“Kalau tidak salah ingat tadi kau membuatkan sarapan untukku?” tanya Lily ketika sampai di apartemennya. Axel menoleh ke arah Lily, “Kev?” panggilnya, “Makanannya aku titip ke Kevin, aku minta dia yang mengantar,” ucap Axel sambil tersenyum. Kevin segera mengambilkan makanan yang tadi dia taruh di meja makan. Sebenarnya, Lily sedikit kecewa ketika tahu yang mengantar makanannya adalah Kevin. Padahal sepanjang perjalanan pulang Lily sudah bersemangat ingin mencoba masakan Axel. Apalagi ini yang memasak Axel, mana pernah lelaki itu memasak? Kalau perlu, makan juga disuapin!Axel yang ada di ruang televisi seperti menghindari bertatapan dengan Lily. “Kamu sedang apa?” tanya Lily, tersenyum, dia membawa kotak makanan yang disodorkan Kevin. “Tidak ada. Aku hanya mencari informasi soal orang hilang,” jawab Axel. “Aku janji, kan akan membantumu mencari kakakmu.” Lily mengangguk, sambil memakan makanan yang Axel makan. Rasanya sedikit aneh, Lily menyengir, menatap Axel. “Tidak enak?” t
Ternyata hari itu adalah hari terakhir Axel menemani Lily seharian. Hari itu memang sangat berkesan untuk Lily. pagi harinya, Axel masih ada di ranjang menunggu Lily bangun, sampai membuat sarapan. Atas sikap Axel yang manis Lily mengira kalau bunga cinta sudah tumbuh di hati Axel, karena Lily merasakan kehangatan di sekujur tubuhnya. Nyatanya prasangka itu salah besar. Untuk hari selanjutnya, Axel kian menjauh. Menghindari Lily, bahkan sekadar menyapa lewat telepon atau pesan saja tidak. Pernah Axel mengiriminya pesan, memberitahukan keberadaan kakaknya yang belum bisa ditemukan setelah tiga minggu penyelidikan dan pencarian. Saat itu Lily mendengus, sambil mengusap perutnya. “Apakah papa kalian kelakuannya seperti ini? Apa yang harus aku lakukan?” Entah berapa minggu Lily tidak menghitungnya, kelakuan Axel aneh. Lily sudah tidak peduli lagi kepada kakaknya yang menghilang. Yang dia pedulikan saat ini adalah perasaannya yang seperti menghilang. Setiap pagi, Axel selalu membuatka
Nyonya Margot menarik napas, prihatin dengan anaknya yang kelihatannya masih bimbang. Karena Axel hanya mampu diam, dan mendesah, putus asa. Wajah Axel saat ini murung terlihat frustasi dan depresi. Sebagai ibu, Nyonya Margot ikut tersayat hatinya. Salah memilih pasangan bukan kemauan setiap orang. Tapi, membuat kesalahan hal yang biasa. Semua bisa salah. Sekarang, bagaimana orang itu memperbaiki kesalahannya. “Aku paham kalau kau masih bimbang. Soal hatimu, aku tidak ingin ikut campur lagi. Lily ... hanya khawatir terhadapmu. Datanglah ke apartemen Lily malam ini sekadar mengatakan kalau kau baik-baik saja. Anakmu di perutnya sudah lumayan besar, kau melewatkan jadwal pemeriksaan kandungannya kemarin.” Nyonya Margot lalu diam, melirik ke arah Meredith. “Ah, kebetulan sekali, nyonya kemarin minta hasil scan USGnya dicetak. Nyonya sampai meminta tiga cetak, jadi, yang satu sudah dibingkai dan ditaruh di nakas sisi tempat tidurnya,” jelasnya, sambil mengulurkan tangan memberikan Axe
Selesai rapat dan membicarakan rencana selama kepergian Axel, ternyata bisa dia lakukan di kantor. Masih sore ketika mereka selesai dengan pembahasan itu. Axel lalu memantapkan hatinya ingin menengok Lily malam ini. “Selesai?” tanya Axel kepada Kevin dan beberapa manajer. “Iya, selesai. Saya permisi dulu,” pamit salah satu manajer. Disusul yang lain keluar dari ruangan Axel.Dan Axel sendiri berdiri memakai jasnya. “Bapak akan pulang?” tanya Kevin. “Ya, saya akan menemui Lily dulu sebelum pergi ke Asia.”“Baik, kalau begitu, Pak. Jadi, saya tidak perlu memesan makanan?” “Tidak,” jawab Axel dengan tegas. Kevin hanya berharap kalau Axel segera mendapat pengganti Nyonya Bree. Karena selama beberapa minggu ini, Kevin seperti istri Axel. Jadi, setelah mendengar Axel akan mampir ke apartemen Lily, Kevin juga ingin pulang ke rumahnya. Tapi, dia ragu, akan terasa susah kalau Axel membutuhkan dirinya nanti. ***Nyonya Margot masih ada di apartemen Lily sampai sore. Mereka banyak berbi
