Bree dengan cepat menyusul di mana Axel dirawat, dia mendapat informasi ini dari Ami yang melihat ambulans Axel. Namun, Meredith sudah melakukan pemblokiran di rumah sakit itu bekerja sama dengan pihak keamanan. Bree tidak akan bisa masuk ke ruangan Axel. “Apakah Apollo sudah melaporkan Bree?” tanya Margot, masih di ruang perawatan. Axel belum sadarkan diri. Alat bantu pernapasan masih terpasang di tubuhnya. Meredith menggeleng, “Dari pengacara yang kita kirim, Apollo masih memberikan keterangan.” Margot mengangguk-angguk, “Ternyata, benar prasangkaku dari dulu, kalau Bree itu jahat.” Meredith hanya mengangguk-angguk, “Itu karena Axel bimbang memilih. Anda yang bilang sendiri, kan? Kalau keadaan mental Axel seringkali beubah-ubah.” “Ya, itu mungkin saja terjadi. Tapi, jelas sekali, kalau Axel mencintai orang yang salah. Begitu Axel siuman, siapkan pengacara perceraian. Tanya Axel dulu, apakah dia bersedia berpisah dengan Bree.” “Baik, Nyonya.” Bree di depan meja resepsionis t
Diego membeku, begitu Bree masuk begitu saja ke dalam apartemennya. “Well, well, aku pikir kau lupa akan diriku karena asyik merayakan kemenangan. Dan sekarang, kamu menutup semua cahaya yang masuk?” Bree mendelik ke arah Diego. Bree menelan ludahnya pelan, terasa ada yang menghalangi di tenggorokannya. “Bukan wanita sialan itu yang meminum racunnya, tetapi Axel. Sekarang dia sekarat di rumah sakit.” Diego menatap Bree tidak percaya. “Apa?” Keadaan dalam ruangan itu tegang. “Maka dari itu, polisi akan segera menangkapku,” ujar Bree, putus asa. “Karena laporan dari Apollo, atau siapa pun itu namanya. Dia adalah orang yang aku bayar untuk menembak Lily.” Diego menatap Bree sambil bertolak pinggang. “Apa? Ini bahaya! Jadi kau sembunyi di sini?”Bree mengangguk, berharap kalau Diego akan melindunginya. Diego malah menghela napas, “Itu keputusan yang bodoh, Bree. Polisi akan mengira aku adalah kaki tanganmu dalam menjalankan semua kejahatanmu. Aku tidak mau dipenjara! Tidak, itu ada
Di rumah sakit, Lily masih meratapi Axel yang belum siuman. Nyonya Margot menemani Lily, ada di sampingnya. Menggantikan Kate yang akan ambil baju ganti untuk Lily.“Aku sempat kesal dengan Axel akhir-akhir ini,” ucap Lily lirih. Lalu menatap ke arah Nyonya Margot. “Bukan apa-apa, aku hanya kesal dengan Axel yang selalu bimbang. Kemarin dia bilang mau membeli rumah dengan Nyonya Bree, tapi dihari lain, dia mengajak untuk membeli perlengkapan bayi, lalu ditaruh di apartemen. Aku bingung sendiri dengan sikapnya.” Kalau saja Lily tahu, Nyonya Margot sudah lama sekali kesal dengan Bree. Kalau sekarang menantunya itu terbukti melakukan kejahatan, ada kelegaan sendiri di hari Nyonya Margot. “Apa kau menyukai anakku?” tanya Nyonya Margot dengan sangat hati-hati. Lily hanya menatap Margot, diam. Menyukai? Ulang Lily dalam hati. “Mungkin aku hanya terikat karena anak-anak yang ada dalam perutku saja,” jawab Lily lalu mengedikkan bahu. “Dan, semua hormon kehamilan ini membuatku pusing send
Polisi mendatangi rumah sakit untuk meminta keterangan dari Axel. “Bagaimana dengan Bree? Apakah sudah tertangkap?” tanya Axel setelah selesai menmberikan keterangan. “Dia diduga kabur ke luar kota. Pihak kepolisian masih menyelidiki ke mana kaburnya Bree. Kami sudah menyebar foto Bree, dan menangkap Diego.” “Diego?” ulang Axel tidak percaya. “Dia ....” “Dia kekasih gelap Bree, Diego mengakuinya, kalau dia adalah gundiknya,” tambah si polisi itu. Gigi Axel gemeletak, tidak terima kalau selama ini Bree selingkuh darinya. Apakah ini memang jalan dari Tuhan? Menunjukkan kalau Bree adalah perempuan yang hina? Napas Axel tetiba berat, selama ini dia ditipu habis-habisan oleh Bree. “Kami sudah menggeledah apartemen Diego, yang terdaftar atas nama Bree. Serta ada mobil mewah seharga empat puluh dollar.” Tangan Axel mengepal, ternyata uang itu untuk gundiknya. “Apakah Bree punya ibu?” tanya Axel lagi, apakah semuanya hanya permainan dari Bree semata? Hanya untuk mengelabui Axel semat
