“Antar saja ke apartemen Lily, kau tahu, bukan di mana unitnya?” suruh Axel kepada Kevin di sambungan telepon. Ada beberapa dokumen yang memerlukan persetujuan Axel.Siang sebelum Axel kembali ke kota, Kevin meneleponnya. “Kenapa kau ganggu aku yang sedang cuti? Harusnya hal ini bisa kau urus sendiri.” “Maaf, Pak, memang harusnya bisa aku urus. Tapi soal gaji karyawan, dari direktur keuangan, juga harus ada persetujuan dari bapak,” papar Kevin. “Ya, ya, sudah, antar saja ke sana. Aku semalaman akan ada di sana,” omel Axel. “Harusnya, Kate sudah ada di apartemen itu, cari saja dia, atau masuk dan taruh dokumen itu di meja kerjaku. Kau tahu, kan di mana letaknya?” “Ya, tahu, Bos. Aku akan segera ke sana sekarang.” “Oke, beritahu aku kalau semua sudah ada di meja.” “Iya,” jawab Kevin terakhir, lalu memutus sambungan telepon. ***Begitu Kevin memutus sambungan telepon, dia langsung mempersiapkan dokumen yang sifatnya penting itu. Seperti suruhan bosnya, Kevin mengantar dokumen ya
Bree: Batalkan misimu, Axel akan curiga.Ami yang malam itu belum tidur, mengerutkan dahi ketika menerima pesan dari Bree. Tapi, harusnya memang Ami tidak perlu banyak bicara dan bertanya. Bree: Kau harus berhati-hati, tampaknya Axel dan Apollo memasang kamera pengawas di apartemen itu.Mata Ami membesar begitu membaca pesan terakhir dari Bree. Ami memang kaget, tetapi dia sadar kalau harus melakukan tugasnya secara profesional. Rencana harus terus berjalan, Ami harus improvisasi. Jadi, dia meyakinkan Bree kalau semua aman dan terkendali. Ami: Baik. Tenang saja, situasinya aman terkendali. Bree menghela napas lega setelah membaca pesan dari Ami. Paling tidak, dia bisa tidur dengan nyenyak malam ini. ***Walau Bree sudah tidur, Axel masih terjaga. Berkirim pesan kepada Apollo. Axel: Apa kau sudah mendengarkan hasil sadapanmu di apartemen Bree? Aku khawatir.Apollo: Sudah, tidak ada yang mencurigakan.Axel mendengus, mungkin ini memang hanya pemikirannya saja yang berebihan. Axel
“Kau baru datang?” tanya Apollo kepada Axel yang ada di ruang tamu. Axel melirik ke arah kamar Lily yang masih tertutup rapat. “Ya, hari ini aku masih ambil cuti. Jadi, aku ingin ada di sini dulu. Mungkin aku akan banyak bicara dengan Lily. Membeli beberapa perlengkapan untuk bayi juga, mungkin.” Apollo mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku permisi dulu,” pamit Apollo. “Eh, tunggu dulu!” sergah Axel, “Duduk,” suruhnya. Apollo pikir, Axel akan menyudahi kontrak dengan agensinya. Apollo tidak akan bisa lagi mengawasi Lily. Apollo menaikkan alisnya, ketika Axel memintanya untuk duduk. Dengan rasa masih kesal di dada, suara Apollo terdengar sinis. “Ada apa?” “Aku mencurigai Bree, tapi, aku tidak paham bagaimana cara menyelidikinya?” Axel tidak melihat gelagat Apollo yang gelisah. Apollo mendesah, “Aku bukan penyidik atau polisi yang bisa menetapkan istrimu sebagai tersangka atau terdakwa.” Axel mengerang, “Bukan itu maksudku. Ah, apa kau bisa menyelidikinya, mengikuti dia ke man
Bab 79 AIK“Itu mudah,” jawab Bree, suaranya riang. “Aku pikir saat aku memberimu tugas, kau tahu siapa yang harus kau singkirkan. Sekarang masih sama, aku ingin kau membantuku menyingkirkan Lily. Kau hanya memastikan semua aman, sampai Lily benar-benar celaka.” Apollo diam, napasnya seperti habis begitu saja. Dia harus lebih waspada, karena gertakan Bree. Dan apa yang direncanakan oleh Bree? “Apa yang kau rencanakan untuk Lily?” Bree tertawa, terdengar sangat menjijikan di saluran telepon. “Aku akan beritahu kalau kau setuju ingin membantuku.” Apollo mendelik, melihat ke arah ponselnya. Tidak mungkin dia membantu Bree, kalau Apollo pernah setuju menerima pekerjaan dari Bree, itu adalah kesalahan besar. “Atau, rahasiamu akan aku bongkar,” kata Bree dengan licik. “Jangan terlalu lama memikirkannya.” “Silakan, bongkar saja. Aku tidak akan keberatan. Dan segala konsekuensinya akan aku tanggung.” “Apa kau yakin? Bayangkan, kalau tidak ada lagi yang memakai jasamu. Kau akan jatuh mi
