Selesai rapat dan membicarakan rencana selama kepergian Axel, ternyata bisa dia lakukan di kantor. Masih sore ketika mereka selesai dengan pembahasan itu. Axel lalu memantapkan hatinya ingin menengok Lily malam ini. “Selesai?” tanya Axel kepada Kevin dan beberapa manajer. “Iya, selesai. Saya permisi dulu,” pamit salah satu manajer. Disusul yang lain keluar dari ruangan Axel.Dan Axel sendiri berdiri memakai jasnya. “Bapak akan pulang?” tanya Kevin. “Ya, saya akan menemui Lily dulu sebelum pergi ke Asia.”“Baik, kalau begitu, Pak. Jadi, saya tidak perlu memesan makanan?” “Tidak,” jawab Axel dengan tegas. Kevin hanya berharap kalau Axel segera mendapat pengganti Nyonya Bree. Karena selama beberapa minggu ini, Kevin seperti istri Axel. Jadi, setelah mendengar Axel akan mampir ke apartemen Lily, Kevin juga ingin pulang ke rumahnya. Tapi, dia ragu, akan terasa susah kalau Axel membutuhkan dirinya nanti. ***Nyonya Margot masih ada di apartemen Lily sampai sore. Mereka banyak berbi
Axel tersenyum simpul begitu masuk ke apartemen Lily, bunga yang dia pesan ada di mana-mana, tertata rapi sepanjang ruang tamu hingga kamar Lily. “Tunggu saja, Li, tunggu sampai semua proses perceraian ini selesai,” gumam Axel pelan. Saat ini lelaki itu hanya ingin menyelamatkan dirinya dan Lily, juga calon anak-anaknya. Hanya itu yang bisa Axel lakukan. Lily membeku begitu membuka pintu kamarnya. “Apa kau tahu ke mana perginya orang-orang? Kenapa cepat sekali mereka pergi?” tanya Lily dengan polos.Axel menoleh ke belakang, lalu tersenyum ke arah Lily. “Mereka memang tidak ada, sejak aku datang.”Alis Lily naik menatap Axel yang ada di depannya. “Apa kau lapar? Aku sudah meminta juru masak untuk membuatkan makanan,” Axel tidak mengerti apa yang dirasakan oleh Lily. Mungkinkah wanita ini masih kesal karena Axel menghilang begitu lama.Lily menautkan tangannya, gelisah, seperti ada yang dia tunggu. Bibir bawahnya dia gigit sekuat mungkin. Kalau memang sedang bermimpi, Lily harap se
“Kau lapar? Mau temani aku makan?” tawar Axel kepada Lily. “Aku kelaparan sejak siang tidak makan.” Tangan Axel engan lembut menarik Lily ke meja makan. Lalu menarikkan kursi untuk wanita itu. “Silakan duduk,” katanya. “Terima kasih,” ucap Lily, sekarang wajahnya tidak bisa tidak tersenyum. “Kau tidak makan sejak siang?” Axel menatap makanan yang disajikan malam ini, ikan tuna. “Tidak ada yang menyiapkan, ya?” tanya Lily penasaran. “Bagaimana kalau besok aku bawakan? Jadi, kau bisa makan di kantor,” tawar Lily, dia melihat kalau Axel makin kurus saja. “Bukan. Tadi Kevin sudah membelikan aku makanan, tapi, tetiba ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Kevin juga belum makan sejak siang, karena mendampingiku.”“Begitu?” tanya Lily, ternyata Axel sangat sibuk dengan dunianya. Apa dia akan selalu begini? “Ya, jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan keadaan begini.” Lily mengangguk, bingung apa yang bisa dia lakukan saat ini. “Mama tadi bilang, kalau bayinya sudah bisa menendang?
