Axel sepertinya salah mendengar, dan waktu istirahat rapat sudah habis, jadi, Nyonya Margot belum sempat melanjutkan pembicaraan rumah itu. Sepanjang rapat, Axel mendebat para komisaris yang ingin Billy tetap menjadi memegang jabatan ini. “Tolong, Nyonya Margot, Anda bisa pertimbangkan Billy. Karena dia terlalu lama mengabdi pada Anda,” tutur salah satu komisaris, dari lima orang. “Apa Anda ada di pihak Billy?” Axel saat ini menyangsikan semua anggota yang hadir. “Billy mengancam calon anak-anakku. Mereka hampir mati di perut ibu penggantinya. Anda bisa bayangkan kalau itu adalah anak kalian.” Lelaki itu menggebu-gebu ketika diungkit soal masa pengabdian Billy. “Saya pikir yang loyal dan setia dengan saya, bukan hanya Billy saja. Anda Mr. Armstrong, bukankah Anda juga setia?” ucap Nyonya Margot akhirnya meredam semua amarah para komisaris yang sebagian lelaki. “Saya, tidak berani macam-macam dengan Anda, Nyonya Margot,” ucap Armstrong kemudian. “Semua karena jasa Anda ke keluarga
“Baik kalau begitu,” Lily memutus sambungan telepon, sedangkan Apollo dan Kate masih menatap dirinya. “Ada apa?” Kate bersuara, penasaran, karena wajah Lily terlihat serius. “Itu tadi Meredith. Nyonya Margot menyuruh aku untuk datang makan malam di rumahnya.” Mata Kate membesar, dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Makan malam? Apa kau mau makan siang sekarang?” tawar Kate, “Agar nanti waktunya cukup untuk bersiap makan malam.” “Bersiap?” ulang Lily. “Memang aku harus bersiap seperti apa? Aku pikir makan malam perusahaan kemarin adalah yang paling melelahkan dalam persiapannya.” “Ah, kau ini,” gerutu Kate, “Kau harus berpakaian rapi dan cantik. Paling tidak semua itu tidak mengecewakan Nyonya Margot. Kau kan sekarang orang terdekatnya.” Apollo kembali melaksanakan tugasnya, menyadap apartemen Bree. Dia dan rekannya bergantian jaga. Sekarang jam istirahat Apollo. Kate juga masih sibuk membujuk Lily untuk serba berpakaian rapi. Agar dirinya terlihat pa
Lily menghela napas, lalu membuang pandangan, tampaknya air mata akan mengalir di pipi. Lalu dia menatap perutnya yang membesar. “Mereka hanya peduli dengan bayi-bayi ini,” ratap Lily. “Dan kau tidak nyaman dengan keadaan itu?” tebak Apollo lagi suara baritonnya sekarang menenangkan Lily. Wanita itu menoleh ke arah Apollo lalu terseyum. “Kamu pasti terganggu dengan celotehanku tadi, ya?” Apollo menggeleng, “Tidak. Sama sekali tidak. Katanya, perempuan perlu mengeluarkan berpuluh ribu kata dalam satu hari. Aku lihat, kau jarang bicara kalau di apartemen. Jadi, wajar saja kalau sekarang kau banyak bicara.” Mata Lily membesar, tidak sangka kalau Apollo bisa memperhatikan sikapnya sehari-hari. “Kau—kau memperhatikanku?” “Aku hanya melihatmu, karena aku ada di sekitarmu, benar, kan?” Lily, “Kau benar. Boleh aku bertanya?” “Silakan. Asal jangan tanya nama asliku,” canda Apollo tersenyum lebar, sedangkan Lily tidak ada ekspresi apa pun. “Ke mana kau akan membawaku? Apa aku akan dicul
Dengusan Axel terdengar oleh Bree. Beberapa menit tidak ada jawaban apa pun, Bree khawatir, apakah suaminya masih hidup dan sehat walafiat. “Sayang, apa kau sehat? Ada apa? Apa kau sakit?” tanya Bree memberondong, cemas. “Tidak apa-apa. Aku—hanya sedikit pusing.” “Pusing?” ulang Bree dengan cepat. “Ada apa? Apakah tadi rapatnya tidak berjalan sesuai rencana?” Axel menarik napas, mempertimbangkan apakah ini tepat jika dikatakan. “Lily menghilang.” Bree lemas, mengapa hal sekecil itu membuat Axel seperti kerepotan sendiri? “Lily kan sudah besar, itu bukan menghilang, tapi mungkin dia pergi dengan lelaki lain,” ujar Bree kesal. Axel berpikir kalau apa yang dikatakan Bree benar, Apollo mungkin pergi dengannya. Dan Apollo itu adalah lelaki, kan? “Tapi, dia adalah tanggung jawabku, Bree. Dan dia pergi setelah aku bicarakan soal rumah yang akan kita beli.” Bree makin geram, “Apa?! Apakah kau ingin aku berbagi rumah dengannya? Kalau begitu aku tidak sudi!” Axel makin pusing mendeng
