"Benar. Aku memang istrimu. Istri kedua tepatnya dan hanya istri mesin pembuat anak, kan.""Naya."Naya yang masih mematung, bingung mau memberi jawaban apa pada suami pemarah itu."Kau kenapa bisa bicara seperti itu.""Kenyataannya, kan?''Raja terdiam menatap ke arah istrinya kesal. "Kenapa sih punya pikiran begitu."Naya menarik napas. "Begitu bagaimana jelas-jelas ini kenyataan, setelah bayi ini lahir kalian akan membuangku, kan."Raja fokus menyetir dan terdiam. "Coba Tuan diposisi aku, mengandung melahirkan setelah itu harus menyerahkan bayi ini." Naya terdiam. "Setelah itu kalian akan membuangku menjadikan aku seorang janda. Lucu bukan kisah hidupku." Naya mengusap air matanya. Hening, pun Raja tak berani bertanya ataupun bicara lagi. "Dia laki-laki adalah laki-laki yang sangat aku sayangi. Dan untuk kesembuhannya aku rela meminjamkan rahim ini untuk keluarga Anda." Raja terdiam. "Puas, Tuan."Raja terdiam. Ia tahu jika keluarganya membayar mahal Naya untuk membiayai ope
Naya mengambil nasi juga rica-rica ayam. Tadi pagi selesai Salat Subuh Sarah dan Mbok Darmi masak rica-rica ayam kesukaannya juga ada mie bihun goreng. "Kayaknya enak nih." Kata Raja yang baru saja bergabung. "Ya, ayo sarapan, Mas. Mie bihunnya mau, Mas?""Mau dikit saja."Naya lalu memberikan makanan dalam piring itu untuk suaminya. "Makasih.""Sama-sama Mas."Kini mereka diam menikmati sarapan bersama hanya berdua. "Bagaimana kandunganmu?"Naya tersenyum. "Alhamdulilah baik."Raja mengangguk. "Habiskan makanannya."Naya menganggukan kepala. "Ya.""Pagi Sayang, Nay." Hani datang do tengah-tengah mereka. "Pagi Han," jawab Naya seraya tersenyum. "Enak ini makan apa?""Mau aku ambilkan.""Mau tapi biar aku yang ambil sendiri ya."Naya mengangguk. Selesai mengambil Hani duduk di samping Raja."Mas hari ini kerjakah?""Ya ada jadwal meeting hari ini.""Yah.""Kenapa?" tanya Raja. "Harusnya hari sabtu jatahku kan, kita hangout berdua saja."Naya hanya tersenyum meskipun hatinya tak
Dia mengenakan snelly putih dengan dalaman kemeja hitam, rambut rapi, hidung mancung, postur tubuhnya tinggi tegap. Sungguh berbeda dengan dia yang Naya kenal delapan tahun lalu. Jika seseorang baru bertemu dengannya sekarang, pasti tidak akan percaya kalau Naya katakan bahwa dia adalah lelaki yang sama yang kerap mengatakan cintanya berulang kali bertahun-tahun yang lalu pada Naya. Dokter tampan bernama Hasan itu adalah Dokter yang tak lain adalah sahabatnya dulu. "Naya kamu hamil? Sudah menikah kah?''"Duduklah. Aku ingin bicara denganmu."Dia menurut. Segera ia ambil tempat di depan Naya di kursi kantin. Teh hangat yang masih mengepulkan asap menguarkan aroma khas melati dari atas meja yang baru disajikan oleh seorang pramusaji. "Bisa kau jelaskan padaku, kenapa tiba-tiba ada di rumah sakit ini Dokter?"Hasan membuang napas kasar kemudian, mengangkat wajahnya menatap Naya. "Naya. Kamu jadi perawatan disini, astaga bahkan sudah satu bulan di sini aku tak tahu.""Jangan mengalihk
