Napas Axel memburu, terbayang di kepalanya untuk menghardik Bree, atau langsung lapor polisi saja? Namun, kepalanya sakit luar biasa setelah meminum jus itu. Apollo yang ada di sisi ruangan melihat gelagat Axel yang menghentikan langkahnya. “Pak, Anda kenapa?” tanya Apollo khawatir. Axel menunjuk Ami yang sudah tidak ada di ruangan ini, “Dia ... Apa yang dia berikan?” katanya terbata-bata. Dari hidungnya mengalir darah segar. “Astaga, Axel!” pekik Apollo menangkap tubuh Axel yang lemah, dia tidak sadarkan diri. Lily yang mendengar pekikkan itu langsung keluar dari kamarnya. Apollo susah payah menelepon ambulans, meminta pertolongan. “Axel! Ada apa ini?” Lily mengguncang tubuh Axel, lalu menatap Apollo yang sedang sibuk di sambungan telepon. Apollo ingat ini adalah ulah Ami yang disuruh oleh Bree, “Juru masak itu,” ujar Apollo lalu mencari Ami ke dapur. Sementara, Lily terus menangis, melihat darah yang ada di wajah Axel terus mengalir. “Apa yang terjadi, Apollo?!” sentak Li
Bree dengan cepat menyusul di mana Axel dirawat, dia mendapat informasi ini dari Ami yang melihat ambulans Axel. Namun, Meredith sudah melakukan pemblokiran di rumah sakit itu bekerja sama dengan pihak keamanan. Bree tidak akan bisa masuk ke ruangan Axel. “Apakah Apollo sudah melaporkan Bree?” tanya Margot, masih di ruang perawatan. Axel belum sadarkan diri. Alat bantu pernapasan masih terpasang di tubuhnya. Meredith menggeleng, “Dari pengacara yang kita kirim, Apollo masih memberikan keterangan.” Margot mengangguk-angguk, “Ternyata, benar prasangkaku dari dulu, kalau Bree itu jahat.” Meredith hanya mengangguk-angguk, “Itu karena Axel bimbang memilih. Anda yang bilang sendiri, kan? Kalau keadaan mental Axel seringkali beubah-ubah.” “Ya, itu mungkin saja terjadi. Tapi, jelas sekali, kalau Axel mencintai orang yang salah. Begitu Axel siuman, siapkan pengacara perceraian. Tanya Axel dulu, apakah dia bersedia berpisah dengan Bree.” “Baik, Nyonya.” Bree di depan meja resepsionis t
Diego membeku, begitu Bree masuk begitu saja ke dalam apartemennya. “Well, well, aku pikir kau lupa akan diriku karena asyik merayakan kemenangan. Dan sekarang, kamu menutup semua cahaya yang masuk?” Bree mendelik ke arah Diego. Bree menelan ludahnya pelan, terasa ada yang menghalangi di tenggorokannya. “Bukan wanita sialan itu yang meminum racunnya, tetapi Axel. Sekarang dia sekarat di rumah sakit.” Diego menatap Bree tidak percaya. “Apa?” Keadaan dalam ruangan itu tegang. “Maka dari itu, polisi akan segera menangkapku,” ujar Bree, putus asa. “Karena laporan dari Apollo, atau siapa pun itu namanya. Dia adalah orang yang aku bayar untuk menembak Lily.” Diego menatap Bree sambil bertolak pinggang. “Apa? Ini bahaya! Jadi kau sembunyi di sini?”Bree mengangguk, berharap kalau Diego akan melindunginya. Diego malah menghela napas, “Itu keputusan yang bodoh, Bree. Polisi akan mengira aku adalah kaki tanganmu dalam menjalankan semua kejahatanmu. Aku tidak mau dipenjara! Tidak, itu ada
Di rumah sakit, Lily masih meratapi Axel yang belum siuman. Nyonya Margot menemani Lily, ada di sampingnya. Menggantikan Kate yang akan ambil baju ganti untuk Lily.“Aku sempat kesal dengan Axel akhir-akhir ini,” ucap Lily lirih. Lalu menatap ke arah Nyonya Margot. “Bukan apa-apa, aku hanya kesal dengan Axel yang selalu bimbang. Kemarin dia bilang mau membeli rumah dengan Nyonya Bree, tapi dihari lain, dia mengajak untuk membeli perlengkapan bayi, lalu ditaruh di apartemen. Aku bingung sendiri dengan sikapnya.” Kalau saja Lily tahu, Nyonya Margot sudah lama sekali kesal dengan Bree. Kalau sekarang menantunya itu terbukti melakukan kejahatan, ada kelegaan sendiri di hari Nyonya Margot. “Apa kau menyukai anakku?” tanya Nyonya Margot dengan sangat hati-hati. Lily hanya menatap Margot, diam. Menyukai? Ulang Lily dalam hati. “Mungkin aku hanya terikat karena anak-anak yang ada dalam perutku saja,” jawab Lily lalu mengedikkan bahu. “Dan, semua hormon kehamilan ini membuatku pusing send
