Lily menatap ke arah lautan yang luas, suara debur ombak menenangkan, semua penyakit rasanya hilang selama Lily ada di sini. Walau gelap, tetapi masih bisa terlihat rangkaian gulungan ombak yang beradu ke tepian pantai lalu menghilang. Tapi, ketika ada Axel, Lily merasa dadanya sesak. “Hai,” sapa Axel pelan dan mendekat ke arah Lily. Lalu duduk di sampingnya. “Duduk di sini, tenang, ya?” Lily menarik napas, udara di sekitarnya habis. Dan dadanya mulai sesak lagi. Mungkin ini bawaan dari bayi yang dikandung Lily. Ah, kalian mulai menyebalkan! umpat Lily dalam hati. Ketika Axel mendekat, Lily bangkit dari duduknya. “Jangan coba berbaik kepadaku,” kata Lily dengan sinis. “Paling tidak di sini, bersikap wajar saja. Tidak perlu berusaha, karena aku tidak akan mudah memaafkanmu.” Axel terpaku mendengar ucapan Lily. Apakah benar ini Lily yang ada di hadapannya? “Maafkan, aku ...” “Beri aku waktu sampai besok. Sementara itu jaga jarak. Jangan mendekat, atau juga menyapaku dengan manis
Lily menghela napas, harusnya dia tahu sejak awal kalau lelaki macam Axel mudah saja mengumbar cinta kepada siapa pun. Lily menarik tangan yang Axel genggam. Kali ini Axel tahu kalau dia harus lebih banyak berusaha. Tapi, apakah dia pantas mendapatkan Lily? Momen matahari terbit ini menjadi hal yang menyesakkan untuk Lily. Tadinya dia menahan dan ingin menyimpan semua kabahagiaan ini dalam hatinya. Sekarang? Axel tidak lebih dari seorang lelaki berengsek di mata Lily. “Aku ... ingin meminta maaf kepadamu. Itu tujuan aku menyusulmu ke sini. Aku tidak bermaksud menyakitimu dengan semua perkataanku.” Lily mengangguk, “Aku terima maaf darimu.” Matahari sudah sepenuhnya terbit, ditambah suara deburan ombak dan angin pantai yang Lily suka. Namun, karena pembicaraan ini, menambah kejengkelan Lily kepada Axel.Axel tersenyum menatap Lily. “Jadi, kita sekarang tidak ada masalah, kan?” “Tidak ada. Tapi, hanya satu permintaanku.” Lily menelaah, kalau Axel harus menjauh darinya. Tapi, syar
“Antar saja ke apartemen Lily, kau tahu, bukan di mana unitnya?” suruh Axel kepada Kevin di sambungan telepon. Ada beberapa dokumen yang memerlukan persetujuan Axel.Siang sebelum Axel kembali ke kota, Kevin meneleponnya. “Kenapa kau ganggu aku yang sedang cuti? Harusnya hal ini bisa kau urus sendiri.” “Maaf, Pak, memang harusnya bisa aku urus. Tapi soal gaji karyawan, dari direktur keuangan, juga harus ada persetujuan dari bapak,” papar Kevin. “Ya, ya, sudah, antar saja ke sana. Aku semalaman akan ada di sana,” omel Axel. “Harusnya, Kate sudah ada di apartemen itu, cari saja dia, atau masuk dan taruh dokumen itu di meja kerjaku. Kau tahu, kan di mana letaknya?” “Ya, tahu, Bos. Aku akan segera ke sana sekarang.” “Oke, beritahu aku kalau semua sudah ada di meja.” “Iya,” jawab Kevin terakhir, lalu memutus sambungan telepon. ***Begitu Kevin memutus sambungan telepon, dia langsung mempersiapkan dokumen yang sifatnya penting itu. Seperti suruhan bosnya, Kevin mengantar dokumen ya
Bree: Batalkan misimu, Axel akan curiga.Ami yang malam itu belum tidur, mengerutkan dahi ketika menerima pesan dari Bree. Tapi, harusnya memang Ami tidak perlu banyak bicara dan bertanya. Bree: Kau harus berhati-hati, tampaknya Axel dan Apollo memasang kamera pengawas di apartemen itu.Mata Ami membesar begitu membaca pesan terakhir dari Bree. Ami memang kaget, tetapi dia sadar kalau harus melakukan tugasnya secara profesional. Rencana harus terus berjalan, Ami harus improvisasi. Jadi, dia meyakinkan Bree kalau semua aman dan terkendali. Ami: Baik. Tenang saja, situasinya aman terkendali. Bree menghela napas lega setelah membaca pesan dari Ami. Paling tidak, dia bisa tidur dengan nyenyak malam ini. ***Walau Bree sudah tidur, Axel masih terjaga. Berkirim pesan kepada Apollo. Axel: Apa kau sudah mendengarkan hasil sadapanmu di apartemen Bree? Aku khawatir.Apollo: Sudah, tidak ada yang mencurigakan.Axel mendengus, mungkin ini memang hanya pemikirannya saja yang berebihan. Axel
