Lily menghela napas, lalu membuang pandangan, tampaknya air mata akan mengalir di pipi. Lalu dia menatap perutnya yang membesar. “Mereka hanya peduli dengan bayi-bayi ini,” ratap Lily. “Dan kau tidak nyaman dengan keadaan itu?” tebak Apollo lagi suara baritonnya sekarang menenangkan Lily. Wanita itu menoleh ke arah Apollo lalu terseyum. “Kamu pasti terganggu dengan celotehanku tadi, ya?” Apollo menggeleng, “Tidak. Sama sekali tidak. Katanya, perempuan perlu mengeluarkan berpuluh ribu kata dalam satu hari. Aku lihat, kau jarang bicara kalau di apartemen. Jadi, wajar saja kalau sekarang kau banyak bicara.” Mata Lily membesar, tidak sangka kalau Apollo bisa memperhatikan sikapnya sehari-hari. “Kau—kau memperhatikanku?” “Aku hanya melihatmu, karena aku ada di sekitarmu, benar, kan?” Lily, “Kau benar. Boleh aku bertanya?” “Silakan. Asal jangan tanya nama asliku,” canda Apollo tersenyum lebar, sedangkan Lily tidak ada ekspresi apa pun. “Ke mana kau akan membawaku? Apa aku akan dicul
Dengusan Axel terdengar oleh Bree. Beberapa menit tidak ada jawaban apa pun, Bree khawatir, apakah suaminya masih hidup dan sehat walafiat. “Sayang, apa kau sehat? Ada apa? Apa kau sakit?” tanya Bree memberondong, cemas. “Tidak apa-apa. Aku—hanya sedikit pusing.” “Pusing?” ulang Bree dengan cepat. “Ada apa? Apakah tadi rapatnya tidak berjalan sesuai rencana?” Axel menarik napas, mempertimbangkan apakah ini tepat jika dikatakan. “Lily menghilang.” Bree lemas, mengapa hal sekecil itu membuat Axel seperti kerepotan sendiri? “Lily kan sudah besar, itu bukan menghilang, tapi mungkin dia pergi dengan lelaki lain,” ujar Bree kesal. Axel berpikir kalau apa yang dikatakan Bree benar, Apollo mungkin pergi dengannya. Dan Apollo itu adalah lelaki, kan? “Tapi, dia adalah tanggung jawabku, Bree. Dan dia pergi setelah aku bicarakan soal rumah yang akan kita beli.” Bree makin geram, “Apa?! Apakah kau ingin aku berbagi rumah dengannya? Kalau begitu aku tidak sudi!” Axel makin pusing mendeng
Sepanjang sisa perjalanan, Lily tertidur, Apollo menyetir menembus kelamnya malam. Sesekali dia berhenti di pom bensin, membeli minuman sekadar mengembalikan energinya. Dan membuatnya tetap terjaga. Hingga dekat dengan tujuannya, sekitar pantai. Debur ombak dan angin malam menyapa, membuat Apollo banyak tersenyum. Malam ini, langit berhiaskan bintang, indah. Jadi, Apollo menepikan mobilnya dan membangunkan Lily. “Maaf, aku membangunkanmu. Tapi, pasti kau tidak mau melewatkan hal ini.” “Apa?” Lily mengucek mata, lalu mengikuti instruksi dari Apollo yang menunjuk ke atas. Mata Lily lantas berbinar begitu melihat banyak gugusan bintang. “Indah sekali, aku belum pernah melihat gugusan bintang seindah ini. Di langit yang sangat ...”“Bersih?” tebak Apollo. Lily mengangguk lalu menatap Apollo sekilas dan tersenyum. Apollo menarik senyumannya ketika Lily tersenyum dengan tulus ke arahnya tadi. Setelah beberapa menit membeku, Apollo lalu menyadari, harus melanjutkan perjalanan. “Kita l
Axel menghela napas lega setelah berjam-jam menyetir dan ponsel Apollo non aktif, akhirnya ada satu balasan pesan dari pengawal pribadi itu. “Dia ada bersamaku. Jangan takut, Lily meminta waktu sampai besok, dia akan kuantar ke apartemen.” Axel terdiam sejenak, menatap ke jalan yang sekarang terang benderang. Kanan kirinya bukit terjal. “Apa yang kau inginkan, Lily?” tanyanya dengan lirih. Pandangan dan pikirannya kosong. Ternyata mengenal Lily selama beberapa bulan Axel tidak benar-benar memahaminya sama sekali. Pikiran Axel terpecah belah antara pekerjaan dan juga mencari Lily. Dia menekan nomor asistennya, Kevin. “Kev, ada meeting apa hari ini?” tanya Axel lemas. Kevin menyebutkan apa saja acara Axel hari ini beserta meeting dan beberapa orang yang harus dia temui. “Aku sedang ada di luar kota. Ada hal yang harus aku urus, terkait Lily. Tolong kau urus semua hari ini.” “Baik, Pak,” jawab Kevin. “Saya akan membatalkan sebagian pertemuan.” “Bagus. Kamu bisa atur ulang bebera
