Axel menghela napas lega setelah berjam-jam menyetir dan ponsel Apollo non aktif, akhirnya ada satu balasan pesan dari pengawal pribadi itu. “Dia ada bersamaku. Jangan takut, Lily meminta waktu sampai besok, dia akan kuantar ke apartemen.” Axel terdiam sejenak, menatap ke jalan yang sekarang terang benderang. Kanan kirinya bukit terjal. “Apa yang kau inginkan, Lily?” tanyanya dengan lirih. Pandangan dan pikirannya kosong. Ternyata mengenal Lily selama beberapa bulan Axel tidak benar-benar memahaminya sama sekali. Pikiran Axel terpecah belah antara pekerjaan dan juga mencari Lily. Dia menekan nomor asistennya, Kevin. “Kev, ada meeting apa hari ini?” tanya Axel lemas. Kevin menyebutkan apa saja acara Axel hari ini beserta meeting dan beberapa orang yang harus dia temui. “Aku sedang ada di luar kota. Ada hal yang harus aku urus, terkait Lily. Tolong kau urus semua hari ini.” “Baik, Pak,” jawab Kevin. “Saya akan membatalkan sebagian pertemuan.” “Bagus. Kamu bisa atur ulang bebera
“Aku tahu rasanya pasti buruk, kehilangan sahabat yang sangat kau pedulikan,” tutur Lily lembut menenangkan Apollo. “Ya, kami sangat dekat ketika pelatiha, dan tidak menyangka kalau ditugaskan di daerah yang sama.” Lily menggenggam jemari Apollo, sebagai tanda menguatkan dirinya. “Aku tidak ingin mengingat hal itu, tapi ... rasanya masih seperti kemarin. Kejadian itu masih terbayang. Dia ditangkap musuh, dan tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati. Dari kesatuan kami, ketika dicari dalam penahanan pihak musuh, dia tidak ditemukan.” Jantung Lily berhenti beberapa detik, matanya membesar. Dia seperti merasakan apa yang terjadi kala itu. Tapi, tidak ada yang terucap dari mulut Lily. “Ketahuilah, Lily, aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun. kau yang pertama kali mengetahui hal ini. Lidia saja tidak tahu soal ini.” Lily mengangguk-angguk, “Aku harap setelah ini kau lebih tenang, kalau memang sahabatmu itu masih menghilang, relakan dia. Doakan semoga kalau h
“Sebenarnya di mana Axel!” Bree geram tak karuan, sejak kemarin suaminya sulit sekali dihubungi. Bertolak pinggang dengan napas yang memburu. Apakah harus Bree menggertark Axel akan menceraikannya? “Paling tidak kau lega, kan? Axel tidak ada, anggap saja ini adalah liburan,” ucap Diego yang sedang main gim pemberian Bree. Bree sungguh muak dengan keadaan begini. Ya, dia sudah cukup muak dengan Axel apalagi Lily. Dapat laporan dari Ami, kalau Lily juga tidak pulang semalaman. Pasti dia sedang berduaan dengan Axel, pikirnya. Diego mematikan gim nya, dia melihat ke arah Bree yang terlihat kesal. Wajahnya tegang dan memerah. Lelaki itu tahu, apa yang Bree inginkan saat seperti ini. Buah-buahan dingin!“Kemarilah, Sayang, aku tahu kau sangat ingin buah ini, semangka!” Diego bersorak, tersenyum lebar ke arah Bree. Bree awalnya ragu, tidak ingin apa-apa, kepalanya terlalu sakit ketika Axel tidak bisa dihubungi. “Ayolah, lupakan dulu lelaki dungu itu,” bujuk Diego. “Dia tidak tahu kalau
Lily menatap ke arah lautan yang luas, suara debur ombak menenangkan, semua penyakit rasanya hilang selama Lily ada di sini. Walau gelap, tetapi masih bisa terlihat rangkaian gulungan ombak yang beradu ke tepian pantai lalu menghilang. Tapi, ketika ada Axel, Lily merasa dadanya sesak. “Hai,” sapa Axel pelan dan mendekat ke arah Lily. Lalu duduk di sampingnya. “Duduk di sini, tenang, ya?” Lily menarik napas, udara di sekitarnya habis. Dan dadanya mulai sesak lagi. Mungkin ini bawaan dari bayi yang dikandung Lily. Ah, kalian mulai menyebalkan! umpat Lily dalam hati. Ketika Axel mendekat, Lily bangkit dari duduknya. “Jangan coba berbaik kepadaku,” kata Lily dengan sinis. “Paling tidak di sini, bersikap wajar saja. Tidak perlu berusaha, karena aku tidak akan mudah memaafkanmu.” Axel terpaku mendengar ucapan Lily. Apakah benar ini Lily yang ada di hadapannya? “Maafkan, aku ...” “Beri aku waktu sampai besok. Sementara itu jaga jarak. Jangan mendekat, atau juga menyapaku dengan manis
