"Tuan Raja.''Dia terdiam. Apa-apaan Tuan Raja? Apa Naya tak salah lihat. Kembali Naya menatap ke arah samping, dan ternyata benar ia menatapnya tanpa henti. Seketika jantung Naya terasa berhenti berdetak den sesak napas. Tuan Raja menarik lengan dan mendekatkan mulutnya ke dekat telinga Naya. "Pulang.""Ngak mau orang filmnya bagus kok." Tolak Naya kali ini. "Dasar cengeng lihat begitu saja nangis." Ejeknya. Naya mengamati wajah Raja yang agak minim pencahayaan, terlihat wajah emosi masih menyelimutinya. "Pulang atau nanti aku akan menghukummu."Naya hanya diam. "Awas nanti."Napas Naya masih memburu Naya mencoba untuk tak gugup. "Sebentar lagi, tanggung mau selesai, Tuan." Rayu Naya pelan. "Berani kau melawanku."Naya menoleh sekilas padanya. "Terserah hukum saja. Saya ngikut.""Oke. Kita lihat nanti."Tenggorokan Naya terasa kering hingga tidak ada kata-kata lagi yang bisa keluar dari mulutnya. Naya hanya mengangguk dan tersenyum tipis mencoba menganggap semua nanti akan bai
"Benar. Aku memang istrimu. Istri kedua tepatnya dan hanya istri mesin pembuat anak, kan.""Naya."Naya yang masih mematung, bingung mau memberi jawaban apa pada suami pemarah itu."Kau kenapa bisa bicara seperti itu.""Kenyataannya, kan?''Raja terdiam menatap ke arah istrinya kesal. "Kenapa sih punya pikiran begitu."Naya menarik napas. "Begitu bagaimana jelas-jelas ini kenyataan, setelah bayi ini lahir kalian akan membuangku, kan."Raja fokus menyetir dan terdiam. "Coba Tuan diposisi aku, mengandung melahirkan setelah itu harus menyerahkan bayi ini." Naya terdiam. "Setelah itu kalian akan membuangku menjadikan aku seorang janda. Lucu bukan kisah hidupku." Naya mengusap air matanya. Hening, pun Raja tak berani bertanya ataupun bicara lagi. "Dia laki-laki adalah laki-laki yang sangat aku sayangi. Dan untuk kesembuhannya aku rela meminjamkan rahim ini untuk keluarga Anda." Raja terdiam. "Puas, Tuan."Raja terdiam. Ia tahu jika keluarganya membayar mahal Naya untuk membiayai ope
Naya mengambil nasi juga rica-rica ayam. Tadi pagi selesai Salat Subuh Sarah dan Mbok Darmi masak rica-rica ayam kesukaannya juga ada mie bihun goreng. "Kayaknya enak nih." Kata Raja yang baru saja bergabung. "Ya, ayo sarapan, Mas. Mie bihunnya mau, Mas?""Mau dikit saja."Naya lalu memberikan makanan dalam piring itu untuk suaminya. "Makasih.""Sama-sama Mas."Kini mereka diam menikmati sarapan bersama hanya berdua. "Bagaimana kandunganmu?"Naya tersenyum. "Alhamdulilah baik."Raja mengangguk. "Habiskan makanannya."Naya menganggukan kepala. "Ya.""Pagi Sayang, Nay." Hani datang do tengah-tengah mereka. "Pagi Han," jawab Naya seraya tersenyum. "Enak ini makan apa?""Mau aku ambilkan.""Mau tapi biar aku yang ambil sendiri ya."Naya mengangguk. Selesai mengambil Hani duduk di samping Raja."Mas hari ini kerjakah?""Ya ada jadwal meeting hari ini.""Yah.""Kenapa?" tanya Raja. "Harusnya hari sabtu jatahku kan, kita hangout berdua saja."Naya hanya tersenyum meskipun hatinya tak
Dia mengenakan snelly putih dengan dalaman kemeja hitam, rambut rapi, hidung mancung, postur tubuhnya tinggi tegap. Sungguh berbeda dengan dia yang Naya kenal delapan tahun lalu. Jika seseorang baru bertemu dengannya sekarang, pasti tidak akan percaya kalau Naya katakan bahwa dia adalah lelaki yang sama yang kerap mengatakan cintanya berulang kali bertahun-tahun yang lalu pada Naya. Dokter tampan bernama Hasan itu adalah Dokter yang tak lain adalah sahabatnya dulu. "Naya kamu hamil? Sudah menikah kah?''"Duduklah. Aku ingin bicara denganmu."Dia menurut. Segera ia ambil tempat di depan Naya di kursi kantin. Teh hangat yang masih mengepulkan asap menguarkan aroma khas melati dari atas meja yang baru disajikan oleh seorang pramusaji. "Bisa kau jelaskan padaku, kenapa tiba-tiba ada di rumah sakit ini Dokter?"Hasan membuang napas kasar kemudian, mengangkat wajahnya menatap Naya. "Naya. Kamu jadi perawatan disini, astaga bahkan sudah satu bulan di sini aku tak tahu.""Jangan mengalihk