Lily menuju suatu restoran dengan ditemani Apollo berjalan di belakangnya. Karena si pembelanja personal sedang sibuk mengemasi barang bersama Axel yang membayar semua yang dibeli Lily. “Kau tidak mau menunggu Axel?” tanya Apollo, cukup kaget ketika Lily sudah memesan makanan dan minuman. Lily menggeleng, “Aku sudah kelaparan, kau duduk saja, ikut aku makan, Rasanya aku melihat kau tidak pernah makan bersama kami lagi.” Restoran itu ramai pengunjung, karena waktu makan siang. Apollo diam, tidak menuruti Lily, ponsel dalam saku celananya bergetar. Axel, Apollo menghela napas, rasanya berat sekali. Kalau Axel meninjunya, dia akan terima. “Ya, aku dan Lily ada di lantai dua. Restoran Thailand,” papar Apollo. Axel tidak menjawab apa pun, dalam hitungan menit, Axel sudah ada di depan Apollo dam duduk di sebelah Lily. Axel memelotot ke arah Apollo yang sudah makan bersama Lily. Bisa-bisanya dia beramah tamah? Axel membatin sendiri. Makanan yang sudah dipesan, bukan seleranya sama s
Mengapa hidup Lily sangat menderita begini? pikir Kate tidak habis pikir penderitaan sahabatnya ini sangat panjang. “Kau harus bahagia, Li. Kau bisa menghubungiku kapan saja untuk apa pun,” kata Mya dengan senyuman. Sambil mengusap pangkal lengan Lily. “Apa Axel tidak akan keberatan?” tanya Lily lugu. “Axel tidak akan keberatan, dia bisa membayarku,” canda Mya membuat Lily dan Kate tertawa. Seseorang mendengar pembicaraan Lily, Kate dan Mya, dan turut bersedih. Lily datang terlambat? Atau memang ini adalah takdir Tuhan? Cerai? Tidak semudah itu! Dan Axel yang mendengarkan semua pengakuan Lily, mengira, ini bukanlah cinta sejatinya. Tapi, hanya cinta sesaat, atau memang Axel harus memilih antara Lily dan Bree? Yang jelas, karena obrolan ini, Axel tidak tenang. Gelisah, ada di kamarnya, tapi tidak bisa tidur. Suara Lily mengiang di telinga Axel. Karena pengakuan Lily jugam Axel seperti tidak mengenali dirinya sendiri. Siapa dia selama ini? Apakah memang Bree adalah orang yang
Bab 82 AIK“Bahkan ketika malam kau tidak pulang, aku bersabar, karena aku tahu, cinta itu tidak bisa berhenti,” ucap Bree, saat ini dia memulai manuvernya untuk meminta uang kepada Axel. Bree juga mengubah raut wajahnya menjadi sesedih mungkin. “Maafkan aku—yang tidak pernah memahami kamu, Bree,” ucap Axel dengan tenang, dia memeluk istrinya itu. Beberapa detik kemudian, Bree menarik diri dari pelukan Axel. “Sayang, aku tadi melihat beberapa tempat untuk usaha restoranku,” kata Bree dengan tenang tetapi antusias. Axel lalu sadar, kalau Bree menceritakan rencananya beberapa hari lalu. “Memang kau sudah menemukan konsep bagaimana restoranmu nantinya? Apa kau benar-benar ingin mencari kesibukan sendiri?” Binaran di mata Bree meredup. “Ya, aku, kan sudah katakan kepadamu, kalau aku akan memulai bisnis ini. Apa kau tidak setuju?” “Bukan. Aku setuju saja, kalau kau bahagia menjalankan ini. Hanya saja, kandungan Lily makin lama membesar, dan anak itu akan dilahirkan. Aku pikir, ada
Napas Axel memburu, terbayang di kepalanya untuk menghardik Bree, atau langsung lapor polisi saja? Namun, kepalanya sakit luar biasa setelah meminum jus itu. Apollo yang ada di sisi ruangan melihat gelagat Axel yang menghentikan langkahnya. “Pak, Anda kenapa?” tanya Apollo khawatir. Axel menunjuk Ami yang sudah tidak ada di ruangan ini, “Dia ... Apa yang dia berikan?” katanya terbata-bata. Dari hidungnya mengalir darah segar. “Astaga, Axel!” pekik Apollo menangkap tubuh Axel yang lemah, dia tidak sadarkan diri. Lily yang mendengar pekikkan itu langsung keluar dari kamarnya. Apollo susah payah menelepon ambulans, meminta pertolongan. “Axel! Ada apa ini?” Lily mengguncang tubuh Axel, lalu menatap Apollo yang sedang sibuk di sambungan telepon. Apollo ingat ini adalah ulah Ami yang disuruh oleh Bree, “Juru masak itu,” ujar Apollo lalu mencari Ami ke dapur. Sementara, Lily terus menangis, melihat darah yang ada di wajah Axel terus mengalir. “Apa yang terjadi, Apollo?!” sentak Li