau harus berpakaian rapi dan cantik. Paling tidak semua itu tidak mengecewakan Nyonya Margot. Kau kan sekarang orang terdekatnya.” Apollo kembali melaksanakan tugasnya, menyadap apartemen Bree. Dia dan rekannya bergantian jaga. Sekarang jam istirahat Apollo. Kate juga masih sibuk membujuk Lily untuk serba berpakaian rapi. Agar dirinya terlihat pa
Lily menghela napas, lalu membuang pandangan, tampaknya air mata akan mengalir di pipi. Lalu dia menatap perutnya yang membesar. “Mereka hanya peduli dengan bayi-bayi ini,” ratap Lily. “Dan kau tidak nyaman dengan keadaan itu?” tebak Apollo lagi suara baritonnya sekarang menenangkan Lily. Wanita itu menoleh ke arah Apollo lalu terseyum. “Kamu pasti terganggu dengan celotehanku tadi, ya?” Apollo menggeleng, “Tidak. Sama sekali tidak. Katanya, perempuan perlu mengeluarkan berpuluh ribu kata dalam satu hari. Aku lihat, kau jarang bicara kalau di apartemen. Jadi, wajar saja kalau sekarang kau banyak bicara.” Mata Lily membesar, tidak sangka kalau Apollo bisa memperhatikan sikapnya sehari-hari. “Kau—kau memperhatikanku?” “Aku hanya melihatmu, karena aku ada di sekitarmu, benar, kan?” Lily, “Kau benar. Boleh aku bertanya?” “Silakan. Asal jangan tanya nama asliku,” canda Apollo tersenyum lebar, sedangkan Lily tidak ada ekspresi apa pun. “Ke mana kau akan membawaku? Apa aku akan dicul
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a