Lily menuju suatu restoran dengan ditemani Apollo berjalan di belakangnya. Karena si pembelanja personal sedang sibuk mengemasi barang bersama Axel yang membayar semua yang dibeli Lily. “Kau tidak mau menunggu Axel?” tanya Apollo, cukup kaget ketika Lily sudah memesan makanan dan minuman. Lily menggeleng, “Aku sudah kelaparan, kau duduk saja, ikut aku makan, Rasanya aku melihat kau tidak pernah makan bersama kami lagi.” Restoran itu ramai pengunjung, karena waktu makan siang. Apollo diam, tidak menuruti Lily, ponsel dalam saku celananya bergetar. Axel, Apollo menghela napas, rasanya berat sekali. Kalau Axel meninjunya, dia akan terima. “Ya, aku dan Lily ada di lantai dua. Restoran Thailand,” papar Apollo. Axel tidak menjawab apa pun, dalam hitungan menit, Axel sudah ada di depan Apollo dam duduk di sebelah Lily. Axel memelotot ke arah Apollo yang sudah makan bersama Lily. Bisa-bisanya dia beramah tamah? Axel membatin sendiri. Makanan yang sudah dipesan, bukan seleranya sama s
Mengapa hidup Lily sangat menderita begini? pikir Kate tidak habis pikir penderitaan sahabatnya ini sangat panjang. “Kau harus bahagia, Li. Kau bisa menghubungiku kapan saja untuk apa pun,” kata Mya dengan senyuman. Sambil mengusap pangkal lengan Lily. “Apa Axel tidak akan keberatan?” tanya Lily lugu. “Axel tidak akan keberatan, dia bisa membayarku,” canda Mya membuat Lily dan Kate tertawa. Seseorang mendengar pembicaraan Lily, Kate dan Mya, dan turut bersedih. Lily datang terlambat? Atau memang ini adalah takdir Tuhan? Cerai? Tidak semudah itu! Dan Axel yang mendengarkan semua pengakuan Lily, mengira, ini bukanlah cinta sejatinya. Tapi, hanya cinta sesaat, atau memang Axel harus memilih antara Lily dan Bree? Yang jelas, karena obrolan ini, Axel tidak tenang. Gelisah, ada di kamarnya, tapi tidak bisa tidur. Suara Lily mengiang di telinga Axel. Karena pengakuan Lily jugam Axel seperti tidak mengenali dirinya sendiri. Siapa dia selama ini? Apakah memang Bree adalah orang yang
Bab 82 AIK“Bahkan ketika malam kau tidak pulang, aku bersabar, karena aku tahu, cinta itu tidak bisa berhenti,” ucap Bree, saat ini dia memulai manuvernya untuk meminta uang kepada Axel. Bree juga mengubah raut wajahnya menjadi sesedih mungkin. “Maafkan aku—yang tidak pernah memahami kamu, Bree,” ucap Axel dengan tenang, dia memeluk istrinya itu. Beberapa detik kemudian, Bree menarik diri dari pelukan Axel. “Sayang, aku tadi melihat beberapa tempat untuk usaha restoranku,” kata Bree dengan tenang tetapi antusias. Axel lalu sadar, kalau Bree menceritakan rencananya beberapa hari lalu. “Memang kau sudah menemukan konsep bagaimana restoranmu nantinya? Apa kau benar-benar ingin mencari kesibukan sendiri?” Binaran di mata Bree meredup. “Ya, aku, kan sudah katakan kepadamu, kalau aku akan memulai bisnis ini. Apa kau tidak setuju?” “Bukan. Aku setuju saja, kalau kau bahagia menjalankan ini. Hanya saja, kandungan Lily makin lama membesar, dan anak itu akan dilahirkan. Aku pikir, ada
Napas Axel memburu, terbayang di kepalanya untuk menghardik Bree, atau langsung lapor polisi saja? Namun, kepalanya sakit luar biasa setelah meminum jus itu. Apollo yang ada di sisi ruangan melihat gelagat Axel yang menghentikan langkahnya. “Pak, Anda kenapa?” tanya Apollo khawatir. Axel menunjuk Ami yang sudah tidak ada di ruangan ini, “Dia ... Apa yang dia berikan?” katanya terbata-bata. Dari hidungnya mengalir darah segar. “Astaga, Axel!” pekik Apollo menangkap tubuh Axel yang lemah, dia tidak sadarkan diri. Lily yang mendengar pekikkan itu langsung keluar dari kamarnya. Apollo susah payah menelepon ambulans, meminta pertolongan. “Axel! Ada apa ini?” Lily mengguncang tubuh Axel, lalu menatap Apollo yang sedang sibuk di sambungan telepon. Apollo ingat ini adalah ulah Ami yang disuruh oleh Bree, “Juru masak itu,” ujar Apollo lalu mencari Ami ke dapur. Sementara, Lily terus menangis, melihat darah yang ada di wajah Axel terus mengalir. “Apa yang terjadi, Apollo?!” sentak Li
