Meredith yang ada di rumah sakit, menerima telepon Kevin dengan kaget. “Apa? Kau bicara apa? Tidak jelas!” sentak perempuan itu tidak suka. “Kau tahu berita yang baru saja kau sampaikan bisa membuat heboh Nyonya Margot. Kau tahu Axel itu siapa?” Kevin menghela napas, dadanya masih berdebar dengan kencang. Di depannya para tenaga medis berdatangan. “Justru karena aku tahu, aku memberi kabar kepadamu. Pak Axel saat ini terluka. Seseorang menembaknya tadi ketika bersitegang dengan Billy.” Meredith sekali lagi menggigit bibir bagikan bawahnya. Tidak bisa mengatakan apa pun, yang bisa Meredith lakukan adalah menutup sambungan telepon dari Kevin. Apa pun yang terjadi, dia akan memberi tahukan ini kepada Nyonya Margot dan Lily, juga Bree. Namun, semua orang memang harus tahu kabar ini. Meredith berjalan ke ruang perawatan Lily dengan tergesa.Apollo melihat gelagat Meredith yang seperti orang kebingungan. Dia mencegat wanita itu di depan pintu perawatan Lily. “Hei, ada apa?” tanyanya di
Nyonya Margot melihat ekspresi Lily yang berbinar sejak Axel datang. Tapi, tidak bicara, Margot tahu semua itu karena kelegaannya melihat Axel selamat. Semua orang yang ada di ruangan ini berperasaan sama seperti Lily. Tapi, Margot juga harus memberi Lily kesempatan untuk mengungkap semuanya kepada Axel.Mata Margot lalu melirik Axel yang sedang mengobrol dengan Kevin. Terlalu banyak orang di ruangan ini, batinnya berkata. Maka dari itu, Margot menyuruh Meredith, Kate, Kevin dan Apollo keluar dari ruangan ini. Namun, Axel juga mengikuti dirinya. Dengan sigap, Margot mencegat Axel. “Kau tetap di sini!” “Apa? Bukankah aku harus ....” “Tetap di sini, temani Lily. Kau tahu dia hampir kena serangan jantung ketika mendengar kau terluka,” ucapan Margot seolah final. Axel tidak bisa melawannya lagi. Margot berjalan begitu saja meninggalkan Axel yang masih melongo di ambang pintu. Sementara Lily masih melongok ke arah Axel dan Margot yang ada di depan pintu. Axel berdeham dan menghela n
Sementara itu di apartemen Bree.“Mengenai pengawal yang ada di apartemen, aku akan menariknya, karena masalah teror ini sudah selesai.” Bree menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu,” jawabnya, suaranya dibuat sedemikian agar Bree terdengar sangat tulus. Padahal Bree hanya berbahagia kalau sekarang dia bisa bebas bertemu dan pergi ke mana pun dia mau. Diego yang selalu dia rindukan. Entah berapa banyak pesan yang saling mereka kirim setiap hari. Bree mengantisipasi apartemennya ada yang menyadap. Jadi, dia membatasi semua bentuk percakapan di apartemen itu. “Baik kalau begitu, kau akan pulang malam ini, kan? Mau kumasakkan sesuatu?”Axel menghela napas, “Apa, ya?” tujuan Axel hanya satu ingin memberitahukan keadaan anak yang ada di rahim Lily. “Bisa kau buatkan aku daging semur? Yang waktu itu pernah kau buatkan? Mungkin nanti saat pulang aku akan sangat kelaparan.” Bree tersenyum, “Baiklah. Aku akan buatkan. Pulang cepatlah,” katanya lagi. ***Beberapa jam kemudian, Axel mu
Diego menyambut Bree walau wajah wanita itu masam. Bree langsung mengambil bir dalam kulkas, agar tenggorokan dan juga hatinya lega dan tenang sedikit. Bicara soal bayi rasanya membuat harinya berantakan. “Bayi, bayi, bayi terus yang Axel bicarakan, huh ....” Bree mengenyakkan badan di sofa dekat dengan Diego. “Aku juga mau punya bayi,” ujar Diego riang dan antusias. Bree mendelik ke arah Diego, seolah tidak ada yang membuatnya bahagia kecuali uang. “Kau bisa punya sendiri,” desisnya.“Aku tidak punya rahim. Bayi hidup di rahim ibu,” jawab Diego konyol. Bree menggenggam kaleng bir dengan erat. “Apa ada yang bisa membuatku tersenyum hari ini. Dua hari lagi Axel menyuruhku untuk memilih rumah yang cocok dengan anak-anak, yang ada di pusat kota.” Diego mendekatkan tubuhnya ke arah Bree dan menggodanya. “Bagaimana kalau aku membuatmu sibuk di ranjang.” Bree sebenarnya sedang ada dalam mood yang jelek. Tapi, Diego tidak pernah gagal memberinya kepuasan. “Aku harus pulang nanti sore