“Aku tahu rasanya pasti buruk, kehilangan sahabat yang sangat kau pedulikan,” tutur Lily lembut menenangkan Apollo. “Ya, kami sangat dekat ketika pelatiha, dan tidak menyangka kalau ditugaskan di daerah yang sama.” Lily menggenggam jemari Apollo, sebagai tanda menguatkan dirinya. “Aku tidak ingin mengingat hal itu, tapi ... rasanya masih seperti kemarin. Kejadian itu masih terbayang. Dia ditangkap musuh, dan tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati. Dari kesatuan kami, ketika dicari dalam penahanan pihak musuh, dia tidak ditemukan.” Jantung Lily berhenti beberapa detik, matanya membesar. Dia seperti merasakan apa yang terjadi kala itu. Tapi, tidak ada yang terucap dari mulut Lily. “Ketahuilah, Lily, aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun. kau yang pertama kali mengetahui hal ini. Lidia saja tidak tahu soal ini.” Lily mengangguk-angguk, “Aku harap setelah ini kau lebih tenang, kalau memang sahabatmu itu masih menghilang, relakan dia. Doakan semoga kalau h
“Sebenarnya di mana Axel!” Bree geram tak karuan, sejak kemarin suaminya sulit sekali dihubungi. Bertolak pinggang dengan napas yang memburu. Apakah harus Bree menggertark Axel akan menceraikannya? “Paling tidak kau lega, kan? Axel tidak ada, anggap saja ini adalah liburan,” ucap Diego yang sedang main gim pemberian Bree. Bree sungguh muak dengan keadaan begini. Ya, dia sudah cukup muak dengan Axel apalagi Lily. Dapat laporan dari Ami, kalau Lily juga tidak pulang semalaman. Pasti dia sedang berduaan dengan Axel, pikirnya. Diego mematikan gim nya, dia melihat ke arah Bree yang terlihat kesal. Wajahnya tegang dan memerah. Lelaki itu tahu, apa yang Bree inginkan saat seperti ini. Buah-buahan dingin!“Kemarilah, Sayang, aku tahu kau sangat ingin buah ini, semangka!” Diego bersorak, tersenyum lebar ke arah Bree. Bree awalnya ragu, tidak ingin apa-apa, kepalanya terlalu sakit ketika Axel tidak bisa dihubungi. “Ayolah, lupakan dulu lelaki dungu itu,” bujuk Diego. “Dia tidak tahu kalau
Lily menatap ke arah lautan yang luas, suara debur ombak menenangkan, semua penyakit rasanya hilang selama Lily ada di sini. Walau gelap, tetapi masih bisa terlihat rangkaian gulungan ombak yang beradu ke tepian pantai lalu menghilang. Tapi, ketika ada Axel, Lily merasa dadanya sesak. “Hai,” sapa Axel pelan dan mendekat ke arah Lily. Lalu duduk di sampingnya. “Duduk di sini, tenang, ya?” Lily menarik napas, udara di sekitarnya habis. Dan dadanya mulai sesak lagi. Mungkin ini bawaan dari bayi yang dikandung Lily. Ah, kalian mulai menyebalkan! umpat Lily dalam hati. Ketika Axel mendekat, Lily bangkit dari duduknya. “Jangan coba berbaik kepadaku,” kata Lily dengan sinis. “Paling tidak di sini, bersikap wajar saja. Tidak perlu berusaha, karena aku tidak akan mudah memaafkanmu.” Axel terpaku mendengar ucapan Lily. Apakah benar ini Lily yang ada di hadapannya? “Maafkan, aku ...” “Beri aku waktu sampai besok. Sementara itu jaga jarak. Jangan mendekat, atau juga menyapaku dengan manis
Lily menghela napas, harusnya dia tahu sejak awal kalau lelaki macam Axel mudah saja mengumbar cinta kepada siapa pun. Lily menarik tangan yang Axel genggam. Kali ini Axel tahu kalau dia harus lebih banyak berusaha. Tapi, apakah dia pantas mendapatkan Lily? Momen matahari terbit ini menjadi hal yang menyesakkan untuk Lily. Tadinya dia menahan dan ingin menyimpan semua kabahagiaan ini dalam hatinya. Sekarang? Axel tidak lebih dari seorang lelaki berengsek di mata Lily. “Aku ... ingin meminta maaf kepadamu. Itu tujuan aku menyusulmu ke sini. Aku tidak bermaksud menyakitimu dengan semua perkataanku.” Lily mengangguk, “Aku terima maaf darimu.” Matahari sudah sepenuhnya terbit, ditambah suara deburan ombak dan angin pantai yang Lily suka. Namun, karena pembicaraan ini, menambah kejengkelan Lily kepada Axel.Axel tersenyum menatap Lily. “Jadi, kita sekarang tidak ada masalah, kan?” “Tidak ada. Tapi, hanya satu permintaanku.” Lily menelaah, kalau Axel harus menjauh darinya. Tapi, syar
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a