Tak usah ditanya bagaimana perasaan Naya saat itu, tenggorokan rasanya tercekat. Bahkan kini Naya merasa begitu kesulitan untuk sekadar menelan ludahku sendiri, seakan ada duri yang tertancap di tenggorokan hingga menimbulkan sakit luar biasa. Tapi sekali lagi bukankah mereka suami istri, terlihat dari pandangan mata keduanya tadi sudah bisa aku lihat bahwa ada rasa yang menggebu yang tak bisa terelakkan lagi. Tubuh Naya gemetar seketika, ingin marah, tapi kemudian merasa tak pantas untuk melakukannya karena Naya pun sadar sejak awal dirinya sendirilah yang terlalu berani untuk melibatkan diri dalam kehidupan Hani dan Raja. Mata Naya mulai mengembun. Namun Naya berusaha menahan agar buliran bening itu tidak tumpah ke wajahnya"Apa kami mengganggu kalian? Apa tidak bisa mengunci pintu, hah." Sindir Mamanya kesal pada Raja. Raja beranjak dari ranjang dan mendorong tubuh istrinya itu. "Mama."Raja berjalan ke arah Mamanya. "Itu, Ma. Ini tak seperti yang Mama kira." Elak Raja. Naya ha
"Oh, kirain ke pasar soalnya Bibi bilangnya Mbak Nur ke pasar.""Tidak, Non. Memangnya mencari saya buat apa Non.""Emm, cuma mau minta juz alpukat saja sih, lagi pengen saja, Mbak." Bohong Naya agar tidak ketahuan. "Oh, mau dibikinin sekarang saja juznya, Non?"Naya mengangguk, "mau banget. Sekalian bikinin buat mereka Mbak.""Siap, Non."Naya hanya tak habis pikir kok bisa Bibi Daryi begitu, mau bagaimana pun juga Naya sadar jika ia hanya istri bayaran. Dia juga sadar akan hal itu tak perlu menunjukkan kemesraan mereka. "Non sudah siap. Mau aku yang antar.""Biar aku saja deh Mbak.""Yakin, Non.""Yakin sudah sini. Hanya lima gelas saja kan.""Hati-hati, Non.""Iya, Mbak."Lima gelas juz alpukat telah siap Naya kembali berjalan mendekati Mamanya, Papa, Tante Ana dan Gilang. Naya tahu juz alpukat adalah kesukaan Gilang dari dulu. "Juz alpukat datang, ayo diminum Tante.""Makasih, Naya.""Sama-sama, Tante.""Wah, masih ingat saja kesukaanku." Gilang meraih satu gelas juz alpukat.
Kembali lagi, Raja menyirami benih agar kandungan Naya tetap kuat hingga melahirkan nanti. Mungkin karena hormon kehamilannya, kali ini membuat Raja kewalahan. Permainan yang tak pernah ia sangka-sangka, Naya bahkan tak ingin merusak suasana keindahan yang ia ciptakan untuk Raja, akan Naya bawa Raja di sisa waktu menuju ke syurga dunia, dan memenangkannya di atas ranjang. Raja merobohkan diri di samping Naya setelah dahaganya terpenuhi. "Trima kasih, Sayang." Ia mencium kening Naya. Setelahnya Naya miring memunggunginya lalu memejam. Mungkin saja itu hanya sekadar pemuasan kebutuhannya belaka. "Nay ...." Tubuh Naya menegang saat tiba-tiba suara Raja terdengar di belakangnya. Pelan-pelan Naya membalikkan badan. Raja tampak tersenyum, raut wajahnya terlihat bimbang saat menatap Naya"Ya kenapa, Tuan?""Apa dia bergerak lagi?" tanyanya seraya mengusap perut yang masih tak tertutupi sehelai benang pun, tubuh kami hanya berbalut selimut. "Iya.""Biarkan seperti ini, aku ingin melihat
Napas Raja teratur ia kaget melihat Naya masih tertidur pulas. Percintaan kedua mereka memang begitu dahsyat, Raja tersadar saat ia jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Tiba-tiba Raja jadi rajin ibadah saat bertemu lagi dengan Naya. Raja bangkit mandi besar selesai ia menunaikan Salat Dzuhur, Raja tersenyum menatap istrinya yang masih tertidur."Nay, hei sudah Dzuhur bangunlah." Bisik Raja di telinga Naya. Raja mengecup lembut keningnya. Berlanjut pada kedua kelopak mata yang masih tertutup rapat. Hidung bangirnya pun tak luput dari sapuan bibir Raja. Saat hendak mencium bibir merah mudanya, istrinya itu terbangun. "Emmm." Naya membuka mata malas. "Nay ayo bangun Solat dulu.""Aku malas, Mas," ucapnya manja membuat Raja tertawa karena sikap manja Naya kini terlihat."Tapi ini waktunya Solat Nona Naya.""Sakit semua badanku, Mas apalagi waktunya Salat Dzuhur juga masih lama kok ....""Maaf untuk itu, ayo air hangatnya sudah aku siapkan."Naya berdecak lirik. Raja tak tahu sa