Axel sepertinya salah mendengar, dan waktu istirahat rapat sudah habis, jadi, Nyonya Margot belum sempat melanjutkan pembicaraan rumah itu. Sepanjang rapat, Axel mendebat para komisaris yang ingin Billy tetap menjadi memegang jabatan ini. “Tolong, Nyonya Margot, Anda bisa pertimbangkan Billy. Karena dia terlalu lama mengabdi pada Anda,” tutur salah satu komisaris, dari lima orang. “Apa Anda ada di pihak Billy?” Axel saat ini menyangsikan semua anggota yang hadir. “Billy mengancam calon anak-anakku. Mereka hampir mati di perut ibu penggantinya. Anda bisa bayangkan kalau itu adalah anak kalian.” Lelaki itu menggebu-gebu ketika diungkit soal masa pengabdian Billy. “Saya pikir yang loyal dan setia dengan saya, bukan hanya Billy saja. Anda Mr. Armstrong, bukankah Anda juga setia?” ucap Nyonya Margot akhirnya meredam semua amarah para komisaris yang sebagian lelaki. “Saya, tidak berani macam-macam dengan Anda, Nyonya Margot,” ucap Armstrong kemudian. “Semua karena jasa Anda ke keluarga
“Baik kalau begitu,” Lily memutus sambungan telepon, sedangkan Apollo dan Kate masih menatap dirinya. “Ada apa?” Kate bersuara, penasaran, karena wajah Lily terlihat serius. “Itu tadi Meredith. Nyonya Margot menyuruh aku untuk datang makan malam di rumahnya.” Mata Kate membesar, dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Makan malam? Apa kau mau makan siang sekarang?” tawar Kate, “Agar nanti waktunya cukup untuk bersiap makan malam.” “Bersiap?” ulang Lily. “Memang aku harus bersiap seperti apa? Aku pikir makan malam perusahaan kemarin adalah yang paling melelahkan dalam persiapannya.” “Ah, kau ini,” gerutu Kate, “Kau harus berpakaian rapi dan cantik. Paling tidak semua itu tidak mengecewakan Nyonya Margot. Kau kan sekarang orang terdekatnya.” Apollo kembali melaksanakan tugasnya, menyadap apartemen Bree. Dia dan rekannya bergantian jaga. Sekarang jam istirahat Apollo. Kate juga masih sibuk membujuk Lily untuk serba berpakaian rapi. Agar dirinya terlihat pa
Lily menghela napas, lalu membuang pandangan, tampaknya air mata akan mengalir di pipi. Lalu dia menatap perutnya yang membesar. “Mereka hanya peduli dengan bayi-bayi ini,” ratap Lily. “Dan kau tidak nyaman dengan keadaan itu?” tebak Apollo lagi suara baritonnya sekarang menenangkan Lily. Wanita itu menoleh ke arah Apollo lalu terseyum. “Kamu pasti terganggu dengan celotehanku tadi, ya?” Apollo menggeleng, “Tidak. Sama sekali tidak. Katanya, perempuan perlu mengeluarkan berpuluh ribu kata dalam satu hari. Aku lihat, kau jarang bicara kalau di apartemen. Jadi, wajar saja kalau sekarang kau banyak bicara.” Mata Lily membesar, tidak sangka kalau Apollo bisa memperhatikan sikapnya sehari-hari. “Kau—kau memperhatikanku?” “Aku hanya melihatmu, karena aku ada di sekitarmu, benar, kan?” Lily, “Kau benar. Boleh aku bertanya?” “Silakan. Asal jangan tanya nama asliku,” canda Apollo tersenyum lebar, sedangkan Lily tidak ada ekspresi apa pun. “Ke mana kau akan membawaku? Apa aku akan dicul
Dengusan Axel terdengar oleh Bree. Beberapa menit tidak ada jawaban apa pun, Bree khawatir, apakah suaminya masih hidup dan sehat walafiat. “Sayang, apa kau sehat? Ada apa? Apa kau sakit?” tanya Bree memberondong, cemas. “Tidak apa-apa. Aku—hanya sedikit pusing.” “Pusing?” ulang Bree dengan cepat. “Ada apa? Apakah tadi rapatnya tidak berjalan sesuai rencana?” Axel menarik napas, mempertimbangkan apakah ini tepat jika dikatakan. “Lily menghilang.” Bree lemas, mengapa hal sekecil itu membuat Axel seperti kerepotan sendiri? “Lily kan sudah besar, itu bukan menghilang, tapi mungkin dia pergi dengan lelaki lain,” ujar Bree kesal. Axel berpikir kalau apa yang dikatakan Bree benar, Apollo mungkin pergi dengannya. Dan Apollo itu adalah lelaki, kan? “Tapi, dia adalah tanggung jawabku, Bree. Dan dia pergi setelah aku bicarakan soal rumah yang akan kita beli.” Bree makin geram, “Apa?! Apakah kau ingin aku berbagi rumah dengannya? Kalau begitu aku tidak sudi!” Axel makin pusing mendeng