Beberapa hari kemudian, Axel diperbolehkan pulang. Sejujurnya dia tidak ingin kembali ke apartemennya, meski barang-barang Bree sudah hampir semuanya dibereskan. “Kau mau pulang ke rumah Nyonya Margot?” tanya Meredith yang kebingungan ketika Axel bilang tidak mau pulang ke apartemennya. “Entah,” jawabnya singkat. “Aku hanya tidak ingin ada di apartemen itu. Setiap sudut, pasti mengingatkan aku akan Bree dan pengkhianatannya. Meredith mengangguk, mengerti, ada Lily sedang membereskan bawang Axel. Axel menatap Lily, ingin pulang ke apartemen bersama dia rasanya. Tapi, Axel khawatir, kalau Lily akan menolaknya. Meredith menangkap arti tatapan Axel ke Lily. “Apakah, kau mau pulang ke apartemen Lily?” tanya Meredith hati-hati. Axel menggeleng tidak bersuara. “Cepat, antar aku pulang.” Axel kesal dengan hatinya, apakah Lily menyukainya jiga? Atau kali ini, Axel harus berjuang untuk mendapatkan cinta Lily? “Aku tidak ingin mengganggunya dulu. Lagi pula, aku ingin sendirian merenungi
Diego menatap orang yang menginterogasinya, tangannya diborgol. Dengan tangan diborgol saja sangat tidak nyaman, apalagi dipenjara? Pikir Diego, pasti tidak enak. “Kau terlalu lama memikirkannya. Kuberi tahu saja, dipenjara tidak enak. Belum lagi tahanan yang banyak tingkah. Bayangkan saja, kau harus menahan derita selama sepuluh tahun.” Diego masih diam tidak merespon apa pun. Pikirannya berkecamuk, ini adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk Bree. “Bagaimana? Kalau kau mengatakan yang sebenarnya hukumanmu akan diperingan, kalau hakimn berkenan paling lama lima tahun. Kau tidak perlu menderita selama sepuluh tahun. Hanya karena menolong wanita jahat itu.” Mendengar kata-kata, wanita jahat, Diego geram sendiri. Tatapannya beralih ke polisi yang sedang menginterogasi dirinya.“Dia bukan wanita jahat! Dia membiayai aku selama ini! Semua yang aku lakukan hanya demi dirinya. Membalas semua yang pernah dia lakukan,” erang Diego suaranya membahana di ruang interogasi. Polis
“Kalau begitu ambilkan aku susu di kulkas. Biasanya juru masak selalu menyediakannya,” Axel menyuruh Kevin, agar pria itu keluar sebentar dari kamarnya. Axel perlu ruang sejenak untuk mengatur napas. Ingin sendirian, tapi, tidak mau ditinggal sepenuhnya. Ah, mengapa dirinya bimbang begini? Wajah Lily melintas di pikirannya, tapi, detik yang lain wajah Bree yang menderita di penjara terbayang dalam benaknya. Axel bingung dengan dirinya sendiri, mengapa, dia meratap? Sekilas, Axel mengibaskan wajahnya, membuang pikiran dan ingatannya akan Bree. Namun beberapa detik kemudian, Axel ingat wanita itu lagi. Lima tahun pernikahan dijalani di apartemen ini. Axel ingat betul betapa menggemaskannya Bree ditahun-tahun pertama menikah. “Tidak, tidak, Bree selingkuh di belakangku! Bagaimana mungkin itu adalah kenangan yang indah? Itu tidak indah sama sekali!” Kevin tergesa-gesa masuk ke dalam kamar Axel, setelah mendengar lelaki itu bicara sendiri. “Pak, maaf, aku lama mengambilkan susu. Ini
“Di mana, Kev?” Napas Axel memburu, di ruangan utama banyak sekali orang berlalu lalang. Dalam keadaan tubuh belum fit, Axel merasa limbung. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahi dan punggungnya. Kevin melihat ke kertas yang ada di genggamannya. “Ayo, ke sini, Pak,” dia menunjukkan kepada Axel ke mana ruangan yang dituju Lily, keduanya langsung berlari kesalah satu ruangan. Kevin berhenti ketika masuk kesalah satu ruangan itu. Axel tidak sanggup berkata-kata lagi, tubuhnya gemetar. Tapi, sebelum menemukan Lily, dia tidak akan tenang,Mata Kevin waspada melihat setiap orang yang ada dalam ruangan besar itu. “Ah, itu dia,” tunjuk Kevin kesalah satu sudut yang ada bangku tunggu besi. Axel bergerak cepat menghampiri Lily. “Lily?” sapanya dengan suara berat. Lily yang sedang memperhatikan antrian, menoleh ke arah suara. Kepalanya menengadah, “Axel?” dia bangkit dari duduknya. Tanpa disangka Axel langsung memeluk Lily dengan erat. Mata Lily membesar, ada apa? Apakah