Naya mengelengkan kepala. Tidak ada yang salah sejujurnya. Naya hanya merasa kurang nyaman setiap kali membicarakan tentang cinta."Banyak yang tak aku ketahui di rumah besar itu, Ren."Daren mengangkat alis. "Maksudnya?""Kasih aku waktu, Daren."Tawa Daren lolos begitu saja. Lantas, ikut menangis. "Jangan keras kepala, Mbak. Dan jangan menyesal jika nanti, Mbak terluka dan hancur."Naya diam. "Maaf karena aku Mbak menderita.""Kamu tahu Aku begitu takut sekali saat kamu koma dua minggu. Jadi please aku hanya ingin melihatmu bersama Mbak terus."Daren menunduk. "Maaf."Tenggorokan Naya terasa pahit, mereka saling bungkam, membiarkan pikiran melayang jauh. Dan Naya kembali meminum teh hangat. "Tapi benar, Mbak baik-baik saja.""Ya InsyaAllah baik.""Ya sudah yuk aku antar pulang." Naya tersenyum. "Yuk.""Mbak maaf.""Sudahlah, jangan begitu ya.""Aku sayang, Mbak Naya.""Ya apapun akan Mbak Lakukan asalkan kamu sehat dan terus bersama Mbak.""Terima kasih."Sejujurnya Daren sangat
"Raja." Tiba-tiba suara sang Mama mengagetkan Raja."Ya, ada apa, Ma.""Harusnya pernikahan kalian di percepat?""Kenapa, Ma?" tanya balik Raja.""Ya lebih cepat lebih baik, kan."Raja mencerna setiap kata demi kata yang di lontarkan. "Maksudnya, Ma?""Mama khawatir saja, anak-anak kamu khawatir soal keadaan ini. Mama ngak mau lagi pisah sama Naya juga cucu-cucu, Mama."Mamanya benar bahwa Raja tak boleh membuang waktu. Dan akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Apalagi Naya sudah memberikan kesempatan kedua padanya. "Terus bagaimana baiknya, Ma?""Ya, tinggal datang ke rumah, Pak Kyai. Minta tolong buat di nikahin."Bibir Raja tak bisa menahan senyum. "Baiklah, Ma. Akan aku urus.""Biar, Mama yang ajak Nata, Innara dan anak-anak yang usrus soal baju juga catering.""Iya, Ma."Pada akhirnya kesepakatan kedua itu pun terjadi. Bahwa pernikahan mereka akan segera dilaksanakan lagi. Entah kata apa lagi yang bisa menggambarkan getaran hati Raja saat ini. Seperti ada yang berdetak kencang
Naya sadar ia langsung mendorong tubuh Raja menjauh. "Maaf Nay aku...."Naya diam. "Maaf." Ucap Raja lagi. Mereka saling diam. Tak lama Raja menjalankan mobilnya kembali. Kini mobil sudah berada di depan rumah Naya. Di depan teras sudah berkumpul ada si kembar juga mertuanya. Juga Mak Tini yang menyiapkan minuman. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Eh, Naya baru pulang kerja?" Mama mertuanya bertanya. "Iya, Ma.""Banyak pasien ya?Kelihatan capek banget. Sudah sana mandi dulu. Habis itu kita makan bersama ya."Naya melengkungkan senyum. "Iya, Ma." Naya menjawab singkat. Seraya menjabat tangan Mama juga Papa Danuarta. "Aku masuk dulu, Ma.""Iya Sayang."Tampak sekali kehangatan mereka berkumpul. Pemandangan yang selama ini Raja rindukan, anak-anaknya butuh sosoknya, Raja senang bisa bermanja dengan kesua anaknya. "Ih, Mara kok cantik begini, sih?" "Oma juga cantik." sahut Amara. Semua tertawa, sedangkan Zain berada dipangkuan Naya yang baru saja ikut bergabung. Raja merasak