Tak usah ditanya bagaimana perasaan Naya saat itu, tenggorokan rasanya tercekat. Bahkan kini Naya merasa begitu kesulitan untuk sekadar menelan ludahku sendiri, seakan ada duri yang tertancap di tenggorokan hingga menimbulkan sakit luar biasa. Tapi sekali lagi bukankah mereka suami istri, terlihat dari pandangan mata keduanya tadi sudah bisa aku lihat bahwa ada rasa yang menggebu yang tak bisa terelakkan lagi. Tubuh Naya gemetar seketika, ingin marah, tapi kemudian merasa tak pantas untuk melakukannya karena Naya pun sadar sejak awal dirinya sendirilah yang terlalu berani untuk melibatkan diri dalam kehidupan Hani dan Raja. Mata Naya mulai mengembun. Namun Naya berusaha menahan agar buliran bening itu tidak tumpah ke wajahnya"Apa kami mengganggu kalian? Apa tidak bisa mengunci pintu, hah." Sindir Mamanya kesal pada Raja. Raja beranjak dari ranjang dan mendorong tubuh istrinya itu. "Mama."Raja berjalan ke arah Mamanya. "Itu, Ma. Ini tak seperti yang Mama kira." Elak Raja. Naya ha
"Oh, kirain ke pasar soalnya Bibi bilangnya Mbak Nur ke pasar.""Tidak, Non. Memangnya mencari saya buat apa Non.""Emm, cuma mau minta juz alpukat saja sih, lagi pengen saja, Mbak." Bohong Naya agar tidak ketahuan. "Oh, mau dibikinin sekarang saja juznya, Non?"Naya mengangguk, "mau banget. Sekalian bikinin buat mereka Mbak.""Siap, Non."Naya hanya tak habis pikir kok bisa Bibi Daryi begitu, mau bagaimana pun juga Naya sadar jika ia hanya istri bayaran. Dia juga sadar akan hal itu tak perlu menunjukkan kemesraan mereka. "Non sudah siap. Mau aku yang antar.""Biar aku saja deh Mbak.""Yakin, Non.""Yakin sudah sini. Hanya lima gelas saja kan.""Hati-hati, Non.""Iya, Mbak."Lima gelas juz alpukat telah siap Naya kembali berjalan mendekati Mamanya, Papa, Tante Ana dan Gilang. Naya tahu juz alpukat adalah kesukaan Gilang dari dulu. "Juz alpukat datang, ayo diminum Tante.""Makasih, Naya.""Sama-sama, Tante.""Wah, masih ingat saja kesukaanku." Gilang meraih satu gelas juz alpukat.
Kembali lagi, Raja menyirami benih agar kandungan Naya tetap kuat hingga melahirkan nanti. Mungkin karena hormon kehamilannya, kali ini membuat Raja kewalahan. Permainan yang tak pernah ia sangka-sangka, Naya bahkan tak ingin merusak suasana keindahan yang ia ciptakan untuk Raja, akan Naya bawa Raja di sisa waktu menuju ke syurga dunia, dan memenangkannya di atas ranjang. Raja merobohkan diri di samping Naya setelah dahaganya terpenuhi. "Trima kasih, Sayang." Ia mencium kening Naya. Setelahnya Naya miring memunggunginya lalu memejam. Mungkin saja itu hanya sekadar pemuasan kebutuhannya belaka. "Nay ...." Tubuh Naya menegang saat tiba-tiba suara Raja terdengar di belakangnya. Pelan-pelan Naya membalikkan badan. Raja tampak tersenyum, raut wajahnya terlihat bimbang saat menatap Naya"Ya kenapa, Tuan?""Apa dia bergerak lagi?" tanyanya seraya mengusap perut yang masih tak tertutupi sehelai benang pun, tubuh kami hanya berbalut selimut. "Iya.""Biarkan seperti ini, aku ingin melihat
Napas Raja teratur ia kaget melihat Naya masih tertidur pulas. Percintaan kedua mereka memang begitu dahsyat, Raja tersadar saat ia jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Tiba-tiba Raja jadi rajin ibadah saat bertemu lagi dengan Naya. Raja bangkit mandi besar selesai ia menunaikan Salat Dzuhur, Raja tersenyum menatap istrinya yang masih tertidur."Nay, hei sudah Dzuhur bangunlah." Bisik Raja di telinga Naya. Raja mengecup lembut keningnya. Berlanjut pada kedua kelopak mata yang masih tertutup rapat. Hidung bangirnya pun tak luput dari sapuan bibir Raja. Saat hendak mencium bibir merah mudanya, istrinya itu terbangun. "Emmm." Naya membuka mata malas. "Nay ayo bangun Solat dulu.""Aku malas, Mas," ucapnya manja membuat Raja tertawa karena sikap manja Naya kini terlihat."Tapi ini waktunya Solat Nona Naya.""Sakit semua badanku, Mas apalagi waktunya Salat Dzuhur juga masih lama kok ....""Maaf untuk itu, ayo air hangatnya sudah aku siapkan."Naya berdecak lirik. Raja tak tahu sa