Naya masih menggenggam ponsel, menatap layar berbaring di sofa. Berselancar sejenak di dunia maya, sesaat Naya terpana melihat Gilang dan Seruni yang berfoto sangat mesra yang baru Dokter Seruni upload satu jam yang lalu. Ah kenapa Naya jadi sesakit ini. "Apa yang, Mbak pikirkan? Dari tadi aku memanggil tidak ada jawaban." Sebuah suara membuyarkan lamunan Naya. "Eh, emm. Daren kamu sudah pulang?""Iya. Mbak aja yang ngak nyadar aku disini"Naya tersenyum. "Sudah lama, Mbak.""Lumayan jamuran sih, sudah mandi sana."Daren menggeleng sebagai jawaban."Bau tahu.""Iya, iya," ucapnya lirih.Daren ke kamar mandi sedangkan Naya masih tiduran di sofa. Tadi Bibi berpamitan keluar buat arisan di Bu Rt katanya. "Naya, makanlah ini tadi, Bibi belikan kamu rujak petis." Bibi tiba-tiba sudah duduk di depan Naya. Naya menghentikan memainkan ponsel. "Cepat sekali, Bi.""Ya, cuma membayar saja, terus pengen beli rujak.""Oh begitu. Pedas ngak, Bi?""Sedang ngak terlalu pedas sih Nay."Naya hany
"Naya."Naya, Tari juga Ayu berhenti lalu berbalik saat ada suara yang memanggil di tengah perjalanan mereka bertiga menuju parkiran. "Dokter Gilang.""Naya, kami duluan ya. Soalnya sudah ada janji." Ayu berkata. Naya mengangguk. "Iya."Terkadang, takdir hidup memang begitu aneh. Dua anak manusia yang pernah saling menyayangi dan saling mencintai, tiba-tiba terpisah. Sekarang bak orang asing yang tahu posisi, bahwa mereka kini sudah saling memiliki pasangan masing-masing. Kebersamaan mereka tentu semua adalah kenangan yang masih membekas dalam diri. Akan tetapi, apa yang sudah terjadi tak akan pernah bisa dikehendaki, karena takdir sudah berkehendak. Masa lalu hanyalah bayangan ilusi, pelajaran hidup yang tak akan bisa diulang lagi. "Mau aku antar sekalian aku pulang?""Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri.""Kenapa?"Naya tersenyum miring. "Nggak apa-apa. Biar istri kamu tahu aku bukan wanita penggoda. Lagian aku istri orang, Dokter""Jangan becanda. Kita masih bisa jadi tema
Naya melangkah pergi, mengikuti Dokter Fahmi dibelakangnya. Dokter tampan begitu kata para pasien memanggil dirinya, ya, wajahnya memang cukup tampan, hidung mancung. Tapi terkenal playboy. Tapi cukup baik dan ramah pada perawat seperti Naya. Naya memasuki ruangan para pasien dan memulai melakukan pemeriksaan satu per satu. Sehabis dari ruangan pasien metrka kembali ke ruangan. Untuk beberapa saat aku termangu duduk kembali. Bingung memahami perasaannya sendiri, mungkinkah Naya mulai memiliki perasaan pada suaminya itu. Ah sudahlah akhirnya Naya ke Musshola rumah sakit yang disediakan khusus untuk para pekerja di sini, menjalankan ibadah Salat Dzuhur. "Naya, mau kemana setelah pulang kerja?""Rebahan," jawab Naya langsung. "Wih, enak."Naya teratawa lirih. Seraya melipat mukena yang baru saja ia pakai. "Ngapain hidup dibuat susah, Nay. Santai saja. Yakinlah Allah tak akan meninggalkanmu. Untuk beberapa saat Naya terdiam. "Kau mungkin benar, aku terlalu perasa dan mudah insecure.