Bree dengan cepat menyusul di mana Axel dirawat, dia mendapat informasi ini dari Ami yang melihat ambulans Axel. Namun, Meredith sudah melakukan pemblokiran di rumah sakit itu bekerja sama dengan pihak keamanan. Bree tidak akan bisa masuk ke ruangan Axel. “Apakah Apollo sudah melaporkan Bree?” tanya Margot, masih di ruang perawatan. Axel belum sadarkan diri. Alat bantu pernapasan masih terpasang di tubuhnya. Meredith menggeleng, “Dari pengacara yang kita kirim, Apollo masih memberikan keterangan.” Margot mengangguk-angguk, “Ternyata, benar prasangkaku dari dulu, kalau Bree itu jahat.” Meredith hanya mengangguk-angguk, “Itu karena Axel bimbang memilih. Anda yang bilang sendiri, kan? Kalau keadaan mental Axel seringkali beubah-ubah.” “Ya, itu mungkin saja terjadi. Tapi, jelas sekali, kalau Axel mencintai orang yang salah. Begitu Axel siuman, siapkan pengacara perceraian. Tanya Axel dulu, apakah dia bersedia berpisah dengan Bree.” “Baik, Nyonya.” Bree di depan meja resepsionis t
Diego membeku, begitu Bree masuk begitu saja ke dalam apartemennya. “Well, well, aku pikir kau lupa akan diriku karena asyik merayakan kemenangan. Dan sekarang, kamu menutup semua cahaya yang masuk?” Bree mendelik ke arah Diego. Bree menelan ludahnya pelan, terasa ada yang menghalangi di tenggorokannya. “Bukan wanita sialan itu yang meminum racunnya, tetapi Axel. Sekarang dia sekarat di rumah sakit.” Diego menatap Bree tidak percaya. “Apa?” Keadaan dalam ruangan itu tegang. “Maka dari itu, polisi akan segera menangkapku,” ujar Bree, putus asa. “Karena laporan dari Apollo, atau siapa pun itu namanya. Dia adalah orang yang aku bayar untuk menembak Lily.” Diego menatap Bree sambil bertolak pinggang. “Apa? Ini bahaya! Jadi kau sembunyi di sini?”Bree mengangguk, berharap kalau Diego akan melindunginya. Diego malah menghela napas, “Itu keputusan yang bodoh, Bree. Polisi akan mengira aku adalah kaki tanganmu dalam menjalankan semua kejahatanmu. Aku tidak mau dipenjara! Tidak, itu ada
Di rumah sakit, Lily masih meratapi Axel yang belum siuman. Nyonya Margot menemani Lily, ada di sampingnya. Menggantikan Kate yang akan ambil baju ganti untuk Lily.“Aku sempat kesal dengan Axel akhir-akhir ini,” ucap Lily lirih. Lalu menatap ke arah Nyonya Margot. “Bukan apa-apa, aku hanya kesal dengan Axel yang selalu bimbang. Kemarin dia bilang mau membeli rumah dengan Nyonya Bree, tapi dihari lain, dia mengajak untuk membeli perlengkapan bayi, lalu ditaruh di apartemen. Aku bingung sendiri dengan sikapnya.” Kalau saja Lily tahu, Nyonya Margot sudah lama sekali kesal dengan Bree. Kalau sekarang menantunya itu terbukti melakukan kejahatan, ada kelegaan sendiri di hari Nyonya Margot. “Apa kau menyukai anakku?” tanya Nyonya Margot dengan sangat hati-hati. Lily hanya menatap Margot, diam. Menyukai? Ulang Lily dalam hati. “Mungkin aku hanya terikat karena anak-anak yang ada dalam perutku saja,” jawab Lily lalu mengedikkan bahu. “Dan, semua hormon kehamilan ini membuatku pusing send
Polisi mendatangi rumah sakit untuk meminta keterangan dari Axel. “Bagaimana dengan Bree? Apakah sudah tertangkap?” tanya Axel setelah selesai menmberikan keterangan. “Dia diduga kabur ke luar kota. Pihak kepolisian masih menyelidiki ke mana kaburnya Bree. Kami sudah menyebar foto Bree, dan menangkap Diego.” “Diego?” ulang Axel tidak percaya. “Dia ....” “Dia kekasih gelap Bree, Diego mengakuinya, kalau dia adalah gundiknya,” tambah si polisi itu. Gigi Axel gemeletak, tidak terima kalau selama ini Bree selingkuh darinya. Apakah ini memang jalan dari Tuhan? Menunjukkan kalau Bree adalah perempuan yang hina? Napas Axel tetiba berat, selama ini dia ditipu habis-habisan oleh Bree. “Kami sudah menggeledah apartemen Diego, yang terdaftar atas nama Bree. Serta ada mobil mewah seharga empat puluh dollar.” Tangan Axel mengepal, ternyata uang itu untuk gundiknya. “Apakah Bree punya ibu?” tanya Axel lagi, apakah semuanya hanya permainan dari Bree semata? Hanya untuk mengelabui Axel semat