Axel tersenyum simpul begitu masuk ke apartemen Lily, bunga yang dia pesan ada di mana-mana, tertata rapi sepanjang ruang tamu hingga kamar Lily. “Tunggu saja, Li, tunggu sampai semua proses perceraian ini selesai,” gumam Axel pelan. Saat ini lelaki itu hanya ingin menyelamatkan dirinya dan Lily, juga calon anak-anaknya. Hanya itu yang bisa Axel lakukan. Lily membeku begitu membuka pintu kamarnya. “Apa kau tahu ke mana perginya orang-orang? Kenapa cepat sekali mereka pergi?” tanya Lily dengan polos.Axel menoleh ke belakang, lalu tersenyum ke arah Lily. “Mereka memang tidak ada, sejak aku datang.”Alis Lily naik menatap Axel yang ada di depannya. “Apa kau lapar? Aku sudah meminta juru masak untuk membuatkan makanan,” Axel tidak mengerti apa yang dirasakan oleh Lily. Mungkinkah wanita ini masih kesal karena Axel menghilang begitu lama.Lily menautkan tangannya, gelisah, seperti ada yang dia tunggu. Bibir bawahnya dia gigit sekuat mungkin. Kalau memang sedang bermimpi, Lily harap se
“Kau lapar? Mau temani aku makan?” tawar Axel kepada Lily. “Aku kelaparan sejak siang tidak makan.” Tangan Axel engan lembut menarik Lily ke meja makan. Lalu menarikkan kursi untuk wanita itu. “Silakan duduk,” katanya. “Terima kasih,” ucap Lily, sekarang wajahnya tidak bisa tidak tersenyum. “Kau tidak makan sejak siang?” Axel menatap makanan yang disajikan malam ini, ikan tuna. “Tidak ada yang menyiapkan, ya?” tanya Lily penasaran. “Bagaimana kalau besok aku bawakan? Jadi, kau bisa makan di kantor,” tawar Lily, dia melihat kalau Axel makin kurus saja. “Bukan. Tadi Kevin sudah membelikan aku makanan, tapi, tetiba ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Kevin juga belum makan sejak siang, karena mendampingiku.”“Begitu?” tanya Lily, ternyata Axel sangat sibuk dengan dunianya. Apa dia akan selalu begini? “Ya, jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan keadaan begini.” Lily mengangguk, bingung apa yang bisa dia lakukan saat ini. “Mama tadi bilang, kalau bayinya sudah bisa menendang?
Ruang penjara yang lembab dan pengap sekarang sudah biasa. Bree tidak lagi mengeluh panjang lebar soal keadaan di penjara ini. Diaz yang banyak mengajarinya bertahan hidup di penjara. Setelah mencoba menelepon, Bree diam duduk di samping Diaz. Meski penampilannya buruk, Bree anggap ada di dekat Diaz membuat dia tenang. Paling tidak, Bree tidak menjadi incaran rundungan atau risak tahanan yang lain. “Sial sekali! Mengapa dia tidak memedulikan aku?” omel Bree tidak terima. “Aku baru tahu dia brengsek! Ah, rasanya ingin teriak.” “Sudah berapa kali kau coba minggu ini?” tanya Diaz, yang tahu Bree mencoba menelepon Axel. “Mungkin ratusan kali,” ucap Bree, sambil meratapi nasibnya sekarang. “Dulu dia sangat manis, sekarang aku ada di sini, dia seperti menghilang begitu saja. Sudah beberapa bulan aku di sini dia bahkan tidak menjengukku! Aku kesulitan hidup di sini. Bahkan, aku mencoba hubungi dia melalui pengacaraku tidak bisa!” “Anggap saja itu segala hukuman darinya,” jawab Diaz. “K
Beberapa hari kemudian, Axel pergi untuk bertugas di Asia Tenggara. “Aku pergi dulu.” pamit Axel kepada Lily, ada Kate yang mengantarnya juga ke bandara. Namun, Axel dan Lily berpura-pura kalau semua orang di bandara ini tidak ada. Dan mereka bisa saling bermanis-manis sebelum Axel berangkat. Sejak Lily dan Axel berbaikan, entah mengapa, Axel senang sekali mengecup dahi Lily, setelah itu, dia mengecup perut Lily yang membesar. “Apa kau ingin aku menjemputmu ketika kau kembali?” Axel memeluk pinggang Lily, “Um, tampaknya bagaimana?” Lily memutar bola mata, “Tampaknya, iya,” Lily lalu melihat ke arah perutnya, mengusapnya pelan. “Bagaimana menurut kalian?”“Pasti kalian nanti akan merindukan papa kalian, kan? Jadi ... kalian bisa menjemput papa ketika pulang nanti di bandara.” Lily tertawa kecil, tangannya menutup mulutnya. “Baik kalau begitu, hati-hati di jalan,” ucap Lily kepada Axel. Kevin menghampiri Axel, “Pak, sebentar lagi kita boarding,” katanya. “Baik kalau begitu, aku