"Tuan Raja.''Dia terdiam. Apa-apaan Tuan Raja? Apa Naya tak salah lihat. Kembali Naya menatap ke arah samping, dan ternyata benar ia menatapnya tanpa henti. Seketika jantung Naya terasa berhenti berdetak den sesak napas. Tuan Raja menarik lengan dan mendekatkan mulutnya ke dekat telinga Naya. "Pulang.""Ngak mau orang filmnya bagus kok." Tolak Naya kali ini. "Dasar cengeng lihat begitu saja nangis." Ejeknya. Naya mengamati wajah Raja yang agak minim pencahayaan, terlihat wajah emosi masih menyelimutinya. "Pulang atau nanti aku akan menghukummu."Naya hanya diam. "Awas nanti."Napas Naya masih memburu Naya mencoba untuk tak gugup. "Sebentar lagi, tanggung mau selesai, Tuan." Rayu Naya pelan. "Berani kau melawanku."Naya menoleh sekilas padanya. "Terserah hukum saja. Saya ngikut.""Oke. Kita lihat nanti."Tenggorokan Naya terasa kering hingga tidak ada kata-kata lagi yang bisa keluar dari mulutnya. Naya hanya mengangguk dan tersenyum tipis mencoba menganggap semua nanti akan bai
"Benar. Aku memang istrimu. Istri kedua tepatnya dan hanya istri mesin pembuat anak, kan.""Naya."Naya yang masih mematung, bingung mau memberi jawaban apa pada suami pemarah itu."Kau kenapa bisa bicara seperti itu.""Kenyataannya, kan?''Raja terdiam menatap ke arah istrinya kesal. "Kenapa sih punya pikiran begitu."Naya menarik napas. "Begitu bagaimana jelas-jelas ini kenyataan, setelah bayi ini lahir kalian akan membuangku, kan."Raja fokus menyetir dan terdiam. "Coba Tuan diposisi aku, mengandung melahirkan setelah itu harus menyerahkan bayi ini." Naya terdiam. "Setelah itu kalian akan membuangku menjadikan aku seorang janda. Lucu bukan kisah hidupku." Naya mengusap air matanya. Hening, pun Raja tak berani bertanya ataupun bicara lagi. "Dia laki-laki adalah laki-laki yang sangat aku sayangi. Dan untuk kesembuhannya aku rela meminjamkan rahim ini untuk keluarga Anda." Raja terdiam. "Puas, Tuan."Raja terdiam. Ia tahu jika keluarganya membayar mahal Naya untuk membiayai ope
Naya mengambil nasi juga rica-rica ayam. Tadi pagi selesai Salat Subuh Sarah dan Mbok Darmi masak rica-rica ayam kesukaannya juga ada mie bihun goreng. "Kayaknya enak nih." Kata Raja yang baru saja bergabung. "Ya, ayo sarapan, Mas. Mie bihunnya mau, Mas?""Mau dikit saja."Naya lalu memberikan makanan dalam piring itu untuk suaminya. "Makasih.""Sama-sama Mas."Kini mereka diam menikmati sarapan bersama hanya berdua. "Bagaimana kandunganmu?"Naya tersenyum. "Alhamdulilah baik."Raja mengangguk. "Habiskan makanannya."Naya menganggukan kepala. "Ya.""Pagi Sayang, Nay." Hani datang do tengah-tengah mereka. "Pagi Han," jawab Naya seraya tersenyum. "Enak ini makan apa?""Mau aku ambilkan.""Mau tapi biar aku yang ambil sendiri ya."Naya mengangguk. Selesai mengambil Hani duduk di samping Raja."Mas hari ini kerjakah?""Ya ada jadwal meeting hari ini.""Yah.""Kenapa?" tanya Raja. "Harusnya hari sabtu jatahku kan, kita hangout berdua saja."Naya hanya tersenyum meskipun hatinya tak
Dia mengenakan snelly putih dengan dalaman kemeja hitam, rambut rapi, hidung mancung, postur tubuhnya tinggi tegap. Sungguh berbeda dengan dia yang Naya kenal delapan tahun lalu. Jika seseorang baru bertemu dengannya sekarang, pasti tidak akan percaya kalau Naya katakan bahwa dia adalah lelaki yang sama yang kerap mengatakan cintanya berulang kali bertahun-tahun yang lalu pada Naya. Dokter tampan bernama Hasan itu adalah Dokter yang tak lain adalah sahabatnya dulu. "Naya kamu hamil? Sudah menikah kah?''"Duduklah. Aku ingin bicara denganmu."Dia menurut. Segera ia ambil tempat di depan Naya di kursi kantin. Teh hangat yang masih mengepulkan asap menguarkan aroma khas melati dari atas meja yang baru disajikan oleh seorang pramusaji. "Bisa kau jelaskan padaku, kenapa tiba-tiba ada di rumah sakit ini Dokter?"Hasan membuang napas kasar kemudian, mengangkat wajahnya menatap Naya. "Naya. Kamu jadi perawatan disini, astaga bahkan sudah satu bulan di sini aku tak tahu.""Jangan mengalihk