Sepanjang sisa perjalanan, Lily tertidur, Apollo menyetir menembus kelamnya malam. Sesekali dia berhenti di pom bensin, membeli minuman sekadar mengembalikan energinya. Dan membuatnya tetap terjaga. Hingga dekat dengan tujuannya, sekitar pantai. Debur ombak dan angin malam menyapa, membuat Apollo banyak tersenyum. Malam ini, langit berhiaskan bintang, indah. Jadi, Apollo menepikan mobilnya dan membangunkan Lily. “Maaf, aku membangunkanmu. Tapi, pasti kau tidak mau melewatkan hal ini.” “Apa?” Lily mengucek mata, lalu mengikuti instruksi dari Apollo yang menunjuk ke atas. Mata Lily lantas berbinar begitu melihat banyak gugusan bintang. “Indah sekali, aku belum pernah melihat gugusan bintang seindah ini. Di langit yang sangat ...”“Bersih?” tebak Apollo. Lily mengangguk lalu menatap Apollo sekilas dan tersenyum. Apollo menarik senyumannya ketika Lily tersenyum dengan tulus ke arahnya tadi. Setelah beberapa menit membeku, Apollo lalu menyadari, harus melanjutkan perjalanan. “Kita l
Axel menghela napas lega setelah berjam-jam menyetir dan ponsel Apollo non aktif, akhirnya ada satu balasan pesan dari pengawal pribadi itu. “Dia ada bersamaku. Jangan takut, Lily meminta waktu sampai besok, dia akan kuantar ke apartemen.” Axel terdiam sejenak, menatap ke jalan yang sekarang terang benderang. Kanan kirinya bukit terjal. “Apa yang kau inginkan, Lily?” tanyanya dengan lirih. Pandangan dan pikirannya kosong. Ternyata mengenal Lily selama beberapa bulan Axel tidak benar-benar memahaminya sama sekali. Pikiran Axel terpecah belah antara pekerjaan dan juga mencari Lily. Dia menekan nomor asistennya, Kevin. “Kev, ada meeting apa hari ini?” tanya Axel lemas. Kevin menyebutkan apa saja acara Axel hari ini beserta meeting dan beberapa orang yang harus dia temui. “Aku sedang ada di luar kota. Ada hal yang harus aku urus, terkait Lily. Tolong kau urus semua hari ini.” “Baik, Pak,” jawab Kevin. “Saya akan membatalkan sebagian pertemuan.” “Bagus. Kamu bisa atur ulang bebera
“Aku tahu rasanya pasti buruk, kehilangan sahabat yang sangat kau pedulikan,” tutur Lily lembut menenangkan Apollo. “Ya, kami sangat dekat ketika pelatiha, dan tidak menyangka kalau ditugaskan di daerah yang sama.” Lily menggenggam jemari Apollo, sebagai tanda menguatkan dirinya. “Aku tidak ingin mengingat hal itu, tapi ... rasanya masih seperti kemarin. Kejadian itu masih terbayang. Dia ditangkap musuh, dan tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati. Dari kesatuan kami, ketika dicari dalam penahanan pihak musuh, dia tidak ditemukan.” Jantung Lily berhenti beberapa detik, matanya membesar. Dia seperti merasakan apa yang terjadi kala itu. Tapi, tidak ada yang terucap dari mulut Lily. “Ketahuilah, Lily, aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun. kau yang pertama kali mengetahui hal ini. Lidia saja tidak tahu soal ini.” Lily mengangguk-angguk, “Aku harap setelah ini kau lebih tenang, kalau memang sahabatmu itu masih menghilang, relakan dia. Doakan semoga kalau h
“Sebenarnya di mana Axel!” Bree geram tak karuan, sejak kemarin suaminya sulit sekali dihubungi. Bertolak pinggang dengan napas yang memburu. Apakah harus Bree menggertark Axel akan menceraikannya? “Paling tidak kau lega, kan? Axel tidak ada, anggap saja ini adalah liburan,” ucap Diego yang sedang main gim pemberian Bree. Bree sungguh muak dengan keadaan begini. Ya, dia sudah cukup muak dengan Axel apalagi Lily. Dapat laporan dari Ami, kalau Lily juga tidak pulang semalaman. Pasti dia sedang berduaan dengan Axel, pikirnya. Diego mematikan gim nya, dia melihat ke arah Bree yang terlihat kesal. Wajahnya tegang dan memerah. Lelaki itu tahu, apa yang Bree inginkan saat seperti ini. Buah-buahan dingin!“Kemarilah, Sayang, aku tahu kau sangat ingin buah ini, semangka!” Diego bersorak, tersenyum lebar ke arah Bree. Bree awalnya ragu, tidak ingin apa-apa, kepalanya terlalu sakit ketika Axel tidak bisa dihubungi. “Ayolah, lupakan dulu lelaki dungu itu,” bujuk Diego. “Dia tidak tahu kalau