Polisi mendatangi rumah sakit untuk meminta keterangan dari Axel. “Bagaimana dengan Bree? Apakah sudah tertangkap?” tanya Axel setelah selesai menmberikan keterangan. “Dia diduga kabur ke luar kota. Pihak kepolisian masih menyelidiki ke mana kaburnya Bree. Kami sudah menyebar foto Bree, dan menangkap Diego.” “Diego?” ulang Axel tidak percaya. “Dia ....” “Dia kekasih gelap Bree, Diego mengakuinya, kalau dia adalah gundiknya,” tambah si polisi itu. Gigi Axel gemeletak, tidak terima kalau selama ini Bree selingkuh darinya. Apakah ini memang jalan dari Tuhan? Menunjukkan kalau Bree adalah perempuan yang hina? Napas Axel tetiba berat, selama ini dia ditipu habis-habisan oleh Bree. “Kami sudah menggeledah apartemen Diego, yang terdaftar atas nama Bree. Serta ada mobil mewah seharga empat puluh dollar.” Tangan Axel mengepal, ternyata uang itu untuk gundiknya. “Apakah Bree punya ibu?” tanya Axel lagi, apakah semuanya hanya permainan dari Bree semata? Hanya untuk mengelabui Axel semat
Beberapa hari kemudian, Axel diperbolehkan pulang. Sejujurnya dia tidak ingin kembali ke apartemennya, meski barang-barang Bree sudah hampir semuanya dibereskan. “Kau mau pulang ke rumah Nyonya Margot?” tanya Meredith yang kebingungan ketika Axel bilang tidak mau pulang ke apartemennya. “Entah,” jawabnya singkat. “Aku hanya tidak ingin ada di apartemen itu. Setiap sudut, pasti mengingatkan aku akan Bree dan pengkhianatannya. Meredith mengangguk, mengerti, ada Lily sedang membereskan bawang Axel. Axel menatap Lily, ingin pulang ke apartemen bersama dia rasanya. Tapi, Axel khawatir, kalau Lily akan menolaknya. Meredith menangkap arti tatapan Axel ke Lily. “Apakah, kau mau pulang ke apartemen Lily?” tanya Meredith hati-hati. Axel menggeleng tidak bersuara. “Cepat, antar aku pulang.” Axel kesal dengan hatinya, apakah Lily menyukainya jiga? Atau kali ini, Axel harus berjuang untuk mendapatkan cinta Lily? “Aku tidak ingin mengganggunya dulu. Lagi pula, aku ingin sendirian merenungi
Diego menatap orang yang menginterogasinya, tangannya diborgol. Dengan tangan diborgol saja sangat tidak nyaman, apalagi dipenjara? Pikir Diego, pasti tidak enak. “Kau terlalu lama memikirkannya. Kuberi tahu saja, dipenjara tidak enak. Belum lagi tahanan yang banyak tingkah. Bayangkan saja, kau harus menahan derita selama sepuluh tahun.” Diego masih diam tidak merespon apa pun. Pikirannya berkecamuk, ini adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk Bree. “Bagaimana? Kalau kau mengatakan yang sebenarnya hukumanmu akan diperingan, kalau hakimn berkenan paling lama lima tahun. Kau tidak perlu menderita selama sepuluh tahun. Hanya karena menolong wanita jahat itu.” Mendengar kata-kata, wanita jahat, Diego geram sendiri. Tatapannya beralih ke polisi yang sedang menginterogasi dirinya.“Dia bukan wanita jahat! Dia membiayai aku selama ini! Semua yang aku lakukan hanya demi dirinya. Membalas semua yang pernah dia lakukan,” erang Diego suaranya membahana di ruang interogasi. Polis
“Kalau begitu ambilkan aku susu di kulkas. Biasanya juru masak selalu menyediakannya,” Axel menyuruh Kevin, agar pria itu keluar sebentar dari kamarnya. Axel perlu ruang sejenak untuk mengatur napas. Ingin sendirian, tapi, tidak mau ditinggal sepenuhnya. Ah, mengapa dirinya bimbang begini? Wajah Lily melintas di pikirannya, tapi, detik yang lain wajah Bree yang menderita di penjara terbayang dalam benaknya. Axel bingung dengan dirinya sendiri, mengapa, dia meratap? Sekilas, Axel mengibaskan wajahnya, membuang pikiran dan ingatannya akan Bree. Namun beberapa detik kemudian, Axel ingat wanita itu lagi. Lima tahun pernikahan dijalani di apartemen ini. Axel ingat betul betapa menggemaskannya Bree ditahun-tahun pertama menikah. “Tidak, tidak, Bree selingkuh di belakangku! Bagaimana mungkin itu adalah kenangan yang indah? Itu tidak indah sama sekali!” Kevin tergesa-gesa masuk ke dalam kamar Axel, setelah mendengar lelaki itu bicara sendiri. “Pak, maaf, aku lama mengambilkan susu. Ini
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a