Tak usah ditanya bagaimana perasaan Naya saat itu, tenggorokan rasanya tercekat. Bahkan kini Naya merasa begitu kesulitan untuk sekadar menelan ludahku sendiri, seakan ada duri yang tertancap di tenggorokan hingga menimbulkan sakit luar biasa. Tapi sekali lagi bukankah mereka suami istri, terlihat dari pandangan mata keduanya tadi sudah bisa aku lihat bahwa ada rasa yang menggebu yang tak bisa terelakkan lagi. Tubuh Naya gemetar seketika, ingin marah, tapi kemudian merasa tak pantas untuk melakukannya karena Naya pun sadar sejak awal dirinya sendirilah yang terlalu berani untuk melibatkan diri dalam kehidupan Hani dan Raja. Mata Naya mulai mengembun. Namun Naya berusaha menahan agar buliran bening itu tidak tumpah ke wajahnya"Apa kami mengganggu kalian? Apa tidak bisa mengunci pintu, hah." Sindir Mamanya kesal pada Raja. Raja beranjak dari ranjang dan mendorong tubuh istrinya itu. "Mama."Raja berjalan ke arah Mamanya. "Itu, Ma. Ini tak seperti yang Mama kira." Elak Raja. Naya ha
"Naya.""Ya, Ma.""Ini untukmu, Naya hadiah dari Mama untukmu yang sudah berjuang melahirkan Cucu laki-laki Mama lagi." Naya terkejut. "Cincin.""Iya. Simpanlah jangan melihat harganya. Jika soal harga pasti Raja bisa membelikanmu yang jauh lebih bagus dari ini. Ini hanya hadiah untuk kenang-kenangan dari, Mama."Naya terdiam."Ini untukmu, pakailah." "Ya Allah, ini bagus banget, Mama."Sebuah cincin cantik itu sekarang menyelip di antara jemari manis Naya. Sang Mama meraih jemari menantunya. "Bahagia terus ya, Nak. Selamat sudah melahirkan dengan lancar.""Ya, Ma. Terima kasih untuk cinta dan kasih sayang Mama dan Papa selama ini. Selalu mendukungku apapun itu.""Ya kau tahu, Mama hanya ingin kamu, cucu-cucu Mama dan Raja bahagia, Nak."Naya mengangguk, membiarkan titik-titik bening turun satu-satu dari sudut mata. Bersamaan dengan rasa haru yang kini menyerang Naya tiba-tiba. Perlakuan mertuanya sangat bisa Naya andalkan. "Makasih, Ma.""Sama-sama."Juga Daren juga sudah menikah
Tangan Naya bergetar hebat saat benda pipih di genggaman menunjukkan dua garis yang terlihat begitu jelas. Degup di dada terasa kian mengencang, diiringi perasaan yang Naya sendiri tak tahu entah apa namanya. Pandangan kian buram, tertutup selaput bening yang hanya dengan satu kali kedipan saja akan berubah menjadi bulir air mata. Ya Allah, Naya harus apa? Sesaat terlintas bayangan wajah teduh Raja suaminya. Sosok pria dewasa yang dengan segala sikap lembut yang ia miliki, selalu membuatnya merasa nyaman saat bersamanya. Lalu, bagaimana jika Raja tahu akan hal itu? Naya hamil. Ada bayi mereka di dalam perut. Naya bisa membayangkan seperti apa reaksinya nanti. Apa suaminya akan kecewa? Atau menerimanya dengan suka cita? Karena usia mereka tak lagi muda. Perlahan, satu tangan Naya turun menyentuhnya. Ia di sana, bersemayam di dalam perut, Naya mengelusnya lembut. "Anakku. Meski masih berupa segumpal darah, tapi ia ada. Ya, ia benar-benar ada. Desiran halus perlahan memenuhi rongga da