"Naya." Sang Mama berdiri dengan cemas. "Kami, izin pulang, Ma, Pa."Mereka semua tertegun sesaat. "Pulang?"Naya mengangguk. "Injih, Ma. Pa.""Tapi, Naya?" tanya Raja tak rela. Naya memandangi Raja, tak berkedip. Lalu menggelengkan kepala. Berharap agar Raja berhenti mencegah mereka. Mamanya menangis. "Boleh, aku peluk kamu lagi." Pintanya. Amara mundur beberapa langkah dan berada di belakang Naya. "Aku mohon. Beri Amara waktu, Ma." Dengan ragu Naya menjawab pertanyaan sang Mama.Wanita paruh baya itu tersenyum. "Iya, baiklah. "Permisi."Diantarkan sopir mereka meninggalkan Villa. Satu jam kemudian, mereka sudah sampai. Keluar dari mobil Amara berlari ke arah kamar. Diikuti oleh Zain. "Mbak, apa ini jadi Mas Raja Ayah Amara?''"Ya.""Lalu Zain?"Naya menunduk tak menjawab. "Mbak."Naya mengembuskan napas kasar, seolah ingin mengurangi beban di dada. "Pasangan yang baik itu, saling mendukung. Dan aku perhatikan Mas Raha itu masih sangat mencintaimu, Mbak.""Lalu, Amara?" ta
"Naya."Panggilnya sesaat Naya berbalik. "Emmm.""Jangan dijawab sekarang kamu juga belom ketemu kan sama Zain?""Zain?""Ya. Maaf, karena memisahkan kamu dari Zain."Naya berkaca-kaca, lalu berpaling. "Kamu tak rindu dengannya."Bicara apa dia mana ada seorang Ibu yang tak rindu anaknya.""Segera aku akan pertemukan kamu dengannya."Naya mendongak, kembali menatap wajah sayunya. "Aku tahu aku salah, maaf. Ada surat untukmu dari Hani.""Surat, Hani.""Ya."Naya mengambil surat itu dwngan tangan gemetar. "Aku tak ingin kehilangan kamu lagi."Naya menatap dingin. Naya bisa melihat mata lelaki itu semakin memerah. Tak sanggup melihatnya lebih lama, ia memilih memalingkan wajah. Bersamaan dengan dua butir air yang mencuri kesempatan turun dan meninggalkan jejak basah di pipi Naya. "Aku benar-benar ngak bisa menahan jauh darimu lagi, aku ingin kau tetap berada di sisiku?" Naya menggeleng. "Mas akan kembali ke Jakarta kan. Jangan menambah luka itu lagi. Apalagi pada Mara.""Aku akan
"Dia hanya memanfaatkan kamu, Nay. Bagaimana jika Hani tahu ada Amara adalah kembaran putramu?"Naya bingung benar juga apa kata Tari. "Aku hanya tak mau mereka merebut Mara darimu." Kata Tari lagi. Naya mengiyakan, meski tak yakin jika Raja tega akan mengambil putrinya. Setelah Naya bersusah payah bersekongkol dengan Dokter Fadil untuk merahasiakan putrinya dari keluarga Danuarta. "Aku juga ngak bisa kasih saran, ini terlalu rumit.""Kau benar tapi aku takut, Tari."Tari mendekati lalu memeluk sahabatnya erat. "Bismillah dan sabar, Nay. Karena Allah tidak akan membiarkanmu sakit lagi."Naya mengangguk mengiyakan. "Ya, bismillah.""Semangat ya.""Ya."***Sore harinya sekitar pukul setengah tiga, mereka satu di jemput sopir Raja, kata sopirnya Raja masih ada meeting dan menyuruhnya menjemput. Naya duduk di belakang dengan Amara, sementara Daren di depan dengan Pak sopir. Satu jam kemudian mereka sampai di Villa. Saat turun sudah disambut oleh Raja. "Hei, Amara." "Om tampan!'' Am
Pria yang berdiri sambil memegang tangan, menatap Naya terperangah. Sorot terkejut tampak jelas dari matanya. Namun, bibirnya tertutup. Tak menyuarakan satu pertanyaan apa pun. Wajah yang selama ini Naya rindukan berada tepat di depannya. Tubuh Naya terasa kaku dan sulit untuk ia gerakkan. Naya tertegun saat wajah saling berhadapan. Kembali Naya menengadah dan merasakan hangat napasnya menyapu wajah. Pertemuan swtelah dua belas tahun lamanya, mereka masih berada di atas pijakan yang sama. Naya menunduk untuk menghindari kontak mata langsung dengannya. Menyembunyikan tangan yang gemetar dengan berpura-pura melpaskan genggaman tangannya dan mundur beberapa langkah.Setelah tersadar Naya duduk memungut kertasnya yang berhampuran jatuh dilantai saat ia tabrak. "Naya!"Naya gemeter lalu menggigit bibir. Sekuat tenaga menahan air mata itu tetap meluncur dari mata yang terpejam sesaat. Naya terdiam terus memungut kertas itu, selesai berdiri dan memberikannya. "Maaf."Dengan berat hati Nay