Ruang penjara yang lembab dan pengap sekarang sudah biasa. Bree tidak lagi mengeluh panjang lebar soal keadaan di penjara ini. Diaz yang banyak mengajarinya bertahan hidup di penjara. Setelah mencoba menelepon, Bree diam duduk di samping Diaz. Meski penampilannya buruk, Bree anggap ada di dekat Diaz membuat dia tenang. Paling tidak, Bree tidak menjadi incaran rundungan atau risak tahanan yang lain. “Sial sekali! Mengapa dia tidak memedulikan aku?” omel Bree tidak terima. “Aku baru tahu dia brengsek! Ah, rasanya ingin teriak.” “Sudah berapa kali kau coba minggu ini?” tanya Diaz, yang tahu Bree mencoba menelepon Axel. “Mungkin ratusan kali,” ucap Bree, sambil meratapi nasibnya sekarang. “Dulu dia sangat manis, sekarang aku ada di sini, dia seperti menghilang begitu saja. Sudah beberapa bulan aku di sini dia bahkan tidak menjengukku! Aku kesulitan hidup di sini. Bahkan, aku mencoba hubungi dia melalui pengacaraku tidak bisa!” “Anggap saja itu segala hukuman darinya,” jawab Diaz. “K
Beberapa hari kemudian, Axel pergi untuk bertugas di Asia Tenggara. “Aku pergi dulu.” pamit Axel kepada Lily, ada Kate yang mengantarnya juga ke bandara. Namun, Axel dan Lily berpura-pura kalau semua orang di bandara ini tidak ada. Dan mereka bisa saling bermanis-manis sebelum Axel berangkat. Sejak Lily dan Axel berbaikan, entah mengapa, Axel senang sekali mengecup dahi Lily, setelah itu, dia mengecup perut Lily yang membesar. “Apa kau ingin aku menjemputmu ketika kau kembali?” Axel memeluk pinggang Lily, “Um, tampaknya bagaimana?” Lily memutar bola mata, “Tampaknya, iya,” Lily lalu melihat ke arah perutnya, mengusapnya pelan. “Bagaimana menurut kalian?”“Pasti kalian nanti akan merindukan papa kalian, kan? Jadi ... kalian bisa menjemput papa ketika pulang nanti di bandara.” Lily tertawa kecil, tangannya menutup mulutnya. “Baik kalau begitu, hati-hati di jalan,” ucap Lily kepada Axel. Kevin menghampiri Axel, “Pak, sebentar lagi kita boarding,” katanya. “Baik kalau begitu, aku
Axel melalui hari-hari di Filipina dengan rapat yang jadwalnya rapat, hingga tidak sempat makan atau juga menelepon Lily“Maaf, hari ini aku sangat sibuk,” ungkap Axel ketika malam dia baru bisa menelepon Lily. “Tidak apa-apam, tapi aku mengantuk,” balas Lily. “Tidur saja, biarkan teleponnya tetap tersambung.” “Apa? Bukannya nanti akan mahal kau membayarnya?” Mata Lily membesar, rasa kantuknya sedikit menghilang. “Dalam beberapa hari kau akan pulang, kan?” “Biar saja, memang kenapa? Toh, semua ditanggung kantor distibutor yang ada di Filipina, di sini juga ada Wifi, jadi jangan khawatir.” Lily tersenyum, kapan lagi dapat perhatian seperti ini? Kalau begitu Lily melanjutkan lagi obrolannya dengan Axel hingga tidak terasa dini hari. Axel terbangun dengan mata yang masih sayu. Sepanjang rapat terakhir menguap, tidak tahan dengan rasa kantuknya. “Apa masih lama, Kev? Kenapa mereka bertele-tele, ini kan, hanya masalah pendistibusian saja. Masa mereka tidak tahu bagaimana caranya?”
Axel celingukan sendiri ketika mendapati apartemen Lily dalam keadaan kosong. Apa dia salah masuk? tanyanya dalam hati. Matanya melihat ke kiri dan kanannya, barang-barang yang ada masih sama seperti saat dia tinggalkan. Ini apartemennya.“Hallo? Lily? Kate!” panggilnya, tidak ada yang menjawab, apa mereka semua pergi? Axel ke dapur, “Kate? Lily?” Lalu seorang pelayan menghampiri Axel tergopoh-gopoh. “Ya, Tuan, tuan sudah kembali?” Axel menyilangkan tangan di depan dada, “Ke mana semua orang? Mana Lily?” “Itu, Tuan, mereka sedang pergi berbelanja sayuran,” jawabnya. “Sayuran?” ulang Axel tidak percaya, apa Lily tahu, kalau Axel mengejar penerbangan paling cepat, agar bisa kembali secepatnya ke apartemen? “Mereka?” “I—iya, Kate dan Nona Lily, karena ada yang Nona Lily ingin. Jadi, dia pergi sendiri ke supermarket untuk membeli sayuran,” papar si pelayan itu gelagapan. Takut kepada Axel dan Lily, tapi, dia harus jujur, atau harus mengikuti apa perkataan Lily saja? Axel mengusap
Penyesalan yang ada dalam diri Bree begitu dalam. Namun, Bree tahu sudah terlambat menyesali semuanya. “Suamiku minta perceraian. Tapi, aku tidak akan mengabulkannya,” ujar Bree. “Kenapa? Kau masih mencintainya? Atau tidak ingin kehilangan sumber uang?” Diaz kadang kalau bicara, tajam dan sinis. Bree mengangguk, “Tapi, aku juga masih mencintainya. Aku masih cemburu dengan ibu pengganti sampai sekarang. Dan aku yakin kalau mereka sekarang bersenang-senang di atas penderitaanku.” Dia tersenyum sinis, “Itu hal yang lumrah, Bree. Harusnya kau kabulkan saja permintaan cerai itu. Paling tidak kau bebas, bisa memacari lelaki mana pun. Kalau soal sumber uang, kau bisa minta tunjangan. Suamimu wajib memberikan itu. Katakan saja berapa jumlahnya. Pasti dia akan kabulkan.” Apa yang dikatakan Diaz benar. “Aku belum siap melepasnya. Bukan semata karena uang, tapi juga karena harga diri. Aku bangga pernah menikahi Axel.” “Tapi kau juga mengkhianatinya. Siap juga yang bisa mentolerir pengkhian
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a