“Kau baru datang?” tanya Apollo kepada Axel yang ada di ruang tamu. Axel melirik ke arah kamar Lily yang masih tertutup rapat. “Ya, hari ini aku masih ambil cuti. Jadi, aku ingin ada di sini dulu. Mungkin aku akan banyak bicara dengan Lily. Membeli beberapa perlengkapan untuk bayi juga, mungkin.” Apollo mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku permisi dulu,” pamit Apollo. “Eh, tunggu dulu!” sergah Axel, “Duduk,” suruhnya. Apollo pikir, Axel akan menyudahi kontrak dengan agensinya. Apollo tidak akan bisa lagi mengawasi Lily. Apollo menaikkan alisnya, ketika Axel memintanya untuk duduk. Dengan rasa masih kesal di dada, suara Apollo terdengar sinis. “Ada apa?” “Aku mencurigai Bree, tapi, aku tidak paham bagaimana cara menyelidikinya?” Axel tidak melihat gelagat Apollo yang gelisah. Apollo mendesah, “Aku bukan penyidik atau polisi yang bisa menetapkan istrimu sebagai tersangka atau terdakwa.” Axel mengerang, “Bukan itu maksudku. Ah, apa kau bisa menyelidikinya, mengikuti dia ke man
Bab 79 AIK“Itu mudah,” jawab Bree, suaranya riang. “Aku pikir saat aku memberimu tugas, kau tahu siapa yang harus kau singkirkan. Sekarang masih sama, aku ingin kau membantuku menyingkirkan Lily. Kau hanya memastikan semua aman, sampai Lily benar-benar celaka.” Apollo diam, napasnya seperti habis begitu saja. Dia harus lebih waspada, karena gertakan Bree. Dan apa yang direncanakan oleh Bree? “Apa yang kau rencanakan untuk Lily?” Bree tertawa, terdengar sangat menjijikan di saluran telepon. “Aku akan beritahu kalau kau setuju ingin membantuku.” Apollo mendelik, melihat ke arah ponselnya. Tidak mungkin dia membantu Bree, kalau Apollo pernah setuju menerima pekerjaan dari Bree, itu adalah kesalahan besar. “Atau, rahasiamu akan aku bongkar,” kata Bree dengan licik. “Jangan terlalu lama memikirkannya.” “Silakan, bongkar saja. Aku tidak akan keberatan. Dan segala konsekuensinya akan aku tanggung.” “Apa kau yakin? Bayangkan, kalau tidak ada lagi yang memakai jasamu. Kau akan jatuh mi
Lily menuju suatu restoran dengan ditemani Apollo berjalan di belakangnya. Karena si pembelanja personal sedang sibuk mengemasi barang bersama Axel yang membayar semua yang dibeli Lily. “Kau tidak mau menunggu Axel?” tanya Apollo, cukup kaget ketika Lily sudah memesan makanan dan minuman. Lily menggeleng, “Aku sudah kelaparan, kau duduk saja, ikut aku makan, Rasanya aku melihat kau tidak pernah makan bersama kami lagi.” Restoran itu ramai pengunjung, karena waktu makan siang. Apollo diam, tidak menuruti Lily, ponsel dalam saku celananya bergetar. Axel, Apollo menghela napas, rasanya berat sekali. Kalau Axel meninjunya, dia akan terima. “Ya, aku dan Lily ada di lantai dua. Restoran Thailand,” papar Apollo. Axel tidak menjawab apa pun, dalam hitungan menit, Axel sudah ada di depan Apollo dam duduk di sebelah Lily. Axel memelotot ke arah Apollo yang sudah makan bersama Lily. Bisa-bisanya dia beramah tamah? Axel membatin sendiri. Makanan yang sudah dipesan, bukan seleranya sama s
Mengapa hidup Lily sangat menderita begini? pikir Kate tidak habis pikir penderitaan sahabatnya ini sangat panjang. “Kau harus bahagia, Li. Kau bisa menghubungiku kapan saja untuk apa pun,” kata Mya dengan senyuman. Sambil mengusap pangkal lengan Lily. “Apa Axel tidak akan keberatan?” tanya Lily lugu. “Axel tidak akan keberatan, dia bisa membayarku,” canda Mya membuat Lily dan Kate tertawa. Seseorang mendengar pembicaraan Lily, Kate dan Mya, dan turut bersedih. Lily datang terlambat? Atau memang ini adalah takdir Tuhan? Cerai? Tidak semudah itu! Dan Axel yang mendengarkan semua pengakuan Lily, mengira, ini bukanlah cinta sejatinya. Tapi, hanya cinta sesaat, atau memang Axel harus memilih antara Lily dan Bree? Yang jelas, karena obrolan ini, Axel tidak tenang. Gelisah, ada di kamarnya, tapi tidak bisa tidur. Suara Lily mengiang di telinga Axel. Karena pengakuan Lily jugam Axel seperti tidak mengenali dirinya sendiri. Siapa dia selama ini? Apakah memang Bree adalah orang yang
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a