Diego menatap orang yang menginterogasinya, tangannya diborgol. Dengan tangan diborgol saja sangat tidak nyaman, apalagi dipenjara? Pikir Diego, pasti tidak enak. “Kau terlalu lama memikirkannya. Kuberi tahu saja, dipenjara tidak enak. Belum lagi tahanan yang banyak tingkah. Bayangkan saja, kau harus menahan derita selama sepuluh tahun.” Diego masih diam tidak merespon apa pun. Pikirannya berkecamuk, ini adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk Bree. “Bagaimana? Kalau kau mengatakan yang sebenarnya hukumanmu akan diperingan, kalau hakimn berkenan paling lama lima tahun. Kau tidak perlu menderita selama sepuluh tahun. Hanya karena menolong wanita jahat itu.” Mendengar kata-kata, wanita jahat, Diego geram sendiri. Tatapannya beralih ke polisi yang sedang menginterogasi dirinya.“Dia bukan wanita jahat! Dia membiayai aku selama ini! Semua yang aku lakukan hanya demi dirinya. Membalas semua yang pernah dia lakukan,” erang Diego suaranya membahana di ruang interogasi. Polis
“Kalau begitu ambilkan aku susu di kulkas. Biasanya juru masak selalu menyediakannya,” Axel menyuruh Kevin, agar pria itu keluar sebentar dari kamarnya. Axel perlu ruang sejenak untuk mengatur napas. Ingin sendirian, tapi, tidak mau ditinggal sepenuhnya. Ah, mengapa dirinya bimbang begini? Wajah Lily melintas di pikirannya, tapi, detik yang lain wajah Bree yang menderita di penjara terbayang dalam benaknya. Axel bingung dengan dirinya sendiri, mengapa, dia meratap? Sekilas, Axel mengibaskan wajahnya, membuang pikiran dan ingatannya akan Bree. Namun beberapa detik kemudian, Axel ingat wanita itu lagi. Lima tahun pernikahan dijalani di apartemen ini. Axel ingat betul betapa menggemaskannya Bree ditahun-tahun pertama menikah. “Tidak, tidak, Bree selingkuh di belakangku! Bagaimana mungkin itu adalah kenangan yang indah? Itu tidak indah sama sekali!” Kevin tergesa-gesa masuk ke dalam kamar Axel, setelah mendengar lelaki itu bicara sendiri. “Pak, maaf, aku lama mengambilkan susu. Ini
“Di mana, Kev?” Napas Axel memburu, di ruangan utama banyak sekali orang berlalu lalang. Dalam keadaan tubuh belum fit, Axel merasa limbung. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahi dan punggungnya. Kevin melihat ke kertas yang ada di genggamannya. “Ayo, ke sini, Pak,” dia menunjukkan kepada Axel ke mana ruangan yang dituju Lily, keduanya langsung berlari kesalah satu ruangan. Kevin berhenti ketika masuk kesalah satu ruangan itu. Axel tidak sanggup berkata-kata lagi, tubuhnya gemetar. Tapi, sebelum menemukan Lily, dia tidak akan tenang,Mata Kevin waspada melihat setiap orang yang ada dalam ruangan besar itu. “Ah, itu dia,” tunjuk Kevin kesalah satu sudut yang ada bangku tunggu besi. Axel bergerak cepat menghampiri Lily. “Lily?” sapanya dengan suara berat. Lily yang sedang memperhatikan antrian, menoleh ke arah suara. Kepalanya menengadah, “Axel?” dia bangkit dari duduknya. Tanpa disangka Axel langsung memeluk Lily dengan erat. Mata Lily membesar, ada apa? Apakah
“Kalau tidak salah ingat tadi kau membuatkan sarapan untukku?” tanya Lily ketika sampai di apartemennya. Axel menoleh ke arah Lily, “Kev?” panggilnya, “Makanannya aku titip ke Kevin, aku minta dia yang mengantar,” ucap Axel sambil tersenyum. Kevin segera mengambilkan makanan yang tadi dia taruh di meja makan. Sebenarnya, Lily sedikit kecewa ketika tahu yang mengantar makanannya adalah Kevin. Padahal sepanjang perjalanan pulang Lily sudah bersemangat ingin mencoba masakan Axel. Apalagi ini yang memasak Axel, mana pernah lelaki itu memasak? Kalau perlu, makan juga disuapin!Axel yang ada di ruang televisi seperti menghindari bertatapan dengan Lily. “Kamu sedang apa?” tanya Lily, tersenyum, dia membawa kotak makanan yang disodorkan Kevin. “Tidak ada. Aku hanya mencari informasi soal orang hilang,” jawab Axel. “Aku janji, kan akan membantumu mencari kakakmu.” Lily mengangguk, sambil memakan makanan yang Axel makan. Rasanya sedikit aneh, Lily menyengir, menatap Axel. “Tidak enak?” t