Raja melihat ke arah kanan dan kiri namun tak ia dapati pemuda itu. "Mana Omnya?""Itu." Tunjuk gadis kecil itu ke arah pemuda yang masih telepon. Raja hanya mengangguk. Saat melihat ke arah wajah lelaki itu ternyata, dia lelaki yang kemarin juga sedang menerima panggilan telepon. "Jadi ngak sekolah nih?" tanya Raja gemas. Anak itu menggeleng, "kan hari minggu libur." "Oh iya."Gadis itu menggeleng lagi, sambil mencipratkan air ke arah Raja. "Mau aku temani main?''Gadis itu tersenyum. "Mau, Om!"Raja tersenyum memegang bahunya. "Yuk."Teriakan histeris manja ketika ia berlari saat ombak datang dan kembali saat ombak menjauh. Entah mereka melepas rindu atau tak sengaja dengan saling memeluk satu sama lain."Kenapa sedih begitu?" Raja bertanya setelah mereka duduk menjauh dari pantai. "Coba Mama bisa ikut, pasti seru Om." Dia menunduk karena sedih.Raja berdecak. "Mama?"Gadis itu mengangguk pelan. "Memangnya Mama kemana ngak ikut?" Raja kembali bertanya. Seketika, raut wajahn
Dua belas tahun kemudian. Sarapan belum habis seluruhnya, namun sesaat ponsel Raja berdering. Dengan malas ia meraihnya. Melirik jam di tangan dan tahu bahwa masih pukul tujuh pagi. Siapa yang menelpon sepagi ini?"Pak, kita akan keluar kota." Kata Han diseberang sana Astaghfirullah Raja lupa kalau ada kunjungan ke luar kota. "Baik urus semuanya, beli tiket kereta api saja.""Semua sudah siap, Pak. Sesuai perintah.""Ok."Tak lupa aku mentransfer uang dalam jumlah yang banyak untuk Naya. Selama beberapa tahun tak pernah Raja melupakan kewajibannya apalagi ia masih sah sebagai istri tak pernah Raja menalak atau menceraikan Naya. "Pagi, Papa." Sapa anak kecil yang baru saja bergabung. "Pagi, Sayang.""Papa baik?""Baik, Sayang, baru itu Papa antar sekolah ya.""Siap, Pa.""Jangan nakal, Papa akan keluar kota beberapa hari, nurut sama Oma ya.""Yah gak seru, Papa." Kilahnya kesal. "Zain kan Papa kerja." Jelas Raja.Zain masih saja cemberut. "Kenapa, Nak?" tanya sang Mama yang baru
Hani begitu bersemangat. Tidak pernah Naya melihat dia begitu bahagia seperti ini. Senyumnya semakin mengembang saat berjalan mendekati Naya. "Nay." Naya mengangguk, tersenyum dan memeluknya. "Mau kemana?" "Kerja lah," jawab Naya santai. "Kok kerja sih? Harusnya jangan kerja?" tanya Hani lagi penasaran kok bisa kandungan sebesar itu Naya masih bekerja di rumah sakit. Naya menatap Raja yang baru saja ikut bergabung. "Biarkan dia, Hani.""Mas, kok gitu sih bahaya kerja dengan perut besar seperti itu lo."Raja hanya diam. "Nay kamu harus hati-hati kalau bekerja atau kamu cuti saja.""Jangan, Han. Aku akan stres kalau di rumah terus." Jelas Naya. "Takutnya kamu kecapekan. Kandungan kamu juga sudah besar. Dua bulan lagi kan HPLnya?""Eumm."Tulang-tulang Naya seperti terlepas satu-satu. Naya tidak bisa bergerak, bahkan ia tak tahu akan nasibnya nanti seperti apa jika di rumah terus. "Biarkan dia, Han. Lagian kerjanya gak berat kok." Sahut Raja "Mas tapi aku cemas sama bayinya. B