Beberapa tahun berlalu Raja berdiri di tepi balkon hotel. Menatap lurus ke arah langit sambil mencengkeram tepian. Alam di keheningan malam. Segala kenangan seolah kembali terputar ulang. Bagaimana wajah istrinya yang terus terbayang meneriakkan kerinduan berulang-ulang, tepat di depan wajah Raja."Aku sudah gila! Ya, aku gila! Karena sangat merindukannya." Bisik Raja pelan. Bukankah cinta memang segila itu saat berada dalam kadar yang sudah tak semestinya. Wanita yang selalu memberikan kenyamanan dan akan menghabiskan seumur hidup dengannya. Setelah mencintai begitu lama, sepenuh jiwa, akhirnya Raja masih menempati cinta di hati yang sedari dulu bersemayam dalam hati. Raja mengusap wajah dengan helaan napas semakin berat."Pak Raja!"Raja menoleh ke arah suara. "Ya, Pak.""Pekerjaan kita telah selesai."Raja tersenyum. "Jadi deal, Pak."Pak Robert mengangguk. "Ya."Raja merasa senang. "Aku sudah tak sabar ingin bertemu, kedua anak kembarku, Pak." Jelasnya. Pak Robert manggut-manggu
Guncangan pada bahu Naya sedikit menyadarkannya, Naya tertidur di dalam mobil. "Sudah sampai, Sayang."Kepala Naya terasa masih berat. Lalu ia tersenyum kearah suaminya. "Iya, Mas. Maaf, aku ketiduran.""Tak apa. Hati-hati jalannya licin di hujan di luar, Sayang."Naya mengangguk. "Iya, Mas.""Kamu tetap disini biar aku yang ambil payungnya."Naya tersenyum menatapnya, sesaat Raja mengecup bibirnya. "Mas ...."Raja hanya ngengir kuda seraya keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk istrinya. Hujan menyambut mereka berdua takala Raja sudah berada diparkiran depan rumah. Hujan seperti yang sudah lama ia nantikan menambatkan hati pada Naya Bulir-bulir air yang jatuh seolah beradu dengan kencangnya detak jantung Naya. "Awas hati-hati."Mereka mengenggam payung yang sama berwarna pelangi, sembari berjalan menuju tempat di mana Naya tinggal. Zain dan Amara melambaikan tangan begitu melihat kedatangan kedua orang tuanya, senyum tersungging dari wajah mereka. Mereka berdua berhamb
Lautan terlihat sangat indah dari kejauhan. Raja yang baru saja pulang meeting dan kini berada di balkon kamar menatap keindahan panorama masih dengan rasa yang sama. Takjub dan merasa luar biasa. Terdengar suara ombak dan juga embusan angin yang segar. Senja sebentar lagi tiba, mengantar mentari ke peraduan. Naya berjalan mendekat dan memeluknya dari belakang. "Jadi, pulang sore ini, Mas.""Besok pagi saja ya.""Tapi, takutnya anak-anak mencari kita, Mas."Raja tersenyum, berbalik dan menikmati setiap senyumannya. "Kangen, mau ditelponin?""Hmm boleh.""Wait."Raja menekan ponselku, tak lama wajah anak-anakku terlihat. Putra-putrinya sedang ditemani sang Mama, terlihat sepertinya mereka sedang berada di sebuah rumah makan. "Assalamu'alaikum, Papa.""Wa'alaikumsalam, lagi apa kalian?""Kami lagi makan mana, Mama?" tanya Zain. Amara sedang makan disuapi oleh Omanya. Amara lebih manja ketimbang kakaknya Zain. "Ini, Mama."Zain terlihat senang. "Mama.""Kalian dimana ini?" tanya Nay
Sentuhan lembut itu membuat tubuh Naya menjadi lemas tak berdaya. Ia memejamkan mata saat perlahan tangan Raja mulai menusup masuk. "Mas ini diluar lo." Tolak Naya. Raja tertawa. "Oh iya aku lupa. Kita ke dalam ya."Raja menggendong tubuh Naya menuju kamar Villa lalu membaringkannya. Raja melepas kancing piama Naya, rindu yang selama ini Raja tahan tersalurkan, hingga mereka berdua tenggelam dalam balutan cinta tanpa benang sehelaipun kini mereka bercinta. Raja menari di atas raga Naya dengan lembut. "Terima kasih, Sayang sudah menerimaku lagi." Ucap Raja setelah selesai menyalurkan hasratnya. "Emmm."Raja mendekapnya dengan erat. "Tidurlah aku akan menjagamu." "Ya.""Sini aku peluk."Naya terdiam tak menjawab, Raja tahu pasti ia sudah terlelap karena kelelahan. Raja hanya bisa berharap kali ini mereka benar-benar mereka bisa bersatu selamanya. Sebenarnya, itulah kehidupan yang diinginkan, sederhana saja asal bisa hidup bersama Naya selamanya. ***Hawa dingin menyeruak masuk mel