Ternyata hari itu adalah hari terakhir Axel menemani Lily seharian. Hari itu memang sangat berkesan untuk Lily. pagi harinya, Axel masih ada di ranjang menunggu Lily bangun, sampai membuat sarapan. Atas sikap Axel yang manis Lily mengira kalau bunga cinta sudah tumbuh di hati Axel, karena Lily merasakan kehangatan di sekujur tubuhnya. Nyatanya prasangka itu salah besar. Untuk hari selanjutnya, Axel kian menjauh. Menghindari Lily, bahkan sekadar menyapa lewat telepon atau pesan saja tidak. Pernah Axel mengiriminya pesan, memberitahukan keberadaan kakaknya yang belum bisa ditemukan setelah tiga minggu penyelidikan dan pencarian. Saat itu Lily mendengus, sambil mengusap perutnya. “Apakah papa kalian kelakuannya seperti ini? Apa yang harus aku lakukan?” Entah berapa minggu Lily tidak menghitungnya, kelakuan Axel aneh. Lily sudah tidak peduli lagi kepada kakaknya yang menghilang. Yang dia pedulikan saat ini adalah perasaannya yang seperti menghilang. Setiap pagi, Axel selalu membuatka
Nyonya Margot menarik napas, prihatin dengan anaknya yang kelihatannya masih bimbang. Karena Axel hanya mampu diam, dan mendesah, putus asa. Wajah Axel saat ini murung terlihat frustasi dan depresi. Sebagai ibu, Nyonya Margot ikut tersayat hatinya. Salah memilih pasangan bukan kemauan setiap orang. Tapi, membuat kesalahan hal yang biasa. Semua bisa salah. Sekarang, bagaimana orang itu memperbaiki kesalahannya. “Aku paham kalau kau masih bimbang. Soal hatimu, aku tidak ingin ikut campur lagi. Lily ... hanya khawatir terhadapmu. Datanglah ke apartemen Lily malam ini sekadar mengatakan kalau kau baik-baik saja. Anakmu di perutnya sudah lumayan besar, kau melewatkan jadwal pemeriksaan kandungannya kemarin.” Nyonya Margot lalu diam, melirik ke arah Meredith. “Ah, kebetulan sekali, nyonya kemarin minta hasil scan USGnya dicetak. Nyonya sampai meminta tiga cetak, jadi, yang satu sudah dibingkai dan ditaruh di nakas sisi tempat tidurnya,” jelasnya, sambil mengulurkan tangan memberikan Axe
Selesai rapat dan membicarakan rencana selama kepergian Axel, ternyata bisa dia lakukan di kantor. Masih sore ketika mereka selesai dengan pembahasan itu. Axel lalu memantapkan hatinya ingin menengok Lily malam ini. “Selesai?” tanya Axel kepada Kevin dan beberapa manajer. “Iya, selesai. Saya permisi dulu,” pamit salah satu manajer. Disusul yang lain keluar dari ruangan Axel.Dan Axel sendiri berdiri memakai jasnya. “Bapak akan pulang?” tanya Kevin. “Ya, saya akan menemui Lily dulu sebelum pergi ke Asia.”“Baik, kalau begitu, Pak. Jadi, saya tidak perlu memesan makanan?” “Tidak,” jawab Axel dengan tegas. Kevin hanya berharap kalau Axel segera mendapat pengganti Nyonya Bree. Karena selama beberapa minggu ini, Kevin seperti istri Axel. Jadi, setelah mendengar Axel akan mampir ke apartemen Lily, Kevin juga ingin pulang ke rumahnya. Tapi, dia ragu, akan terasa susah kalau Axel membutuhkan dirinya nanti. ***Nyonya Margot masih ada di apartemen Lily sampai sore. Mereka banyak berbi
Axel tersenyum simpul begitu masuk ke apartemen Lily, bunga yang dia pesan ada di mana-mana, tertata rapi sepanjang ruang tamu hingga kamar Lily. “Tunggu saja, Li, tunggu sampai semua proses perceraian ini selesai,” gumam Axel pelan. Saat ini lelaki itu hanya ingin menyelamatkan dirinya dan Lily, juga calon anak-anaknya. Hanya itu yang bisa Axel lakukan. Lily membeku begitu membuka pintu kamarnya. “Apa kau tahu ke mana perginya orang-orang? Kenapa cepat sekali mereka pergi?” tanya Lily dengan polos.Axel menoleh ke belakang, lalu tersenyum ke arah Lily. “Mereka memang tidak ada, sejak aku datang.”Alis Lily naik menatap Axel yang ada di depannya. “Apa kau lapar? Aku sudah meminta juru masak untuk membuatkan makanan,” Axel tidak mengerti apa yang dirasakan oleh Lily. Mungkinkah wanita ini masih kesal karena Axel menghilang begitu lama.Lily menautkan tangannya, gelisah, seperti ada yang dia tunggu. Bibir bawahnya dia gigit sekuat mungkin. Kalau memang sedang bermimpi, Lily harap se