Lily menghela napas, harusnya dia tahu sejak awal kalau lelaki macam Axel mudah saja mengumbar cinta kepada siapa pun. Lily menarik tangan yang Axel genggam. Kali ini Axel tahu kalau dia harus lebih banyak berusaha. Tapi, apakah dia pantas mendapatkan Lily? Momen matahari terbit ini menjadi hal yang menyesakkan untuk Lily. Tadinya dia menahan dan ingin menyimpan semua kabahagiaan ini dalam hatinya. Sekarang? Axel tidak lebih dari seorang lelaki berengsek di mata Lily. “Aku ... ingin meminta maaf kepadamu. Itu tujuan aku menyusulmu ke sini. Aku tidak bermaksud menyakitimu dengan semua perkataanku.” Lily mengangguk, “Aku terima maaf darimu.” Matahari sudah sepenuhnya terbit, ditambah suara deburan ombak dan angin pantai yang Lily suka. Namun, karena pembicaraan ini, menambah kejengkelan Lily kepada Axel.Axel tersenyum menatap Lily. “Jadi, kita sekarang tidak ada masalah, kan?” “Tidak ada. Tapi, hanya satu permintaanku.” Lily menelaah, kalau Axel harus menjauh darinya. Tapi, syar
“Antar saja ke apartemen Lily, kau tahu, bukan di mana unitnya?” suruh Axel kepada Kevin di sambungan telepon. Ada beberapa dokumen yang memerlukan persetujuan Axel.Siang sebelum Axel kembali ke kota, Kevin meneleponnya. “Kenapa kau ganggu aku yang sedang cuti? Harusnya hal ini bisa kau urus sendiri.” “Maaf, Pak, memang harusnya bisa aku urus. Tapi soal gaji karyawan, dari direktur keuangan, juga harus ada persetujuan dari bapak,” papar Kevin. “Ya, ya, sudah, antar saja ke sana. Aku semalaman akan ada di sana,” omel Axel. “Harusnya, Kate sudah ada di apartemen itu, cari saja dia, atau masuk dan taruh dokumen itu di meja kerjaku. Kau tahu, kan di mana letaknya?” “Ya, tahu, Bos. Aku akan segera ke sana sekarang.” “Oke, beritahu aku kalau semua sudah ada di meja.” “Iya,” jawab Kevin terakhir, lalu memutus sambungan telepon. ***Begitu Kevin memutus sambungan telepon, dia langsung mempersiapkan dokumen yang sifatnya penting itu. Seperti suruhan bosnya, Kevin mengantar dokumen ya
Bree: Batalkan misimu, Axel akan curiga.Ami yang malam itu belum tidur, mengerutkan dahi ketika menerima pesan dari Bree. Tapi, harusnya memang Ami tidak perlu banyak bicara dan bertanya. Bree: Kau harus berhati-hati, tampaknya Axel dan Apollo memasang kamera pengawas di apartemen itu.Mata Ami membesar begitu membaca pesan terakhir dari Bree. Ami memang kaget, tetapi dia sadar kalau harus melakukan tugasnya secara profesional. Rencana harus terus berjalan, Ami harus improvisasi. Jadi, dia meyakinkan Bree kalau semua aman dan terkendali. Ami: Baik. Tenang saja, situasinya aman terkendali. Bree menghela napas lega setelah membaca pesan dari Ami. Paling tidak, dia bisa tidur dengan nyenyak malam ini. ***Walau Bree sudah tidur, Axel masih terjaga. Berkirim pesan kepada Apollo. Axel: Apa kau sudah mendengarkan hasil sadapanmu di apartemen Bree? Aku khawatir.Apollo: Sudah, tidak ada yang mencurigakan.Axel mendengus, mungkin ini memang hanya pemikirannya saja yang berebihan. Axel
“Kau baru datang?” tanya Apollo kepada Axel yang ada di ruang tamu. Axel melirik ke arah kamar Lily yang masih tertutup rapat. “Ya, hari ini aku masih ambil cuti. Jadi, aku ingin ada di sini dulu. Mungkin aku akan banyak bicara dengan Lily. Membeli beberapa perlengkapan untuk bayi juga, mungkin.” Apollo mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku permisi dulu,” pamit Apollo. “Eh, tunggu dulu!” sergah Axel, “Duduk,” suruhnya. Apollo pikir, Axel akan menyudahi kontrak dengan agensinya. Apollo tidak akan bisa lagi mengawasi Lily. Apollo menaikkan alisnya, ketika Axel memintanya untuk duduk. Dengan rasa masih kesal di dada, suara Apollo terdengar sinis. “Ada apa?” “Aku mencurigai Bree, tapi, aku tidak paham bagaimana cara menyelidikinya?” Axel tidak melihat gelagat Apollo yang gelisah. Apollo mendesah, “Aku bukan penyidik atau polisi yang bisa menetapkan istrimu sebagai tersangka atau terdakwa.” Axel mengerang, “Bukan itu maksudku. Ah, apa kau bisa menyelidikinya, mengikuti dia ke man