"Raja. Mama ikut bahagia atas pernikahanmu. Alhamdulillah kamu telah menemukan Naya dan putrimu lagi.""Ya, terima kasih untuk restu dan mengizinkan aku menikahi Naya lagi, Ma."Wanita itu mengangguk seraya menyeka ujung mata. "Mama bangga padamu. Penantian dan pencarianmu selama ini membuahkan hasil. Kamu bisa berkumpul lagi dengan anak juga istrimu." Raja melengkungkan senyum. "Iya. Aku bahagia, Ma." "Samawa ya. Jaga anak-anak juga istrimu.""Pasti, Ma."Mereka berpelukan, haru, bahagia menyelimuti mereka. Acara selesai kini makan bersama Ustadz juga para santri dan tetangga dan keluarga selesai mereka izin meninggalkan masjid. ***Daren datang menemui Raja yang sedang berbincang dengan anak-anaknya di ruang tamu. "Selamat atas pernikahannya. Tolong jaga, Mbak Naya ya, Mas."Raja mengangguk. "Iya. Terima kasih sudah menerimaku. Karena kamu yang mempertemukan aku lagi dengan Naya juga Amara."Daren tersenyum. "Ya semuanya sudah takdir, Mas."Raja menepuk pundaknya. "Hati-hati di
"Raja." Tiba-tiba suara sang Mama mengagetkan Raja. "Ya, ada apa, Ma." "Harusnya pernikahan kalian di percepat?" "Kenapa, Ma?" tanya balik Raja." "Ya lebih cepat lebih baik, kan." Raja mencerna setiap kata demi kata yang di lontarkan. "Maksudnya, Ma?" "Mama khawatir saja, anak-anak kamu khawatir soal keadaan ini. Mama ngak mau lagi pisah sama Naya juga cucu-cucu, Mama." Mamanya benar bahwa Raja tak boleh membuang waktu. Dan akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Apalagi Naya sudah memberikan kesempatan kedua padanya. "Terus bagaimana baiknya, Ma?" "Ya, tinggal datang ke rumah, Pak Kyai. Minta tolong buat di nikahin secara agama lagi. Meskipun kalian masih sah sebagai suami istri tapi menurut agama kan kalian lama sudah lama berpisah." Bibir Raja tak bisa menahan senyum. "Iya, Mama benar. Akan aku urus." "Secepatnya. Biar, Mama yang ajak Naya usrus soal baju. Untuk catering serahkan pada teman Mama." "Iya, Ma." Pada akhirnya kesepakatan kedua itu pun terjadi. Bahwa pernikah
Naya sadar ia langsung mendorong tubuh Raja menjauh. "Maaf Nay aku...."Naya diam. "Maaf." Ucap Raja lagi. Mereka saling diam. Tak lama Raja menjalankan mobilnya kembali. Kini mobil sudah berada di depan rumah Naya. Di depan teras sudah berkumpul ada si kembar juga mertuanya. Juga Mak Tini yang menyiapkan minuman. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Eh, Naya baru pulang kerja?" Mama mertuanya bertanya. "Iya, Ma.""Banyak pasien ya?Kelihatan capek banget. Sudah sana mandi dulu. Habis itu kita makan bersama ya."Naya melengkungkan senyum. "Iya, Ma." Naya menjawab singkat. Seraya menjabat tangan Mama juga Papa Danuarta. "Aku masuk dulu, Ma.""Iya Sayang."Tampak sekali kehangatan mereka berkumpul. Pemandangan yang selama ini Raja rindukan, anak-anaknya butuh sosoknya, Raja senang bisa bermanja dengan kesua anaknya. "Ih, Mara kok cantik begini, sih?" "Oma juga cantik." sahut Amara. Semua tertawa, sedangkan Zain berada dipangkuan Naya yang baru saja ikut bergabung. Raja merasak